BAB III : PENAFSIRAN THABA THABA’I DAN EDIP YUKSEL ,
1. Biografi Thabathaba’i
Kepopuleran dan kemoderatan Thabathaba'i, salah satunya dibuktikan dengan pandangan-pandangannya yang banyak dikutip oleh penulis Sunni.
Misalnya saja Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, dari volume satu
sampai lima belas, pada saat menafsirkan ayat hampir selalu mengutip pandangan Thabathaba'i. Karya lainnya bahkan sudah diterjemahkan oleh dua
alumni pesantren yang berbasis NU-Tradisional-Sunni.129 Hal ini menunjukkan
betapa perlunya dilakukan telaah terhadap tradisi lain dalam Islam (Sunni), yakni Syiah, meskipun belum hegemonik dalam konteks Indonesia, dan juga
harus diakui bahwa tafsir ini belum memiliki akses seluas tafsir al-Manar,
misalnya, atau al-Jalalain.130
Thabathaba'i merupakan panggilan populer bagi penulis al-Mizanfi Tafsir
al-Qur’an ini. Thabathaba'i sendiri merupakan honorific title (Iaqab) bagi salah
satu kakeknya, yaitu Ibrahim Thabathaba'i bin Isma'il ad-Dibaji. Ia diberi title
seperti itu oleh ayahnya dengan harapan dapat memotongkan secuil kain baginya, ketika ia masih kecil, kemudian memberi pilihan kepadanya antara
129 Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim
Ilyas, (Bandung: Mizan 1988),
130 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016, hlm. 9.
baju dan quba. Ayahnya menegaskan thaba-thaba yakni quba-quba. Akan
tetapi menurut pendapat lain, title tersebut diberikan kepadanya, yang berarti,
ia adalah penghulu para sayid (atau keturunan Nabi Muhammad).131 Nama
aslinya Muhammad Husein.132
Thabathaba'i adalah putra as-Sayid Muhammad bin as-Sayid Muhammad
Husain133 yang lahir pada akhir 1321 H. tepatnya pada 29 Dzulhijjah 1321 H.
atau bertepatan dengan 17 Maret 1904 M. di Desa Shadegan, Provinsi Tibriz atau Tabriz (provinsi yang pernah dijadikan sebagai ibu kota pada masa Dinasti Safawi). Ia berasal dari keluarga ulama keturunan Nabi yang selama 14 generasi telah menghasilkan ulama-ulama terkemuka dalam Islam, termasuk Thabathabaii sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian Thabathaba'i
mendapat pendidikan awal dari tangan keluarganya yang notabene keluarga
ulama intelektual dan religius. Di karenakan Ibunya meninggal pada saat ia
berusia lima tahun,134 dan diikuti oleh kematian sang ayah ketika ia masih
berumur sembilan tahun. Kemudian ia beserta adiknya diserahkan kepada seorang pelayan laki-laki dan perempuan oleh seorang wali yaitu orang yang
131 Sayid adalah sebuah gelar kehormatan yang biasa digunakan untuk keturunan nabi
Muhammad, khususnya yang berasal dari cucu keduanya, Husain bin Ali. Secara harfiah sayid berarti orang yang memiliki kedudukan mulia, terhormat, luhur, masyhur atau agung dikalangan masyarakat. Kata ini sudah dipakai sejak zaman pra-Islam. Syed Husain Jafri “Sayyid”, John L. Eposito (sd.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol. V, terj. Eva, Y.N. dkk. (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 122-125.
132 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 10.
133 Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir Al Mizan, terj. Ilyas Hasan,
diterjemahkan dari al Mizan: An Exegesis of Qur’an(Jakarta: Lentera, 2010), Vol. I, hlm. 11.
mengurus harta peninggalan ayahnya.135 Dengan demikian, ia sudah menjadi yatim pada saat masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua.
Ia tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang cinta ilmu. Dijelaskan oleh al-Usiy, bahwa Thabathaba'i tumbuh dalam iklim keilmuan yang khas dan model pembelajaran yang terorganisir, yaitu yang
dikenal dengan hauzah.136 semacam lembaga pendidikan yang mengadakan
halaqah-halaqah ilmiah yang pada muIanya tumbuh di masjid-masjid. Pada
waktu itu telah tumbuh hauzah-hauzah, seperti di Najaf, Karbala, Qum, Tibriz,
Masyhad, Ashfihan atau Ishfahan, Samira dan lain-lain. Secara garis besar, perjalanan pendidikan Thabathaba'i dijalani di tiga tempat: Tibriz, Najaf; dan Qum,
Thabathaba'i memperoleh pendidikan dasar dan menengahnya secara formal di kota kelahirannya Tabriz, selama 1911-1917 beliau melanjutkan studi
tradisionalnya tentang al-Qur’an dan pelajaran agama. Semangatnya untuk
belajar tidak padam, selama tujuh tahun, tepatnya mulai 1918-1825, ia dengan tekun memulai kajian dan membaca teks-teks agama, bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang gramatika, Thabathaba'i mempelajari
Ketab Amsela, Surf-e Mir dan Tasrif. Dalam bidang sintaksis, 1a mempelajari
Ketab-e, Avamel, Enmuzaj; Samadiya, Sayuti, Jami' dan Maghonni. Bidang
lain yang ia perdalam adalah retorika, dengan mengkaji Ketab-e Motavval.
Dalam bidang fikih, ia mempelajari Syarh-e Lamaa dan Makaseb. Kemudian
135 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam secara Mudah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), cet II, hlm. 15.
136 Secara bahasa, Hauzah berarti teritori. Dilingkungan Syiah hauzah berarti wilayah
yang dijadikan pusat pembelajaran studi-studi keislaman. Lihat Waryono Abdul Ghafur,
dalam bidang ushul fikih, ia mempelajari Kitab-e Ma’alem. Qavanin. Makaseb, Rasail dan Kanaya. Dalam bidang mantik (logika), ia mempelajari Kobra,
Hasyiya, dan Syarh-e Syamsiya. Sementara dalam bidang filsafat dan teologi,
ia mempelajari Syarh-e Esyarat dan Kasyfal-Murad.137
Seperti layaknya kebanyakan pelajar pendidikan dasar di Persia saat itu, ia belajar bahasa Parsi atau Persia dan pelajaran-pelajaran dasar lainnya seperti
al-Qur'an dan karya klasik tentang kesusastraan dan sejarah seperti Gulistan
dan Bustan-nya Sa'di (580-691 H/1184-1292 M), Nesab dan Akhlaq, Anvar-e Sohaily, Tarikh-e Mojam, beberapa karangan Amir-e Nezam dan Irsyad al- Hisab. Di samping menerima pelajaran dari lembaga formal, Thabathaba'i juga mendapat tambahan materi pelajaran dari guru privat yang sengaja didatangkan ke rumahnya. Dengan tambahan privat ini, ia tumbuh menjadi anak yang sedari
kecil terbiasa belajar dan tekun dengan ilmu.138
Pada tahun 1925 pula, Thabathaba’i memasuki studi formal di Universitas
Syiah Najaf (Irak).139 Di Najaf al-Asraf inilah dia berhasil menguasai ilmu-
ilmu naqliyah dan aqliyyah. Dia mengawali studi-studi lebih tingginya bersama
ulama-ulama termashur seperti Syaikh (al-Mirza) Muhammad Husain (putra
syaikhul Islam al-Mirza Abdurrahim) Na’ini al-Gharawi (1860-1936) dan
Syaikh Muhammad Husain (putra al-Hajj Muhammad Hasan, Mainut Tujjar)
137 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,,... hlm. 11-12. 138 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama:,... hlm. 10-11.
139Sayid Muhammad Husain Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... Vol. I, hlm.
Ishfahani140 (1878-1942). Thabathaba’i banyak dipengaruhi oleh kedua guru tersebut (dan khususnya Ishfahani) dalam perkembangan pemikiran dan
pengetahuan. Pengaruh selanjutnya dari Sayid Abdul Qasim Ja’far (putra Sayid
Muhammad al-Musawi) Khwansari (1895-1961) yang dikenal sebagai ahli matematika. Dalam bidang etika dan spritual, yaitu dari Sayid Mirza (dari
keluarganya sendiri).141
Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal atau disebut dengan hushuli,
Thabathaba’i juga mempelajari ilmu hudhuri. Sebagai guru satu-satunya dalam
bidang ilmu hudhuri adalah Mirza ‘Ali al-Qadhi. Guru inilah yang
memperkenalkan kepada Thabathaba’i karya Ibnu ‘Arabi yang berjudul
Fushash al-Hikam. Memperhatikan latar pendidikan tersebut, segera tampak
adanya perpaduan ilmu naqliyyah dan 'aqliyyahpada Thabathaba’i. Tidak salah
bila Hossein Nasr menyebutnya sebagai filosof, teolog dan sufi yang didalam dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisa intelektual
berpadu.142
Thabathaba’i adalah salah seorang ulama yang mempelajari filsafat
materialaisme dan komunisme, lalu mengkritik dan memberi jawaban yang
mendasar. Thabathaba’i juga mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh dari dua Guru
besar saat itu Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Syekh Muhammad Husein
140 Syaikh Isfahani adalah seorang filosof yang tak tertandingi pada zamannya, seorang
penulis dan seorang penyair Arab dan Persia yang paiwai, dia adalah seorang yang jenius yang prestasi-prestasinya membuat orang memandang dirinya sebagai ideal.
141Sayid Thabathaba’i, Terjemahan Tafsir Al Mizan,... Vol. I, hlm. 11-12.
142 Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 39-40.
Isfahani. Dia sangat tekun mempelajari seluruh seluk beluk matematika
tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khawansari.143
Thabathaba’i juga mempelajari filsafat Islam tradisional al-Syifa oleh Ibnu
Sina, Asfar oleh Mulla Shadra dan Tamhid al-Qawaid oleh Ibnu Turkah dan
Sayyid Husain Badkuba'i. Beliau juga murid dari Sayyid Abul Hasan Jilwah
dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zanusi dari Teheran. Beliau telah mencapai tingkat
ilmu Ma’rifah dan Kasyyaf. Beliau mempelajari ilmu ini dari seorang guru
besar Mirza ‘Ali al-Qadhi.144
Setelah tamat studi di Universitas Najaf, minat intelektual Thabathaba’i
tetap menggebu, terutama ia sangat tertarik mempelajari ilmu 'aqliyyah. Akan
tetapi, karena kesulitan ekonomi, Thabathaba’i kembali ke kota kelahirannya.
Di Tabriz, dia tidak dapat terhindar dari pemenuhan kebutuhan ekonomi untuk
bertahan hidup. Mata pencahariannya selama di Tabriz adalah bertani.145
Bersamaan dengan masa-masa di Tabriz, pecahlah Perang Dunia II.
Perang Dunia ini membawa akibat buruk di Iran. Oleh karena itu, Thabathaba’i
pindah ke kota Qum pada tahun 1946, tepatnya desa Darakah, sebuah desa
kecil di sisi pegunungan dekat Teheran, di tempat inilah Thabathaba’i
menghabiskan musim panasnya. Di kota Qum ini, ia mulai aktif dalam
143 Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 37-38.
144 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam secara Mudah,... hlm. 17.
145 Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam: Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam secara Mudah,... hlm. 17.
aktivitas keilmuan sampai dengan wafatnya.146 Kemudian Thabathaba’i
meninggal dunia di Aban pada tanggal 18 Muharram 1412 H/ 1981 M.147
Pada tahun 1324 H / 1945 M, ia pindah ke kota Qum menjadi pengajar di kota suci itu, sebagai seorang mujtahid, ia menitikberatkan pada pegajaran
Tafsir al-Qur’an, Filsafat dan Tasawwuf. Dengan ilmu yang luas dan
penampilannya yang sangat sederhana, membuatnya mempunyai daya tarik khusus bagi muridnya. Beliau menjadikan ajaran Mulla Shadra sebagai
kurikulum penting.148
Aktivitas keilmuan Thabathaba’i, memberikan identifikasi bahwa dia telah
memberikan pengaruh besar bagi kehidupan intelektual di Iran. Beliau telah mencoba mewujudkan suatu intelektual baru di antara kelompok-kelompok yang berpendidikan modem. Kelompok elit baru tersebut akan diperkenalkan dengan intelektualitas Islam seperti juga dengan dunia modern. Banyak mahasiswanya yang berhasil tampil sebagai tokoh intelektual gemilang. Sebagai seorang mufassir besar dan filusuf sekaligus sufi, ia telah mencetak murid-muridnya menjadi ulama yang intelektual seperti Mutahhari seorang Guru Besar di Universitas Teheran dan Sayyid Jalaluddin Asytiyani seorang
Guru Besar di Universitas Masyhad.149
146 Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 41-42.
147Sayyid Husein Nasr, “kata pengantar", dalam Thabathaba’i, Islam Syi'ah, (Bandung:
Mizan. 1990), hlm. 8
148 Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 42.
149 Thabathaba’i, Tafsir al Mizan; Mengupas Ayat Ayat Kepemimpinan, (Jakarta: CV.
Dalam masa studi dan karier keilmuannya, Thabathaba'i setidaknya
menjumpai tiga atmosfer pengetahuan, yaitu pertama, adanya pertentangan
antara kelompok ulama yang mengembangkan ilmu-ilmu tradisional dan ulama
yang mengembangkan ilmu-ilmu rasional; kedua, masa redupnya tradisi
keilmuan Islam akibat masuknya pengaruh modernisasi dalam pendidikan di
Iran yang sudah dimulai pada periode Qajar, dan ketiga; masa kembalinya
tradisi keilmuan Islam sebagai ilmu utama.150
Thabathaba'i sejak usia dini sudah akrab dengan ilmu dan ulama. Di kemudian hari bahkan ia tumbuh menjadi ulama yang disegani dan menghasilkan banyak karya tulis atau bahkan termasuk penulis prolifik. Ia merupakan sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang dihormati
masyarakat Syi'ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik al-
‘Allamah. Hal ini karena ia bukan saja menguasai ilmu-ilmu tradisional
(naqliyah) tetapi juga ilmu-ilmu 'aqliyah, dua keahlian yang jarang dimiliki ulama pada masanya. Bahkan sebagaimana disinggung sedikit sebelumnya, ia sangat mengenal baik dunia dan filsafat Barat serta suasana kejiwaannya, di
antaranya melalui ilmuwan yang menghadiri majelis ilmiahnya.151
Thabathaba'i bukan saja mencetak murid-murid yang menjadi ulama- intelektual dan aktivis politik, tetapi mewariskan banyak karya ilmiah. Karya- karyanya terus memperoleh popularitas besar. Di Amerika dan Prancis, tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Dari sana ia kemudian dikenal sebagai filsuf yang menonjol di dunia modern. Lan P.
150 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12. 151 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12.
McGreal memasukkannya dalam The Great Thinkers of the Eastern World. Dari berbagai cabang keilmuan yang ia kuasai, dua bidang ilmu di antaranya yang sangat kental mewarnai karya-karyanya, yaitu filsafat dan kajian
keagamaan, tak terkecuali dalam karya magnum opus-nya, al-Mizan fi Tafsir
al-Quran. Bagi kalangan Syi'ah, dua bidang keilmuan itu memang sudah
menjadi trade mark-nya. Di dunia Syi'ah, filsafat memperoleh tempat yang
istimewa, bahkan hingga sekarang sebagai salah satu cara untuk memahami
Islam dan persoalan kehidupan.152
Meskipun tugas utamanya sebagai seorang karier keilmuan yaitu belajar,
mengajar dan membimbing di beberapa Universitas, Thabathaba’i masih
menyibukkan diri dengan menulis banyak buku dan artikel yang memperlihatkan kemampuan intelektual dan kedalaman pengetahuannya dalam bidang kajian keagamaan.
Adapun karya Thabathaba’i adalah sebagai berikut :
a. Berbentuk buku: 1). Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Karya Thabathaba’i ini
tergolong paling penting dan monumental terdiri dari dua puluh jilid. 2).
Ushul Falsafah wa Rawls Rialism, terdiri dari lima jilid. 3). Hasyiyah bar Asfar, adalah anotasi dari karya Mulla Shadra yang berjudul Asfar. 4).
Musabahat ba Ustadz Qurban, karya ini terdiri dari dari dua jilid yang berdasarkan atas tanya jawab antara Thabathaba'i dan Henry Corbin. 5).
‘Ali wa Falsafah al-Ilahiyat. 6). Syi'ahdar Islam. 7). Qur'an dar Islam.153
152 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 12-13.
153 Ahmad Hazami, Studi Komparatif Penafsiran Rasyid Rida dan Tabataba’i terhadap Surat Al-Maidah Ayat 67,... hlm. 43.
b. Berbentuk makalah: Risalah dar Hukumat Islami, Hasyiyah Kifayah,
Risalah dar Qawwah wa Fi’il, Risalah dar Itsbat Dzat, Risalah dar Shifat,
Risalah dar Af’al, Risalah dar Insan Qabl Al-Dunya, Risalah dar
Nubuwwat, Risalah dar Walayat, Risalah dar Musytaqqat, Risalah dar Burhan, Risalah dar Tahlil, Risalah dar Tarkib dan Risalah dar Nubuwwat wa Munamat.
Karya-karya Thabathabai ditulis dalam dua bahasa; Arab dan Persia. Di kemudian hari, baik ketika ia masih hidup, maupun setelah meninggalnya, karya-karya yang ditulis dengan bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab atau sebaliknya. Di samping beberapa karya tersebut, ada beberapa karya lain yang belum teridentifikasi, apakah ditulis dalam bahasa Arab atau bahasa
Persia. Tafsir al-Qur'an yang disusun oleh Thabathaba'i dikenal dengan al-
Mizan yang berarti timbangan, keseimbangan atau moderasi. Thabathaba'i
tidak menjelaskan mengapa tafsirnya ini dinamakan al-Mizan. Namun menurut
dugaan al-Usiy, kemungkinan karena diungkapkannya berbagai pikiran dan
pendapat di dalam al-Mizan, kemudian berbagai pikiran dan pendapat itu diuji
dan diseleksi untuk saling menguatkan atau mengoreksi terhadap salah satunya. Setelah mengemukakan berbagai pendapat tersebut. Thabathaba'i memilih atau menimbang pendapat yang kuat untuk kemudian dipilih sebagai penafsirannya. Sebagaimana akan dikemukakan nanti, memang tafsir ini ditulis bukan hanya dengan dikemukakannya berbagai pendapat, tetapi juga menggunakan berbagai literatur yang dijadikan rujukan sebagai bahan penafsirannya. Hal inilah yang membedakan tafsirnya dengan tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama Syi'ah
sebelumnya. Apa yang ditempuhnya ini, membuat pemikiran dan tafsirnya dianggap sebagai yang moderat sehingga pendapatnya banyak dikutip oleh
ulama Sunni.154
Tafsir ini mulai disusun oleh Thabathabai ketika ia menetap dan mengajar di Qum. Tafsir ini ditulis bukan saja sebagai respons atas permintaan para ulama untuk membangkitkan kajian al-Qur'an yang pada waktu itu kalah
dominan dibandingkan kajian filsafat dan Fikih—kedua disiplin yang masing-
masing menjadi primadona atau mahkota ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu
tradisional di mana antara ulama keduanya saling berkompetisi—namun juga
karena di hauzah tersebut, belum ada program kajian tafsir. Hal ini seperti
tampak dalam penuturannya:
Ketika saya tiba di Qum, saya belajar program pendidikan di hauzah dengan pertimbangan bahwa ini merupakan kebutuhan masyarakat. Saya menemukan kekurangan di dalamnya dan saya merasa berkewajiban untuk membenahinya. Kekurangan yang paling penting dalam program hauzah berada dalam wilayah tafsir aI-Qur'an dan intelektual sains. Maka saya mulai mempelajari tafsir dan filsafat. Kenyataannya, pada waktu itu tafsir al-Qur'an yang membutuhkan riset dan penelitian sains belum diperhatikan dan masih dianggap bidang studi yang belum layak bagi mereka yang terbiasa melakukan riset dalam bidang yurisprudensi (fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushal al-fiqh). Karena mengajarkan tafsir lebih dianggap sebagai tanda orang yang memiliki kualifikasi lebih lemah. Tetapi saya tahu, saya tidak bisa menggunakan ini sebagai alasan di depan Tuhan (untuk tidak mempelajari tafsir) dan saya melanjutkan studi sampai menyelesaikan penulisan tafsir al-Mizan.155
154 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,... hlm. 13-14. 155 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama,:,... hlm. 14-15.