BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis
C. Analisis dan Pembahasan
Dalam workshop yang diadakan di Kota Surakarta mengenai Bus Rapid Transit, Enrique Penelosa mantan walikota Bogota Kolombia yang menata kotanya dengan sustainable system ketika beliau masih menjabat walikota, dan hal ini yang perlu kita cermati dan pahami sebagai mindset baru, dengan mengembangkan sistem transportasi perkotaan berbasis Bus Rapid Transit sesuai standar teknis dan prosedural yang ada. Pada kesempatan workshop tersebut, Enrique Penelosa menyatakan:
“ Adapun penerapan BRT di Kota-kota di Indonesia belum bisa dikatakan BRT, masih banyak catatan yang perlu adanya pembenahan karena untuk di Surakarta sendiri, pengembangan BRT belum bisa dikatakan tepat. Hal ini dikarenakan, sisi kependudukan dan sarananya yang belum memadai akan standarisasinya.”
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Bapak Taufiq Muhammad, S.Sit, Staff Bidang Angkutan, dan argumen diatas dipertegasnya lagi berdasarkan analisisnya terhadap kesesuaian sistem transportasi Surakarta yang semestinya.
“ Sedangkan menurut saya meningkatkan jaringan transportasi dan pelayanan transportasi sudah cukup untuk melayani konsep transportasi perkotaan di Surakarta.”
Kasus BRT di Indonesia sendiri harus bisa menanamkan pengertian dalam implementasi program BRT sebagai moda yang terintegrasi antar moda dan yang paling penting adalah pengertian rapid dan transitnya, rapid bermaksud cepat, tanpa harus menunggu lama, sedangkan transit penumpang bisa bertukar transportasi hingga sampai ke tempat tujuan dengan sistem
pembayaran single trip. BRT merupakan transportasi masa depan yang mengedepankan pelayanan dan keramahan hidup manusia, maka ini perlu menjadi perhatian para pimpinan kota untuk terus mengembangkan BRT sebagai operator utama (single) transportasi perkotaan.
Memahami BRT, maka Pemerintahan Kota Surakarta mempunyai hak standar minimal pelayanan, hal ini menuntut kepada operator untuk bisa memaksimalkan pelayanannya demi kepuasan publik. Namun pihak Damri dalam hal ini sebagai operator masih mengalami kendala pada pendanaan dan berharap akan adanya suntikan subsidi. Mengingat secara garis besar antara pemerintahan dan Damri sebagai BUMN memiliki orientasi yang berbeda, dimana pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan semaksimal mungkin, sedangkan Damri sebagai BUMN dituntut memberikan pelayanan, yang juga berorientasi pada profit. Asas dualisme tadi menjadi tuntutan Damri dalam mengoperasionalkan program BRT.
Dalam kasus pengoperasionalan BRT di Kota Surakarta terkesan Damri mendapatkan tuntutan pressure, namun hal ini dinyatakan oleh Damri bukan sebagai bentuk eksploitasi pemerintahan untuk menyerahkan beban dan tanggungjawab program BRT ini, karena berdasarkan beberapa analisis non matematis, program ini menjadi peluang Damri, yang dimana program BRT menjadi program yang berkelanjutan. Jadi logikanya untuk koridor pertama ini menjadi pengalaman Damri untuk kedepannya siap bersaing dengan operator swasta apabila semua layanan utama akan dijalankan oleh BST (Batik Solo Trans).
Dalam pengertian Pemerintah Kota Surakarta terhadap konsep BRT yang saat ini berjalan, belum dapat dikatakan BRT dengan pengertian seutuhnya karena ini masih berupa pilot project, seperti dilangsirkan dalam Surat edaran pemerintah pusat, yang mengatakan program BRT dioperasikan sebagai pilot project atau stimulan. Pemerintah Surakarta dalam menjalankan program tentunya tetap mendasari dari program Kementrian Perhubungan Republik Indonesia dan juga mendapatkan bantuan technical Asisstance dari GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit) Jerman serta CDIA (Cities Development Initiative for Asia) yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Kota Surakarta beberapa tahun terakhir guna membantu mengatasi akar permasalahan transportasi di Kota Surakarta. Jadi BRT di kota Surakarta baru tahapan pra-FS, jadi disini belum berbicara BRT tapi lebih memfokuskan pengertian pada peremajaan angkutan umum dengan manajemen, kendaraan dan shelter yang baru. Hal ini diutarakan Bapak Taufiq Muhammad sebagai berikut:
” Disini pemerintah Kota Surakarta mencoba mengganti armada yang sudah berjalan, nah kerjasama dengan GTZ itulah yang nantinya menjadi acuan kita (Pemerintah Kota surakarta) untuk mengembangkan sistem transportasi perkotaan”. (Taufiq Muhammad, S.Sit, Staff Bidang Angkutan)
Melihat realita akan keberadaan BRT sebagai transportasi masa depan, maka tahapan awal yang dimaksud diatas menurut Bapak Taufiq Muhammad menjadi sangat berbeda menurut Sdr. Sasangka Adi, yang mana beliau menegaskan sebagai berikut:
“ Dukungan antar daerah menjadi keharusan untuk keberhasilan program BRT ini. Sedangkan tingkat kepadatan transportasi solo commit to user
hanya disaat pagi dan sore ketika orang-orang berangkat sekolah/kerja dan pulang kerja, maka hal prioritas terbaiknya dengan diimbanginya kebijakan untuk mengurangi angka penjualan kendaraan bermotor, seperti mobil dan motor, dimana untuk mendapatkan kreditnya sangatlah mudah, sehingga saya pikir sampai sekarang Perum Damri masih disubsidi untuk maintenance BRT tersebut, adapun untuk bensin dan onderdil saya rasa mereka terus butuh suntikan dana yang lumayan cukup besar.
Aspek legalitas pengembangan BRT di Kota Surakarta tersusun dalam 3 naskah perjanjian, secara substansi yang membedakan dengan kota lain adalah penunjukkan operator tidak melalui tender, melainkan penunjukkan langsung. Menyangkut soal aspek legal secara formal dan detail dalam menanggapi BRT sebagai sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan, belum tersentuh dan belum tersusun dalam draft khusus sebagai ranah legislatif untuk memberikan acuan normatif pengoperasionalannya.
“ Jadi Batik Solo Trans disini bukan menjadi ranah legislatif tapi ini ranah eksekutif yang menjadi tugas harian kita, dimana pekerjaan ini sudah berjalan dan kita meningkatkan lagi pelayanannya. kita melihat dalam pengembangan koridor pertama ini, sebelumnya menjadi trayek dan peluang usaha milik Damri, maka kami menunjuknya sebagai operator dan kita (Pemkot Surakarta) tidak mengubah secara signifikan dari apa yang ada pada koridor ini, tapi kita (Pemkot Surakarta) mencoba meningkatkan pelayanan dan kualitas publik transportnya dengan jenis bus yang berbeda, jenis shelter yang berbeda dan SOP yang berbeda. Jadi sekali lagi kami (Pemkot Surakarta) tidak memakai proses tender-tenderan karena ini secara subtansi adalah peremajaan yang berprinsip pada perbaikan layanan publik transport dengan model yang baru.” (Taufiq Muhammad, S.Sit, Staff Bidang Angkutan)
Peremajaan diatas berafirmasi pada pengertian peremajaan moda saat ini, mengingat Batik Solo Trans merupakan inovasi moda modern yang dikembangkan oleh pemerintah kota Surakarta dengan dikerjasamakan kepada Damri sebagai operator. Perkembangan transportasi di Surakarta dapat
dikatakan cukup pesat dan bervariasi dalam hal jenis alat angkutannya. Hal ini ditandai sejak tahun 1891 mulai dikenal sarana transportasi yang disebut dengan kereta trem. Kereta trem juga dapat disebut sebagai cikal bakal sarana transportasi umum yang bersifat massal di Surakarta. Sarana transportasi umum bermotor lainnya yang pernah ada dan cukup populer di Surakarta adalah bemo. Selain bemo sebagai sarana transportasi massal yang populer di Surakarta, terdapat pula angkuta dan bus kota.
Sarana transportasi umum yang disebutkan sebelumnya, yaitu bemo adalah yang kemudian diremajakan menjadi angkuta (Angkutan Kebutuhan Kota). Kemunculan angkuta pada tahun 1978 pada dasarnya adalah upaya peremajaan alat transportasi umum sebelumnya yaitu bemo yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan tata kota Surakarta. Penyediaan sarana transportasi angkuta adalah merupakan realisasi dari pemerintah dalam bidang perhubungan dan transportasi yang dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pelayanan di bidang transportasi di Surakarta, khususnya di daerah pinggiran kota guna mempererat ikatan ekonomi masyarakat antar daerah pusat kota dengan daerah pinggiran kota. Dalam mengatur segala urusan peremajaan Bemo ini, dikeluarkan Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor: 198/Kep/B.3/1978 Tentang Pembentukan Tim Peneliti Pengawasan dan Pelaksanaan Kredit Investasi Kecil Massal Peremajaan Bemo, sedangkan kehadiran angkuta di Surakarta sendiri diatur dengan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 52/Kep/B.3/1978.
Upaya pemenuhan kebutuhan armada angkuta pada waktu itu, pemerintah mendirikan dua perusahaan pengangkutan untuk menyediakan armada. Perusahaan tersebut adalah Koperasi Angkutan Jalan Raya (Kop. AJR) dan PT. Persamonis. Kelahiran Kop. AJR diatur dalam Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta, Nomor: 185/Kep/B.3/1978 tanggal 27 Oktober 1978. Kop. AJR hanya menyediakan sejumlah 60 armada. Dalam pelaksanaannya, Kop. AJR bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, Solo Motor dan Sumber Harapan Motor dalam hal kredit kepemilikan angkuta. Dalam Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta, Nomor: 197/Kep/B.3/1978 tanggal 29 Desember 1978. Syarat untuk mengajukan kredit angkuta adalah dengan menyerahkan sertifikat tanah atau rumah sebagai jaminannya dan membayar uang muka sebesar Rp. 325.000,-. Harga untuk tiap unit armada pada waktu itu adalah Rp. 1.800.000,- dan harus lunas dalam jangka waktu empat tahun. Armada angkuta yang disediakan oleh Kop. AJR berwarna hijau.
Kelangsungan kedua perusahaan penyedia armada angkuta tersebut tidak mampu berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena buruknya manajemen di dalamnya dan penyalahgunaan wewenang. Ketiadaan kedua perusahaan tersebut tidak banyak berpengaruh terhadap keberadaan angkuta sendiri karena pada dasarnya fungsi kedua perusahaan tersebut hanyalah sebagai pihak penyedia/pengadaan kebutuhan armada. Selanjutnya untuk
segala urusan mengenai angkuta diambil alih oleh pemerintah daerah yang bekerjasama dengan instansi terkait lainnya seperti Organda.
Pada tahun 1983 rute yang dilalui angkuta juga kembali mengalami perubahan total dengan pembagian sebanyak 7 rute. Hal ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 551.2/93/I/1983. Rute baru tersebut antara lain:
a) Klewer - Kartosuro PP. b) Klewer - Colomadu PP. c) Klewer - Kartosuro PP.
d) Klewer - Perumnas Mojosongo PP. e) Klewer - Pasar Mangu PP.
f) Klewer - Perumnas Palur PP. g) Klewer - Daleman PP.
Alasan perubahan rute tersebut adalah dikarenakan telah dioperasikannya bus kota bertingkat (double decker) di Surakarta. Perubahan rute kembali dilakukan pada tahun 1985 dengan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 551.2/189/I/1985, tertanggal 8 Oktober 1985. Pertimbangan perubahan rute ini adalah dikarenakan rute sebelumnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan kota dan pemerataan pelayanan akan jasa transportasi bagi masyarakat. Rute tersebut adalah:
a) Jongke - Jurug PP. b) Jongke - Tirtonadi PP.
c) Jongke - Kadipiro PP.
d) Kadipiro - Gading via Jl. Ahmad Yani PP. e) Kadipiro - Jurug via Tirtonadi PP.
f) Tirtonadi - Gading PP.
g) Kadipiro - Gading via Mojosongo PP. h) Kadipiro - Jurug via Mojosongo PP.
i) Jongke - Kadipiro via Jl. Slamet Riyadi PP.
Angkuta pada awal kemunculannya pernah mengalami masa kejayaan yaitu antara 1978 sampai dengan 1983. Masa kejayaan yang dimaksud adalah pada waktu itu angkuta sebagai satu-satunya sarana transportasi massal di Surakarta. Faktor lain yang mendukung masa kejayaan angkuta adalah jalur yang dilalui angkuta tidak hanya terbatas pada dalam kota, melainkan telah mencapai daerah luar kota seperti Kartosuro, Daleman, Gumpang, Ngasinan (Kabupaten Sukoharjo) dan Palur, Colomadu (Kabupaten Karanganyar), serta syarat kepemilikan armada angkuta sangat mudah. Selain itu untuk mendapatkan ijin usaha dan ijin trayek juga dapat dikatakan tidak terlalu sulit. Adapun persyaratan untuk memperoleh ijin trayek tersebut antara lain:
a) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP).
b) Fotocopy Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
c) Kartu Pengawas (KP) yang disahkan Kepala Cabang Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR).
d) Buku tanda uji kendaraan bermotor (KIR).
e) Kartu Pengawas (KP) per trayek yang disahkan Walikotamadya Surakarta.
f) Ijin usaha yang disahkan Walikotamadya Surakata.
Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka kemudian akan diberikan surat ijin trayek kepada pengusaha angkuta. Dalam surat ijin trayek tersebut terdapat beberapa penetapan-penetapan antara lain tentang trayek yang akan dilalui, tarif pengangkutan, lama berlakunya surat ijin, serta syarat- syarat lain yang diperlukan untuk kepentingan umum.
Syarat-syarat lainnya yang kemudian wajib dipenuhi oleh pengusaha angkuta sebagaimana tertuang dalam halaman lampiran Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 52/Kep/B.3/1978 adalah:
a) Perusahaan berbentuk badan hukum. b) Telah memiliki ijin usaha.
c) Telah terdaftar sebagai anggota ORGANDA.
Keberadaan angkuta di Surakarta tidaklah selalu mengalami masa kejayaan. Dalam hal ini Angkutan Kebutuhan Kota juga mengalami masa kemunduran yang sangat nampak pada periode tahun 1984. Faktor utama yang menyebabkan kemunduran bagi angkuta pada masa itu adalah buruknya manajeman internal angkuta dan keberadaan bus kota di Surakarta. Bus kota, terutama bus tingkat (double decker) menjadi ancaman serius bagi keberadaan angkuta karena mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang lebih banyak dan tarifnya murah dan flat, serta jalur yang dilalui hampir bersinggungan dengan jalur yang dilalui angkuta.
Bus kota Perum Damri yang berbentuk tingkat mulai beroperasi di Kotamadya Surakarta pada tanggal 6 Juni 1983 dengan Surat Keputusan Ijin Trayek dari Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya Propinsi Jawa Tengah Nomor: 551.2/002126/1983 dan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor: 551.2/130/1983. Surat Keputusan ini berisi pemberian ijin trayek dengan mobil bus umum kepada Perum Damri. Sebuah bus tingkat mampu mengangkut penumpang sebanyak 119 orang. Hal inilah yang membuat angkuta merasa kehilangan penumpang mengingat rute yang dilaluipun sama. Rute yang dilalui bus kota tingkat tersebut adalah Kartosuro - Jl. Brigjend Sudiarto - Jl. Slamet Riyadi - Jl. Urip Sumoharjo - Jl. Kol. Sutarto - Palur.
Sejalan dengan diberlakukannya arah jalan baru pada Jl. Slamet Riyadi, yaitu dari perempatan Gendengan hingga Gladag menjadi satu arah secara horizontal dari barat ke timur mulai pukul 06.00-22.00, maka rute bus tingkat Damri juga mengalami perubahan. Terhitung sejak tanggal 13 April 1985 dengan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta No. 551/73/I/1983, rute bus tingkat Damri berubah menjadi: dari arah Barat ke Timur, yaitu Kartosuro - Jl. Slamet Riyadi - Jl. Jendral Sudirman - Jl. Urip Sumoharjo - Jl. Kol. Sutarto - Jl. Ir. Sutami - Palur, sedangkan dari arah Timur ke Barat, yaitu Palur - Jl. Ir. Sutami - Jl. Kol. Sutarto - Jl. Urip Sumoharjo - Jl. Jendral Sudirman - Jl. Paku Buwono - Jl. dr. Radjiman - Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo - Jl. Slamet Riyadi - Kartosuro.
Selain bus kota tingkat Damri, pemerintah kemudian juga memberikan ijin kepada pihak swasta untuk ikut berpartisipasi dalam menunjang kelancaran transportasi di Surakarta dengan memberikan pengoperasian bus kota kepada Karsono Hadiputranto sebagai pemilik PO. Surya Kencana, dalam Surat Keputusan Walikotamadya Surakarta Nomor: 551.2/204/I/1985 tertanggal 31 Oktober 1985.
Hal ini membuat angkuta semakin tersisih dan kesulitan mencari penumpang. Para pengemudi angkuta kemudian menuntut pemerintah daerah untuk diijinkan kembali melalui Jalan Slamet Riyadi, namun tuntutan tersebut tidak dapat dipenuhi dan untuk selanjutnya rute angkuta tetap mengacu pada Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 551.2/189/I/1985, dimana rute yang disebutkan dalam Surat Keputusan tersebut tidak ada yang melaui Jalan Slamet Riyadi.
Melihat keadaan yang semakin memburuk ini, maka para pengusaha angkuta bersepakat untuk mengadakan peremajaan terhadap angkuta itu sendiri yang juga dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kemajuan kota. Upaya yang dilakukan oleh para pengusaha tersebut tidak langsung dapat terealisasi. Namun berkat kerja keras dan keseriusan dari para pengusaha, akhirnya upaya yang dilakukan tersebut mendapatkan respon yang positif dari pemerintah. Setelah diadakan beberapa kesepakatan dan pertimbangan, maka pemerintah akhirnya mengijinkan mulai beroperasinya angkuta produk peremajaan dari angkuta sebelumnya, yaitu angkuta “Sala Berseri” efektif mulai tanggal 26 Mei 1987.
Istilah Angkuta Sala Berseri sebenarnya hanyalah istilah yang digunakan sebagai pengganti/menyebut angkuta yang sebelumnya, yaitu Angkutan Kebutuhan Kota. Penggunaan istilah “Sala Berseri” didasarkan pada semboyan kota Surakarta, yaitu “Sala Berseri” dan juga berdasarkan keadaan kota pada waktu itu yang masih rapi dan tertata, tidak semrawut seperti sekarang ini. Setiap periode sepuluh tahun sekali pemerintah mewajibkan kepada para pengusaha angkuta untuk melakukan peremajaan angkuta.
Hingga tahun 1998, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor: 006 Tahun 1998 tanggal 19 Oktober 1998, jumlah jalur dan trayek angkuta di Surakarta akan diuraikan dibawah ini:
1. Jalur 01A.
Jalur ini melayani trayek Pasar Klewer - Pabelan PP, mempunyai armada sebanyak 74 dan bempernya berwarna kuning.
2. Jalur 01 B
Jalur ini melayani trayek Pasar Klewer - Palur PP, mempunyai armada sebanyak 31 dan bempernya berwarna kuning.
3. Jalur 02
Jalur ini melayani trayek Pasar Klewer - Gading - Tirtonadi PP, mempunyai armada sebanyak 20 dan bempernya berwarna hijau.
4. Jalur 03
Jalur ini melayani trayek Pajang - Tirtonadi PP, mempunyai armada sebanyak 40 dan bempernya berwarna coklat.
5. Jalur 04
Jalur ini melayani trayek Wonorejo - Kadipiro - Silir PP, mempunyai armada sebanyak 30 dan bempernya berwarna hitam.
6. Jalur 05
Jalur ini melayani trayek Tirtonadi - Gading PP, mempunyai armada sebanyak 20 dan bempernya berwarna merah tua.
7. Jalur 06
Jalur ini melayani trayek Pasar Klewer - Kadipiro PP, mempunyai armada sebanyak 49 dan bempernya berwarna oranye.
8. Jalur 07
Jalur ini melayani trayek Perumnas Mojosongo - Gading PP, mempunyai armada sebanyak 59 dan bempernya berwarna biru tua.
9. Jalur 08
Jalur ini pada tahun 1998 merupakan jalur yang baru akan diadakan yang akan melayani trayek Gonilan - Tirtonadi PP, armada yang dibutuhkan pada saat itu sebanyak 30 dan bempernya berwarna ungu.
10. Jalur 09
Jalur ini melayani trayek Gading - Kadipiro PP, mempunyai armada sebanyak 25 dan bempernya berwarna putih.
Dari kesepuluh jalur yang sudah resmi tersebut, angkuta jalur 03, jalur 05 dan jalur 08 merupakan jalur baru hasil penyempurnaan jaringan trayek yang telah direncanakan sejak tahun 1987. Ketiga jalur tersebut pada tahun 2001 mengalami perubahan rute yang dilewati karena seringnya terjadi konflik dengan angkuta jalur lain dan bus kota yang melalui rute yang sama. Perubahan rute tersebut diatur dalam Surat Keputusan Walikota Nomor 551.2/039/2001 tanggal 22 Februari 2001 Tentang Perubahan Jalur Pengoperasian Angkuta Kota Surakarta. Adapun perubahan jalur tersebut adalah:
1. Jalur 03
Sesuai SK Walikotamadya Surakarta Nomor 006 Tahun 1998, jalur ini paralel dengan jalur 06 mulai dari Kadipiro sampai dengan Terminal Tirtonadi dan paralel dengan jalur 09 mulai dari Kadipiro sampai dengan Ngipang. Jalur 03 trayeknya diubah menjadi Pajang - Pasar Legi - UNS PP.
2. Jalur 05
Jalur ini paralel dengan jalur 06 mulai dari Pasar Legi sampai dengan Terminal Tirtonadi. Adapun perubahan trayeknya adalah menjadi Gading Permai - Terminal Tirtonadi - Kadipiro (Krembyongan) PP.
3. Jalur 08
Jalur ini paralel dengan jalur 01A mulai dari Pabelan sampai dengan Kleco. Perubahan trayeknya menjadi Karangasem - Terminal Tirtonadi - Mojosongo PP.
Selain dioperasionalkannya kesepuluh jalur tersebut, ada satu jalur lagi yaitu jalur 11 dengan trayek Plupuh (Sragen) - Kandangsapi PP. Trayek ini sudah ada sejak tahun 1974 namun pada waktu itu masih berplat hitam. Walaupun sudah berplat kuning, namun keberadaan jalur 11 ini menuai banyak protes dari banyak pihak seperti angkuta jalur lainnya. Selain belum dilengkapi surat izin resmi dan kendaran yang tidak pernah diujikan berkala, rute yang dilalui juga menyalahi aturan dengan terus masuk ke kota sampai Pasar Legi, Terminal Tirtonadi dan Beteng Plasa.
Adapun prinsip dari pengembangan publik transport yang berbasis BRT tidak memungkinkan Damri dan operator swasta lainnya tersingkir oleh adanya jaringan Batik Solo Trans, Namun disini pemerintah berusaha untuk memberikan peluang kepada setiap operator yang selama ini melayani transportasi perkotaan untuk ikut berpartisipasi dalam meremajamakan kendaraannya ke dalam sistem transportasi baru yang berorientasi pada kualitas pelayanan, efisiensi biaya dan efektivitas nilai dan manfaatnya. Karena kedepannya pemerintah memiliki grand planning untuk semua trayek perkotaan menjadi jaringan utama Batik Solo Trans itu sendiri, sedangkan Angkuta diberdayakan sebagai pengumpan (Feeder Trunk).
“Kedepannya pemberdayaan angkutan kota dijadikan sebagai layanan feeder trunk, sedangkan layanan Batik Surakarta Trans menjadi layanan utama semua melalui pengembangan koridor yang ada, nah dalam pengembagan koridor lainnya, kemungkinan akan dijadikan proses tender, sehingga operator swasta lainnya dapat berpartisipasi sebagai operator BST.” (Taufiq Muhammad, S.Sit, Staff Bidang Angkutan)
Menyangkut angkuta yang harus diberdayakan, angkuta saat ini kurang lebih 50% berhenti beroperasi yang disebabkan semakin berkurangnya penumpang, hal ini disebabkan banyak faktor yang berakibat membengkaknya biaya operasional. Budaya konsumtif dengan kepemilikan transportasi pribadi yang menyingkirkan banyak aktor transportasi umum tergeserkan perannya. Hal ini menurut Bapak Joko Suprapto sebagai Ketua Organisasi Angkutan Darat, dikarenakan kebijakan yang pada saat itu bermula dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuka pintu lebar atas masuknya sejumlah akses teknologi modern ke dalam negeri. Hal ini berdampak pada nilai prestisius akan kepemilikan barang modern tersebut, yang kaitannya dengan ini adalah warga seolah-olah berlomba-lomba mendatangkan kendaraan pribadi demi menunjang mobilitas mereka. Kebijakan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun perlahan membentuk karakteristik masyarakat konsumtif dan hal ini berpotensi tinggi dalam menggunakan kendaraan pribadi yang akhirnya mematikan peran pengusaha angkutan umum lainnya.
Koridor pertama pengembangan Batik Solo Trans saat ini sangat gemuk, maksudnya menjadi trayek yang bersinggungan dengan beberapa operator swasta lainnya. Hal ini dapat dilihat didalam tabel sebagai berikut:
Tabel 11
Persinggungan Rute Batik Solo Trans dengan Angkutan Umum Swasta Lainnya di Jalur 1 dan 2 Koridor I Batik Solo Trans
Jalur 1 Bus Kota: DD, A, ([B,C,D,E] frekuensi trayek yang sering terjadi persinggungan rute dengan Batik Solo Trans) Angkot: 01A
Adapun crowd yang terjadi pada Jalur 1, terdapat di Pabelan (pertigaan besar UMS), Kerten (perempatan besar