• Tidak ada hasil yang ditemukan

YAHUDI DAN NASRANI PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Studi Pemikiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.Ag.) Bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "YAHUDI DAN NASRANI PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Studi Pemikiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.Ag.) Bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

YAHUDI DAN NASRANI PERSPEKTIF AL-

QUR’AN

(Studi Pemikiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.Ag.)

Bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh

Muhamad Nur Hasan Mudda

’i

NIM 21514012

JURUSAN ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

***

يِّذ ِّ لُك َق ۡوَف َو

مۡلِّع

ميِّلَع

“Dan di atas tiap

-tiap orang yang berpengetahuan itu

ada yang Maha Mengetahui”

(6)

PERSEMBAHAN

***

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

Allah

Satu-satunya tujuan dalam hidupku, dan inilah wujud berterimakasihku pada-Mu

Kedua orang tua

Ahmadi

Nurhayati

Terimakasih untuk kasih-sayang, ketulusan, keikhlasan, dan semua pengorbanan yang telah diberikan, ini adalah wujud dari bukti-kecil baktiku kepadamu berdua

Sahabat-sahabat seperjuangan yang setiap saat berbagi suka dan cita

Almamater IAIN Salatiga

(7)
(8)
(9)
(10)

KATA PENGANTAR

ينلماعلا بر لله دملحا

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan segenap manusia. Melalui hidayah, inayah, rahmat, karunia dan mahhabah-Nya yang tiada batas, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih pula kepada Nabi Muhammad yang telah mengajarkan kepada kita, cara bagaimana berusaha dengan keras dan sungguh-sungguh. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepadamu.

Dalam mengerjakan tugas akhir ini, saya banyak mengambil inspirasi dan

rujukan utama dari beberapa literatur, utamanya adalah Tafsir al-Mizan fi Tafsir

al-Qur’an, dan Quran: A Reformist Translation, maupun literatur pendukung

lainnya. Penulis berusaha sekuat mungkin dalam memaparkan agama

Yahudi-Nasrani dalam al-Qur’an perspektif Thabathaba’i dan Edip Yuksel, tetapi tidak

menutup kemungkinan terjadi kekurangan di dalamnya. Karena itu, penulis memohon maaf.

Akhirnya, usaha dalam menyelesaikan penelitian ini, mulai dari proposal, proses penelitian hingga penulisan skripsi selesai, tidak akan terlepas dari bantuan berbagai pihak, khususnya dalam mengkontruksi skripsi komparasi ini dengan

judul Yahudi dan Nasrani Perspektif Al-Qur’an (Studi Pemikiran Thabathaba’i,

Edip Yuksel, dkk.). Harapannya, apa yang menjadi ikhtiar saya, mampu memberikan kontribusi bagi pembaca mengenai agama Yahudi dan Nasrani. Setelah melewati proses yang cukup panjang dan penuh tantangan, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, saya ingin menyampaikan ucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua, Bapakku Ahmadi dan ibunda Nurhayati yang selalu mendoakan

dan mensuport dalam segala hal yang penulis lakukan. Serta adik tercinta M. Agus Dhany Mubarok yang selalu menyayangi dan mensuport penulis.

2. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M. Pd., selaku Rektor beserta jajarannya dan

(11)

3. Jajaran Dekanat fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora, Dr. Benny Ridwan, M. Hum., Dr. M. Gufron, M. Ag., Dr. H. Sidqon Maesur, Lc., M.A., dan Dr. Mubasirun, M.Ag. yang telah memberi dukungan dan motivasi.

4. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum., selaku pembimbing akademik dan

pembimbing skripsi yang telah sudi kiranya meluangkan waktunya, membina dan membimbing dari awal perkuliahan hingga akhir dan mengarahkan proses penelitian skripsi ini berupa koreksi, masukan, kritikan, dan saran yang kontruktif dalam melengkapi dan menyelesaikan studi dan penelitian ini di sela-sela kesibukan mengajar dan aktifitas yang lainnya.

5. Ibunda Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir (IAT), Bapak Farid Hasan, S.Th.I., M.Hum. yang telah memberi dukungan dan motivasi dan bapak Dr. Adang Kuswaya, M. Ag., yang selalu memberikan bimbingan tanpa waktu.

6. Segenap Staff pengajar dan karyawan fakultas Ushuluddin, Adab dan

Humaniora, pak Mujib, bu Ika dan pak Tafin yang telah meluangkan waktunya, melayani segala keperluan akademik penulis.

7. Teman-teman sehimpunan-seperjuangan Rabika, Neny, Samsul, Ayusta,

Annisa Fitri, Saifunnuha, Latif, Wahyu, Fatimah, Novita, Laila Khodariyah, Trisna, Yusuf, Abrar, Fissabil, alumni jurusan IAT MK. Ridwan, Wahyu Kurniawan, Triyanah, Rangga, Rohman, Husen, semua adek angkatan IAT, serta tak lupa sahabat tercinta Aryana, Mb Rima, Inay dan Uliajnic yang menjadi patner akademis dan teman diskusi.

Akhirnya, saya menyadari bahwa, apa yang penulis kerjakan ini, bukanlah suatu hal yang sempurna dan tidak menuai kritik. Justru berbagai masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca, adalah nutrisi bagi saya dalam rangka mendekatkan diri pada kesempurnaan, walaupun hal itu bersifat mustahil. Selamat membaca.

(12)

ABSTRAK

Yahudi dan Nasrani Perspektif Al-Qur’an

(Studi Pemikiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk.)

Muhamad Nur Hasan Mudda’i. 21514012

Pembimbing: Dr. Benny Ridwan, M. Hum.

Kata Kunci:Yahudi, Nasrani, Thabathaba’i, Edip Yuksel.

Skripsi ini berbicara mengenai agama Yahudi dan Nasrani, serta

bagaimana sejarah dan teks ayat-ayat al-Qur’an tentangnya yang diambil dari

penafsiran Thabathaba’i dengan Edip Yuksel, dkk. Tentu dalam membahas kedua

agama ini diperlukan adanya kerangka setting sosio-historis secara mendalam.

Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an dan Edip Yuksel beserta

tim penulis tafsirnya Quran: A Reformist Translation, memberikan sebuah

alternatif dalam membahas agama-agama secara universalistik-positivistik.

Siapakah sebenarnya Yahudi-Nasrani dalam al-Qur’an itu? Apakah mereka akan

selalu tidak senang dengan perbuatan Muslim dari dulu hingga sekarang? Apakah

mereka akan masuk surga atau neraka menurut klaim dari agama Ahl Ibrahim?

Kajian ini dianggap penting sebab menyangkut dasar falsafah hidup kaum Muslim dalam menentukan sikapnya terhadap umat Yahudi-Nasrani.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah deskriptif-analitik

dengan pemahaman historisitas dan pemahaman teks dengan 3 stage deduktif,

induktif kemudian komparatif. Penulis menganalisis pemikiran Thabathaba’i dan

Yuksel dengan pemahaman sejarah Yahudi-Nasrani, ayat-ayat al-Qur’an

tentangnya kemudian dikomparasikan. Dari telaah yang telah dilakukan, penulis

berkesimpulan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai Yahudi dan

Nasrani dapat dikatakan berada pada tataran historis, kultural dan sosiologis. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa agama Yahudi, Nasrani dan Islam apabila melihat dari konteks historis-genealogi Ibrahim itu sangat dekat. Jadi munculnya kebencian, saling mengklaim agama paling benar, kekerasan dan lain sebagainya

itu adalah sikap yang salah dalam melestarikan ajaran Ibrahim yang hanif.

Maksudnya mereka sepatutnya menjalani kehidupan bebarengan secara kooperatif dengan menjaga kedamaian, persaudaraan, persahabatan, kekerabatan dan

(13)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

NOTA PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

KEASLIAN SKRIPSI DAN KESEDIAAN DIPUBLIKASI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... x

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Survey Literatur ... 15

F. Metode Penelitian ... 19

(14)

BAB II : SEJARAH MUNCULNYA AGAMA YAHUDI-NASRANI

PADA MASA PRA ISLAM, LAHIRNYA ISLAM DAN

MASA KINI

A. Sejarah dan Perkembangan Agama Yahudi ... 26

1. Masa Pra-Islam dan Lahirnya ... 26

2. Agama Yahudi Modern dan Kontemporer ... 42

B. Sejarah dan Perkembangan Agama Nasrani ... 48

1. Sejarah Pra-Islam dan Lahirnya ... 48

2. Nasrani Dewasa ini ... 59

BAB III : PENAFSIRAN THABATHABA’I DAN EDIP YUKSEL, DKK. TERHADAP AYAT TENTANG YAHUDI-NASRANI A. Biografi Thabathaba’i dan Penafsirannya ... 62

1. Biografi Thabathaba’i ... 62

2. Latar Belakang Tafsir Al-Mizan ... 73

3. Metode dan Corak Tafsir Al-Mizan ... 75

4. Penafsirannya tentang Yahudi dan Nasrani ... 79

a. QS. Al-Baqarah [2]: 62 ... 79

b. QS. Al-Baqarah [2]: 120 ... 88

B. Biografi Edip Yuksel, dkk. serta Penafsirannya ... 90

1. Biografi Edip Yuksel ... 90

2. Biografi Layth Saleh al-Shaiban ... 93

3. Biografi Martha Schulte Nafeh ... 94

(15)

5. Metodologi Penafsiran Edip Yuksel, dkk. ... 101

6. Penafsirannya tentang Yahudi dan Nasrani ... 106

a. QS. Al-Baqarah [2]: 62 ... 106

b. QS. Al-Baqarah [2]: 120 ... 108

BAB IV : PANDANGAN THABATHABA’I, EDIP YUKSEL DKK. TERHADAP PERDAMAIAN ATAS KONFLIK KEBERAGAMAAN A. Pandangan Thabathaba’i terhadap Yahudi-Nasrani ... 109

B. Pandangan Edip Yuksel, dkk. terhadap Yahudi-Nasrani ... 133

C. Relevansi Pandangan Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan ...144

D. Analisis dan Komparasi Penafsiran Thabathaba’i dengan Edip Yuksel, dkk. ... 153

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 162

B. Saran ... 166

DAFTAR PUSTAKA ... 167

LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN 1: BIODATA PENULIS ... 172

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abad kedua puluh satu ini, sebagai zaman yang banyak corak polemik

kehidupan baik dalam dimensi akidah, syariah dan muamalah. Salah satunya

adalah problematika sosial-akidah yang hingga saat ini bagi para ilmuan modern

dan para reformis sangat sulit merumuskan agar menemukan titik temu yang jitu

dalam strategi menuntaskannya. Problematika sosial-akidah ini adalah di mana

masyarakat sudah bercampur menjadi satu dari berbagai pemeluk agama, paham

keagamaan, macam corak pemikiran, dinamika intelektual dan berbagai macam

budaya yang terkumpul menjadi suatu kuantum lampau, masa kini atau antara

keduanya.

Dalam kehidupan sosial-akidah, banyak umat manusia sadar tentang

adanya kesatuan global, yakni ketergantungan satu umat dengan yang lainya dan

keperluan akan saling memahami serta memberi respek antara sesama manusia,

meski memiliki pandangan atau ideologi berbeda, sekat-sekat budaya, agama dan

nasionalitas mulai runtuh—sebuah fenomena yang sebelumnya tidak pernah

terbayangkan, baik para ilmuan termasuk di dalamnya adalah agamawan sendiri—

jika sebelumnya perbedaan ideologi, budaya dan agama acap kali mengantarkan

para pemeluk agama yang satu memusuhi pemeluk agama yang lainya dan bahkan

saling menumpahkan darah, maka di zaman ini mereka niscaya dituntut untuk

saling menghargai dan menghormati, sebab jika tidak maka dikhawatirkan

(17)

dihancurkan. Namun selain demikian dunia ini mudah juga dibangun untuk

merekontruksi kesadaran diri dan menempatkan diri secara proporsional di

tengah-tengah terjadinya peradaban dunia yang tidaklah mudah. Diperlukan

banyak energi untuk usaha tersebut dan diperlukan usaha keras setiap pemeluk

agama untuk sukses mengukuhkan diri sebagai bagian dari umat manusia yang

rindu akan persaudaraan dan perdamaian.1

Akhir-akhir ini, dalam konteks dan harapan idealitas kehidupan, hubungan

Yahudi-Muslim, Nasrani-Muslim ataupun Yahudi-Nasrani ternyata semakin

ditantang oleh berbagai persoalan politik dan ideologi. Perebutan wilayah

geografis dan kekuasaan politik di Palestina, yang sampai sekarang belum ada

titik temu untuk kedamaian, negara konflik tersebut hingga melibatkan berbagai

kepentingan Internasional, hingga konflik nasional yaitu permasalahan politik di

DKI-Jakarta (termasuk problem penistaan agama), telah memainkan peran penting

dalam menumbuhkan kesan semakin negatif pada masing-masing pihak terhadap

pihak lain dan bahkan telah merambat ke dalam pikiran dan suasana hati banyak

orang di dunia ini, baik Yahudi, Nasrani maupun Muslim, akibat dari provokasi

dan ketakutan (fear) yang ditiupkan ke dalam jiwa kebanyakan orang awam

secara tidak henti-hentinya oleh mereka yang terlalu berambisi dan ingin menang

sendiri. Akibatnya, agama dan politik seolah-olah tidak dapat lagi dipisahkan;

kemerdekaan telah diartikan sebagai kemampuan mengalahkan dan menundukkan

lawan. Pada saat-saat agama telah dijadikan alat untuk kepentingan-kepentingan

tertentu, maka tidak ada jalan bagi seseorang untuk "membebaskan diri" dari

(18)

kemelut hal tersebut melainkan dengan cara mengklarifikasi pemahamannya

terhadap agama itu sendiri.2 Upaya memberikan klarifikasi inilah yang merupakan

titik keresahan awal yang mendorong penulis melakukan studi ini.

Sebagai sebuah teks—seperti teks-teks lainnya juga—Kitab Suci al-Qur'an

memiliki sifat-sifat kesejarahan dan kebudayaan tersendiri yang khas. Kekhususan

atau keunikan al-Qur'an terletak pada kenyataan bahwa ia adalah teks yang aktif

merespons sejarah, budaya dan realitas lingkungan masyarakatnya. Diturunkan di

tengah-tengah masyarakat jahiliah dan kaum Ahli Kitab (Ahl al-Kitab), al-Qur'an

bersikap kritis dan juga korektif terhadap berbagai gagasan dan konsep-konsep

tradisional yang dianggap melanggar garis-garis kebenaran dan keadilan

primordial yang telah digariskan Tuhan. Sekurang-kurangnya ada tiga umat yang

dihadapi al-Qur’an pada saat ia diturunkan, yaitu kaum penyembah berhala,

orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani/Masehi. Semua kelompok ini telah

memiliki konsep-konsep keagamaan yang mapan, sehingga al-Qur’an bersikap

sangat hati-hati, namun juga sangat tegas, dalam menghadapi mereka. Banyak

tradisi Arab sebelum Islam yang diadopsi al-Qur’an dengan memberikan beberapa

modifikasi, seperti perkawinan, tata krama dalam kehidupan sosial dan sistem

peribadatan di sekitar Tanah Haram. Di samping itu ada juga kritik-kritik yang

dilancarkan secara evolutif, seperti yang berkaitan dengan larangan

mengkonsumsikan khamr. Kritik yang berkaitan dengan konsep-konsep teologi

dan dasar-dasar kemanusiaan disampaikan al-Qur’an secara lebih tegas dan

bahkan keras. Dalam hal ini al-Qur'an tanpa kompromi menolak, misalnya,

(19)

penyembahan berhala, konsep ketuhanan Isa Almasih dan klaim orang-orang

Yahudi sebagai umat pilihan (semata-mata karena beridentitas Yahudi). Secara

umum dapat dikatakan bahwa al-Qur’an, di samping telah membentuk sebuah

pandangan keagamaan tersendiri, juga telah membangun sebuah sikap keagamaan

tertentu terhadap penganut agama lain yang ikut terlibat dalam interaksi

sosial-budaya sepanjang sejarah kelahiran Islam, yakni sepanjang proses sejarah

turunnya al-Qur’an.3

Kaum Ahli Kitab, terutama kalangan Yahudi, adalah komunitas yang

termasuk menonjol keterlibatannya dalam perkembangan pembentukan keyakinan

Islam. Kelompok ini sering kali berhadapan dengan Nabi, baik dalam suasana

keakraban maupun permusuhan. Komunikasi dan interaksi mereka dengan Nabi

dan kaum Muslim telah menyebabkan banyak ayat al-Qur'an turun memberi

respons, dan hubungan ini dalam beberapa hal berakhir dengan konflik. Memang

harus diakui bahwa yang menjadi sasaran awal al-Qur’an adalah situasi kota

Mekah dengan kehidupan para elitnya yang korup,4 namun kemudian, tidak

terhindarkan, masyarakat Yahudi dan Nasrani ikut terlibat, sebab dalam

pandangan al-Qur’an manusia sesungguhnya adalah umat yang satu.5 Untuk

mengajak manusia melaksanakan kebaikan dan meninggalkan tindakan-tindakan

jahat dan tidak bermoral, pertama sekali yang harus dilakukan adalah meyakinkan

mereka akan adanya konsekuensi-konsekuensi dari semua perbuatannya: kebaikan

akan dibalas dengan pahala yang besar, sedangkan kejahatan akan mendatangkan

3 Zulkarnaini, Yahudi Dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 3-4

4 Fazlur Rahman "Islam's Attitude Toward Judaism," The Muslim World, Vol. LXXII,

No. l, January, 1982, hlm. 1.

(20)

malapetaka yang sangat merugikan. Karena itu al-Qur’an selalu menekankan

pentingnya beriman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal saleh. Berangkat

dari keyakinan inilah persoalan-persoalan teologi mulai muncul, dan para

penentang Nabi di Mekah sering kali menjadikan orang-orang Yahudi sebagai

konsultan mereka untuk mendapatkan argumentasi melawan Nabi. Akibatnya,

al-Qur’an kemudian bukan hanya mengkritik konsep-konsep teologi orang Yahudi

yang dianggap menyimpang tetapi juga "membongkar" berbagai perilaku mereka

dalam sejarah.6

Nabi Muhammad pada awalnya menaruh harapan besar pada orang-orang

Yahudi dan Nasrsni (ahl al-kitab) sebagai pendukung bagi agama yang sedang

beliau dakwahkan, sebab beliau menganggap mereka memiliki basis keyakinan

yang bersumber pada ajaran yang sejalan dengan agama yang beliau bawa.

Interaksi Nabi dan kaum Muslim di satu pihak dengan kaum Yahudi dan Nasrani

di pihak lain kemudian menjadi intens, dan wahyu pun turun memberikan

berbagai tanggapan, mengkritik dan pada akhimya bahkan mengecam

tindakan-tindakan mereka yang ternyata tidak seperti yang diharapkan, yakni justeru

menjadi penentang utama terhadap risalah yang dibawa Nabi.7 Perkembangan

sikap al-Qur’an terhadap Yahudi dan Nasrani (ahl al-kitab) ini menarik, karena ia

bergerak seiring dengan perkembangan kondisi politik dan pembentukan

6 Zulkarnaini, Yahudi dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 4-5

7 Beberapa riwayat menyebutkan bagaimana misalnya orang-orang Yahudi melakukan

(21)

masyarakat Muslim masa awal. Lagi pula, ini menjadi indikasi bagi watak

historisitas (kesejarahan) teks al-Qur’an—sebuah wacana kontemporer yang

tampak masih hangat diperdebatkan. Namun, yang lebih penting di sini adalah

kenyataan bahwa karena demikian seringnya al-Qur'an menyebut tentang Yahudi

dan Nasrani, tidak jarang kaum Muslim menganggap al-Qur'an telah cukup

memadai sebagai referensi untuk mengetahui apa yang perlu diketahui mengenai

Yahudi dan Nasrani tanpa memerlukan sumber-sumber lain. Fenomena ini

merupakan keresahan berikutnya (barangkali keresahan akademik) yang

menggerakkan keinginan penulis melakukan studi ini: bahwa kajian tentang

ayat-ayat mengenai Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an perlu ditelaah kembali

dengan semangat dan pendekatan yang lebih objektif dan ilmiah.8

Agama adalah wilayah perbincangan yang amat luas. Karena itu studi ini

dibatasi pada kajian dari beberapa ayat al-Qur’an tentang Yahudi dan Nasrani.

Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa wilayah "garapan" yang dipergunakan

untuk tulisan ini adalah studi tafsir al-Qur’an. Setidaknya ada tiga istilah yang

menunjuk pada Yahudi, yaitu al-yahud, alladzina hadu, dan hudan. Dalam

al~Qur‘an, kata "Yahudi“ disebut sembilan kali dengan al-ma’nfah dan tanpa al

dalam empat surat, yakni QS. al-Baqarah [2]: 113 (dua kali) dan 120, QS.

Al-Maidah [5]: 18, 51, 64, dan 82, QS. al-Taubah [9]: 30, dan QS. Ali ’Imran [3]:

67.9 Ungkapan dalam ayat-ayat tersebut berisi beberapa hal, yaitu (1) sikap dan

perilaku antara Yahudi-Nasrani, yaitu dalam QS. al-Baqarah [2]: 113, (2) sikap

8 Zulkarnaini, Yahudi dalam AL-Qur’an: Teks, Konteks, dan Diskursus Pluralisme Agama, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 6

(22)

dan perilaku orang Yahudi-Nasrani terhadap Muhammad dan umatnya, yaitu

dalam QS. al-Baqarah [2]: 120, (3) sikap dan perilaku Yahudi terhadap

orang-orang yang beriman, yaitu dalam QS. al-Maidah [5]: 82, (4) pandangan

keagamaan Yahudi-Nasrani, yaitu dalam QS. al-Ma‘idah [5]: 18 dan QS. at

-Taubah [9]: 30, (5) sikap orang~orang yang beriman kepada orang Yahudi dan

Nasrani, yaitu dalam QS. al-Maidah [5]: 51, (6) pandangan keagamaan

orang-orang Yahudi, yaitu dalam QS. al-Maidah [5]: 64, dan (7) penjelasan al-Qur’an

akan ketidakabsahan klaim Yahudi-Nasrani terhadap Ibrahim.

Kemudian menyangkut ayat tentang Nasrani, ada tiga istilah yang secara

lungsung digunakan al-Qur’an untuk menyebut pengikut Isa, yaitu Nasrani,

Nashara, dan Ahl al-Injil. Istilah Nasrani disebut satu kali yaitu dalam QS Ali

Imran [3]: 67. Jumlah yang sama juga untuk istilah Ahl al-Injil, yaitu dalam QS.

al-Maidah [5]: 47. Istilah yang paling banyak digunakan adalah Nashara, yaitu 14

kali yang tersebar dalam empat surat, yaitu QS. Al-Baqarah [2] :62, 111. 113, 120,

135, dan 140, QS. al-Maidah [5]: 14, 18, 51. 69, dan 82, QS. al-Taubah [9]: 30,

dan QS. al-Hajj [22.]:13..82. Dari beberapa kali penyebutan tersebut, baik istilah

Nasrani maupun Nashara hampir selalu disebutkan secara bersamaan dan

berurutan dengan istilah Yahudi, kecuali dalam dua ayat, yaitu QS. al-Maidah [5]:

14 dan 82 yang disebutkan dengan diselingi kata yang lain. Istilah Nashara

bahkan disebutkan secara bersamaan dengan alladzina hadu dan hudan. Ini

sebagai petunjuk bahwa terdapat kesamaan pandangan keagamaan, sikap dan

(23)

mungkin perbedaan ini ditemukan kesamaannya ketika Yahudi dan Nasrani

diungkapkan dengan istilah lainnya seperti Bani Israil, Ahli Kitab atau lainya.

Selanjutnya untuk efisiensi penelitian, penulis akan membatasi dari sekian

pembahasan ayat tentang Yahudi-Nasrani kepada dua ayat yang kontradiktif yaitu

QS. Al-Baqarah [2] ayat 62 dan QS. Al-Baqarah [2] ayat 120. Dalam ayat pertama

dijelaskan bahwa ada keselamatan terhadap orang-orang Yahudi, Nasrani dan

Shabiin yang beriman kepada Allah swt, kemudian ayat yang kedua kontradiktif

dengan ayat yang pertama yaitu bahwa orang-orang Yahudi-Nasrani akan selalu

memusuhi orang Islam hingga orang-orang Islam ikut terhadap ajaran mereka, dan

hal itu menurut dogma agama Islam disebut murtad dan akan menjadi kafir.

Namun dewasa ini dugaan tersebut secara nyata benar-benar menimbulkan

problematika-dialektis yang sangat fundamental menyangkut masalah keyakinan

sehingga terjadi radikalisme perbuatan pemaksaan untuk menyerang dan

memusuhi antara agama satu dengan yang lain atas dasar truth claim. Pada ayat

yang kedua ini apabila dibaca maknanya secara harfiah adalah orang-orang Islam

yang ikut kepada ajaran Yahudi-Nasrani adalah orang-orang yang tidak lagi

mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah swt, ini berarti bahwa tidak

ada keselamatan bagi pengikut ajaran Yahudi dan Nasrani. Satu mengatakan

bahwa ada keselamatan bagi Yahudi dan Nasrani, berikutnya bahwa tidak ada

keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti Yahudi dan Nasrani, atas dasar itu

kedua ayat ini sangatlah kontra.

Dengan paparan di atas penulis memadukan pendekatan pemikiran empat

(24)

Al-Mizan), kemudian yang ditulis oleh Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban dan

Martha Schulte Nafeh (tafsir Quran: A Reformist Translation). Kedua kitab tafsir

tersebut dirasa perlu diduetkan karena authornya sama-sama pakar filsuf dan

menyajikan penafsirannya sesuai dengan konteks kontemporer. Salah satu kitab

tafsir ini, di ambil dari tokoh Timur Tengah dan satunya lagi adalah tokoh Barat

yang termuda dengan pendekatan yang berbeda, bentuk tafsir yang berbeda dan

latar belakang yang berbeda membuat skripsi ini akan dirasa lebih empuk dan

komprehensif sesuai zaman baru-baru ini dalam penyelesaian rumusan masalah

pada skripsi ini. Adapun alasan penulis meneliti tafsir al-Mizan melalui authornya

Imam Thabathaba’i yang mencoba memberi pemahaman utuh akan arti

persaudaraan agama-agama. Dalam pandangannya Thabathabai menangkap dan

menawarkan ideal moral al-Qur’an yang dapat dijadikan jembatan hubungan

agama-agama di dunia, terutama Yahudi-Nasrani-Islam.10 Kemudian di

komparasikan dengan Tafsir Quran A Reformist Translation, karena tafsir ini

merupakan karya tafsir kolaborasi tiga orang, yaitu Edip Yuksel, Layth Shaleh

al-Shaiban, dan Marta Schulte-Nafeh dalam memahami teks suci agama Islam.

Sesuai dengan nama tafsirnya yaitu A Reformist Translation yang terdiri dari

kata Reformist dan Translation. Kata reformis merupakan suatu gerakan

pembaharuan dalam pemikiran Islam terutama yang menyangkut tentang

penafsiran Al-Qur’an. Gerakan ini menggunakan monotheism (tauhid) sebagai

aturan dasar bagi masyarakat dan merupakan dasar dari pengetahuan agama,

sejarah, metafisik, estetika dan etika, seperti halnya sosial, ekonomi dan aturan

(25)

dunia.11 Kemudian kata Translation yang berarti terjemahan yang merupakan

salah satu metode komunikasi antar 2 orang atau kelompok yang ingin memahami

perkataan, konsep, maupun tulisan yang tidak mampu dipahami secara langsung

karena keterbatasan bahasa yang dimiliki. Dengan demikian, terjemah menjadi

sebuah sarana untuk memahami konsep pemikiran yang terkandung dalam sebuah

tulisan maupun perkataan tanpa harus menguasai bahasa yang digunakan. Pada

masa sekarang, terjemah banyak digunakan oleh berbagai kalangan untuk

memahami makna yang terkandung dalam sebuah karya tulis terutama yang

berhubungan dengan kitab suci, baik itu Al-Qur’an maupun Bible.

Apabila kedua kata di atas digabungkan “reformist translation” adalah

model penafsiran Al-Qur’an yang diajukan oleh kaum reformis Islam sebagai

kritik atas penafsiran-penafsiran terdahulu yang cenderung terikat pada tradisi

lokal dan memuat unsur kepentingan politik. Oleh karena itu, kaum reformis

menawarkan model penafsiran yang terlepas dari aturan, kepentingan, pengaruh,

dan ajaran-ajaran yang berasal dari tradisi Islam. Al-Qur’an adalah teks yang

hidup, wahyu Tuhan yang mengungkapkan dirinya sendiri tentang pesan-pesan

yang ingin disampaikan oleh Tuhan. Hal ini bisa berarti tafsir Qur’an bi al

-Qur’an dengan menggunakan logika dan bahasa Al-Qur’an.12

Pemilihan pada kedua tokoh di atas dengan pertimbangan bahwa kedua

tokoh tersebut dari generasi yang berbeda dan sama-sama sebagai ahli filusuf.

11 Teks aslinya berbunyi: “monotheism as an organizing principle for human society and the basis of religious knowledge, history, metaphysics, aesthetics, and ethicsm as well as social, economic, and world order.” Lihat en..m.wikipedia.org/wiki/Liberalism_and_progressivism_

within_Islam, diakses tanggal 18 Desember 2017 jam 19.30 wib.

12 Edip Yuksel, (dkk.), Quran A Reformist Translation (United State of America:

(26)

Judul skripsi ini merefleksikan ketertarikan personal dan intelektual. Dari

berbagai kegalauan yang dialami setelah membaca berbagai literatur sejarah baik

dari sejarah penafsiran Al-Qur’an dan lintas agama-agama yang sebagiannya

dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas. Diskusi antaragama yang selalu

menyangkut ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat polemis ditranformasikan menjadi

ayat yang mendukung suatu gagasan toleransi dan perdamaian dari aspek

kehidupan masyarakat antaragama dengan menggunakan perangkat ayat-ayat

sumber polemik yang banyak dihindari oleh banyak sarjana.

Tentu saja, menghindari ayat-ayat polemik itu bukanlah solusi, karena

kenyataannya, itulah sumber dari banyak kebencian dan kekerasan yang dilakukan

atas nama agama.13 Al-Quran sebagai basis atau titik keberangkatan karena ia

(al-Qur’an dan juga kitab suci semua agama) adalah sumber yang paling potensial

untuk menjelaskan dan mengembangkan berbagai wacana yang berkaitan dengan

isu keagamaan termasuk ayat polemik yang mendatangkan hal yang

negatif/petaka, konflik, provokasi dan bahkan permusuhan antar agama apabila

dipahami dengan pemahaman yang salah. Hanya dengan pemahaman yang

komprehensif dan utuh terhadap Kitab Suci, pokok-pokok ajaran agama akan

dapat ditemukan secara lebih jelas dan jernih, yang pada dasarnya sangat kondusif

untuk dialog antar agama dan wacana “keberagamaan manusia”.14 Inilah latar

belakang yang mendorong penulis melakukan kajian ini: untuk mengkontruksi

kembali pandangan al-Qur’an tentang “orang lain” the other, khususnya Yahudi

13Dikutip dari Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an terhadap Agama Lain, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. x

14 M. Amin Abdullah, Study Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta:

(27)

dan Nasrani, sekaligus sebagai kriitik diri (self criticsm) bagi kaum Muslim, dan

juga untuk menyumbang tambahan khazanah pemikiran yang dapat dijadikan

pertimbangan dalam memposisikan diri atau membuat pemetaan diri di

tengah-tengah kehidupan global dengan cara yang lebih “berwawasan”.

B. Rumusan Masalah

Yahudi dengan kaum minoritas (dibanding Islam dan Nasrani) mampu

menggenggam dunia dengan mempermainkan peta politiknya laksana papan catur

sekehendak hatinya, mungkin ada bahaya yang mengintai dan berupaya

memporak-porandakan peradaban dunia. Yahudi, dihampir seluruh dunia Arab

dan Muslim, telah menjadi simbol segala kejahatan “Yahudi bangsa terkutuk”

demikian dominan mempengaruhi pikiran kebanyakan Muslim dewasa ini.

Nasrani, dengan konsep agama yang berbeda daripada ajaran Nabi Isa as. (Trinitas

ketuhanan), menganggap bahwa dia adalah anak Tuhan yang berkorban untuk

semua umat Nasrani kemudian nantinya dijanjikan masuk surga karena kasih-Nya

Tuhan Bapa Yesus. Nasrani juga menyatakan Nabi Isa as. adalah Yesus yang

disalib (hukum mati) atas penebusan dosa-dosa umat tersebut. Hal ini

mengakibatkan penulis mencari legitimasi kebenaran agama tersebut dengan

merujuk pada al-Qur’an dengan segala penakwilannya dengan menelisik ke dalam

teks ayat dari kitab suci. Jika Yahudi adalah terkutuk (dimurka)15 dan Nasrani

adalah sesat16, bukanlah—sebagai konsekuensi logisnya—berarti dunia

dibersihkan dari jenis masyarakat atau bangsa tersebut? Apakah tidak

bertentangan dengan al-Qur’an itu sendiri yang tidak membeda-bedakan manusia

(28)

atas dasar suku bangsa,17 tidak memaksa manusia memeluk agama?18 Atas dasar

pertanyaan dan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan menjadi

beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah muncul dan perkembangan Yahudi-Nasrani pada Masa

pra Islam, lahirnya Islam, masa kini?

2. Bagaimana penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. terhadap pembahasan

QS. 2 : 62 dan QS. 2 : 120 tentang Yahudi dan Nasrani?

3. Bagaimana relevansi penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. tentang

Yahudi dan Nasrani terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan konteks

kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk

menjawab tiga hal:

1. Menjelaskan sejarah muncul dan perkembangan Yahudi-Nasrani pada Masa

pra Islam, lahirnya Islam, masa kini.

2. Menjelaskan penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. terhadap

pembahasan QS. 2 : 62 dan QS. 2 : 120 tentang Yahudi dan Nasrani.

3. Menjelaskan relevansi penafsiran Thabathaba’i, Edip Yuksel, dkk. tentang

Yahudi dan Nasrani terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan konteks

kekinian.

(29)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis

a. Memberikan wawasan baru tentang agama Yahudi dan Nasrani

perspektif Al-Qur’an yang dikontruksikan kembali dengan konteks

histori dan konteks kontemporer.

b. Memberikan konstribusi terhadap studi tentang agama Yahudi dan

Nasrani perspektif Al-Qur’an.

c. Memperkaya wawasan khazanah keilmuan tafsir dan pengembangan

penelitian sejenis dalam hal agama, yaitu Yahudi dan Nasrani.

2. Bagi IAIN Salatiga menambah literatur pengetahuan bagi mahasiswa

khususnya Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Salatiga

3. Bagi Pembaca

a. Memberikan sebuah bacaan yang mampu memberikan jawaban atas

kegelisahan mengenai agama Yahudi dan Nasrani perspektif

Al-Qur’an yang sesuai dengan konteks kontemporer.

b. Mengenalkan kepada pembaca tentang agama Yahudi dan Nasrani

perspektif Al-Qur’an.

c. Menambah wawasan dan pemahaman yang jernih kepada masyarakat

Islam mengenai agama Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an untuk

membantu kaum Muslim khusunya dalam menata hubungan yang

(30)

d. Menciptakan perdamaian antar agama-agama atas dasar problematika

fundamental dan radikal oleh para kelompok yang sempit wawasan

dari para pelaku truth claim (golongan fanatisme)

E. Survey Literatur

Adapun karya yang relevan dengan proyek penelitian ini adalah:

1. Persaudaraan Agama-Agama Millah Ibrahim dalam Tafsur Al-Mizan.

Buku ini akan menjadi sumber bagi tulisan ini terhadap pembahasan

pandangan Thabathaba’i tentang Agama Yahudi dan Nasrani berupa sikap

dan perilakunya, macam-macam ahli kitab dan dampak kekafirannya

secara sosio-religius.19

2. Isa Putra Maria dalam Injil dan Al-Qur’an, dalam buku ini dibahas

menganai sejarah tentang kelahiran pembawa agama Nasrani yaitu Isa

Almasih.20

3. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas Kritik Al-Qur’an terhadap

Agama Lain. Karya ini merupakan buku pertama yang memberikan

penulis ide dalam membuat judul skripsi ini, dan merupakan buku pertama

yang menggali ayat-ayat al-Qur’an yang membahas agama lain—termasuk

Yahudi dan Nasrani—dengan sudut pandang tafsir modern. Polemik Kitab

Suci bukan hanya memperkaya kajian mengenai tingkat kesulitan yang

dihadapi para Muslim Reformis dalam menafsirkan teks-teks kitab suci,

19 Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016, hlm. iv-x

20 Amanullah Halim, Isa Putra maria dalam Injil dan Al-Qur’an, Tangerang: Lentera

(31)

tapi juga memperdalam tentang reformasi Islam, tafsir dan keragaman

Agama.21

4. Berperang demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam Kristen dan

Yahudi, dari buku ini penulis mendapatkan informasi mengenai sejarah

agama orang Yahudi: para pendahulu, agama orang Islam: semangat

konservatif dan agama orang Kristen: menantang dunia baru.22

5. Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi: dari literatur ini membahas

tentang watak, sifat dan perilaku buruk bangsa Yahudi menurut Al-Quran

secara tekstual.23

6. Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu dan Kini: buku ini membahas

secara kontekstual makna ayat yang membahas Yahudi dan Nasrani yang

ada di Indonesia secara aktual.24

7. “Islam’s Attitude Toward Judaism” ini merupakan judul tulisan Fazlur

Rahman. Fazlur Rahman berargumen bahwa al-Qur’an telah menempatkan

kaum Yahudi dan Nasrani sebagai komunitas yang memiliki dokumen

wahyu sendiri dan dipanggil dengan nama “ahl al-Kitab”. Mereka diajak

untuk melaksanakan ajaran Taurat dan mereka diberikan otonomi sendiri

dalam hal agama dan budaya. Namun al-Qur’an terus mengajak mereka

21 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi atas Kritik Al-Qur’an terhadap Agama Lain, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013, hlm. XXV

22 Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, Bandung: Mizan, 2013, hlm. 5

23 Rizem Aizid, Al-Qur’an Mengungkap tentang Yahudi, Yogyakarta: DIVA Press, 2015,

hlm. 17-18

(32)

kepada Islam dan memandang Yesus sebagai seorang Nabi.25 Fazlur

Rahman juga dengan tegas menyatakan sangat menyayangkan situasi

politik yang telah menimbulkan kondisi yang sangat tidak kondusif bagi

persahabatan Islam-Yahudi sejak pendirian negara Israel, di mana Barat

sangat berperan dalam menciptakan atmosfer ini. Padahal sekitar tiga belas

setengah abad setelah zaman kenabian, hubungan kedua umat ini bukan

hanya damai tetapi juga sangat kooperatif dan bermakna.26

8. Konspirasi Yahudi, buku ini membahas tentang sejarah Yahudi baik nenek

moyangnya dan lahirnya zionis negara Yahudi serta pengaruh agama

Yahudi terhadap Eropa, Amerika dan Asia di zaman kontemporer ini.27

9. Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah Kenabian

Ibrahim dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Buku ini membahas mengenai

sosio-historis silsilah nabi Ibrahim dan keturunanya dan sosio-geografis

pada zaman dahulu.28

10.Status Agama Pra Islam, Kajian Tafsir Al-Quran atas Keabsahan Agama

Yahudi dan Nasrani setelah Kedatangan Islam. Buku ini membahas secara

barani dan mampu menjawab pertanyaan seputar hubungan agama-agama,

bahwa Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya.29

25 Fazlur Rahman, “Islam’s Attitude Toward Judaism,” The Muslim World, no. 1, vol.

LXXII, January 1982, hlm. 5.

26Ibid, hlm. 6

27 Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi, Jakarta: Saufa, 2014, hlm, 3-6

28 Iqbal Harahap, Ibrahim Bapak Semua Agama: Sebuah Rekontruksi Sejarah Kenabian Ibrahim Dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2014, hlm. 2-4

(33)

11.Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan, buku ini sangat

berkonstribusi terhadap tulisan ini dan sebagai pemerkaya wawasan

penulis dalam menggali sejarah kebohongan yang dibuat oleh para

pembohong yang terstruktur atas nama agama Yahudi dan Nasrani

terhadap Islam.30

12.Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, buku ini membahas tentang

keselamatan masuk surga, laknat sebagai pengecualian: argumentasi

Ghazali, semua jalan menuju Tuhan: argumentasi Ibnu Arabi, penebusan

umat manusia: argumentasi Ibnu Taimiyah, melintas batas keberagaman

pluralisme dan universalitas kehati-hatian: Rasyid Ridha dan Sayyid

Qutb.31

13.Agama-agama Besar Masa Kini, buku ini memuat tentang sejarah-sejarah

agama termasuk agama Yahudi dan Nasrani, dari buku ini penulis

menemukan wawasan yang dijadikan pembanding dari buku-buku sejarah

di atas agar pembahasan skripsi ini lebih komprehensif dan luas.32

14.Agama untuk Manusia, buku ini menghadirkan dan meningkatkan

pemahaman serta kerjasama antar pemeluk agama yang berbeda dari

sepuluh tulisan tokoh agama. Dengan pembahasan tersebut dapat

memberikan pengalaman penulis dalam memperluas dan mempertajam

analisis skripsi ini dalam menjawab rumusan masalah.33

30 Majdi Husain Kamil, Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan: Rahasia Di Balik Konspirasi Yang Mengguncang Dunia, Bandung: Mizan, 2015, hlm. 5-6.

31 Mohammad Hasan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, Bandung:

Mizan Pustaka, 2016.

(34)

15.Perbandingan Agama, buku ini memuat tentang uraian beberapa agama,

terutama agama yang diakui pertumbuhan dan perkembangannya di

Indonesia.34

Sangat banyak tulisan, baik yang dikerjakan oleh para sarjana Muslim

maupun non-Muslim, tentang Yahudi dan Nasrani dalam kaitanya dengan Islam,

Nabi Muhammad dan al-Qur’an. Namun sepanjang pengetahuan penulis, belum

pernah diteliti atau ditemukan yang secara komparatif membicarakan topik ini

dalam perspektif tafsir al-Qur’an, dengan melihat langsung apa kata kitab suci ini

tentang Yahudi dan Nasrani melalui tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i dari Iran

dan Tafsir Reformis yaitu kitab tafsir yang diberi nama Quran: A Reformist

Translation karya Edip Yuksel, Layth Shaleh al-Shaiban, dan Marta

Schulte-Nafeh dari Turki yang memberikan elaborasi dan analisa mendalam antara dua

mufasir. Kedua mufasir tersebut juga berbeda asal kelahiran serta kondisi sosial,

agama, budaya dan karakter keilmuannya.

F. Metode Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, untuk lebih terarah dan rasional diperlukan

suatu metode yang sesuai dengan obyek yang dikaji, karena metode merupakan

cara bertindak supaya berjalan terarah dan mencapai hasil yang memuaskan.35

Apakah ada metodologi terbaik dalam memahami al-Qur'an? Ketika ditanya

tentang tafsir al-Qur'an yang paling baik, Hasan al-Banna menjawab: "Hatimu!

Hati orang Mukmin adalah tafsir terbaik terhadap Kitab Allah." Kemudian

al-Banna melanjutkan: "dan metode pemahaman [al-Qur'an] yang paling mendekati

34 Jirhanuddin, Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama,

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2016)

(35)

[kebenaran] adalah dengan jalan seseorang membacanya dengan tadabbur

(penuh perhatian/konsentrasi) dan khusyu' (tunduk/penuh penghayatan) serta

memohon petunjuk dari Allah disertai dengan kesungguhan mengerahkan seluruh

kemampuan pikiran pada saat membacanya."36 Lebih jauh al-Banna menekankan

pentingnya pemahaman terhadap sejarah hidup Nabi dan sejarah turunnya

Qur'an untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap ayat-ayat

al-Qur'an. "Pemahaman" itu, kata al-Banna, adalah cahaya yang terpancar dari lubuk

hati.37

Metode pemahaman yang dilakukan Al-Banna termasuk di antara kata

kunci dalam pengertian hermeneutika bangsa Barat, yang menjelaskan bahwa

pada dasarnya seperti itulah sketsa metodologi yang penulis ingin terapkan untuk

penelitian ini. Penulis sepakat dengan al-Banna dalam hal memberikan kebebasan

dan ruang gerak yang longgar bagi penafsir atau mufassir untuk mengekspresikan

apa yang ia pahami dari al-Qur'an. pada prinsipnya bahwa setiap "mukmin"

memiliki kapasitas untuk memahami al-Qur'an; dan kapasitas tersebut sangat

ditentukan oleh proses dialektika seseorang dengan sejarah, lingkungan sosial dan

peradaban. Dengan jalan demikian, tafsir ayat-ayat al-Qur’an merupakan produk

hermeneutika, produk dari kesadaran subjektif seseorang untuk memberi makna

terhadap teks, serta produk yang merupakan bagian dari sejarah dan peradaban itu

sendiri.

Metode selanjutnya adalah menggunakan metode deskriptif-analitik yaitu

suatu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan dan penyusunan data,

36 Hasan al-Banna, Risalatan fi al-Tafsir wa Surah al-Fatihah, (Beirut Mansyiirat al-'Ashr

al-Hadith, 1972), hlm. 36.

(36)

kemudian data yang sudah terkumpul dan tersusun tersebut dianalisis sehingga

diperoleh pengertian data yang jelas.38

Adapun metode yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa data

dalam penelitian ini adalah gabungan antara metode deduktif induktif komparatif,

metode deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran tentang

detail-detail pemikiran kedua mufassir yang disebutkan di atas dalam menafsirkan ayat

ayat tentang Yahudi dan Nasrani. Metode induktif digunakan dalam rangka

memperoleh gambaran utuh tentang penafsiran kedua mufassir, sedangkan

komparatif dipakai untuk membandingkan penafsiran kedua mufassir tersebut.

1. Model Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian yang

berlandaskan inkuiri naturalistik, perspektif ke dalam dan interpretatif. Inkuiri

naturalistik adalah pertanyaan dari penulis terkait persoalan yang sedang

diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan

kesimpulan khusus yang pada mulanya didapatkan dari pemahaman umum.

Interpretatif penafsiran yang dilakukan untuk mengartikan maksud dari suatu

kalimat, ayat, atau statemen (pernyataan).

2. Bentuk Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu

penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya, dengan cara

pengumpulan data suatu masalah melalui kajian literatur yang berkaitan

dengan pembahasan. Dalam hal ini, masalah yang akan diteliti, ditelusuri

38 Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandimg: Tarsito, 1998), hlm.

(37)

melalui ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan masalah Yahudi dan

Nasrani yang bersumber dari dua kitab tafsir.

3. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Data yang berkaitan langsung dengan tema skripsi dikumpulkan oleh

penulis dari sumber utama penelitian ini, yaitu karya Thabathaba’i tafsir

Al-Mizan39 dan karya Edip Yuksel, Layth Shaleh al-Shaiban, dan Marta

Schulte-Nafeh tafsir A Reformist Translation40 sebagai sumber primernya,

yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah QS. 2 : 62 dan QS. 2

: 120 tentang agama Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder secara tidak langsung merupakan referensi yang

berkaitan dengan tema penelitian, namun referensi tersebut berfungsi untuk

mendukung dan memperkuat data dalam penelitian.

Sumber-sumber data sekunder yang penulis gunakan di antaranya

adalah beberapa kitab tafsir, kitab-kitab ulum al-Qur’an, buku-buku sejarah

agama Yahudi maupun Nasrani dan buku-buku yang relevan dengan tema

skripsi yang penulis teliti. Dan tanpa melupakan karya-karya yang lebih

dulu yaitu buku-buku yang telah disebutkan dalam survey literatur di atas,

sebagai sumber yang sangat menopang skripsi ini dan menjadi literatur

39 Al-Thabataba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-A’lam li al

-Matbu’at, 1411 H/1991 M).

40 Edip Yuksel, (dkk.), Quran A Reformist Translation (United State of America:

(38)

pedoman dalam wawasan-wawasan kemudian pemahaman-pemahaman

yang sangat berharga.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tehnik dokumentasi,

yaitu mencari dan mengumpulkan data primer dan sekunder dari penelitian

kitab-kitab ulama atau karya-karya cendekiawan yang bisa dijadikan literatur,

serta dipandang relevan untuk menunjang penelitian ini. Dengan cara mencatat

data-data tertentu yang dianggap penting dari beberapa literatur, kemudian

mengolah dan mengklasifikasi data-data tersebut sesuai dengan sistematika

pembahasan yang ada.

5. Pengolahan Data

Dalam pengolahan data yang telah dikumpulkan, penulisan atau penelitian

ini melakukan beberapa langkah, yaitu:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data yang diperoleh dari segi

kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevanasi, dan keragamannya.

b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematisasikan data-data

yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan

sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah

c. Penemuan hasil penelitian, yakni melakukan analisis lanjutan terhadap

hasil penyusunan data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan

metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan (inferensi)

(39)

6. Analisis Data

Tujuan utama mengadakan analisis data adalah melakukan pemeriksaan

secara konsepsional atas makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang

digunakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat. Di sini dibutuhkan kejelian

dan ketelitian dalam membaca data.

Setelah data yang diperlukan terkumpul, baik dari sumber primer maupun

sumber sekunder, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data dengan

menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode ini digunakan untuk

memaparkan data-data yang diperoleh dari literatur-literatur yang ada

korelasinya dengan masalah yang diteliti, kemudian diadakan analisis dan

menafsirkan data tersebut secara apa adanya.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, sistematika pembahasan yang disusun oleh peneliti

adalah: Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, survey literatur, metode

penelitian, sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas sejarah munculnya Yahudi-Nasrani pada masa pra

Islam dan lahirnya Islam dengan mengungkapkan histori pembawa agama

Yahudi-Nasrani, serta perkembangan agama Yahudi-Nasrani dewasa ini.

Bab ketiga, dibahas mengenai biografi singkat Thabathaba’i, Edip Yuksel,

dkk. metode dan corak penafsiran serta penafsirannya melalui teks dan konteks

(40)

Bab keempat, analisis terhadap pandangan Thabathaba’i, Edip Yuksel,

dkk. dari teks-konteks ayat tentang Yahudi-Nasrani yang ditafsirkannya dan

relevasninya terhadap perdamaian atas konflik keberagamaan.

Bab kelima, penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan yang

dikemukakan dari awal hingga akhir sekaligus menjawab yang menjadi

pertanyaan pada rumusan masalah dan saran.

(41)

BAB II

SEJARAH MUNCULNYA AGAMA YAHUDI-NASRANI PADA MASA

PRA ISLAM, LAHIRNYA ISLAM DAN MASA KINI

A. Sejarah dan Perkembangan Agama Yahudi

1. Masa Pra-Islam dan Lahirnya

Para ahli Ilmu Agama mengungkapkan bahwa kisah Agama Yahudi

berawal dari peristiwa hijrah dan Perjanjian. Peristiwa hijrahnya Ibrahim dari

kota Ur di Chaldea (Babilonia) ke daerah “Kana’an” (kini Palestina) sekitar

Tahun 2000 SM. merupakan awal sejarah Agama Yahudi. Pada saat itu

kekaisaran Babilonia dipimpin oleh Hamurabi dan pada saat yang sama

kekaisaran Mesir sedang memperluas daerah kekuasaannya.41

Agama Yahudi adalah agama yang diajarkan oleh nabi Ibrahim, yaitu

bahwa Tuhan itu hanya satu. Dari segi keturunan agama ini juga diajarkan oleh

keturunan nabi Ibrahim, yaitu nabi Musa bin Imran yang mempunyai garis

keturunan Musa bin Imran bin Qahat bin Lewi/Levi bin Ya’kub bin Ishak bin

Ibrahim.42 Mengetahui sejarah agama Yahudi sebaiknya dimulai dari nabi

Ibrahim, bukan langsung dari nabi Ya’kub sebagai ayah 12 kepala suku yang

membentuk agama Yahudi,43 namun kita mulai dari nabi Ibrahim sebagai

bapak semua agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam).

41 Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 137.

42 Majdi Husain Kamil, Kebohongan Sejarah yang Menggemparkan: Rahasia Di Balik Konspirasi Yang Mengguncang Dunia, Bandung: Mizan, 2015, hlm. 77.

43Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011),

(42)

Nabi Ibrahim adalah keturunan kesepuluh dari nabi Nuh yang lahir melalui

Sam. Silsilah lengkapnya adalah Ibrahim bin Tarih (Azar) bin Nahur bin Saruj

bin Ra’u bin Falij bin ‘Abir bin Syalih bin Arfaksyad bin Sam bin Nuh.44 Nabi

Ibrahim lahir di Babilonia-Irak sekitar 1997 SM. Dia diusir oleh raja Namrud

dari kota kelahiranya karena dia menentang agama kepercayaan Namrud yang

saat itu juga menjadi sebagai Tuhan. Dia bersama keluarga dan pengikutnya

pergi ke Hara-Siria dan akhirnya menetap di Kana’an-Palestina. Tatkala

Kana'an mengalami masa kekeringan yang panjang, dia, keluarganya, dan para

pengikutnya pindah ke Mesir yang tanahnya lebih subur. Di Mesir ini dia

mudah mencari penghidupan. Saat itu Sarah tidak berani mengaku bahwa

Ibrahim adalah suaminya, tetapi hanya kakaknya. Karena kalau ketahuan

bahwa dia adalah suaminya, tentu dia akan dibunuh raja Mesir. Hal ini karena

raja tersebut suka berbuat demikian terhadap para suami yang isterinya

dikehendakinya. Tetapi maksud raja terhadap Sarah itu tidak pernah tercapai.

Karena di istana, setiap kali ia ingin menyentuh Sarah tangannya menjadi

lumpuh, dan sembuh kembali bila dia dikembalikan pada Ibrahim. Akhirnya

Sarah dikembalikan kepada Nabi Ibrahim seterusnya, dengan disertai banyak

harta dan seorang pembantu bernama Siti Hajar. Selanjutnya Nabi Ibrahim

bersama dengan seluruh pengikutnya, kekayaannya, isterinya-Sarah, dan

pembantunya-Siti Hajar, kembali ke Kana'an. Di Kana'an, karena tak kunjung

punya anak, maka Sarah meminta kepada Nabi Ibrahim agar mengawini Siti

Hajar. Dari perkawinan ini maka lahirlah Nabi Ismail, yang nantinya kawin

(43)

dengan gadis bangsawan Makkah dari suku Jurhurn, dan tinggal di Makkah.

Kira-kira empat belas tahun setelah kelahiran Ismail, Sarah melahirkan seorang

putra yang diberi nama Ishak.45

Dalam tradisi Yahudi dari keturunan Ibrahim yang meneruskan perjanjian

itu adalah Ishak. Sebagaimana disebutkan Tuhan memberkati Ismail, tetapi

menjanjikan Ibrahim dan Sarah yang kelak anaknya bernama Ishak akan

menjadi anak Ibrahim yang tetap berhubungan dalam perjanjian dengan Tuhan

(Kejadian 17:20).46

Bagi Ismael, Aku telah memperhatikan kamu dan dengan ini Aku

memberkatinya. Aku akan membuatnya subur dan tak terkira banyaknya.

Dia akan menjadi seorang Bapak dari duabelas suku, dan Aku akan

membuatnya bangsa besar. Namun mengenai perjanjian-Ku, Aku akan

memelihara Ishak yang dengan Sarah akan melahirkan kamu pada tahun

berikutnya.

Alasan Ismael tidak diikutsertakan dalam perjanjian itu tidak pernah

dijelaskan dalam Bibel. Para ahli cenderung percaya bahwa tujuan cerita ini,

seperti banyak cerita lainnya dalam kitab Kejadian, adalah untuk menjelaskan

hubungan etnik dan bahasa yang erat antara orang Israel dan orang-orang di

antara mereka yang hidup. Dalam kitab Kejadian 21, Hajar dan Ismael dikirim

jauh dari suku Ibrahim, sedikit sekali terdengar soal Ismael dan keturunannya

dalam Bibel. Menurut tradisi Yahudi, Ibrahim memelihara hubungan dengan

anaknya Ismael namun Agama Yahudi tidak mengetahui sesuatu pun soal

45Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 146

(44)

Ibrahim dan Ismael membangun Ka’bah, dan Ibrahim menetapkan Ismael dan

keturunannya di sana.47

Nabi Ishak ini mempunyai dua orang anak yaitu Aishu dan Yakub, dan

tinggal di Kana’an. Nabi Yakub inilah yang melalui ke-12 anak lelakinya, telah

menurunkan bangsa Yahudi.48 Berikut adalah silsilah anak Nabi Ya’kub

melalui empat istrinya:

1. Lea mempunyai anak Robbin, Syam’un, Lewi/Levi, Yahuda, Yassakir,

dan Zaboolan

2. Rahel mempunyai anak Yusuf dan Benyamin

3. Zilfa mempunyai anak Gad dan Asyir

4. Belha mempunyai anak Naftali

Silsilah nabi Ya’qub sebagai berikut:49

47 Lihat Al-Qur’an 2:125-128,395-397, dan 14;37.

48Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 146

49 Syalabi, Sejarah Yahudi dan Zionisme, Alih bahasa Anang Rikza Masyhadi, dkk.

(Jakarta: CV Arti Bumi Intaran, 2005), hlm. 10-15.

Ibrahim

Ismail (Hajar) Ishaq (Sarah)

(Hijaz) Arab (Kana’an) Yahudi

Ya’qub (Israel) mempunyai empat

orang istri, yaitu Lea, Rahel, Zilfa dan Belha.

(45)

Keturunan Yakub selanjutnya adalah Yusup (Yoseph). Cerita Yusup ini

menarik bagi para penganut agama Yahudi dan Islam. Cerita Yusup dengan

saudara-saudaranya terdapat dalam Bibel dan al-Qur’an. Dalam sejarah Yahudi

tercatat bahwa menjelang tahun 1600 S.M., Yoseph membawa bangsa Yahudi

menuju Mesir. Sekitar tahun 1200 S.M., yang saat itu Firaun (Pharoh-pharoh)

memperbudak mereka.50

Yahudi merupakan nama yang diberikan kepada setiap orang yang

meyakini agama Yahudi. Istilah ini diambil dari nama Yahudia (anak-anak dari

nabi Ya’qub) Referensi Yahudi menyebutkan Yahuda lebih penting dari pada

Yusuf.51 Beberapa faktor yang menyebabkan referensi Yahudi tersebut

melebihkan Yahuda dari pada Yusuf adalah:

1. Yahuda memainkan peran yang sangat besar dalam melindungi Yusuf dari

pembunuhan

2. Yahuda yang meyakinkan Ya’qub untuk membawa Benyamin dalam kasus

kelaparan menimpa negeri Kana’an.

3. Yahuda dan anak keturunannya mendapatkan kerajaan.

Suatu ketika Yusuf, putra Yakub, dimasukkan ke dalam sumur tua oleh

saudara-saudaranya, karena mereka menilai ayah mereka, Yakub, terlalu

sayang kepadanya, sehingga mereka menjadi iri hati. Dari dalam sumur Yusuf

diambil oleh serombongan kafilah yang lewat, dan dijual kepada salah seorang

pembesar negara Mesir, yang karena pembesar itu tidak mempunyai anak,

50 Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 138.

51 Torpin dan Khotimah, Agama Katolik dan Yahudi : Sejarah dan Ajaran, (Riau : Daulat

(46)

maka mengangkatnya sebagai anak. Ini terjadi pada 1750 SM. Karena terlalu

tampannya Yusuf, maka ibu angkatnya itu jatuh cinta kepadanya. Tetapi Yusuf

menolaknya, sehingga marahlah ibu itu, dan dia dipenjara. Setelah bisa

menghindari api asmara dari ibu angkatnya, dan terbebas dari hukuman penjara

yang merupakan akibat fitnah terhadap dirinya, maka karena kemampuannya

dalam meramal mimpi raja yang berkaitan dengan nasib negara, akhirnya

Yusuf diangkat sebagai menteri urusan pangan Mesir. Sewaktu Kana'an

mengalami kekeringan, saudara-saudara Nabi Yusuf disuruh oleh bapaknya

untuk membeli gandum di Mesir. Mereka ketemu Nabi Yusuf, dan akhirnya

seluruh keluarga Nabi Yakub pindah ke Mesir.52

Di Mesir mereka ditempatkan di tanah milik negara yang subur. Mereka

bisa hidup dengan baik, jumlah mereka semakin banyak, tetapi adat-istiadat

dan agama mereka tetap terpisah dari adat-istiadat dan agama orang Mesir.

Sehingga lama-kelamaan orang Mesir menjadi benci kepada mereka, dan

mengusahakan agar mereka dijadikan budak saja bagi bangsa Mesir. Tetapi

setelah dijadikan budak, tetap saja jumlah mereka berkembang terus, sehingga

orang Mesir khawatir suatu ketika mereka akan melawan. Untuk menghindari

hal itu, kerajaan Mesir membuat peraturan bahwa setiap bayi laki-laki Yahudi

harus ditenggelamkan, sedangkan bayi perempuan boleh hidup supaya

nantinya menjadi istri orang Mesir. Dalam masalah ini Musa bin Imran (bayi

laki-laki Yahudi) yang dimasukkan ke dalam peti, dan petinya dilempar ke

dalam sungai, peti itu mendekati tempat pemandian putri raja Mesir. Peti itu

(47)

diambil putri raja, dan bayinya diambil sebagai anak angkat raja Mesir.

Walaupun mereka tahu bahwa bayi itu adalah bayi Yahudi, setelah dewasa

suatu ketika Musa harus melarikan diri dari kejaran pemerintah Mesir karena

dia telah membunuh seorang Mesir yang menghina dan berkelahi dengan orang

Yahudi. Dalam pelariannya, oleh Tuhan dia diangkat sebagai seorang nabi bagi

bangsa Yahudi. Maka ia pun berusaha membebaskan bangsa Yahudi dari

penindasan bangsa Mesir.53

Nabi Musa (Moses) yang merupakan keturunan dari Nabi Yusup

memimpin bangsa Yahudi meninggalkan Mesir untuk menyelamatkan diri dari

kejaran raja Fir'aun dan bala-tentaranya menuju Palestina. Ketika Nabi Musa

wafat, mereka belum bisa memasuki pintu wilayah Palestina.54 Peristiwa ini

dalam tradisi Yahudi disebut exodus (keluaran) yang dijadikan nama salah satu

Kitab dari Bibel. Dalam peristiwa ini Musa diyakini oleh penganut Yahudi

mendapatkan ajaran berupa wahyu dari Tuhan di bukit Sinai. Kelak wahyu

tersebut dijadikan Kitab Suci oleh penganut Yahudi. Selama empat puluh55

tahun mengem-bara di gurun bangsa Yahudi mengalami berbagai pengalaman

keagamaan. Bibel sering menggambarkan bangsa Israel tidak mampu untuk

berbuat sesuai dengan perintah Tuhan. Di tengah gurun mereka menyembah

Anak Lembu Emas (Kitab Keluaran 32) gagal meyakinkan Tuhan untuk masuk

ke Negeri yang dijanjikan setelah mendengar laporan dari duabelas pengintai

53Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 147-148

54 William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004), hlm.

vii-ix.

55Hal ini dimaksudkan “selama 40 tahun tidak bisa memasuki negeri Palestina”. Mereka

(48)

(Kitab Bilangan 12-13), dan secara berulang-ulang mengadukan nasib mereka.

Ritual keagamaan ini merupakan pengaruh dari kepercayaan bangsa Mesir,

sebagaimana seorang penulis Kristen,56 Richard Rives dalam Buku Too Long

in the Sun, menulis, “Hathor dan Aphis adalah dewa-dewa sapi betina dan

jantan bangsa Mesir yang merupakan lambang dari penyembahan matahari.

Penyembahan mereka hanyalah satu tahapan dalam sejarah pemujaan matahari

oleh bangsa Mesir. Anak sapi emas di Gunung Sinai adalah bukti yang lebih

dari cukup untuk mengetahui bahwa pesta yang dilakukan berhubungan dengan

penyembahan matahari.”57

Mereka baru bisa memasuki tanah Palestina dari Sinai, dan menguasai

Yerusalem kira-kira pada tahun 1000 SM.58 Yaitu di bawah pimpinan Yoshua.

Selamatnya bangsa Yahudi di bawah pimpinan Nabi Musa dari cengkeraman

Farao Ramses II, raja Mesir abad ke-13 SM itu disebabkan oleh pertolongan

Tuhan. Dalam hubungan ini kitab Keluaran menyebutkan bahwa karena rahmat

Tuhan, maka bangsa Israel diselamatkan dari penindasan bangsa Mesir.59

Setelah Yoshua, terdapat pemerintahan hakim-hakim yang sebenarnya

merupakan pahlawan-pahlawan suku jumlah mereka 12, dan yang terakhir

adalah Samuel. Setelah Samuel ini, orang-orang Yahudi memilih raja mereka,

yaitu Saul. Pada rajanya yang kedua, yaitu Daud (1012-972 SM), semua

suku-suku Yahudi bersatu, sehingga bangsa Yahudi menjadi bangsa yang kuat.60

56 Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 138-139.

57 Richard Rives, Too Long in The Sun (Partakers Pub, 1996), hlm. 130-131. 58 Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi, Jakarta: Saufa, 2014, hlm. 19. 59Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini,... hlm. 148.

(49)

Mereka berhasil menguasai Palestina setelah Nabi Daud berhasil mengalahkan

Jalut atau Goliath. Namun, saat itu mereka masih belum menguasai

sepenuhnya wilayah Palestina.61

Bani Israel mengalami kejayaannya pada masa pemerintahan Nabi

Sulaiman (Solomon), putra Nabi Daud. Raja Sulaiman membangun tempat

Ibadah pertama bangsa Yahudi yaitu kuil Sulaiman.62 Kerajaan ini

membentang dari tepi Sungai Nil hingga Sungai Eufrat di Iraq. Akan tetapi,

sepeninggal Nabi Sulaiman, kerajaan mereka terpecah akibat perang saudara

yang berlarut-larut, hingga akhirnya kerajaan itu terbelah menjadi dua, yakni

bagian utara bernama Israel yang beribu kota Sumeria, sedangkan bagian

selatan bernama Yehuda dengan ibu kota Yerusalem.63 Dan akhirnya kerajaan

mereka terbagi menjadi kerajaan kecil-kecil. Kerajaan purba inilah yang

sekarang dijadikan alasan historis untuk mengklaim sahnya negara Yahudi di

Palestina sekarang. Padahal, kerajaan Yahudi dalam sejarah Nabi Daud dan

Nabi Sulaiman tidak lebih dari sebuah kota dan desa-desa sekelilingnya. Hanya

karena kebiasaan saja, bangsa Yahudi memanggil pemimpinnya dengan

sebutan 'Raja'.64

Pada 738 SM kerajaan Israel dikalahkan oleh Assiria65 yang dirajai oleh

Sargeus dari Yunani. Dan pada 586 SM Yerusalem dikalahkan oleh

61 Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 19

62 Ilim Abdul Halim, Agama Yahudi sebagai Fakta Sejarah dan Sosial Keagamaan, Jurnal Agama dan Lintas Budaya (Vol 1, 2 Maret 2017), hlm. 139.

63 Kaka Alvian Nasution, Konspirasi Yahudi,... hlm. 19

64 William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2004), hlm.

vii-ix.

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi perpustakaan tidak selalu harus berada di depan, bisa saja untuk kepentingan integrasi dan kemudahan pengguna, dibuatkan satu antarmuka baru dengan teknologi

Pemberian ekstrak tinta cumi per oral dengan dosis 2,4 g/kg BB setiap harinya selama 15 hari pada tikus Wistar dengan induksi aterosklerosis dapat memperbaiki profil

Maerupakan bentuk ujian test hasil hafalan yang didapat santri selama berada di kelas tahfidz tersebut. Pelaksanaannya berdasarkan cepat atau lambatnya santri dalam

Menurut Bapak Riza selaku Kepala Unit Suroboyo bus menyatakan bahwa sumber daya manusia yang ada untuk mengelolah program ini sudah baik, untuk bagian operasonal

Pada prinsipnya, perbedaan tekanan pada sisi upstream dan downstream dari core plug akan menyebabkan fluida dapat mengalir, namun hal yang patut diperhatikan adalah dalam

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

Kalau masalah yang terlibat dilihat dari jenis kasusnya, kalau kasusnya melibatkan guru mata pelajaran maka harus adanya guru tersebut. Bila kasusnya tidak bisa

 biaya, dilatarbelakangi lemahnya akuntabilitas untuk mengelola sistem akuntansi, kurang sistem akuntansi, kurang adanya peran anggaran, dan ketidaktepatan dalam mencatat