• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Analisis Dampak

Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no.23 tahun 1997 dampak lingkungan hidup didefinisikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan, sementara itu yang dimaksud analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, kedua perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tanpa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya pembangunan. Jadi dampak di sini bisa bersifat negatif dan bisa bersifat positif. Hal ini seperti yang dinyatakan Sorensen et al. (1990) didalam Ismail (2000),

bahwa antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan dapat saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan negatif.

Bengen (2002), memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pantai/pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pantai/pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pantai/pesisir.

Pengukuran dampak dilakukan dengan mempertimbangkan: (1) Jumlah manusia yang akan terkena dampak; (2) Luas wilayah persebaran dampak; (3) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; (4) Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; (5) Sifat kumulatif dampak; dan (6) Dapat kembali dampak negatif (reversible) atau tidak dapat kembalinya dampak negatif (irreversible).

Isu pokok dampak yang diakibatkan pembangunan pantai adalah; (1) Permasalahan penyesuaian penggunaan tanah akibat penataan ruang sepanjang pantai yang telah dibangun. Penyesuaian peruntukan penggunaan tanah beserta intensitas pemanfaatan ruang akan menimbulkan perubahan mendasar terhadap rencana masing-masing kegiatan usaha yang sudah berlangsung, diantaranya rencana pengembangan Pantai Mutiara, perumahan elit dan pusat pariwisata bahari di lokasi hasil reklamasi pantai. Sosialisasi rencana pengembangan pantura Jakarta akan menimbulkan berbagai macam persepsi masyarakat; (2) Perubahan mendasar dinamika kelautan yang potensial menimbulkan perubahan pola abrasi dan sedimentasi. Pembangunan tanggul pantai dari reklamasi selain mengakibatkan perubahan garis pantai juga mengakibatkan perubahan bathimetri dasar laut dan alur pelayaran serta akibat perubahan pola arus dan gelombang; (3) Permasalahan penyediaan dan pengangkutan bahan-bahan reklamasi yang volumenya relatif besar, jangka waktu panjang dan dilaksanakan secara simultan. Pada tahap pra-kontruksi, kegiatan penyediaan bahan akan berkaitan dengan upaya para pemasok untuk mendapatkan proyek tersebut dan pada tahap kontruksi

pengangkutan pasir laut sebagai bahan urug akan menimbulkan gangguan terhadap sirkulasi pelayaran angkutan di perairan pantai dan perairan laut; (4) Perubahan tata air permukaan mendatar yang potensial menimbulkan penambahan daerah-daerah genangan air dan rawan banjir serta menuntut evaluasi dan pengembangan sistem drainase. Daratan yang ada terletak hampir rata dan memiliki elevasi lebih rendah dari permukaan laut serta dengan rencana reklamasi pantai akan mengakibatkan bergesernya muara sungai sehingga rawan terjadi banjir; (5) Permasalahan berkaitan dengan penyediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan tahap kontruksi dan tahap operasi reklamasi pantai. Hingga saat ini PDAM DKI Jakarta hanya mampu memasok ± 50% kebutuhan air bersih masyarakat Jakarta, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tahap kontruksi dan tahap operasi yang sangat besar sumber air tawar tersebut tidak mencukupi; (6) Perubahan mendasar pola tata ruang pemukiman lama oleh kegiatan perbaikan lingkungan dan peremajaan kota yang tidak membawa manfaat bagi masyarakat di lokasi pantai. Kemungkinan tersisihnya masyarakat berpenghasilan rendah harus diantisipasi dalam pembangunan pantura; (7) Perubahan kualitas air permukaan, kualitas air laut yang bersifat mendasar akibat berbagai aktifitas perkotaan pada tahap operasi reklamasi pantai utara. Degradasi lingkungan kawasan pantai akibat pencemaran harus dikendalikan dan diatasi; dan (8) Perubahan pranata sosial dan budaya masyarakat di lingkungan hunian dan sekitarnya. Hubungan dan penyesuaian sistem kepranataan harus diarahkan kepada bentuk yang positif dan serasi.

Saat ini, lebih dari separuh penduduk dunia terkonsentrasi di kawasan pantai hingga sekitar 60 km dari tepi pantai (Yunis, 2001). Berbagai aktivitas dilakukan di kawasan ini, baik jenis kegiatan pemanfaatan sumber daya alam secara langsung maupun kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan berupa pemanfaatan lahan darat dan perairan. Kelompok stakeholder yang tergantung dan menikmati kawasan ini antara lain nelayan, petambak, kalangan pelaku bisnis industri, pariwisata, organisasi pemerintahan dan lain-lain. Intensitas pemanfaatan ruang di kawasan ini menyebabkan lokasi sejenis ini rawan konflik di antara para

stakeholder. Selain itu, kawasan ini merupakan sumber penghasilan sekaligus penerima buangan atau limbah. Jenis limbah utama yang berpengaruh langsung

terhadap kualitas perairan adalah polutan cair yang masuk melalui saluran drainage, kanal dan sungai. Pada akhirnya, polutan tersebut akan tersebar di perairan sesuai dengan kondisi arus air alamiah.

Kondisi di atas terjadi di kawasan pantai Jakarta dimana yang menerima semua konsekuensi dari dinamika pembangunan yang berlangsung di kawasan darat di pantai dan kawasan pedalaman yang lebih jauh dari pantai (Bogor dan sekitarnya). Sudah dapat dipastikan bahwa dinamika pembangunan tersebut tidak lepas dari kebijakan pengelolaan yang diterapkan oleh otoritas wilayah, yaitu Pemerintah DKI Jakarta. Kebijakan pemerintah daerah biasa dijadikan acuan para pelaksana pembangunan, termasuk kelompok masyarakat yang berinisiatif memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu banyak mengandalkan intervensi otoritas. Beberapa konsekuensi tersebut ada yang bersifat positif maupun negatif, tergantung pada perspektif yang dipakai. Konsekuensi positif umumnya adalah dampak yang sesuai dengan harapan sementara konsekuensi negatif adalah dampak yang tidak diharapkan. Konsekuensi tersebut, tidak hanya terhadap kondisi kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan darat, tetapi juga kelompok masyarakat yang memanfaatkan perairan laut di hadapannya.

Contoh kelompok masyarakat pemanfaat laut yang akan terkena dampak negatif akibat degradasi lingkungan perairan, konversi lahan darat, dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlebihan adalah stakeholder

perikanan. Dampak negatif lingkungan perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait dengan konsumsi dan dorongan sosial (social drivers) yang terbangun property right yang berlaku, karakteristik sumberdaya, teknologi yang diterapkan (practices), pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem pantai, aspirasi masyararakat, kelembagaan politik dan sosial, mekanisme pasar, akses terhadap kapital (Noronha et al. 2002). Social drivers tersebut terbangun oleh adanya primary drivers yang mempengaruhi karakteristik demografi dalam wujud jumlah, pertumbuhan, migrasi ekonomi, pembangunan, kebijakan makro dan sektoral, serta interaksi global.

Secara ideal, pembangunan seyogianya sedapat mungkin menghasilkan dampak negatif yang sangat minimum. Pembangunan demikian membutuhkan kebijakan dan strategi pembangunan optimal yang berdampak positif terhadap

keberkelanjutan sehingga kerusakan sumberdaya perikanan dan ekosistem pantai di wilayah pantai dapat diperbaiki karena potensi dapat pulih (renewability) terpelihara. Strategi pembangunan kawasan pantai yang memperhatikan aspek keberlanjutan tersebut dikenal sebagai pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management, ICM). Penerapan strategi ICM ini sejalan dengan kepentingan global sebagaimana yang tertuang dalam: Agenda 21 (1992),

Convention on Biological Diversity (1992), Barbados Action Plan (1994), Global Programme of Action for the Protection of the Marine Environment from Land Based Activities (GPA) (1995), Code of Conduct for Responsible Fishing (1995) serta Plan of Implementation for the World Summit on Sustainable Development

(2002).

Cicin-Sain dan Kench (1998) menjelaskan bahwa pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal management, ICM) bertujuan mengurangi kerentanan wilayah pantai dan masyarakatnya terhadap kerusakan alam, menciptakan kondisi ekosistem pantai yang berkelanjutan, memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang berkelanjutan, dan memperbaiki proses tata kelola (governance). Berdasarkan tujuan tersebut, maka ICM mempunyai fungsi:

(1) Perencanaan penggunaan lahan di wilayah pesisir (area planning), baik daratan maupun daratan didekatnya), baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.

(2) Pengembangan kegiatan ekonomi (economic development promotion) dalam rangka mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perikanan yang tepat.

(3) Perlindungan sumberdaya alam (stewardship of resources) untuk menjaga fungsi ekologis, melestarikan keragaman biologis, dan menjamin keberlanjutan pemanfaatannya.

(4) Penanganan konflik (conflict resolution) untuk menyelaraskan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya saat ini dengan potensinya. (5) Perlindungan keselamatan masuarakat (protection of public safety) yang

tinggal di wilayah pantai.

Keragaan ICM selanjutnya dapat dinilai dalam konteks kemampuan ICM mencapai tujuan di atas dan bagaimana ICM tersebut berfungsi. ICM dapat juga

dilihat sebagai proses tata kelola (governance) dalam kerangka pressure-state-response (PSR). Dalam perspektif ini, ICM merupakan rangkaian respons yang terintegrasi dan terkoordinasi untuk mengelola tekanan aktivitas sumberdaya manusia terhadap sumberdaya pantai (Gambar 3). Selanjutnya, keberhasilan ICM ini dapat dilihat dari indikator seperti kualitas lingkungan, sosial-ekonomi, dan tata kelola (Belfiore et al. 2003).

Gambar 3 Kerangka PSR dan siklus ICM (ICAM, 2003)

Noronha, et al. (2002) mengemukakan suatu pendekatan penelitian dengan menggunakan kerangka analisis sosial dan ekologis terpadu yang disebut Driver-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR) untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem di wilayah pantai. Model pendekatan ini telah sukses diterapkan di beberapa negara. Noronha et al (2002) menggunakan model yang sama di wilayah pantai Goa-India. Secara skematis pendekatan DPSIR sebagaimana yang dapat dilihat pada (Gambar 1).