• Tidak ada hasil yang ditemukan

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) SIPITUHUTA

3.1 Sejarah Kepemilikan Hutan Kemenyan Masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta

Menelusuri tarombo (silsilah) yang diwariskan dari generasi ke gernerasi, tidak begitu sulit bagi komunitas masyarakat adat Batak, demikian halnya bagi masyarakat adat desa Pandumaan-Sipituhuta. Mereka masih menggunakan hukum adat dalam mengatur pola hubungan mereka sehari-hari dalam pengelolaan tanah dan

tombak (hutan) seperti hutan kemenyan. Sehingga silsilah juga masih mereka pahami

baik oleh orang tua maupun yang masih muda.

Catatan sejarah yang diungkap, baik yang ada secara literatur maupun sejarah lisan yang diceritakan oleh generasi-generasi keturunan Toga Marbun, yakni Lumban Batu, Banjar Nahor dan Lumban Gaol. Mereka meninggalkan Dolok Imun menuju Bakkara. Dari Bakkara mereka menuju ke dataran tinggi Humbang yang kemudian sering disebut Tano Marbun (Tanah Marbun).38 Pengelolaan hutan kemenyan yang didirikan oleh Toga Marbun sudah dilakukan pada abad ke-9, karena kemenyan memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk diperjual-belikan.39

Ketiga anak Toga Marbun ini mengadakan pertemuan disatu daerah untuk melakukan marpollung (berdialog dan berdoa). Disana mereka menanam tiga hau (kayu) yaitu kayu milik Lumban Batu, kayu milik Banjar Nahor dan kayu milik Lumban Gaol. Pohon ituterus tambah besar dan luas masih ada sampai sana. Batas       

38

Tim Advokasi KSPPM Sejarah Kepemilikan Tombak Hamijon Masyarakat Adat Desa Pandumaan

Dan Sipituhuta,Kecamatan Pollung, Kabuppaten Humbang Hasundutan. Parapat. 2013.hal 1 39 Ketut Wiradnyana dan Lucas P. Situs dab Budaya Masyarakat Batak Toba di Pollung Humbang

Hasundutan,Prov.Sumatera Utara. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Arkeologi Nasional. Jakarta. 2013.hal 25 

wilayah bagi kayu mereka sangat jelas dengan batas yang digunakan yang sudah disepakati maka wilayah itu akan dikelola secara turun-temurun.40 Tempat kemenyan yang sangat luas hingga 4100 ha yang sudah dimiliki 13-16 generasi keturunan dari Toga Marbun, yaitu yang berpencar keseluruh Tanah Marbun seperti desa Aek Nauli, Huta Julu, Pancur Batu, Huta Paung, Pandumaan dan Sipituhuta.

Hutan kemenyan “tombak hamijon” ini mereka kelola bukan tanpa kerja keras dan atas doa dari leluhur mereka. Ada kisah dibalik semerbak kemenyan yang kini dimiliki oleh warga Pandumaan-Sipitihuta. Kisah ini mereka ceritakan kepada setiap keturunan mereka, sehingga setiap generasi yang mewarisi tombak hamijon tersebut tetap menhargai setia tetesan getah kemenyan. Sistem batas yang digunakan pada masa itu dengan sistem bius (kedaulatan rakyat) berada ditangan si tuan na torop (warga laki-laki/penggarap/kepala keluarga) yang selalu diundang bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh keturunan Toga Marbun tentang persoalan-persoalan menyangkut seluruh kedaulatan rakyat, termasuk hak warga yang berkaitan dengan pewarisan tanah.

Pewarisan tanah di waktu bersamaan masuk marga Nainggolan, Pandiangan dan Raja Oloan (Sinambela, Sihite dan Manullang) ketujuh marga di atas yang merupakan pendatang pertama untuk manombang-mamungka huta (membuka perkampungan) ke Pandumaan-Sipituhuta dan dipersunting untuk dijadikan marga boru dari Lumban Gaol dan Lumban Batu, marga ini juga mendapatkan warisan dikarenakan hubungan kekeluargaan yang diperstukan oleh pernikahan.

