• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program National Branding Minyak Goreng Kemasan

Dalam dokumen Minyak Kelapa Sawit Sebagai Salah Satu P (Halaman 53-58)

BAB III GAMBARAN DINAMIKA CPO INDONESIA

3.9 Program National Branding Minyak Goreng Kemasan

Dibanding produk turunan yang lain, minyak goreng menjadi salah satu produk favorit produsen. Selain menghasilkan profit menjanjikan, tingkat pengolahan minyak goreng tidak menuntut teknologi tinggi. Sebagai produsen utama CPO, Indonesia dibanding negara lain terlambat mengantisipasi peningkatan kualitas dan varisasi produk minyak goreng. Berdasarkan data GIMNI penggunaan CPO domestik sebagian besar untuk industri minyak goreng 37%, industri margarin 3%, industri sabun 3% dan industri oleokimia 5%, sedangkan untuk tujuan ekspor masih dominan di atas 50%. Jika menyimak besaran nilai tambah (Tabel 3.1.) dominasi penggunaan CPO untuk minyak goreng ini adalah kabar kurang menarik mengingat nilai tambah minyak goreng relatif kecil dibandingkan margarin, sabun, dan produk oleokimia.

Sumber: Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Pasca restrukturisasi tarif Bea Keluar versi hilirisasi tahun 2011, salah satu industri yang menunjukkan peningkatan kapasitas terbesar adalah industri minyak goreng. Demi mengejar keuntungan optimal, rupanya PMK 128/2011 direspon demikian cepat oleh pabrikan minyak goreng domestik maupun luar negeri. Hal ini dipicu antara lain meningkatnya konsumsi minyak goreng dunia untuk pengolahan makanan. Pabrikan minyak goreng domestik bahkan kewalahan memenuhi permintaan pasar internasional. Struktur tarif Bea Keluar (PMK 128/2011) mengakomodasi naiknya nilai tambah karena mengemas minyak goreng dengan membuat perbedaan tarif antara minyak goreng curah dan kemasan. Tarif Bea Keluar minyak goreng curah lebih tinggi 2%-6% dibanding kemasan bermerek tergantung harga CPO yang berlaku. Dibanding produk hulunya yakni CPO, tarif Bea Keluar minyak goreng kemasan bermerek lebih rendah 7,5%-12%. Selisih tarif ini layaknya insentif bagi industri minyak goreng kemasan di dalam negeri. Karena selisih tarif yang signifikan, pabrikan domestik segera menambah kapasitas produksi khususnya line produksi minyak goreng kemasan bermerek.

Tujuan restrukturisasi tarif Bea Keluar diantaranya adalah untuk menumbuhkan dan membangun merek minyak goreng nasional atau domestik di pasar internasional sambil berupaya keras berinovasi menambah produk hilir kelapa sawit bernilai tambah tinggi lainnya. Ini diharapkan akan memicu bangkitnya inovasi dalam penciptaan dan pengembangan merek minyak goreng nasional dan dipatenkan di lembaga internasional. Pada masa mendatang diharapkan Indonesia punya merek minyak goreng nasional yang beredar dan menjadi trend-setter produk minyak goreng internasional. Selanjutnya akan dianalisis kemajuan pengembangan merek minyak goreng nasional tersebut (national branding).

Jika ekspor minyak goreng kemasan bermerek tarif Bea Keluarnya lebih rendah dari minyak goreng curah, maka produsen minyak goreng kemasan berusaha mendapatkan merek berpaten dengan mendaftarkan mereknya ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kemudian produsen mendapatkan tanda terima pendaftaran merek sambil menunggu penelitian dan

penelusuran tentang kesamaan dengan merek-merek yang sudah ada, untuk kemudian dinyatakan bahwa merek tersebut sah untuk dipatenkan. Atas tanda terima pendaftaran ini, Kementerian Perdagangan sudah bisa mencantumkan merek yang sedang dilakukan penelitian ini dalam daftar merek minyak goreng kemasan sebagai Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan mengenai HPE yang setiap bulan diterbitkan Menteri Perdagangan. Masalahnya waktu tunggu hingga merek disahkan atau ditolak oleh Kemenkumham memakan waktu selama 2 (dua) tahun. Sepanjang belum keluar keputusan tentang pengakuan merek yang sah, merek yang didaftarkan dapat diterima sebagai merek dari produk minyak goreng kemasan.

Jika tidak diterima sebagai merek yang sah, produsen dapat mengajukan kembali merek baru kepada Kemenkumham. Dengan kata lain, daftar merek dalam Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan tersebut belum tentu menjadi merek yang disahkan oleh Kemenkumham. Dari waktu ke waktu jumlah merek minyak goreng kemasan yang didaftarkan semakin banyak. Bertambahnya jumlah merek minyak goreng kemasan sesungguhnya disebabkan oleh beban Bea keluar yang berbeda. Inilah sejatinya pemicu munculnya merek-merek baru yang didaftarkan ke Kemenkumham, bukan karena munculnya inovasi baru atas produk minyak goreng.

Tabel 3.11. Perkembangan Jumlah Merek Minyak Goreng Kemasan Pasca Restrukturisasi Tarif Bea Keluar (PMK 128/2011)

Sumber: Pemendag HPE September 2011, Oktober 2011, September 2014, dan Desember 2013.

Perkembangan jumlah merek minyak goreng dapat dibagi dalam 2 (dua) periode yakni permulaan kebijakan Bea Keluar versi hilirisasi dan tahun kedua pasca kebijakan. Tabel VII menunjukkan saat mulai berlakunya kebijakan yakni daftar merek minyak goreng kemasan periode 14-30 September 2011 untuk berat kemasan 0-20 kilogram jumlahnya baru 270 merek. Bulan berikutnya 1-31 Oktober 2011 jumlah kemasan minyak goreng bertambah menjadi 382 merek atau naik 41% dari periode sebelumnya. Setelah berjalan dua tahun jumlah merek berkembang makin banyak. Mulai 1 Oktober 2013 volume minyak goreng kemasan dibedakan menjadi dua yakni berat 0-20 kilogram dan 20-25

kilogram karena adanya permintaan dari pasar internasional. Lonjakan jumlah merek ini ternyata terus berlangsung dimana pada periode 1-31 Desember 2013 menjadi 1499 merek. Periode HPE 1-30 September 2014 jumlah merek minyak goreng kemasan naik drastis hingga 2200 merek.

Kenaikan jumlah merek minyak goreng kemasan setidaknya menyimpulkan dua hal yakni pertama, adanya peningkatan permintaan minyak goreng kemasan yang direspon dengan penambahan kapasitas produksi hingga mendekati optimal. Berdasarkan data dari GIMNI kapasitas terpasang industri minyak goreng domestik naik dari 45% tahun 2010 meningkat hingga mendekati 90% tahun 2013. Optimalisasi kapasitas terpasang merupakan indikasi positif bahwa industri minyak goreng kemasan menuju tahap efisiensi produksi dengan profit margin makin tinggi. Industri ini terus menambah line

produksi dengan membuka pabrik baru ataupun menambah luasan areal produksi minyak goreng. Diperkirakan industri minyak goreng Indonesia makin berkembang bahkan mampu mengalahkan Malaysia dari sisi kapasitas produksi. Penambahan kapasitas produksi artinya penyerapan tenaga kerja meningkat, maka kebutuhan CPO untuk industri domestik makin besar yang pada gilirannya menopang pertumbuhan ekonomi domestik. Pembesaran industri minyak goreng menguntungkan bagi penciptaan nilai tambah di dalam negeri yang pada akhirnya potensi penerimaan pajak akan makin besar. Intinya, capaian positif ini dipicu oleh perubahan struktur tarif Bea Keluar.

Tantangannya adalah pertama, belum tampak adanya upaya keras dari pelaku usaha untuk berinovasi dan menciptakan produk baru yang makin ke hilir untuk mendapatkan nilai tambah lebih tinggi ekuivalen dengan profit margin makin optimal. Sebab ketika produsen Indonesia terjebak memaksimalkan kapasitas produksi minyak goreng, pabrikan multinasional terus menciptakan inovasi dan berkreasi menambah daftar produk-produk baru dan mematenkan produk tersebut. Tarif Bea Keluar ekspor minyak goreng kemasan bermerek yang lebih rendah, dimanfaatkan produsen domestik untuk menumpuk kapasitas pada produksi minyak goreng. Tarif Bea Keluar minyak goreng bermerek yang rendah dan aturan pendaftaran merek yang sangat longgar menyebabkan lonjakan jumlah merek mencapai lebih dari dua ribu persen, semata-mata karena produsen minyak goreng domestik ingin memaksimalkan profit.

Kedua, upaya Indonesia mengangkat merek minyak goreng nasional ke pasar internasional (national branding) tampaknya masih menemui jalan berliku. Kenaikan kapasitas produksi yang diiringi lonjakan jumlah merek minyak goring ternyata tidak menumbuhkan merek nasional. Justru merek- merek dengan nama asing bertambah signifikan mencapai 70% dari seluruh merek minyak goreng dalam daftar Kementerian Perdagangan. Penciptaan

belakang. Globalisasi telah mereduksi batasan negara dan wilayah sehingga produksi bisa dilakukan dimanapun sepanjang memenuhi batasan ongkos produksi pabrikan multinasional penguasa merek. Dengan pandangan ini merek nasional atau national branding hanya menjadi utopia semata karena pabrikan multinasional penguasa merek akan sekuat tenaga menancapkan dominasinya di pasar domestik. Pabrikan penguasa merek akan terus berinovasi agar produknya diterima konsumen domestik.

Pandangan kedua meyakini bahwa otoritas negara mempunyai kehendak agar pelaku usaha domestik dapat memproduksi serta menggunakan domain domestik untuk dipasarkan di pasar domestik maupun internasional. Hasil produk yang diciptakan diharapkan selalu merujuk pada negara tempat produk tersebut pertama kali diciptakan dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.

Dalam dokumen Minyak Kelapa Sawit Sebagai Salah Satu P (Halaman 53-58)

Dokumen terkait