• Tidak ada hasil yang ditemukan

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) SIPITUHUTA

3.5 Analisis Cara Penyelesaian Masalah Tapal Batas yang DilakukanPT Toba Pulp Lestari Tbk.

Peneliti lihat dari kajian teori konflik dengan hukum adat penyelesaian tapal batas yang dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, terlihat dari pengamatan fungsi alokasi yang jelas bagi tanah pertanian dan tanaman pangan milik rakyat.Investasi hutan eucalyptus tidak boleh mengalihfungsikan hutan kemenyan masyarakat dan atas tanah bagi pertanian rakyat. Strategi penyelesaian konflik pertanahan tidak hanya sebatas persoalan tanah siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek terutama rasa keadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa meminimalisir konflik di masa datang. Konflik agrarian juga merupakan konflik struktural yang timbul karena kebijakan yang salah arah dari pemerintah.

Struktural mengatur hubungan kepemilikan, penguasaan dan peruntukan atau pemanfaatan agraria, Ketiga hal tersebut bila dibagi dalam arti yang lebih luas hal itu meliputi bahwa tanah sebagai penopang kehidupan manusia dan tanah sebagai pondasi dari terbentuknya susunan sosial masyarakat, maka tanah haruslah dibagi secara merata berdasarkan kebutuhan manusia, dan dalam penguasaanya haruslah adil sehingga tidak ada monopoli yang dilakukan oleh manusia dengan mengunakan segala cara untuk memonopolinya. Hal menggambarkan besar kepentingan PT. TPL lebih diperhatikan oleh tuan tanah di Humbang Hasundutan yang memiliki wewenang, terlebih dengan adanya alibi pemerintah daerah untuk meningkatkan perekonomian.

Keberadaan PT. Toba Pulp Lestari sejak dari 2009 yang melakukan kegiatan penanaman pohon eucalyptus di Kecamatan Pollung yang menimbulkan konflik pertanahan. PT. Toba Pulp Lestari yang melakukan penanaman usaha pohon

eucalyptus menyebabkan konflik pertanahan terjadi. Ini menyebabkan awal konflik

dikarenakan pengerusakan hutan kemenyan dan perusahaan tidak melakukan sosialisasi terhadap masyarakat di Desa Pandumaan-Sipituhuta.Warga masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. TPL tetap melakukan perjuangan untuk mempertahankan hak kepemilikan hutan adat atas tombak hamijon (hutan kemenyan) yang dimiliki secara turun temurun hingga sekarang sudah ada 13-16 generasi. Warga Desa Pandumaan-Sipituhuta mempunyai prinsip hidup yang mereka milik yaitu hutan kemenyan merupakan sebagai penunjuk kehidupan dan harga diri dan rela mati untuk memperjuangkan hak dan sumber utama kehidupan. Tetapi perjuangan masyarakat dengan perusahaan akan lebih mudah dikendalikan dengan putusan-putusan dalam Hukum adat di undang-undang pokok agraria 1960.

Ketimpangan struktural merupakan ciri khas Negara yang karakternya adalah negara agraris dimana penopang kehidupan sepenuhnya pada sektor agraria dan negara tersebut dalam sistem dunia dikategorikan sebagai Negara pembangunan

ekonomi yang berkembang. Produksi masyarakat yang meliputi keterlibatan kerja dan pembagian hasil kerja maupun hasil panen disetiap pekerjaan produksi pertanian, lebih dikenal dengan nama negara semi jajahan dan semi feodal.

Faktor terjadinya ketimpangan struktural tidak bisa dipandang temporal, melainkan kita harus dipandang dari segi-segi yang mempengaruhinya dan juga harus dikaji dari sejarah yang telah melandasi dan telah menciptakan hal itu ada. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan seperti :

(1) Adanya perubahan struktur politik (2) Perubahan orientasi politik

(3) Perubahan kebijakan ekonomi

(4) Perubahan orientasi kehidupan untuk apa manusia hidup dan harus berbuat selama hidup, hidup damai atau hidup dengan berbagai macam masalah

(5) Faktor lainnya yang mempengaruhi hal itu seperti budaya yang meliputi pendidikan, karakter dan lain lain

Konflik agraria sekarang menjadi meluas karena Pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, salah satunya dengan membuka lahan eucalyptus baik di atas tanah-tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah ulayat mereka, maupun dengan mengkonversi hutan. Di tengah sistem hukum yang mengindahkan keberadaaan klaim-klaim masyarakat atas sistem penguasaan lahan masyarakat, Pemerintah melalui aparatur penegak hukum dan bersenjatanya menopang kekuasaan perusahaan-perusahaan pemegang bukti formal meski terkadang diperoleh dengan mekanisme yang koruptif. Ini tampak kuat terjadi pada semua sektor konflik.

