• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Cara Penyelesaian Masalah Tapal Batas yang Dilakukan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk.

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) SIPITUHUTA

3.4 Analisis Cara Penyelesaian Masalah Tapal Batas yang Dilakukan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk.

Konflik yang terjadi sejak dari 2009 hingga sekarang di Desa Pandumaan- Sipituhuta peneliti menjelaskan dengan menganalisis dari teori konflik dan teori kebijakan mengenai faktor penyelesaian sengketa tanah masyarakat yang berujung tidak jelasnya tata batas antara masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta. Peneliti mencari sasaran penyelesaian konflik tapal batas hutan kemenyan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan melihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan masyarakat terhadap yang membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk menganalisis cara penyelesaian dan untuk melakukan negoisasi berdasarkan kepentingan-kepentingan dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. TPL. Pada posisi yang tertekan masyarakat untuk mengadakan aksi demonstrasi, musyawarah hingga kekerasan yang sudah dijalankan. Namun pada satu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersamadi dalam proses penyelesaian tapal batas.

Konflik selalu ada negoisasi-negoisasi yang dilakukan sehingga tercipta konsesus. Menurut teori konflik masyarakat disatukan dengan paksaan dengan artian, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan.Oleh karena, teori konflik lekat dengan dominasi, koersi dan kekuatan. Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan dimana pihak yang berkonflik yaitu masyarakat dengan perusahaan terjadi dengan adanya kepemilikan secara keturunan terhadap lahan adat masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan perjuangan yang dilakukan dengan bermacam usaha untuk memperjuangkan melalui bantuan dari banyak kalangan dan usaha yang dilakukan dengan cara nonlitigasi yang cenderung dipilih oleh masyarakat. Bahwa dari pandangan tersebut, peneliti melihat dari penjabaran yang disampaikan masyarakat memang yang menguasai (dominasi) atas lahan adat mereka, pemerintah yang kurang berpartisipasi keberlangsungan hidup petani kemenyan di Desa pandumaan Sipituhuta.

Dasar kekuatan pada masyarakat adalah rasa persatuan untuk bertahan dalam menangani konflik dan rasa kekeluargaan yang mempunyai tujuan untuk rasa keadilan terhadap peristiwa yang terjadi, agar masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta mampu menyelesaikan masalah dengan mempertahankan hutan kemenyan dan terpenuhinya hak-hak masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang ada didapat. Dalam teori konflik, kekuatan pada masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta kekuatan pada budaya batak yang turun-temurun atas hak keturanan dari nenek moyang mereka yang juga telah diperkuat oleh pernyataan Dinas Arkeologi Medan.

Perjuangan yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan hutan kemenyan yang telah ada secara turun-temurun dan telah lama ditanam oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dari penebangan yang dilakukan oleh PT. Toba pulp lestari yaitu dengan meminta dan mendesak kementrian sebagai pihak yang mengeluarkan undang-undang ini untuk meninjau ulang, mencabut dan memberhentikan.

Upaya yang dilakukan warga pertama kali pada Selasa 23 Juni 2009, dua Desa Pandumaan-Sipituhuta mengetahui setelah adanya berita bahwa hutan kemenyan warga sudah dirambah atau ditebang PT. TPL sehingga secara spontan warga dua desa berangkat ke hutan kemenyan untuk menghentikan penebangan yang dilakukan pekerja PT. TPL dan mengambil sinsaw sebanyak 14 unit.42Konflik yang sudah terjadi sejak tahun 2009 telah lama membuat masyarakat ingin menyelesaikan masalah pertanahan yang ada di dua (2) desa ini alami yang mengikat itu masyarakat. Masalah yang dihadapi dari tahun 2009 selain dengan PT. Toba Pulp Lestari, masyarakat juga berhadapan dengan pihak kepolisian yang menangkap 16 warga desa Pandumaan-Sipituhuta. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Desa Pandumaan dalam wawancara, sebagai berikut:

“Aksi warga pertama kali pada tanggal 23 Juni 2009 mengetahui lahan kemenyan milik dua warga yang dirambah oleh PT. TPL dengan spontan berangkat ke hutan kemenyan. Setiba disana, masyarakat berdiskusi dan menanyakan baik-baik kepada pekerja TPL untuk mengentikan penebangan. Selanjutnya warga meminta sinsaw (gergaji mesin) supaya tidak lagi menebangi karena lahan ini milik warga dan gergaji mesin tersebut dibawa ke desa. Selanjutnya para pekerja melaporkan kepada pimpinan PT. TPL dan menjemputnya ke desa. Selanjutnya mereka berikan dengan surat tanda terima kepada pekerja dan humas PT. TPL dan ditandatangani, warga juga meminta untuk meninggalkan areal tersebut, jangan sampai warga marah dan terjadi hal yang tidak diinginkan. Warga akhirnya membawa sinsaw pekerja TPL ke desa.”

Analisis yang peneliti dapat dari lapangan pandangan terhadap perbedaan cara dalam mengambil sikap dari masyarakat itulahyang akhirnya akan menimbulkan konflik dan tahapan-tahapan penyelesaian yang hingga saat ini masih terjadi dan belum terselesaikan, antara masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dan PT. TPL. Bentuk reaktif dari masyarakat Pertumbuhan penduduk juga mempengaruhi kehidupan masyarakat adat sekitar hutan yang selama ini sangat mengandalkan hasil hutan non kayu sebagai produk penyokong ekonomi mereka telah rusak oleh pengelolaan hutan oleh pengusahaanhutan yang telah berlangsung.

      

42

Penyelesaian yang terjadi bersifat kerakyatan yang dijelaskan terbukti pada kamis, 6 Agustus 2009 masyarakat dua Desa melakukan pertemuan MUSPIDA dengan pihak warga Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk membahas yaitu mendata secara kasar siapa saja pemilik hutan kemenyan, mengumpulkan dampak penebangan penebangan yang dilakukan PT. TPL terhadap warga, melihat batas-batas hutan kemenyan dan pembuatan peta lokasi serta terakhir mengetahui keingninan atau tuntutan masyarakat terhadap penyelesaian konflik. Masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta tidak setuju pendataan karena secara adat dimiliki oleh warga Pandumaan dan warga Sipituhuta. Peneliti mendapat pengertian bahwa dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan atas tanda bukti hak sebagai pembuktian yang kuat dengan hukum adat.

Melihat batas–batas hutan kemenyan untuk sebagai bukti kepemilikan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta peneliti mewawancarai Bapak James Sinambela mengenai pembatasan dan pengukuran lahan hutan kemenyan:

“batas-batas lahan yang sudah dilakukan masyarakat dan peta lokasi yang sesuai kami ketahui ialah meliputi hutan alam yang menutupi hutan kemenyan dan kami memasangi dengan GPS, TPL harus keluar dan menghentikan kegiatan dari penebangan hutan kemenyan kami. TPL juga sudah melakukan 2 (dua) kali pengukuran lahan batas hutan produksi, tetapi kami menolak karena pembatasan lahan hutan kemenyan masyarakat memang tidak kena, tetapi mengenai hutan alam yang berdampak padahutan kemenyan. Sebab itu kami menolak hasil pemetaan PT. TPL43”

Dari wawancara peneliti dengan tokoh masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta, yaitu dari 2 (dua) kali pengukuran dan penataan batas yang dilakukan. Hal ini masih merugikan masyarakat dibandingkan pengukuran yang dilakukan masyarakat. Ini disebabkan, hutan kemenyan yang seharusnya ditutupi oleh kayu alam termasuk daerah Produksi PT. TPL, hal ini dapat merusak ekosistem hutan kemenyan karena kayu alam tersebut pelindung hutan kemenyan. Peristiwa yang       

43

dipaparkan oleh peneliti, bahwa petani kemenyan dari warga Desa Pandumaan- Sipituhuta memang mengetahui cara hidup hutan kemenyan.

Pemetaan yang dipermasalahkan masyarakat dari pemetaan dari PT. TPL adalah peletakan batas yang masih mengenai garis awal hutan alam, masyarakat menyatakan tidak sah dan menunda dahulu. Surat tentang warga untuk menghentikan dan pelarangan aktifitas warga harus ada perizinan dari rekomendasi dari Bupati dan Dinas Kehutan Kabupaten Humbang Hasundutan. Tetapi hal tersebut susah terjadi dikarenakan hal tersebut yang hanya mempersulit masyarakat dan membebani masyarakat. Rumitnya birokrasi peradilan untuk kasus-kasus konflik yang berawal pada permasalahan lingkungan. Hal-hal itu akan menyebabkan konflik berlangsung sangat lama atau bahkan tak akan selesai.

Sebelum memperoleh ijin pengusahaan kehutanan atau perkebunan, suatu kewajiban pemerintah dan pengusaha kehutanan melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lainnya yang hidup dalam maupun di sekitar areal konsesi. Kearifan budaya dan adat masyarakat tersebut bisa dilihat dari pola-pola mereka dalam masalah kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Adanya persepsi yang keliru tentang pola penyelesaian konflik oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, sulitnya proses pembuktian yang disebabkan kompleksitas factor penyebab konflik itu, masyarakat dituntut untuk menyelesaikan konflik bersama PT. TPL.

Pada tanggal 26 Febrari 2013 ratusan warga berangkat ke hutan kemenyan untuk melarang aktifitas penebangan hutan kemenyan warga dan ketika warga menahan 20 pekerja dan melepas kembali setelah dinyatakan tidak mengulangi kegiatannya. Namun warga sangat marah melihat tanah adat mereka yang sudah habis dirampas oleh PT TPL serta truk pengangkut bibit dan pupuk akhirnya di bakar oleh massa.

Pukul 12.00 siang rombongan polisi lengkap dengan seragam dan peralatan tiba di tempat, mereka datang dari dua arah yaitu dari arah kantor Camat Pollung dan

arah Kota Doloksanggul. Sehingga warga berada diposisi terjepit, awalnya warga mengira bahwa polisi hanya datang dari arah Doloksanggul sehingga mereka tertuju ke arah tersebut untuk mendengar himbauan polisi yang menyuruh mereka mundur dan meninggalkan tempat karena dianggap mengganggu pengguna (3) mobil patroli polisi datang ke desa untuk melakukan penyisiran di rumah-rumah yang dianggap sebagai pengurus dan pimpinan dari warga desa.

Diketahui informasi bahwa polisi telah menangkap 16 warga dan membawa ke Polres. Kepala Desa, lima warga dan pihak KSPPM yang diwakili oleh Delima Silalahi berangkat ke Polres untuk melihat 16 warga yang ditahan. Mereka menjalani pemeriksaan tanpa didampingi pengacara sampai pukul 00.45 WIB (26 Pebruari 2013).

Adapun ke – 16 warga tersebut adalah:

1. Tohom lumban batu, 30 tahun, Petani, Desa Pandumaan Banjar Lumban Batu 2. Tumpal Pandiangan, 45 tahun, Petani, Desa Pandumaan Lumban Pandiangan 3. Mampu Lumban Gaol, 32 tahun, Petani, Desa Sipituhuta, Sibuntuon

4. Bilter Lumban Batu, 43 tahun, Petani, Desa Sipituhuta

5. Leo Lumban Batu, 42 tahun, Petani, Desa Sipituhuta, Lumban Dongdong 6. Madilaham Lumban Gaol, 30 tahun, Petani,Desa Pandumaan Sosor Hoting 7. Iriano Lumban Gaol, 31 tahun, Petani, Desa Pandumaan Pea Toruan 8. Ranap Lumban Gaol, 42 tahun, Petani, Desa Sipituhuta

9. Giot Taripar Lumban Gaol, 33 tahun, Petani, Desa Pandumaan Pea Toruan 10.Disamar Lumban Gaol, 32 tahun, Petani, Desa Sipituhuta

11.Gaul Lumban Gaol, 34 tahun, Petani, Desa Pandumaan Panghualan 12.Roy Marbun, 27 tahun, Petani, Desa Sipituhuta Huta Godang

13.Karson poster Pasaribu, 28 tahun, Petani, Desa Sipituhuta Dongdong 14.Janter Lumban Gaol,32 tahun, Petani, Desa Sipituhuta Sibuntuon 15.Jausman Sinambela, 55 tahun, Petani, Desa Sipituhuta, Lumban Pareme 16.Elister Lumban Gaol, 29 tahun, Petani, Desa Pandumaan Simpang Muhalan

Dalam penyelesaian sengketa di Desa Pandumaan-Sipituhuta banyak melalui alternatif ada beberapa tahapan dalamproses penyelesaiannya. Proses penyelesaian sengketa tanah melalui caranon litigasi atau alternatif secara umum di bagi dalam 3 (tiga) proses pada tahap musyawarah daripada lewat hukum yang harus dilalui oleh para pihak yang terlibat. Prosesnya antara lain :

A. Proses pertama adalah persiapan yang mana pada proses ini akan ditentukan siapa yang akan menjadi juru penengah atau mediatornya, mediator atau juru penengah melakukan pemahaman terhadap sengketa yang terjadi, penentuan tempat penyelesaian, waktu, dan pihak-pihak lain yang akan dilibatkan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung musyawarah.

B. Proses kedua adalah pembukaan yang mana dalam proses ini akan diperoleh keterangan-keteranga dari pihak pemohon/penggugat dan pihak termohon/tergugat berkaitan dengan sengketa serta mendengar keterangan dari para saksi-saksi yang berasal dari penggugat atau tergugat.

C. Proses ketiga yaitu penutup yang meliputi penyimpulan pembicaraan, pembuatan surat pernyataan perdamaian, penandatanganan kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa (bila sudah disepakati), saksi dan penutupan musyawarah.

Berdasarkan data yang diketahui peneliti bahwa alternative (non-litigasi) penyelesaian sengketa di Kabupaten Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan- Sipituhuta dalam kenyataannya masih berlangsung dan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi setiap warga masyarakat. Ada berbagai alasan yang mendorong masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta lebih memilih penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui cara non litigasi/alternaif. Oleh karena terdapat banyak kepentingan yang harus diperhatikan dalam musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi dan menghargai kepercayaan yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa kepada mediator atau juru penengah, maka sebelum memulai musyawarah dengan para pihak yang bersengketa juru penengah/mediator harus mempelajari, mengelompokkan dan memahami betul sengketa tanah yang terjadi

sehingga dapat memfokuskan apa yang menjadi sengketanya dan mengetahui faktor – faktor apa yang mendorong sehingga sengketa tanah tersebut muncul.

Penyelesaian sengketa non litigasi/alternatif yang didapat peneliti adalah sebagai berikut dengan Bapak Roganda Simajuntak :

“Penyelesaiaan sengketa secara alternatif lebih dipilih oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta karena penyelesaian dengan cara ini tidak banyak biayanya.Mereka menyadari bahwa tidak mungkinmereka menyelesaikan sengketa tanahnya melalui jalur hukum karenabiayanya yang mahal, sedangkan mereka sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan peternak.”44

Hal lain yang mendorong mereka lebih memilih menggunakan cara alternatif, karena cara ini sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan mereka dimana setiap terjadi sengketa dalam masyarakat akan diselesaikan secara musyawarah di antara mereka. Cara seperti ini telah berlangsung secara turun temurun.Waktu penyelesaian yang relatif singkat juga menjadi alasan yang mendorong peneliti ketahui dan terlebih mengetahui alasan masayarakat memilih penyelesaian secara alternatif. Untuk menyelesaikan satu sengketa biasanya hanya membutuhkan waktu beberapa minggu saja kalau saja adanya koordinasi dari PT. TPL pada saat mendirikan hutan konsesi. Berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan yang membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.

Peneliti melihat dari proses nonlitigasi menjelaskan butuhnya pihak penengah yaitu oknum atau organisasi kemasyrakatan, di dalam teori konflik meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik dan mengusahakan toleransi dan agar masyarakat bisa saling menerima keragaman agar nilai-nilai yang tidak selaras dapat dipecahkan, seperti proses panjang dalam perjalanan penyelesaian telah ada dilakukan,masyarakat melalui kepala desa Pandumaan merasa dirugikan dengan objektivitas dalam menemukan       

44

Wawancara dengan Roganda Simajuntak di Desa Pandumaan yang dilakukan pada 13 September 2013. Di GKPI Pandumaan 

solusi. Interaksi sosial antara masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta telah tercipta jangka waktu yang relatif lama bersama-sama dengan KSPPM.

Adapun harapan yang diinginkan oleh Kepala Desa Pandumaan, dalam wawancara yang dilakukan peneliti yaitu Bapak Budiman Lumban Batu:

“Yang dikehendaki dari masyarakat Pandumaan-Sipituhuta adalah Pemerintah harus menghargai dan mengakui bahwa itu sudah beberapa generasi mengusahai bukan aturan atau hak, bahwa adatkan diakui di Indonesia itulah harapan kami. Bahwa pemerintah itu tetap mengakui karena tanah leluhur itu sudah diusahai bukan milik negara, tetapi itu program pemerintah yang katanya harus mensejahterakan masyarakat, tetapi ntah kenapa mengasih selembar kertas ke perusahaan yang artinya hanya itu cuma modal yang diberikan untuk membabat hutan masyarakat, artinya silsilah tadi dan sejarah masyarakat tidak diakui, harapan saya selaku pemerintah desa kepada pemerintah agar mengakui lahan adat desa ini.”45

Kasus seperti itu padaakhirnya akan membawa masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban dalam masalah pembatasan hutan kemenyan. Hadirnya aktifitas PT. TPL yang merusak ekosistem hutan berdampak pada hutan kemenyan yang dimiliki masyarakat hal ini dikarenakan areal hutan produksi milik PT. TPL yang tak jelas batas wilayahnya hingga lahan adat milik Desa Pandumaan-Sipituhuta kembali dilakukan pembabatan. Oleh karena itu pada tahun 2009 aktifitas PT. TPL diminta untuk berhenti oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta. Penyelesaian konflik atau sengketa pada kondisi masyarakat yang masih sederhana, dimana hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang terjadi diarahkan kepada institusi yang bersifat kerakyatan (folk institutions), karena institusi penyelesaian konflik atau sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga keteraturan dan pengembalian keseimbangan magis dalam

masyarakat.

      

45

 Wawancara dengan Kepala Desa Bapak Budiman Lumban Batu di GKPI Pandumaan, yang dilakukan  12 September 2013 

Gambar 1

      Peta Luas Hutan Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta

  Sumber data diperoleh dari situs resmi 

  (mongabay.comPetaHutanKemenyandanDesapandumaan‐ Sipituhuta.jpg)    keterangan : Peta Hutan Adat Masyarakat PandumaanSipituhuta dengan    PT.Toba Pulp Lestari yang Menjadi Sengketa. 

Pada proses penyelesaian yang berjalan pada masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta dengan KSPPM di penghujung 2013 adalah adanya pembuatan formulasi pembuatan rancangan peraturan daerah hak masyarakat adat. Hal ini masih menjadi kajian terhadap perlindungan hak petani dalam penggunaan lahan yang telah

diusahakan secara turun-temurun.Begitu juga untuk mengurangi potensi konflik pertanahan yang terjadi di daerah Humbang-Hasundutan.

Adanya rancangan peraturan daerah yang diharapkan akan menjadi penyelesaian kepada masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, agar terlihat jelas batas pemisahan lahan adat kemenyan Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari. Hal ini, juga membantu perkembangan nasib lahan adat yang ada di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada saat ini masih diformulasikan untuk menjadi undang-undang yang akan di sahkan oleh DPRD Humbang Hasundutan. Melihat juga dari kejadian yang sudah memakan waktu hampir 5 (lima) tahun dan formulasi terhadap rancangan undang-undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat seperti yang sudah berlaku di Sumatera Barat dan beberapa di Kalimantan. Hingga peneliti melakukan wawancara untuk penyelesaian yang diharapkan akhir permasalahan, yaitu:

“Pada saat ini masyarakat menunggu rancangan undang-undang untuk memberikan pengakuan lahan adat di berikan kepada masyarakat bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah, bersama-sama BAKUMSU dan KSPPM merancang undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hal ini tinggal menunggu rapat persetujuan dari pihak DPRD Humbang Hasundutan. adapun dua (2) kali cara penyelesaian yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan, masyarakat desa Pandumaan- Spituhuta dan PT. TPL dengan penataan tapal batas hutan kemenyan dengan hutan produksi milik PT. TPL tetapi masyarakat menolak hasil penataan tapal batas.”46

Rekomendasi dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mempercepat proses penyelesaian konflik meminta supaya pemerintah kabupaten yang berkepentingan memberikan waktu dalam bebersps hari kedepan dalam membuat rencana peraturan daerah yaitu perlindungan hak-hak masyarakat adat. Berikut dengan jawaban yang harus dipikirkan bersama-sama untuk masalah pengukuran tombak hamijon ( hutan kemenyan ).

      

46

 Wawancara dengan Suryati Simajuntak Sekretaris Eksekutif KSPPM, KSPPM Parapat 12 November  2013 

Didampingi oleh elemen lembaga swadaya masyarakat, untuk mendampingi setiap proses konflik. Kebijakan yang selama ini ada belum mendukung penyelesaian masalah untuk warga. Komitmen dari KSPPM terhadap masyarakat dibangun oleh rasa kepercayaan untuk dapat bertahan pada permasalahan yang dihadapi, peneliti juga menganalisis penyelesaian yang diusahakan oleh pihak KSPPM untuk memperjelas proses penyelesaian masalah, dengan ini peneliti melakukan wawacara kepada Suryati Simanjuntak:

“berdasarkan dari Badan Arkeologi Sumatera Utara bahwa memang benar adanya kehidupan masyarakat lebih dari 150 tahun yang lalu dan itu penelitian awal yang mereka kerjakan dan itu kami akan dikaji jauh lagi. bersama-sama dengan masyarakat diundang Dirjen BUK dari Kementrian Kehutanan untuk membicarakan bagaimana penyelesaian masalah ini, tetapi lagi-lagi memang Kementrian Kehutanan melihat persoalan ini secara sempit, dimana Dirjen BUK Kementrian Kehutanan bermitra dengan PT. TPL dalam hal ini TPL sebagai Pembina dan masyarakat sebagai binaan PT. TPL, padahal kunjungan Dirjen BUK Kehutanan yang pada saat itu langsung terjun kelapangan sudah membuat penyelasaian yang jelas-jelas ditolak oleh masyarakat. Karena masyarakat tidak mungkin bermitra dan PT. TPL sebagai Pembina karena masyarakat yang sudah paham betul tentang mnegelola hutan kemenyan sejak beratus-ratus tahun yang lalu, yang kedua adalah, itu adalah lahan adat mereka dan milik mereka dan bagaimanapun mereka tidak mau menjadi buruh diatas lahan tanah mereka sendiri. Nah, menurut mereka, bersedia bermitra dengan PT. TPL dan suatu saat mereka tidak akan mandiri, bebas dalam menelola hutan kementan mereka dan akan terikat dengan mereka yang diposisikan sebagai Pembina.

Dengan pemahaman dari yang disampaikan saudari Suryati Simajuntak, keberadaan dari sejarahnya hutan kemenyan ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta dan perekonomian yang pernah terjadi 150 tahun yang lalu, begitu juga modal untuk mengangkat masyarakat tetap percaya pada perjuangan konflik ini terselesaikan adalah berjuang. Berangkat dari kemauan perjuangan dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam persoalan penyelesaian konflik maka disini KSPPM berusaha untuk menemukan jalan keluar untuk memastikan adanya kehidupan di hutan kemenyan warga yaitu bekerjasama dengan lembaga Arkeologi Sumatera

Utara, yang menemukan bukti kehidupan pada masa itu. Hal itu bisa jadi dasar penguatan bahwa masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan penerus dari lahan adat. Permasalahannya hadirnya hutan konsesi PT. TPL memang tidak mengkaji asal-usul lahan adat yang akan menjadi hutan eucalyptus.

Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 didalam Pasal 2, mengenai Hak menguasai negara atas tanah telah diuraikanbahwa kewenangan- kewenangan dari negara tersebut adalah berupa:

A. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa