• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PELUANG DAN KENDALA PRODUK CPO INDONESIA

4.3. Analisis

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, analisis dilakukan dengan menggunakan TOWS. Berikut ini merupakan matriks TOWS yang menjadi dasar analisis.

47 Ibid, hal. 89.

Tabel 4.4. Analisis TOWS CPO sebagai Sumber Penerimaan Negara bagi Pertahanan Negara.

TOWS Alternatif Strategi

Peluang

1. Permintaan dunia yang semakin meningkat 2. Masih terbukanya peluang untuk

mengembangkan industri hilir

3. Limbah dapat dimanfaatkan kembali sebagai pembangkit listrik

4. CPO dapat digunakan sebagai energi alternatif

Ancaman

1. Adanya Malaysia sebagai pesaing kuat 2. Adanya ancaman pengurangan ekspor CPO

Indonesia ke India dan Eropa 3. Hambatan pajak impor dari Tiongkok 4. Pajak ekspor CPO Malaysia lebih murah dari

Indonesian

5. Lesunya perekonomian negara tujuan ekspor 6. Adanya beragam peraturan bea masuk yang

menghalangi CPO masuk

7. Kampanye negatif atas produk CPO khususnya dari Uni Eropa

8. Adanya komoditi lain sebagai substitusi di negara tujuan ekspor CPO (seperti minyak kedelai di Tiongkok)

9. Pertumbuhan ekonomi yang melambat Kekuatan

1. Kondisi alam dan luas alam yang mendukung

2. Jumlah tenaga kerja yang banyak 3. Pangsa pasar Indonesia mendominasi

pasar CPO

4. Memiliki Keunggulan Komparatif yang tinggi

Strategi O-S

1. Optimalisasi lahan perkebunan kelapa sawit

2. Mengembangkn produk hilir kelapa sawit 3. Penyelesaian tata ruang. Kepastian hukum

tentang tata ruang mutlak dibutuhkan agar rencana usaha dapat dilakukan dengan

Strategi T-S

1. Mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar

2. Mendorong percepatan pelaksanaan BBN 20 dengan basis CPO. (Efek ganda, yang pertama demand dalam negeri akan naik, sehingga supply/pasokan untuk pasar luar

5. Adanya Kebijakan klaster kelapa sawit 6. Adanya kebijakan AMDAL

7. Limbah dapat dimanfaatkan kembali sebagai pembangkit listrik

baik dan berkelanjutan

4. Percepatan sertifikasi ISPO sehingga perusahaan-perusahaan perkebunan di Indonesia dapat segera mendapatkan sertifikat ISPO sesuai dengan

perpanjangan waktu yang telah ditentukan. 5. Mendorong pemerintah untuk

meningkatkan hubungan dagang dan mengadakan kerjasama dengan negara tujuan utama ekspor seperti mengadakan PTA, sehingga hambatan dagang ke negara tujuan ekspor dapat diminimalisir.

negeri akan turun/berkurang, kedua, dengan terbatasnya /berkurangnya jumlah pasokan CPO untuk pasar internasional, harga CPO internasional akan terdorong naik,

mengingat Indonesia adalah salah satu negara produsen dan pemasok CPO terbesar di dunia). GAPKI mendorong pemerintah dapat membuat regulasi dan menetapkan harga patokan yang menguntungkan pemerintah maupun produsen biodiesel.

Kelemahan

1. Produktifitas perkebunan yang masih rendah

2. Kurangnya hilirisasi 3. Biaya ekspor CPO tinggi 4. SDM yang kurang berkualitas 5. Nilai CPO Indonesia masih dihargai

rendah

6. Banyak pengusaha yang memiliki dokumen AMDAL tetapi masih banyak yang bermasalah qpenerapannya

7. Ketidak sinergisan antara

Kementerian/lembaga terkait dalam mengurus CPO

8. Kurangnya infrastruktur penunjang (seperti kurangnya panjang

pelabuhan untuk ekspor-impor CPO) 9. Pemerintah tidak segera

melaksanakan kebijakan BBN 20%

Strategi O-W

1. Melakukan penelitian untuk meningkatkan produktifitas dan mutu kelapa sawit 2. Merevisi PP No. 71 Tahun 2014 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan Revisi UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Revisi perlu dilaksanakan supaya peraturan tidak menghambat perkembangan industri sawit di dalam negeri.

Strategi T-W

1. Pengawasan penerapan kebijakan untuk meningkatkan persaingan

2. Mengawal beberapa regulasi yang kemungkinan akan berdampak

kontraproduktif terhadap investasi seperti usulan RUU Pertanahan

4.3.1 Strategi O-S (Menggunakan Peluang Guna Menambah Kekuatan Yang Telah Dimiliki)

Price Waterhouse Cooper meramalkan Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia dari sisi Gross Domestic Product

(GDP) pada 2030, bahkan nomor empat dunia pada 2050 dari sisi Purchasing Power Parity (PPP).48 Ramalan tersebut akan akan dapat diwujudkan jika Indonesia mempunyai pondasi ekonomi yang kokoh dan pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan salah satu faktor penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah ketersediaan energi.

Kemandirian energi akan terus menjadi pekerjaan rumah saat ini hingga tahun-tahun mendatang dengan konsumsi energi terutama BBM yang terus naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk serta menurunnya produksi minya nasional karena semakin menipisnya cadangan minyak. Menurut Arifin Panigoro, Dalam 10 tahun mendatang, kebutuhan energi nasional akan mencapai 7,7 juta barel setara minyak perhari dengan 2 juta barel di antaranya merupakan kebutuhan akan BBM".49 Mengingat semakin menipisnya cadangan minyak fosil di Indonesia, maka diperlukan terobosan energi alternatif, khususnya energi terbarukan sebagai upaya dalam mencukupi kebutuhan energi.

Salah satu terobosan yang sedang dibangun pemerintah adalah program pengembangan biofuel. Selain dapat terbarukan, energi biofuel lebih ramah lingkungan dibanding minyak fosil. CPO) adalah produk biofuel yang paling diunggulkan dapat berpeluang untuk dikembangkan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa CPO sangat berpeluang untuk dijadikan bahan bakan alternatif sebagai energi yang terbarukan, yaitu:

1. energi terbarukan berbasis CPO akan menjadi solusi yang paling cepat dan tepat untuk program kemandirian energi karena Indonesia merupakan produsen CPO nomor satu di dunia dengan menguasai 47% pasar global karena produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton pertahun;50

2. kualitas green diesel dari CPO lebih baik dan tidak ada pembatasan pencampuran.Teknologi biorefinery telah memungkinkan pengolahan

green diesel dengan kualitas terbaik tanpa campuran melalui teknologi

hydrocracking dengan proses hidrogrenasi;

48 http://www.antaranews.com/berita/485585/green-diesel-solusi-menuju-kemandirian-energi- indonesia, diakses pada 31 Mei 2015

49 Ibid.

50 Zuhal (2010) Gelombang Ekonomi Inovasi. dalam http://www.ristek.go.id/file/upload/ebook_web/Buku%20Gelombang%20Ekonomi/Buku%20G elombang%20Ekonomi%20Inovasi.pdf, diakses pada 31 Mei 2015

3. biorefinery sebagai proses produksi CPO bisa dibangun dalam skala kecil sampai besar dan bisa tersebar di setiap propinsi. Kilang Biorefinery CPO dapat dibuat dengan kapasitas 400 barel perhari hingga kapasitas besar seperti 100 ribu barel perhari.

4.3.2 Strategi T-S (Mengatasi Ancaman Yang Datang dengan Kekuatan Yang Dimiliki)

Pembangkit listrik biomassa merupakan pembangkit yang ramah lingkungan juga dapat menggantikan pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar minyak yang berbiaya tinggi. 70% bahan baku pembangkit biomassa ini adalah cangkang sawit, sehingga menurutnya, bila semua perkebunan tidak mengekspor cangkang kelapa sawit tetapi memanfaatkannya untuk pembangkit listrik biomassa, maka kita tidak akan kekurangan listrik.

Kelapa sawit merupakan salah satu komiditi terbesar di beberapa daerah di Indonesia.Terutama di pulau Kalimantan dan Sumatera.Hal inilah yang mengharuskan dibangunnnya pabrik-pabrik kelapa sawit di daerah yang berdeketan dengan perkebunan kelapa sawit.Dengan adanya pabrik-pabrik ini,menyebabkan banyaknya limbah yang dihasilkan dari proses produksi yang dijalankan di pabrik-pabrik tersebut. Aktivitas produksi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menghasilkan limbah dalam volume sangat besar. Limbah yang dihasilkan dapat berupa padatan maupun cair. Limbah tersebut memiliki nilai kalori cukup tinggi. Pemanfaatannya akan menghasilkanbahan bakar yang bisa dipakai salah satunya untuk pembangkitan listrik.

Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton Tandan Buah Segar (TBS) per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang, 12 ribu ton serabut dan 23 ribu ton tandan buah kosong (TBK). Serabut dan cangkang dapat dipakai langsung begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar, sedang TBK harus mengalami pengeringan tanpa sinar matahari langsung. Dengan efisiensi pembangkitan sekitar 25%, dapat diperoleh energi listrik sebesar 7,2-8,4 GW(e)h untuk cangkang, 9,2-15,9GW(e)h untuk serabut, dan 30 GW(e)h untuk TBK. Melalui digester anaerob, dapat diperolah biogas dari limbah cairnya.Dengan kapasitas dan asumsi sama, listrik yang dapat dibangkitkan minimal sebesar 1,38 GW(e)h. Untuk kondisi ini kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar 1,4-1,6 GW(e)h. Penanganan limbah dengan baik akan mampu menekan potensi pencemaran lingkungan dan menghasilkan listrik untuk operasional PKS sekaligus kebutuhan di daerah sekitar.

Secara umum, limbah PKS dikelompokkan menjadi limbah padat dan limbah cair (Palm Oil Mill Effluent/POME). Biasanya limbah cair tersebut mengandung bahan organik dalam kadar tinggi sehingga berpotensi mencemari

lingkungan karena diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar. Mekanisme kontrol konsumsi air di seluruh proses di pabrik akan menentukan pemakaian air dan sekaligus volume air limbah yang dihasilkan oleh PKS. Untuk tiap ton TBS yang diolah dalam PKS diperlukan antara 1-2 ton air (Tobing, 1997). Pasok air biasa diambil dari lingkungan sekitar, misal sungai. Limbah cair yang dihasilkan sekitar 550 kg per ton TBS yang diolah, dengan berat jenis antara 1,05 hingga 1,1 g/cm3 (Kartiman, 2008). Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyebutkan bahwa limbah cair mencapai 40%-70% TBS yang diolah. Kisaran volume tersebut tergantung juga pada sistem pengolahan limbah pabrik. Salah satu limbah cair PKS dengan potensi dampak pencemaran lingkungan adalah lumpur (sludge) yang berasal dari proses klarifikasi dan disebut dengan lumpur primer. Lumpur yang telah mengalami proses sedimentasi disebut dengan lumpur sekunder. Lumpur mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dengan pH kurang dari 5.

Limbah padat PKS dikelompokkan menjadi dua, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari proses pengolahan berupa TBK (empty fruit bunch) yang terbuang dari penebah setelah tandan rebus dipisahkan dari buahnya, cangkang atau tempurung (palm shell), dan serabut atau serat (fiber). Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah (Rohmadi, 2006 dalam Tarkono, 2007). Kebutuhan listrik PKS adalah sekitar 14-16 kWh/ton TBS. Untuk keperluan penerangan dan lain-lain waktu pabrik tidak atau belum mulai mengolah dapat dipasang diesel sebagai pembangkit listrik. Diesel juga biasa diinstalasikan sebagai pembangkit cadangan.Pembangkitan energi merupakan salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari pengolahan limbah PKS. Pemanfaatan dalam bentuk energi ini berpotensi besar mengingat limbah tersebut masih memiliki nilai kalor yang cukup tinggi.

Pada dasarnya semua limbah padat PKS dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam PKS, yaitu sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkitan listrik. Limbah serabut dan cangkang dapat dipakai langsung begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar. Tergantung pada rancangannya, ketel uap dapat dioperasikan dengan memanfaatkan 100% cangkang, 100% serabut atau kombinasi antara keduanya. Proses konversi energi untuk menghasilkan uap yang diperlukan dalam pembangkitan listrik maupun keperluan proses diperoleh dari pembakaran langsung. Pembakaran merupakan proses oksidasi bahan bakar yang berlangsung secara cepat untuk menghasilkan energi dalam bentuk kalor. Karena bahan bakar biomassa utamanya tersusun dari karbon, hidrogen dan oksigen, maka produk oksidasi utama adalah karbondioksida dan air, meskipun adanya nitrogen terikat juga dapat menjadi sumber emisi oksida nitrogen. Tergantung dari nilai kalor dan kandungan air di bahan bakar, udara

yang diperlukan untuk membakar bahan bakar serta konstruksi tanur, suhu pijar dapat melebihi 1650’C. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan bahan bakar cangkang dan serabut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang dan 12 ribu ton serabut. Dengan mengasumsikan bahwa efisiensi pembangkitan sekitar 25%, akan diperoleh energi listrik sebesar 7,2-8,4 GW(e)h untuk cangkang dan 9,2-15,9 GW(e)h untuk serabut. Karena kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar1,4-1,6 GW(e)h, PKS mampu mandiri dalam hal pasok energi untuk kebutuhan operasionalnya. TBK pun dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan jumlah yang cukup signifikan.

Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun menghasilkan sekitar 23 ribu ton TBK yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 30 GW(e)h pada tingkat efisiensi konversi 25%. Berbeda dengan limbah serabut dan cangkang, karena kadar airnya yang tinggi (antara 65% -70%), TBK terlebih dahulu memerlukan proses pengeringan dalam bangsal penyimpanan, tanpa penyinaran matahari langsung. Proses ini memerlukan ruangan yang cukup besar. Itu sebabnya jika TBK hendak dimanfaatkan dalam jumlah banyak untuk pembangkitan listrik, TBK segar dapat dilewatkan lebih dahulu dalam perajang (muncher) untuk kemudian diperas dalam kempa. Sebagai imbalan akan dapat diperoleh kembali minyak dan inti sawit yang tadinya akan hilang sebagai buah yang tertinggal dalam TBK.

Dalam kondisi TBK tidak dipakai untuk keperluan energi karena kadar airnya yang tinggi, limbah padat yang lain (serabut ditambah dengan cangkang) akan menjadi alternatifnya. TBK yang sudah dikeringkan dapat digunakan pula untuk pembakaran permulaan (fire up) sebelum pabrik menghasilkan limbah serabut. Keperluan TBK untuk ini biasanya hanya sedikit, sehingga masih banyak sisanya. Sampai di sini pemanfaatan terpadu limbah PKS memungkinkan dijalankannya mekanisme Combined Heat and Power (CHP) yang sekaligus menghasilkan uap untuk pabrik CPO dan listrik untuk disalurkan ke jaringanlistrik di dalam maupun luar PKS, lokal maupun propinsi.

Energi yang cukup besar dapat diperoleh pula dari pengolahan limbah cair. Pengolahan limbah cair dilakukan dengan proses bertingkat yang memanfaatkan kolam-kolam terbuka. Untuk PKS kapasitas sampai kira-kira 80 ton TBS per jam, dibutuhkan kolam-kolam dengan luas belasan hektar. Inti proses tersebut adalah biodegradasi komponen organik limbah tersebut. Dekomposisi anaerobik meliputi penguraian bahan organik majemuk menjadi senyawa asam-asam organik dan selanjutnya diurai menjadi gas-gas dan air. Gas metana akan terbentuk selama limbah cair diolah dalam kolam terbuka

tersebut. Gas metana yang dihasilkan proses tersebut merupakan komponen terbesar biogas. Ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi jika diolah dalam sistem digester anaerob. Limbah cair kelapa sawit sebesar 0,6-0,7 ton dapat menghasilkan biogas sekitar 20 m3.51 Proses pembentukan metana dapat

dibagi menjadi tiga tahapan: hidrolisis, asetogenesis (dehidrogenesis) dan

metanogenesis.52

Pada tahap hidrolisis, terjadi dekomposisi bahan biomassa kompleks menjadi glukosa sederhana memakai enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme sebagai katalis. Hasil penting tahap pertama ini adalah bahwa biomassa menjadi dapat larut ke dalam air dan mempunyai bentuk kimia lebih sederhana yang lebih sesuai untuk tahap berikutnya. Di langkah kedua terjadi dehidrogenasi (pengambilan atom hidrogen dari bahan biomassa) yaitu perubahan glukosa jadi asam asetat, karboksilasi (pengambilan grup karboksil) asam amino, memecah asam lemak rantai panjang jadi asam rantai pendek dan menghasilkan asam asetat sebagai produk akhir. Tahap ketiga adalah pembentukan biogas dari asam asetat lewat fermentasi oleh bakteri metanogenik. Salah satu bakteri metanogenik yang populer dan banyak terdapat dalam lumpur adalah methanobachillus omelianskii. Metabolisme anaerobik selulosa melibatkan reaksi kompleks dan prosesnya lebih sulit daripada reaksi anaerobik bahan-bahan organik lain seperti karbohidrat, protein dan lemak. Pada pabrik kelapa sawit yang mengolah 40 ton TBS/jam akan dihasilkan limbah cair sebanyak 20 m3/jam (dasar perhitungan: 55% dari TBS dengan berat jenis 1,1 g/cm3; Kartiman, 2008). Jika pabrik bekerja selama 20

jam/hari, maka akan dihasilkan limbah cair sebanyak 400 m3 per hari. Nilai

Kalor Limbah PKS (diolah dari Sukimin, 2007, Isroi dan Mahajoeno, 2007, Goenadi, 2006, dan Sydgas, 1998).

 Cangkang : 4105-4802 kkal/kg  Serat : 2637-4554 kkal/kg  TBK : 4492 kkal/kg  Batang : 4176 kkal/kg  Pelepah : 3757 kkal/kg  POME : 4695-8569 kkal/m3

Sebagai catatan, 1 kkal = 4187 Joule = 1,163 Wh.

Untuk sebuah PKS dengan asumsi kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun, dengan memasukkan rentang nilai kalor di atas, maka bisa diperoleh energi antara 1,38-2,52 GW(e)h.

51 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32964/4/Chapter%20II.pdf, diakses pada 30

Mei 2015

Alternatif lain yang relatif sederhana untuk mendapatkan manfaat energi limbah padat kelapa sawit adalah dengan terlebih dahulu mengolah limbah tersebut menjadi briket arang. Tandan kosong sawit memiliki kandungan air yang tinggi. Ini membuat efisiensi termal TBK rendah dan lagi pembakarannya secara langsung akan menimbulkan polusi asap yang cukup mengganggu. Karena itu pemanfaatan TBK sebagai bahan bakar harus melewati pengolahan terlebih dahulu. Briket arang menjadi bentuk alternatif. Setiap hektar kebun kelapa sawit rata-rata menghasilkan 2-5 ton cangkang per tahun, tergantung salah satunya pada produktivitas kebun. Saat ini cangkang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk boiler dan bahan pengeras jalan sebagai pengganti sirtu (campuran pasir dan batu). Tergantung pada pola dan volume pemanfaatannya, dimungkinkan dijumpainya sisa cangkang dalam jumlah banyak. Sama dengan model pemanfaatan TBK, briket arang juga merupakan salah bentuk alternatif pemanfaatan cangkang.

Briket arang dibuat dengan membakar limbah PKS dalam tungku pengarangan dengan kondisi pembakaran langsung dalam kondisi udara terkontrol. Sifat bahan yang berbeda membuat dibutuhkannya tungku jenis vertikal untuk TBK dan horisontal untuk cangkang. Ini dibutuhkan guna menghasilkan arang bermutu tinggi (Nilai Kalor > 5000 kalori/gram). Arang yang dihasilkan kemudian digiling dengan diberi perekat, misal pati dengan konsentrasi tertentu. Hasil proses tersebut dicetak dengan memakai tekanan hidraulik. Ukuran cetakan dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Setelah dikeringkan sesuai standar perdagangan, briket tersebut siap dipasarkan.

Sebagai ilustrasi singkat, untuk PKS berkapasitas 30 ton tandan buah segar tiap jam akan menghasilkan sekitar 120 ton tandan kosong sawit per hari yang dapat diolah menjadi 25-30 ton briket arang (setara dengan 146-175 MW(t)h). Dari hasil ini terlihat bahwa begitu besar manfaat limbah pabrik kelapa sawit yang selama ini terkadang hanya terbuang percuma dan malah sering merusak ekosistem sekitarnya jika tidak diolah dengan baik. Bahkan krisis energi yang sekarang lagi kita alami dapat terkurangi dengan adanya pemanfaatan limbah ini.

4.3.3 Strategi O-W (Memanfaatkan Peluang Guna Memperkecil Kelemahan)

4.3.3.1 Persaingan dengan Negara lain

Pada tahun 2013, pajak ekspor Malaysia lebih rendah dibandingkan Indonesia. Hal tersebut terjadi demikian karena Malaysia menetapkan pajak ekspor CPO 0% di Januari 2013 seperti yang tertuang dalam surat edaran

pemerintah,53 sedangkan di Indonesia masih menetapkan pajak ekspor sebesar 7%. Asia Tenggara telah menghitung harga referensi 2.147,81 ringgit per ton untuk CPO di Januari, yang secara efektif menetapkan pajak ekspor pada

grade nol. Sebelumnya, Malaysia mengumumkan di bulan Oktober 2013 bahwa mereka akan mengurangi pajak ekspor minyak sawit mentah dari 23% dan akan mengatur tugas secara bulanan untuk lebih mencerminkan harga internasional guna merespon reformasi pajak Indonesia.54

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi menyatakan bahwa Indonesia masih mengenakan bea keluar karena pemerintah ingin membangun industri hilir CPO, karena selama ini Indonesia lebih banyak mengekspor CPO mentah ketimbang memprosesnya terlebih dahulu di dalam negeri.55 Adapun tujuan

Malaysia kembali menekan bea masuk produk CPO karena Malaysia ingin bisa menyaingi Indonesia yang menjadi pemasok terbesar CPO di dunia.

GAPKI) mengkhawatirkan pasar ekspor CPO ke India dan Pakistan direbut oleh Malaysia, yang merupakan produsen CPO terbesar kedua setelah Indonesia. Kekhawatiran ini muncul karena pajak ekspor Malaysia mulai Januari turun dari 23% menjadi rata-rata 4,5-8%, yang kemudian Malaysia menurunkan bea keluar menjadi 0%, karena anjloknya harga CPO di pasar internasional.56 Sementara Indonesia masih menerapkan pajak ekspor sebesar

7,5% hingga 22,5%. Industri CPO mengkhawatirkan pasar ekspor ke India yang selama ini dikuasai Indonesia akan beralih ke Malaysia. Padahal, ekspor CPO ke India termasuk ekspor CPO terbesar Indonesia yaitu rata-rata 5-5,5 juta ton setiap tahunnya. Pasar ke Pakistan sudah lebih dahulu diambil alih oleh Malaysia karena kesepakatan Preferential Trade Agreement (PTA) kedua negara yang membuat ekspor Indonesia ke Pakistan anjlok dari 1,2 juta ton menjadi 160 ribu ton. Namun, kini Indonesia juga sudah menjalin PTA dengan Pakistan sehingga volume ekspor pada tahun 2012 naik menjadi 600 ribu ton dan diharapkan dapat meningkat menjadi 1 juta ton tahun ini.

Menurut data GAPKI mengutip laporan penerimaan Ditjen Bea Cukai pada Juli 2013, ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan setiap bulannya. Ekspor CPO Indonesia pada Januari 2013 tercatat mencapai 2,05 juta ton. Di bulan Februari turun 14% menjadi 1,92 juta ton. Dan kembali merosot di Maret 2013 sebesar 11,4% menjadi 1,7 juta ton. Berdasarkan laporan tersebut, ekspor CPO di bulan ketiga menyentuh level terendah sejak Oktober 2012

53 http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/01/11/092453825/Menteri-Keuangan-Kaji-Pajak- Ekspor-CPO, diakses pada 31 Mei 2015

54 Ibid., diakes pada 31 Mei 2015

55 http://www.mitraogan.co.id/index.php/bisnis-ptpmo/unit-kebun/unit-upul2/77-from-the- news/120-malaysia-tetapkan-pajak-ekspor-nol-persen, diakses pada 31 Mei 2015 56 http://www.mitraogan.co.id/index.php/bisnis-ptpmo/unit-kebun/unit-upul2/77-from-the-

akibat beralihnya pembeli CPO ke Malaysia.57 Malaysia memberlakukan pajak ekspor nol persen pada Januari-Februari 2013 dalam rangka menurunkan stok CPO, kemudian di bulan Maret-Mei pajak ekspor dipatok menjadi 4,5%.58

Sementara itu, sejak Januari-April tarif bea keluar CPO dari Indonesia terus mengalami peningkatan dari 7,5% di bulan pertama, lalu melonjak 9% di Februari serta 10,5% pada Maret dan April.59 Kemudian kembali dipangkas menjadi 9% pada Mei 2013 atau rata-rata tarif bea keluar 9,25%. Terlihat sampai dengan 28 Juni 2013, pada penerimaan bea keluar mengalami penurunan sangat tajam yaitu hanya Rp 6,9 triliun atau 37% dari realisasi periode yang sama di tahun sebelumnya.60

GAPKI meminta kepada pemerintah untuk menurunkan pajak ekspor menjadi 5% agar dapat bersaing dengan Malaysia. Bahkan, jika stok CPO masih banyak dan harga terus turun, pajak ekspor diminta untuk diturunkan menjadi 0%. Namun, pemerintah tidak akan menurunkan pajak ekspor CPO seperti yang dilakukan Malaysia, menyusul anjloknya harga komoditas tersebut di pasar dunia. Menyikapi permintaan GAPKI, Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa penurunan pajak ekspor sama saja dengan tindakan bunuh

Dalam dokumen Minyak Kelapa Sawit Sebagai Salah Satu P (Halaman 75-118)

Dokumen terkait