Negara, tak hanya memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk mengambil- alih tanah masyarakat, tetapi juga membangun mesin pencari keuntungan sendiri

melalui PT. TPL. Alhasil, perusahaanlah yang menjadi aktor utama yang berkonflik dengan masyarakat. Modus yang digunakan oleh perusahaan untuk membungkam masyarakat yang memprotes perampasan lahan itu adalah dengan menggunakan aparat hukum seperti polisi (Brimob) dan TNI. Mereka juga menggunakan centeng atau preman bayaran.

Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahan yang berupa konsepsi, azas-azas dan lembaga-lembaga hukum, untuk dirumuskan menjadi norma yang tertulis. Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional yang dimaksudkan dalam konsiderans UUPA. Ketentuan hukum adat itu sebagai hukum yang melindungi lahan masyarakat perlindungan hak ulayat masyarakat. Maka pembatasan lahan ulayat menentukan tujuan penggunaan yang berdasarkan hasil turun-temurun dan geanologis.

Melalui kekuatan yang dimiliki dengan SK Kemenhut No. 493/Kpts-II/92 tanggal 1 juni 1992 untuk mendirikan perusahaan bubur kertas yaitu dengan nama Indorayoon hutan eucalyptus atas tanah dan hutan yang disewakan selama 45 tahun, melihat dari kekuasaan yang dimiliki perusahaan bisa melakukan konsesi seluas 250 ribu Ha pada sektor Tele hingga ke Humbang Hasundutan Kecamatan Pollung. PT. TPL berdiri dengan cara tertib administrasi semakin mengukuhkan bahwa tidak ada yang salah pada proses penyelenggaraan hutan eucalyptus yang dimiliki perusahaan pembuatan kertas. Proses pemilihan tempat yang digunakan PT. Toba Pulp Lestari telah melakukan observasi kelayakan tempat.

Dalam hukum adat juga melihat peranan dalam kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat, ini termasuk dalam ketentuan hukum adat. Kerangka dalam hukum adat, hak ulayat dikenal dengan kepemilikan pribadi. Wewenang lebih dalam mengetahui soal tanah yaitu tepat pada negara, sebagaimana dalam proses tidak dibenarkan masyarakat mempertahankan tanah ulayat dengan mutlak untuk dikelola secara pribadi dalam pasal 6 ayat keempat dari undang-undang pokok agraria 1960.

Kepentingan masyarakat dengan perusahaan haruslah mengimbangi hingga tercipta tujuan pokok masyarakat yaitu kemakmuran, keeadilan dan kebahagiaan bagi rakyat. Hukum adat yang berlaku, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun.

Teori ini lebih menekankan bahwa timbulnya konflik agaria akibat adanya pertentangan pemberlakukan dua hukum yaitu, hukum negara satu sisi dan hukum adat pada sisi lainya. Sebagai contoh pada kasus-kasus tertentu adanya konflik- konflik lahan dan SDA yang melibatkan masyarakat adat dan negara. Negara dalam kapasitas sebagai pemegang dan pembuat berbagai kebijakan/hukum. Pendapat ini juga diperkuat oleh teori kebijakan. Teori ini juga sering menjadi acuan untuk melakukan identifikasi terhadap penyebab-penyebab munculnya konflik agraria. Menurut teori ini, bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tertentu dari negara. Seperti kebijakan pembangunan masyarakat yang adil dan makmur, ternyata bahkan sebaliknya.

Pada sisi lainnya terhadap mereka/masyarakat yang telah terusir dari tanahnya, tidak menerima ketidakadilan akibat kebijakan tersebut kemudian mendorong mereka bersama-sama melakukan perlawanan, sehingga konflikpun bermunculan. Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan petani yang mempertahankan hak-haknya dari segala bentuk penguasaan sewenang-wenang dari perusahaan-perusahaan pemilik modal yang berselimut di balik perlindungan negara dengan konsesi. Dalam menangani konflik ini pihak PT. TPL mengatakan sudah melakukan yang terbaik, seperti yang diungkapkan Bapak Simon Sidabukke:

“bentuk usaha yang dilakukan pihak PT. TPL sudah dilakukan dengan menyikapi dengan arif dan bijaksana berdasarkan klaim masyarakat, tentunya hal ini juga bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, departemen kehutanan dan pemerintah provinsi. Terhadap konflik yang terjadi, PT. TPL mensinkronkan kepentingan masyarakat, kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah bagaimana ini berjalan dengan balance agar tidak ada pihak yang dirugikan dan katakanlah tidak ada pihak yang diuntungkan. Perusahaan juga berperan aktif bagaimana langkah perusahaan untuk

pendekatan kepada masyarakat, pemerintah kabupaten dan pusat. Pada saat ini arahan dari dirjen bina usaha kehutan kalau perusahaan bermitra dengan masyarakat.”47

Tawaran bermitra PT. TPL dengan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalah daerah tapal batas. Karena hal itu, sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dalam bermitra, yaitu pihak dari masyarakat Desa Pandumaa-Sipituhuta sebagai objek mitra untuk melakukan kembali penanaman 7000 bibit kemenyan. Tawaran bermitra tersebut disampaikan di Jakarta bulan Agustus 2013, hal itu ditolak oleh perwakilan warga. Tuntutan masyarakat tetap bahwa konsesi PT. TPL yang sudah merusak hutan kemenyan masyarakat harus dikeluarkan dari areal konsesi PT. TPL.

Berikut hasil dari wawancara yang peneliti lakukan kepada Tokoh Adat dari Desa Pandumaan-Sipituhuta Bapak Haposan J. Sinambela yang mengatakan bahwa :

“cara yang dilakukan oleh pihak PT.TPL untuk penyelesaian masalah dengan masyarakat adalah dengan bermitra, dimana masyarakat sebagai objek mitra dari PT. TPL dan PT. TPL sebagai guru yang memitra. Akantetapi, masyarakat tetap menolak dengan alasan itu karena itu dirasa masyarakat hanya membodoh-bodohi dan menipu masyarakat. Karena program dari bermitra yang diusulkan PT. TPL oleh masyarakat hanya merugikan masyarakat, yang ujung-ujungnya juga terus merambah hutan kemenyan. ”48

Cara yang ditawarkan oleh PT. TPL melalui Dirjen Kehutanan di Jakarta pada bulan Agustus 2013 merupakan langkah yang ditawarkan, akan tetapi ditolak oleh masyarakat dengan alasan mitra yang ditawarkan adalah warga didampingi oleh PT. TPL untuk melakukan penanaman dan pengelolaan kemenyan. Hal ini masyarakat jauh memahami soal penanaman dan pengelolaan, usaha yang ditawarkan juga memberatkan masyarakat. Masyarakat yang didampingi oleh pihak KSPPM menyatakan ada beberapa hal peran serta masyarakat sekitar hutan sangat diperlukan dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan. Mengusulkan putusan Mahkamah       

47

Wawancara dengan Bapak Sidabukke, manager 4L PT. Toba Pulp Lestari di Porsea. 7 Januari 2014 

48

Konstitusi NO.35/PUU/X/2012 yang menyebutkan hutan adat bukan lagi hutan negara. Peran dalam tahap perencanaan pengelolaan hutan dan pemanfaatan kawasan hutan akan berdiri sampai dengan berproduksi harus mampu melihat fungsi hutan sebelum beroperasi.

Berikut tanggapan PT. TPL terhadap perencanaan pengelolaaan hutan di Humbang Hasundutan, melalui Bapak Simon Sidabukke:

“Sejak berdirinya PT. Indorayon dengan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 yang berganti nama PT. Toba Pulp Lestari. Sebelum mendapatkan ijin PT. TPL sudah melakukan survey terlebih dahulu ke kabupaten-kabupaten yang berpotensi sebagai penyuplai bahan baku. Sebenarnya PT. TPL tidak melihat adanya konflik pada waktu meminta izin pada kementrian kehutanan dari hasil rekomendasi dari Bupati Taput sebelum adanya pemekaran. Pada prinsipnya semua perizinan dan rekomendasi didukung”49

Tinjauan PT. TPL melakukan survey pada tahun 1990an untuk melihat potensi sumber daya alam yang digunakan, pada dasarnya beranggapan tanah di Indonesia khususnya di Sumatera Utara adalah hutan Negara atau hutan register. Pada zaman Belanda sudah ada penempatan tanah yang menjadi milik negara dan masyarakat. Permasalahan pemilikan hutan menurut saudari Suryati Simajuntak untuk memperjelas tujuannya, bahwa SK Menhut No 44 tahun 2005 belum diketahui oleh masyarakat dan PT. TPL tidak melakukan sosialisasi terhadap pembangunan hutan eucalyptus selama 45 tahun. Apabila adanya pemberitahuan kepada masyarakat dan jelasnya batas-batas hutan eucalyptus PT. TPL konflik mungkin bisa dicegah.

Setelah kehadiran PT. TPL di Humbang Hasundutan banyak bentuk kegiatan yang berujung pada kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat dan pihak aparat. Perjuangan akan menempuh penyelesaian yang dijalankan lebih banyak menggunakan non-litigasi seperti ajakan bermitra dan pemetaan ulang. Akan tetapi masyarakat dan KSPPM melihat perjuangan seperti itu akan menjadikan masyarakat       

49

akan menjadi membuat masyarakat terpojok. Bukti masyarakat memperjuangkan lahan adat dari pembabatan yang dilakukan PT. TPL adalah telah membuat GPS untuk memantau aktifitas kegiatan yang dilakukan perusahaan.

Jelas pembuatan GPS untuk melihat aktifitas dari PT. TPL juga memantau batas hutan kemenyan dilakukan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan perjuangan mempertahanakan lahan adat, terlihat kurang besar perhatian dari pemerintah setempat untuk memberi penjelasan lahan yang seharusnya menjadi milik Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk memenuhi substansi kehidupan dasar masyarakat. Adanya tuntutan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta sebagai warga Negara seharusnya Negara mampu mendahulukan kepentingan hidup layak, hak atas pekerjaan dan hak untuk perlindungan lahan adat yang dimiliki. Seperti yang diungkapkan Sekretaris Eksekutif KSPPM Suryati Simajuntak:

“hasilnya juga menurut pemerintah belum sah dengan berbagai dalih. Dalam kasus ini pernah dibentuk Tim Pansus DPRD Humbang Hasundutan untuk penyelesaian kasus Pandumaan-Sipituhuta. Bersama-sama tim ini juga talah melakukan pemetaan dengan menggunakan GPS, nah ini juga menjadi persoalan karena ini merupakan peluang karena bersamaan dengan revisi pengajuan tata ruang kabupaten. Nah, DPRD melihat posisi ini akan membaik bila bersama-sama dengan desa-desa yang lain yang mempunyai lahan adat dan kemenyan yang diklaim sebagai hutan Negara dan masuk konsesi PT. TPL. Karena di Kecamatan Pollung ada 13 desa, dari desa ini dipetakan dan ini yang diminta oleh tim Pansus DPRD untuk ditanda tangani Bupati untuk bersama-sama diajukan kepada Kementrian Kehutanan supaya areal tersebut bisa di keluarkan dari hutan Negara.dan konsesi TPL. Tetapi waktu itu Bupati tidak bersedia menandatangi berita acara dari hasil pemetaan tersebut, karena terus didesak oleh warga maka pemerintah DPR Kabupaten mengirimkan berita acara tersebut yang tidak ditanda tangani Bupati tersebut dan keputusan DPRD melalui Tim Pansus kepada Kementrian Kehutanan. Nah, hingga sekarangpun belum ada hasilnya karena tidak ada respon. Saya pikir memang persoalan ini sepanjang pemerintah kabupaten atau pusat tidak menduduk

persoalan dengan jernih dan tidak mengakui lahan adat masyarak Adat Pandumaan-Sipituhuta”50

PT. TPL sebenarnya juga tidak mau melakukan cara-cara pengadilan karena masalah ini seperti halnya akan terjadi karena memandang Sumatera Utara yang luas secara geografis. Cara penyelesaian yang mulai dilakukan dengan melakukan pemetaan ulang dan bermitra, tetapi dengan kuatnya komitmen masyarakat membuat perusahaan bingung untuk memutuskan dan memenuhi tuntutan masyarakat. Bersama-sama dengan pemerintah juga telah diwadahi dengan adanya tim pansus yang harapannya mampu menengahi sebagai mediator dalam permasalahan konflik. Peraturan ini hanya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut oleh pemerintah daerah masing-masing dimana masih terdapat masyarakat hukum adat.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas tanah berdasar hukum adat dibatasi oleh beberapa hal:

1. hak atas tanah adat masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang- undang;

2. eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat menjadi dasar penentuan pengakuan terhadap hak tanah adat.

Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin dalam kebijakan pertambangan, kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan kebijakan pemerih pusat atau pemerintah daerah yang lebih memihak kepentingan pemodal.

      

50

Sehubungan dengan itu, dapat analisa bahwa berbagai peraturan perundang- undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik dan sengketa. Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap di areal hutan kemenyan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap di areal perkebunan.Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yang memberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak ulayat.Peristiwa ini menimbulkan interaksi tertentu di antara berbagai unsur sistem hukum yang ada.

Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah merupakan hak ulayat mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakini norma-norma positif yang berasal dari hukum Barat. Interaksi dalam sistem hukum mengarah kepada konflik yang terus menerus tanpa dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan.

Penanganan konflik agraria oleh Pemerintah juga cenderung represif, sehingga alih-alih membuat konflik selesai, Pemerintah dan aparat penegak hukumnya bersama-sama perusahaan, justru melakukan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak sipil politik ketika melakukan penanganan terhadap masyarakat yang menuntut hak atas tanah. Pelaku pelanggaran HAM juga meluas, tak hanya negara, aparatusnya, dan perusahaan, tetapi juga para individu yang menjadi pemimpin-pemimpin kampung.

Dalam kerangka menjalankan amanat TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam terdapat point yang peneliti temukan untuk menjadikan permasalahan tapal batas bisa diterima oleh kedua oknum yang terlibat. Konflik-konflik agraria tersebut akan terpelihara selama Pemerintah tidak melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, moratorium atas semua perijinan untuk perusahaan-perusahaan dibidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan.

Ketiga, membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria yang

bertugas mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria yang terjadi, case by case, dan memberikan rekomendasinya kepada pemerintah.Keempat, dari rekomendasi lembaga tersebut, pemerintah melakukan tindakan tegas berupa pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan tersebut, dan menindak secara pidana terhadap perusahaan maupun aparat pemerintah yang melakukan perampasan tanah rakyat, kelima, melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih di bidang sumber daya alam dan semua perizinan yang dikeluarkan di bidang sumber daya alam, dan keenam, mengembalikan tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat sebagai pemiliknya.

Dari pemaparan diatas sudah bisa sebagai cara penyelesaian untuk konflik yang berujung pada konflik horizontal anatara masyarakat dengan perusahaan Perundangan-undangan yang tumpang tindih ketika memang harus diperuntukkan untuk rakyat seakan dipersulit dan hanya perusahaan seolah-olah yang diuntamakan oleh sang tuan tanah (negara). Apabila negara mampu secara tegas untuk mereview hasil hak guna usaha pada tanaman monokultur yaitu eucalyptus, hal ini mampu menjawab permasalahan juga membuktikan peran pemerintah memang sangat penting pada proses legalitas antara pemerintah kabupaten dengan pusat untuk menyatukkan akar permasalahan tanpa adanya campur tangan perusahaan. Perusahaan juga yang mampu menyewa penjaga keamanan untuk melarang kegiatan

masyarakat yang menghambat kegiatan penanaman pohon eucalyptus dan ini memicu konflik karena sering kali terjadi kekerasan yang terjadi karena rakyat yang melawan untuk mempertahankan kepemilikan atas tanah ulayat.

Proses penyelesaian cenderung lebih berpihak kepada perusahaan yang peneliti dapatkan dari lapangan dan juga dari pemaparan masyarakat. Hal ini diidentifikasi dari beberapa cara kegiatan untuk bermitra antara masyarakat perusahaan yang dirasa akan tetap menimbulkan permasalahan karena masyarakat akan jadi objek hal ini akan merugikan masyarakat. Penyelesaian dari permasalahan ini yang ditawarkan dari konflik pertanahan untuk pengitungan luas lahan masyarakat dalam bentuk pemetaan sudah ditolak dan begitu juga pemetaan dari perusahaan. Tindakan akhir yang diperjuangkan oleh masyarakat yaitu dari putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan tanah adat untuk dikelola, akantetapi akan terlebih dahulu harus dijadikan dengan aturan perda. Hal ini bersambut dari pernyataan perusahaan Toba Pulp Lestari Tbk untuk menarik dan menghentikan kegiatan penanaman apabila memang disahkan peraturan daerah perlindungan hak-hak masyarakat adat.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Penyelesaian sengketa tanah ulayat yang digunakan oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta adalah penyelesaian sengketa secara alternatif dengan sebutannon-litigasi. Cara ini dipilih dengan alasan masyarakat sudah tidak percaya hukum yang cenderung akann membela perusahaan, juga karena terkait dengan keadaan ekonomi masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Daerah Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan yang nilai jualnya begitu besar tetapi dialihkan menjadi hutan eucalyptus. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan pada proses penyelesaian tapal batas hutan kemenyan masyarakat. Untuk memberikan penjelasan atas penarikan kesimpulan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipaparkan sebagai hasil analisis yaitu:

1. Pada awal terjadi konflik ini ketika ada SK Kementrian Kehutanan No: