BAB IV : PANDANGAN THABATHABA’I, EDIP YUKSEL DKK.
D. Analisis dan Komparasi Penafsiran Thabathaba’i dengan
Thabathaba’i dan Yuksel adalah mufassir yang kelahirannya semasa,
namun Thabathaba’i lima puluh tiga tahun lebih awal dari kelahiran Yuksel.
Mereka berdua hidup dalam lingkungan keluarga yang cinta ilmu, ahli bahasa, ahli matematika, teolog dan filusuf. Selain terdapat persamaan tersebut, ada beberapa hal yang membedakan mereka baik dari latar belakang asal kelahiran,
aliran, keilmuannya dan politik pada masanya. Thabathaba’i berasal dari Iran
yang mayoritas beraliran syiah pada zaman itu. Filsafat yang dipelajarinya adalah
filsafat tradisional, materialisme dan komunisme. Thabathaba’i juga menjumpai
peristiwa perpecahan perang Dunia II namun beliau tidak menghiraukan peperangan tersebut dan tetap fokus belajar, mengajar dan menulis tanpa perlawanan.
Berbeda dengan Yuksel yang berasal dari Turki yang mengalami tekanan politik-ideologi negara setempat. Yuksel pernah dijebloskan dipenjara pada usia 26 tahun selama 4 tahun karena mempromosikan artikelnya tentang pembentukan negara Islam Turki, dan bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin. Setelah itu Edip mengalami perubahan paradigma keagamaan dan politik yang dipengaruhi oleh Rashad Khalifa sehingga beliau menjadi penganut Muslim Reformis Sunni
dalam mengesampingkan ajaran tradisional dan menganut filosofi Quran Alone.
Dalam menafsirkan al-Qur’an mereka sama-sama menggunakan metode
tahlili karena berdasarkan urutan mushaf Usmani, namun dalam teknik
penafsirannya Thabathaba’i dirasa lebih komprehensif dengan menggunakan ayat,
hadis (riwayat) dan diskursus historisnya, bahasa Arab meskipun diterjemahkan dalam berbagai bahasa lain seperti Inggris dan Persia. Berbeda dengan metode
Yuksel yang menggunakan nomericly dalam menjelaskannya secara text by text
tanpa ada ayat, hadis (riwayat) maupun pendapat ulama klasik, bahasa dalam menafsirkannya pun berbahasa Inggris. Menampakkan tafsir masa kini dengan lebih sistematis, yang belum ada sebelumnya sehingga lebih menarik dan bisa dibaca oleh khalayak umum seluruh dunia semua golongan.
Selanjutnya mengenai corak penafsiran, Thabathaba’i menggunakan
kajian-kajian falsafi, ilmiah, sejarah, sosial dan akhlak, Yuksel pun bercorak sama, yang membedakan hanya pada letak kajian hukum, linguistik,
mengandalkan logika tanpa hadis dan sunah, dan menawarkan cross-reference
Dalam strategi perdamaian penulis lebih memilih menggunakan penafsiran Yuksel karena prinsipnya dalam menafsirkan beliau menekankan rasional-
humanizing dalam mengungkap pesan Tuhan. Meskipun Thabathaba’i juga menggunakan rasio dalam menimbang penafsiranya, namun Thabathaba’i kurang
menjiwai seperti Yuksel, sebab Yuksel pernah mengalami tekanan dan merasa butuh keadilan ketika mendekam di penjara. Setelah itu pemikiran bahwa
penafsiran modern terhadap al-Qur’an harus mencerminkan perspektif dan
evaluasi kritis dengan pendekatan inklusiv agar empuk dibaca semua kalangan sebagai upaya dalam mencari kedamaian, kebebasan dan keadilan.
Dari konteks sejarah genealogi Ibrahim kita bisa melihat secara jelas kedekatan lahirnya ketiga agama yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam dari bagan berikut:
Ibrahim adalah nabi yang dijadikan model (uswah hasanah) bagi keturunan
berikutnya dengan ajaran bahwa Tuhan itu hanya satu yang wajib diimani, baik Musa, Daud, Isa dan Muhammad melalui kitab suci mereka yang diturunkan oleh
Allah. Namun otentisitas ajaran yang disampaikan dan isi dari kitab suci tersebut
patut dipertanyakan. Menurut Thabathaba’i agama Yahudi dan Nasrani
digolongkan pada 2 tipe: Pertama, mereka yang tidak benar-benar membaca
kitabnya dan lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kedua, mereka
yang benar-benar membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga mereka akan beriman kepada Muhammad. Petunjuk al-Qur'an, Taurat dan Injil- lah yang benar sebagai petunjuk Allah. Dari kedua golongan terebut menurut hemat penulis bahwa pada konteks saat ini, banyak orang Yahudi dan Nasrani yang tidak sesuai dengan ajaran otentik nenek moyangnya karena ada kelompok atau individu yang telah memalsukan atau mendistorsi ajaran Musa (Yahudi) yaitu bani Khazar dan Isa (Nasrani) yaitu Paulus (Saulus) yang telah dibahas pada bab II. Hal ini terjadi karena mereka didominasi oleh golongan umat bukan keturunan asli dari Ibrahim yang telah menyelewengkan ajaran-ajaran dari para utusan
mereka dan kitab-kitab mereka dari yang asli. Menurut Thabathaba’i dan Edip,
walaupun demikian begitu banyaknya penyelewengan, masih ada orang Yahudi- Nasrani yang masih benar-benar membaca kitab sucinya sehingga mereka beriman kepada Allah.
Berangkat dari kenyataan itulah, dapat dikatakan bahwa percekcokkan
antar umat “berlainan agama yang berujung konflik, semua itu lebih banyak
disebabkan oleh pemeluk masing-masing agama yang kurang memahami ajaran kitab sucinya secara utuh. Atau bisa jadi, mereka paham, tapi sengaja mencari interpretasi lain agar sesuai dengan paham yang mereka anut, tanpa peduli apakah
penafsiran itu benar atau salah. Dari penafsiran QS. 2: 62 dan 120, dapat kita
ambil benang merah pemikiran Thabathaba’i dan Yuksel yang memaparkan
bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci yang mengajarkan toleransi. Allah tidak
pernah memanggil kaum Yahudi dan Nasrani dengan sebutan, "orang-orang
kafir” tetapi dengan julukan yang terhormat, "ahli kitab” meskipun mereka sedikit pun tidak mau memercayai Muhammad sebagai Rasul Allah, apalagi memeluk agama Islam, namun mereka masih ada yang bertauhid atas Tuhan Allah swt.
Adapun persamaan penafsiran keduanya adalah: pertama, tentang Iman.
Keduanya mengatakan bahwa “formalitas nama” tidaklah penting dihadapan
Allah. Iman sejati adalah mereka yang beriman dengan sebenar-benarnya iman kepada Allah, Hari Akhir dan amal-amal saleh. Ketiga hal ini sudah menjadi
ukuran dan standar untuk kemuliaan dan kebahagiaan. Kedua, tentang “petunjuk
Allah”, mempresentasikan atau mengandung arti al-Qur’an yang diturunkan
(bersumber) Allah. “Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk (yang benar)”,
memberikan batasan bahwa petunjuk Allah itu adalah petunjuk. Sebaliknya, kalimat ini mengandung arti bahwa agama mereka tidak memiliki petunjuk; dengan kata lain, agama mereka hanyalah seperangkat hasrat, aspirasi, dan pikiran saja.
Meskipun secara generik pandangan Thabathaba’i dan Yuksel apple to
apple, namun tetap ada perbedaan dari aspek pemikirannya antara keduanya,
berikut penulis tampilkan tabel perbandingan pandangan Thabathaba’i dan Yuksel
sebagai berikut:
Perbandingan Thabathaba’i Edip Yuksel
kitab Taurat Daud
Agama rasialis-etnik Menolak agama politeis
Agama yang tidak monoteis namun politeis
Menolak agama Charlatans
Memiliki keyakinan
bunuwwah (Tuhan anak) al- ikhtishash wa al-taqarrub
(kekhususan [spesial] dan kedekatan)
Teks pada kitab agama sekarang kontradiksi dengan prinsip al-Quran
Agama yang sejajar dihadapan Allah
Umat agama yang tidak semuanya masuk neraka Mengklaim agama yang
diistimewakan oleh Allah
Orang-orang yang ummi
Menggolongkan 2 tipe orang
Yahudi: Pertama, mereka
yang tidak benar-benar membaca kitabnya dan lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kelompok pertama ini selamanya tidak akan rela terhadap orang yang
beriman. Kedua, mereka yang
benar-benar membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga mereka akan beriman kepada Muhammad. Petunjuk al-Qur'an, Taurat, dan Injil-lah yang benar sebagai petunjuk Allah.
Agama kurang ramah ketika menerima dakwah Islam Berwatak sombong, fanatisme, menipu, ingkar janji dsb. Walaupun ada pendeta/ ulama Tidak mengamalkan praktik keagamaan Ibrahim
kitab Injil Trinitas Tidak terlalu mengklaim
kebenaran agamanya seperti Yahudi
Umat agama yang tidak semuanya masuk neraka
Agama multi-etnik Bernabi Isa
Agama yang sejajar dihadapan Allah
Mengklaim hak ekslusiv untuk masuk surga Tidak berwatak sombong,
fanatisme, menipu, ingkar janji dsb.karena terdapat ulama yang mengingatkan tentang agungnya Allah, ajaran agama, dan hari akhir
Menolak agama politeis
Tidak mengamalkan praktik keagamaan yang dilakukan Ibrahim
Menolak ketuhanan Yesus dengan membantah doktrin Kristen yang berlawanan dengan Firman Tuhan yang pertama dalam kitab Injil
Menggolongkan 2: Pertama,
mereka yang tidak benar-benar membaca kitabnya dan lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kelompok pertama ini selamanya tidak akan rela terhadap orang yang
beriman. Kedua, mereka yang
benar-benar membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga mereka akan beriman kepada Muhammad. Petunjuk al-Qur'an, Taurat, dan Injil-lah yang benar sebagai petunjuk Allah.
Teks pada kitab agama sekarang kontradiksi dengan prinsip al-Quran
Agama yang tidak monoteis namun politeis
Orang-orang yang ummi
Memiliki keyakinan
pada kepercayaan Trinitas Agama yang santun ketika menerima dakwah Islam Agama berkitab Injil; Lukas, Markus, Matius, dan Yohanes serta beberapa kitab Perjanjian Lama.
Perspektif Islam
Kemuliaan hanya dapat diraih dengan hakikat (substansi) bukan secara lahir (formalitas nama)
Kebahagiaan dan kemuliaan
tergantung pada ‘ubudiyyah.
sehingga “nama” tidak dapat
memberi jaminan manfaat bagi pemilik namanya. Demikian juga sifat-sifat kesempurnaan, kecuali apabila semuanya itu disertai
konsistensi ‘ubiidiyyah.
Islam bukanlah nama yang tepat, bukan pula agama yang didirikan Muhammad seperti yang salah
dituduhkan. Islam adalah paradigma dari semua yang menyerahkan diri mereka secara damai hanya kepada Tuhan. Al-Quran
mengajarkan kita bahwa semua orang mengakui kebenaran dijuluki Tuhan
dengan kata Submitters
(orang-orang yang tunduk)
atau Peacemakers (pembawa
kedamaian) Keselamatan
agama lain
1) yang beriman kepada Muhammad dan kitab al- Qur'an. 2) mereka yang beriman kepada Musa dan
kitabnya (Taurat). 3) al-
shabi’in yaitu kelompok
antara Yahudi-Majusi dan kitabnya yang dinisbahkan kepada Yahya bin Zakariya. 4)
Nashara yaitu yang beriman dengan Isa ibn Maryam dan kitab sucinya adalah empat Injil; Lukas, Markus, Matius, dan Yohanes (kitab Perjanjian
Lama) 5) al-majus, yaitu yang
dikenal sebagai mereka yang beriman kepada Zoroaster dan
Tidak peduli akan agama, ritual, bahasa, kebangsaan, dan kitab yang diikuti, setiap individu yang memenuhi tiga kriteria (keimanan kepada Tuhan, hari Akhir dan berbuat kebajikan) ini bisa mendapat keselamatan abadi.
kitabnya adalah Avesta. 6)
yaitu al-watsaniyyah al-
shobi’ah, Brahmana, dan
Buddha.
Shabiin Shabiin adalah para
penyembah bintang-bintang yang dalam penjelasan al- Qur'an merupakan masyarakat yang tuhannya dihancurkan oleh Ibrahim.
The other religion: kaum musyrik Makah yang
melawan Muhammad ketika terjadi suatu permasalahan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Setelah melakukan studi komparatif terhadap penafsiran Thabathaba’i
dengan Edip Yuksel, dkk. tentang Yahudi-Nasrani, yang mengacu pada QS. Al- Baqarah [2]: 62 dan QS. Al-Baqarah [2]: 120, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Yahudi dan Nasrani pembawanya merupakan keturunan biologis dari
Ibrahim, yaitu Musa dan Isa. Hubungan dengan dua komunitas itu terjadi karena dekatnya posisi geografis dan budaya Muslim dengan keduanya. Baik Muhammad, Isa maupun Musa, ketiganya adalah anak-keturunan biologis Ibrahim dari dua putranya Ishaq dan Isma'il. Agama Yahudi adalah agama yang diajarkan oleh nabi Ibrahim, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu. Dari segi keturunan agama ini juga diajarkan oleh keturunan nabi Ibrahim, yaitu nabi Musa bin Imran bin Qahat bin Lewi/Levi bin
Ya’kub bin Ishak bin Ibrahim. Setelah nabi Musa agama Yahudi
dilanjutkan oleh nabi Daud dan Sulaiman. Kemudian dalam sejarah Nasrani adalah agama yang diwahyukan serangkaian dengan agama Yahudi dan berkaitan dengan agama Islam yakni dari Nabi Ibrahim (Abraham). Dan ketiganya Yahudi, Kristen, Islam merupakan buah dari
“Proses Evolusi” agama-agama primitive. Nabi Isa adalah pembawa
agama Nasrani yang lahir dari rahim Maryam, Maryam lahir dari istri Imran, setelah ia dewasa keberadaannya dalam pengasuhan Nabi Zakariya
suami dari bibi Maryam. Namun terlepas dari sejarah Isa. Agama Nasrani ini berubah menjadi menjadi agama yang tidak autentik, alasanya adalah Isa dijadikan sebagai Tuhan yang menurut mereka akan mengantarkannya
ke surga. Agama ini menjadi agama yang charlatans yang menganut
kepercayaan Trinitas dan pada akhirnya agama ini menjadi agama yang multi-etnik dan berkembang sangat pesat di dalam berbagai bidang ilmu modern dewasa ini. Akhirnya apabila dilihat dalam konteks historis kedua agama ini terbentuk secara gradual sesudah para nabinya wafat dan
muncul umat agama yang otentik dan charlatans.
2. Menurut Thabathaba’i QS. Al-Baqarah [2]: 62 adalah ayat ini mengatakan
bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang beriman, orang Yahudi, orang Nasrani atau orang-orang Shabiin. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah dan tidak dapat diselamatkan dari hukuman, semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri sebutan
yang bagus sebagaimana claim orang Yahudi tentang “umat pilihan
Allah”, Nasrani mengenai “pengorbanan Yesus atas umat-umatnya pada
jaminan surga”.dan termasuk orang Islam yang Eksklusiv “menyatakan
bahwa agamanya yang paling benar dan agama lain adalah keliru”.
Thabathaba’i memberikan sebuah persyaratan “keselamatan agama lain”
yang belum pernah dilakukan mufasir sebelumnya, yaitu: 1) mereka yang beriman kepada Muhammad dan kitab mereka adalah al-Qur'an. 2) mereka yang beriman kepada Musa dan rasul-rasul sebelumnya dan kitabnya
kitabnya yang dinisbahkan kepada Yahya bin Zakariya. 4) Nashara yaitu mereka yang beriman dengan Isa al-Masih ibn Maryam dan nabi-nabi sebelumnya dan kitab sucinya adalah empat Injil; Lukas, Markus, Matius,
dan Yohanes serta beberapa kitab Perjanjian Lama. 5) al-majus, yaitu yang
dikenal sebagai mereka yang beriman kepada Zoroaster dan kitabnya
adalah Avesta. 6) al-watsaniyyah, penyembah berhala yang aliran atau
mazhab utamanya ada tiga, yaitu al-watsaniyyah al-shobi’ah, Brahmana,
dan Buddha. Sedangkan mengenai QS. Al-Baqarah [2]: 120, yaitu
menugaskan Rasul agar menjelaskan kesalahan pandangan-pandangan
Yahudi-Nasrani yang salah kepada petunjuk Allah (al-Qur’an) karena
mereka tidak mempunyai petunjuk. Ayat ini menegaskan bahwa terdapat dua golongan Yahudi- Nasrani: 1) mereka yang tidak benar-benar membaca kitabnya dan lebih banyak mengikuti hawa nafsu dan pikirannya. Kelompok pertama ini selamanya tidak akan rela terhadap orang yang beriman. 2) mereka yang benar-benar membaca kitab sucinya dan memercayai bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sama dengan yang mereka terima, sehingga mereka beriman kepada Muhammad. Petunjuk al-Qur'an dan Taurat-lah yang benar sebagai petunjuk Allah. Menurut Yuksel, dkk. QS. Al-Baqarah [2]: 62, ayat ini menyatakan Islam bukanlah nama yang tepat, bukan pula agama yang didirikan Muhammad seperti yang salah dituduhkan. Islam adalah paradigma dari semua yang menyerahkan diri mereka secara damai hanya kepada Tuhan. Al-Quran mengajarkan kita bahwa semua orang mengakui
kebenaran dijuluki Tuhan dengan kata Submitters (orang-orang yang
tunduk) atau Peacemakers (pembawa kedamaian). Dari ayat ini juga
Yuksel mempunyai pandangan tentang keselamatan the other religion: 1)
“orang-orang yang mu’min” keimanan ini tidak diterima jika hanya
sebatas lisan (ucapan di bibir), hal itu harus didasarkan pada alasan, bukti
perbuatan dan kemampuan. “Mengimani Hari Kemudian”, “Beramal
saleh”: memimpin kehidupan yang benar dengan kesalehan, saling berbagi
baik itu pengetahuan, bakat-keterampilan, jasa, ataupun rizki kepada
sesama. 2)tentang kaum Yahudi-Nasrani, 3) kaum Sabiene yang diartikan
Yuksel the other religion. Sedangkan QS. Al-Baqarah [2]: 120, dijelaskan
bahwa ayat ini menunjukan distorsi utama agama Kristen, yaitu mengklaim hak ekslusiv untuk masuk surga.
3. Kunci perdamaian atas konflik keberagamaan terletak pada paradigma
berpikir, kemudian cara berteologi untuk menelaah dan mengukur praktik keagamaan umat beragama. Paradigma ini dapat dijadikan sebagai tali pengikat persaudaraan agama-agama, terutama agama yang secara
genealogis “anak-anak Ibrahim” yang sering lupa dengan statusnya, yaitu
sebagai saudara dari agama Allah yang sekandung. Maka keberagamaan yang otentik tidak sebatas ditunjukkan dengan formal agama namun terletak pada konsistensinya dalam bertuhan dan menjalankan aturan-Nya. Kematangan dalam beragama seharusnya ditunjukkan dengan tidak mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, namun kebenaran adalah
mereka yang membuat kedamaian atas keimanan kepada Allah dan pasrah (tunduk) terhadap segala titah-Nya.
B. Saran-saran
Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian dari penafsiran
Thabathaba’i dan Edip Yuksel, dkk. tentang Yahudi dan Nasrani perspektif al-
Qur’an, kiranya penulis perlu untuk mengemukakan beberapa saran sebagai
kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas:
1. Perlu adanya kajian yang komprehensif dan intensif tentang kajian
pemahaman studi agama-agama terhadap kitab suci dan perbaikan hubungan Yahudi-Nasrani-Muslim yang telah dikotori oleh berbagai fitnah politik, menyebar kebencian dan dendam sejarah yang tidak rasional.
2. Perlu adanya kajian secara universal terhadap penafsiran Edip Yuksel,
dkk. dalam menerjemahkan ayat-ayat tentang Yahudi-Nasrani agar diperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh (tidak parsial).
3. Penelitian ini hanya terbatas pada eksplorasi makna Yahudi-Nasrani
perspektif al-Qur’anstudi komparasi pemikiran Thabathaba’i dengan Edip
Yuksel, dkk. yang dilacak dari penafsiran masing-masing. Karena dirasa masih jauh dari kesempurnaan, atau bahkan pembahasan terlalu melebar, maka diharapkan adanya penelitian lebih lanjut, dengan harapan dapat menyemarakkan wacana pemikiran Islam secara positif pada masyarakat umum untuk pemahaman keagamaan yang lebih sehat dan apresiatif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Study Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Affandi, Sa’dullah. Menyoal Status Agama Pra Islam. (Bandung: Mizan, 2015).
Aizid, Rizem. Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi, Yogyakarta: DIVA Press,
2015.
al-Banna, Hasan. Risalatan fi al-Tafsir wa Surah al-Fatihah. Beirut Mansyiirat al-
'Ashr al-Hadith, 1972.
al-Hasan Abu. 'Ali al-Wahidi, Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr, 1994/1414.
al-Razi, Fakh al-Din. Mafatih al-Ghaib. Mekah: al-Maktabah al-Tijariyyah 1990.
Arabi, Muly al-Din Ibn. ‘Tafsir Ibn ‘Arabi. Beirut: Dar al-Sadir. t.t.
Armstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan. Bandung: Mizan, 2013.
Arrifa'i, Fuad bin Sayyid Abdurrahman. Annufudzul Yahudi Filajhizatil I'lamiyyah
wal Muassasatid Dualiyyah. (Riyadh : Daar el-Majd, 1995).
Aziz, Nashruddin Baidan dan Erwati. Solusi Qur’ani terhadap Berbagai Problem
Sosial Kontemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017)..
Bagir, Haidar. Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman
Kacau, Cet. II (Bandung: Mizan, 2017).
Baidlowi, Ahmad. Al-Thabathaba’i dan Kitab Tafsirnya, Al-Mizan Fi Tafsir Al-
Qur’an. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits. Vol. 5 No. I
Januari 2004.
Carr, William G. Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004).
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematik 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Eposito (sd.), Syed Husain Jafri “Sayyid”, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern, Vol. V, terj. Eva, Y.N. dkk. (Bandung: Mizan, 2001).
Ghafur, Waryono Abdul Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam
Tafsir Al-Mizan. (Bandung: Mizan Pustaka, 2016).
Halim, Amanullah. Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an. (Tangerang:
Lentera Hati, 2011).
Harahap, Iqbal. Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah
Kenabian Ibrahim dalam Taurat, Injil Dan Al-Qur’an. (Tangerang: Lentera Hati, 2014).
Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur’an di Medsos: Mengkaji Makna dan Rahasia
Ayat Suci Pada Era Media Sosial, (Yogyakarta: Bunyan, 2017).
Huda, Qamar-ul. “Knowledge of Allah and the Islamic View of Other Religions.”
Theological Studies 64. 2003.
Islamiyah, Djami’atul. “Realitas Pemikiran Islam: Moderat-Puritan”, Millatī,
Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 2, No. 2, Desember 2017.
Ismail. Sejarah Agama-agama: Pengantar Studi Agama-agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2017).
Jirhanuddin. Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama.
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016).
Kamil, Majdi Husain. Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan: Rahasia Di
Mala, Faiqotul. Krisis Otoritas Hadis: Kajian Kontekstual Hadis Mushkil dalam S}ah}ih al-Bukhari. (Tangerang Selatan: Penerbit YPM, 2012).
Mansur, Sufa’at. Agama-agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011).
Masyhud, Imam Muchlas. Al-Qur’an Berbicara Kristen, (Pustaka Da’i, 1999).
Matswah, Akrimi. Menimbang Penafsiran Subjektivis terhadap Alqur’an: Telaah
terhadap Penafsiran Edip Yuksel dkk. dalam Quran: A Reformist
Translation, Jurnal Dialogia, Vol. 12 No. 1 Juni 2014.
Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an
terhadap Agama Lain. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).
Nasr, Sayyid Husein. Islam Syi'ah, (Bandung: Mizan. 1990).
Nasution, Kaka Alvian. Konspirasi Yahudi. (Jakarta: Saufa, 2014).
Rahman, Fazlur. "Islam's Attitude Toward Judaism". The Muslim World, Vol.
LXXII, No. l, January, 1982.
Rahman, Fazlur. Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Penyunting, Ahmad
Baiquni, (Bandung: Mizan, 2017).
Rahman, Fazlur. Otoritas Pemaknaan Kitab Suci: Problematika Pemikiran
EdipYuksel dalam “Qur’an: A Reformist Translation”, Jurnal Studi Ilmu
Al-Quran dan Hadis, vol. 299, no 2, 2014.
Ridyasmara, Ridwan Saidi dan Rizki. Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu
dan Kini, (Jakarta: Al-Kautsar, 2006).
Saeed, Abdullah. Paradigma Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas
Al Qur’an. (Yogyakarta: Baitul Hukmah Press, 2016).
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Qur’an Al-Karim. (Jakarta: Pustaka Firdaus, l999).
_____. Sejarah Ulum al Quran. (Jakarta: Pustaka Firdaus, l999).
Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an
terhadap Agama Lain. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).
Surakhmat, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandimg: Tarsito, 1998).