Mengingat kepemilikan tanah seperti tersebut maka akkan mempengaruhi sistem mata pencaharian hidup. Lahan pertanian akan selalu dikelola oleh kerabat sehingga sistem pencaharian hidup akan terus berlangsung dari masa ke masa. Begitu juga dengan sistem pengelolaan lahan kemenyan juga berlaku sama yaitu dikelola secara turun temurun. Oleh karena itu, pengalihan tanah kepada kerabat menjadikan sistem mata pencaharian hidup berlangsung secara terus menerus hingga saat ini.       

40

Pengelolaan lahan kemenyan itu merupakan kelanjutan dari sistem mata encahrian hidup masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang sejak dari awal merupakan pengumpul hasil hutan yaitu kemenyan. Pohon kemenyan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan sebagai penyeimbang lingkungan di sekitar hutan, karena mereka tidak akan menebang hutan tetapi membiarkan tumbang secar sendirinya itu sudah dipercaya membawa arti dan sebagai petunjuk hidup.

Sebagai masyarakat adat, masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta menggunakan hukum adat dalam mengatur pengelolaan tanah adat dan tombak, menyangkut kepemilikan dan perlaihan hak atas tanah. Tanah dimiliki secara kolektif di samping untuk kegiatan pengelolaan oleh masyarakat, penguasaan tanah oleh masyarakat tidak boleh dijual atau dialihkan kepemilikannya karena ini diperuntukkan untuk keturunan mereka. Kalaupun ada marga kerabat maupun tidak tetapi memiliki geneologis makan dapat memiliki tanah, namun sifatnya hanya pengelolaan dengan melakukan persembahan seekor kuda. Melihat sistem kepemilikan tanah seperti tersebut maka akan mempengaruhi sistem mata pencaharian hidup karena lahan akan selalu dikelola dan terus berlangsung.

Adanya sistem kepemilikan merupakan tradisi yang digunakan untuk mengetahui bahwa sistem tersebut memang sudah terjadi puluhan tahun, baik secara adat maupun budaya, kepemilikan yang seperti ini memang juga menguatkan pernyataan masyarkat akan kepemilikan lahan adat. Dengan batas-batas yang diciptakan dengan menggunakan marga pada masyarakat adatyang mendiami lahan kemenyan.

Melihat hasil deskripsi dari profil lokasi penelitian yang telah peneliti uraikan bahwa Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan daerah tertinggal bila dilihat dari segi ekonomi dan pendidikan, masih minimnya pendapatan juga usaha yang dijalankan masyarakat membuat tingkat kemiskinan yang terjadi menghambat desa ini maju, meskipun masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta bermata pencaharian utama sebagai petani dan kemenyan, tetapi masih banyak juga yang belum mampu

mencukupi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga sektor pendidikan yang ada masih kurang berperan serta terhadap perkembangan sumber daya manusia terhadap potensi yang ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta.

Pemaparan diatas menjadi alasan utama perjuangan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk mempertahankan lahan adat yang mereka miliki sejak turun temurun dari pembabatan pihak PT. Toba Pulp Lestari. Pada bab selanjutnya peneliti akan uraikan lebih jelas tentang konflik yang terjadi di Desa Pandumaan- Sipituhuta dan melihat pelanggaran terhadap pembabatan lahan kemenyan dan solusi yang dijalankan hingga sekarang.

Secara adat sistem kepemilikan tabah dan pengelolaan tanah masih berlangsung dari sejak awal hingga sekarang. Bahwa Tombak Haminjon merupakan bagian dari sistem mata pencaharian hidup dan kepemilikannya masih bersifat pengelolaan kekeluargaan, yang merupakan bentuk hukum adat kepemilikan adat masyarakat Batak Toba.

Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomi serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi kebijakan pembangunan pertanahan haruslah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan nasional dalam perkembangan sebuah Negara di daerahnnya. Permasalahan tanah menjadi semakin kompleks disatu sisi kompleksitas masalah tanh terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah.