BAB III METODE PENELITIAN
3.9 Analisis Data
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian yaitu komponen rumah, sarana sanitasi, perilaku penghuni, dan gambaran riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.
BAB IV HASIL 4.1 Gambaran Umum Wilayah
4.1.1 Geografi
Kecamatan Paranginan merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan. Kecamatan Paranginan merupakan pemekaran dari Kecamatan Lintong Nihuta. Kecamatan Paranginan beribu kotakan Onan Raja Desa Sihonongan.
Wilayah Kecamatan Paranginan terletak antara 2˚ 13’ Lintang Utara – 2˚
20’ dan 98˚ 57’ Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Paranginan adalah 54 km2 dan terletak antara 1000 – 1500 meter di atas permukaan laut.
Batas-batas wilayah Kecamatan Paranginan adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Kecamatan Muara
Sebalah Selatan : Kecamatan Siborong-borong Sebelah Timur : Kecamatan Muara
Sebelah Barat : Kecamatan Lintong Nihuta 4.1.2 Demografi
Kecamatan Paranginan terletak didataran tinggi dengan udara yang dingin.
Jumlah penduduk di Kecamatan Paranginan adalah 12.969 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Sihonongan adalah 1979 jiwa yang terdiri dari 1005 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 974 jiwa berjenis kelamin perempuan. Pada umumnya mata pencaharian pokok masyarakat Kecamatan Paranginan adalah bertani dan sebagian kecil berdagang.
4.2 Karakteristik Responden
Karakteristik responden meliputi umur, status pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan terakhir yang ditamatkan. Karakteristik responden di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik
Karakteristik Responden Frekuensi (orang) Persentasi (%) Umur
Kegiatan observasi yang dilakukan di Desa Sihonongan menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 25-40 tahun yaitu 36 orang (60%). Pada umumnya responden bekerja sebagai petani kopi dan sayur mayur yaitu 55 orang (91,7%) dan seluruh responden memiliki pendapatan rata-rata Rp
1.000.000/bulan. Pendidikan terakhir responden yang ditamatkan lebih banyak pada tingkat SMP yaitu 32 orang (53,3%).
4.3 Kondisi Rumah
Penilaian rumah sehat dilakukan berdasarkan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI 2007). Pedoman teknis ini disusun berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Kriteria rumah ditentukan dengan menghitung skor. Skor adalah total perkalian antara nilai dengan bobot. Skor untuk rumah yang memiliki nilai tertinggi pada setiap aspek adalah 1280. Rumah dikategorikan sehat atau memenuhi syarat jika total perkalian antara nilai dengan bobot berkisar antara 80%-100% dari total skor atau 1024-1280. Rumah dikategorikan tidak sehat atau tidak memenuhi syarat jika total perkalian antara nilai dengan bobot < 80% total skor atau <1024.
Berdasarkan observasi yang dilakukan di Desa Sihonongan didapat hasil bahwa rentang skor dari 60 rumah balita yang diteliti adalah 287 - 856 atau sekitar 22% - 67% dari total skor sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh rumah tergolong tidak sehat.
Kondisi rumah tinggal dari 60 sampel penelitian di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Penilaian Rumah Sehat
b. Ada, kotor, sulit dibersihkan, dan rawan
kecelakaan 8 13,33
tembok/pasangan bata atau batu yang tidak diplester/papan tidak kedap air.
43 71,67 c. Permanen(tembok/pasangan bata atau
batu yang diplester), papan kedap air 17 28,33
3. Lantai
a. Tanah 0 0
b. Papan/anyaman bambu dekat dengan
tanah/plesteren yang retak dan berdebu 25 41,67 c. Diplester/ubin/keramik/papan (rumah
b. Ada, luas ventilasi permanen <10% dari
luas lantai 9 15
c. Ada, luas ventilasi permanen >10% dari
luas lantai 0 0
7. Lubang asap dapur
a. Tidak ada 60 100
b. Ada, luas ventilasi dapur <10% dari luas
lantai dapur 0 0
c. Ada, luas ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur (asap keluar dengan untuk dipergunakan membaca dengan normal
19 31,67 c. Terang dan tidak silau sehingga dapat
dipergunakan untuk membaca dengan
normal 10
16,67
N
memenuhi syarat kesehatan 0 0
c. Ada, milik sendiri dan tidak memenuhi
syarat kesehatan 0 0
d. Ada, bukan milik sendiri dan memenuhi
syarat kesehatan 4 6,67
e. Ada, milik sendiri dan memenuhi syarat
kesehatan 52 86,67
b. Ada, bukan leher angsa, tidak ada tutup,
disalurkan ke sungai/kolam 0 0
c. Ada, bukan leher angsa, ada tutup,
disalurkan ke sungai/kolam 2 3,33
d. Ada, bukan leher angsa, ada tutup, sumber air (jarak dengan sumber air <10 m)
0 0
c. Ada, dialirkan ke selokan terbuka 0 0 d. Ada, diresapkan tetapi tidak mencemari
sumber air (jarak dengan sumber air >10 m)
0 0
e. Ada, disalurkan ke selokan tertutup
(saluran kota) untuk diolah lebih lanjut 0 0 4. Sarana
N
Berdasarkan kegiatan observasi yang dilakukan di Desa Sihonongan, kondisi rumah tinggal dari 60 sampel penelitian di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Komponen rumah
Pada umumnya rumah yang dihuni penduduk tidak memiliki langit-langit rumah yaitu 50 rumah (83,33%). Sebagian besar rumah penduduk memiliki dinding dengan kategori semi permanen/setengah tembok yaitu 43 rumah (71,67%). Lantai rumah penduduk dalam kondisi diplester (semen) yaitu 35 rumah (58,33%). Pada umumnya rumah telah memiliki jendela kamar tidur yaitu 50 rumah (83,33%) dan jendela ruang keluarga yaitu 59 rumah (98,33%). Pada umumnya rumah yang dihuni penduduk memiliki ventilasi. Namun ventilasi tersebut ditutup dengan karton atau triplek akibat suhu udara yang sangat dingin yang berkisar antara 16-19˚C sehingga digolongkan tidak memiliki ventilasi rumah yaitu 51 rumah (85%). Seluruh rumah tidak memiliki lubang asap dapur, dan kondisi pencahayaan rumah penduduk lebih banyak dalam kondisi yang tidak
terang sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal yaitu 31 rumah (51,67%).
2. Sarana Sanitasi
Pada umumnya rumah telah memiliki sarana air bersih yang tergolong dalam kategori milik sendiri dan memenuhi standar kesehatan yaitu 52 rumah ( 86,67%). Sebagian besar rumah telah memiliki jamban leher angsa dan septic tank yaitu 39 rumah (65%). Seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah, dan pada umumnya rumah tidak memiliki sarana pembuangan sampah yaitu 55 rumah (91,67%).
3. Perilaku Penghuni
Berdasarkan kegiatan observasi penelitian yang dilakukan di Desa Sihonongan didapat hasil penilaian bahwa lebih banyak penghuni rumah yang membuka jendela kamar setiap hari yaitu 30 rumah (50%). Sebagian besar penghuni rumah membuka jendela ruang keluarga setiap hari yaitu 45 rumah (75%). Sebagian kecil penghuni rumah membersihkan halaman rumah kadang-kadang yaitu 34 rumah (43,33%), lebih banyak penghuni rumah yang membuang tinja balita ke jamban setiap hari yaitu 32 rumah (53,33%), dan pada umumnya penghuni rumah membuang sampah secara sembarangan, ke kebun, atau langsung dibakar yaitu 56 rumah (93,33%).
4.4 Penyakit Berbasis Lingkungan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Paranginan, penyakit berbasis lingkungan yang tertinggi berdasarkan jumlah kunjungan di Desa Sihonongan adalah ISPA, diare, dan penyakit kulit. Pada bulan Maret sampai
dengan Juni 2016, terdapat 47 kasus ISPA, 19 kasus diare, dan 17 kasus penyakit kulit.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden dari sampel penelitian yaitu balita yang terdiri dari 33 laki-laki dan 27 perempuan di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan didapat hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3 Riwayat Keluhan Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita
Keluhan Jumlah
Balita
Persentasi (%) Perut mulas, frekuensi BAB meningkat, dan
konsistensi tinja yang lembek atau encer selama kurang dari 14 hari.
5 8,33
Batuk dan pilek yang berlangsung selama kurang lebih 14 hari.
11 18,33
Ruam, kemerahan dan gatal pada kulit 6 10
Tidak ada riwayat penyakit 38 63,33
Jumlah 60 100
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita tidak memiliki keluhan penyakit, yaitu 38 orang (63,33%), sedangkan yang memiliki keluhan penyakit sebanyak 22 orang (36,67%).
BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan terakhir responden yang ditamatkan lebih banyak pada tingkat SMP yaitu 32 orang (53,3%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden masih tergolong rendah.
Tingkat pendidikan yang masih rendah mungkin disebabkan oleh penghasilan keluarga yang masih rendah dan tidak mencukupi karena pada umumnya masyarakat Desa Sihonongan bekerja sebagai petani. Kondisi ini membuat akses masyarakat terhadap pendidikan menjadi sulit untuk dijangkau.
Jenis pekerjaan dan keadaan ekonomi penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh yang lebih baik, misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat. Tingkat pendidikan yang lebih baik memungkinkan seseorang dapat menyerap informasi lebih baik dan juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi setiap masalah yang dihadapi, termasuk masalah kesehatan. Tingkat pendidikan seseorang akan memiliki andil besar dalam pola pikir dan masalah kesehatan. Tingkat pendidikan juga menentukan pengetahuan terhadap sesuatu khususnya pengetahuan tentang kondisi lingkungan dalam penanganan keluhan penyakit.
5.2 Deskripsi Kondisi Rumah Tinggal
Hasil penilaian rumah berdasarkan observasi dan wawancara menunjukkan bahwa tidak terdapat rumah yang tergolong sehat. Aspek-aspek rumah yang tidak memenuhi syarat pada umumnya adalah :
5.2.1 Komponen Rumah 1. Langit-langit
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pada umumnya rumah tidak memiliki langit-langit yaitu 50 rumah (83,33%). Rumah yang tidak memiliki langit-langit dapat mengakibatkan debu yang berasal dari atap tidak terhalang dan langsung jatuh menuju ruangan rumah. Debu-debu yang berterbangan dapat mengganggu pernafasan. Debu-debu yang jatuh dari atap juga dapat menempel di lantai. Menurut penelitian Mahpudin dan Mahkota (2007), lantai rumah yang berdebu, cenderung lembab dan gelap merupakan kondisi yang ideal bagi bakteri untuk tetap hidup, misalnya bakteri penyebab ISPA. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki langit-langit yaitu delapan orang (72,73%).
2.Ventilasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya rumah memiliki ventilasi yang ditutup dengan karton atau triplek akibat suhu udara yang sangat dingin yang berkisar antara 16-19˚C sehingga digolongkan tidak memiliki ventilasi rumah yaitu 51 rumah (85%). Ventilasi udara berhubungan dengan pertukaran udara dari dalam ke luar ruangan. Ketika seseorang berada di dalam ruangan terjadi peningkatan kelembaban udara yang disebabkan penguapan cairan
tubuh dari kulit dan karena pernafasan. Pada kondisi tidak terjadi pertukaran udara secara baik maka akan terjadi peningkatan jumlah dan konsentrasi bakteri, misalnya bakteri penyebab ISPA. Pada umumnya balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sembilan orang (81,81%). Menurut penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005), risiko terjadinya infeksi saluran pernafasan akut akan meningkat bila kondisi ventilasi buruk.
Sedangkan menurut penelitian Widodo (2007), ventilasi tidak memberikan pengaruh pada kejadian infeksi saluran pernafasan akut.
Ruangan yang lembab akibat ventilasi yang kurang juga dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan jamur yang dapat mengganggu kesehatan kulit. Hasil penelitian menunjukkan enam sampel balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi.
3. Lubang Asap Dapur
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa seluruh rumah tidak memiliki lubang asap dapur. Mereka hanya menggunakan pintu atau jendela sebagai tempat pergantian udara ketika melakukan aktivitas dapur. Oleh sebab itu, hampir 50% rumah yang diteliti dipenuhi asap dapur yang mengepul sampai ke ruang keluarga dan kamar saat melakukan aktivitas memasak. Hal ini juga diperparah oleh aktivitas memasak yang masih menggunakan kayu untuk membakar. Pertukaran udara yang tidak berlangsung dengan baik ini dapat mengakibatkan asap dapur atau asap rokok terkumpul dalam rumah sehingga balita yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Menurut Widodo (2007), pembakaran menghasilkan pertikulat yang
bersifar iritan yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernapasan (Widodo, 2007).
4. Pencahayaan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa rumah penduduk lebih banyak memiliki kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu 31 rumah (51,67%). Kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah membuat rumah terasa sumpek, pengap, panas, dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan penghuni. Selain berguna untuk penerangan sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh bakteri penyebab penyakit tertentu, misalnya bakteri penyebab ISPA. Hasil penelitian menunjukkan sampel balita yang menderita ISPA lebih banyak tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu enam orang (54,55%). Tetapi hal ini tidak cukup untuk menyatakan bahwa penyebab ISPA adalah karena kondisi pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat. Menurut Yusup dan Sulistyorini (2005), pencahayaan yang kurang memadai merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernafasan.
Ruangan yang lembab akibat pancahayaan yang kurang juga dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan jamur yang dapat mengganggu kesehatan kulit. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar sampel balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu empat orang (66,67%).
5.2.2 Sarana Sanitasi
1. Sarana pembuangan air limbah
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sehingga air tergenang tidak teratur di halaman rumah. Air limbah banyak mengandung mikroorganisme patogen. Salah satu penyakit yang disebabkan mikroorganisme yang ada pada air limbah adalah diare. Mikroorganisme ini akan dibawa oleh vektor atau serangga yang akan diinfeksikan kepada manusia melalui makanan dan minuman. Menurut Fauzi (2005), Limbah rumah tangga yang dibuang ke sarana pengelolaan air limbah yang terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan risiko diare pada anak. Menurut penelitian Sudasman (2014), SPAL yang tidak memenuhi syarat memiliki potensi 2 kali lipat untuk menyebabkan diare.
Menurut hasil penelitian Nurdiyanti (2008), kondisi saluran pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat berpotensi untuk menimbulkan penyakit diare karena air limbah ini akan mudah meresap ke dalam sumber air bersih sehingga menyebabkan pencemaran. Selain itu, saluran pembuangan air limbah yang dibiarkan terbuka, tidak lancar, dan becek ini akan dengan mudah menjadi tempat berkembangbiaknya jasad renik atau makhluk hidup dan vektor penyebab penyakit diare.
2. Sarana pembuangan sampah
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pada umumnya rumah tidak memiliki sarana pembuangan sampah (tempat sampah) yaitu 55 rumah (91,67%). Penghuni rumah sering membuang sampah secara sembarangan, ke
kebun, atau langsung dibakar. Sementara itu bila terjadi proses pembakaran dari sampah maka asapnya dapat menggangu pernafasan, penglihatan dan penurunan kualitas udara karena ada asap di udara. Pembakaran juga menghasilkan pertikulat yang bersifar iritan yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernapasan (Widodo, 2007). Penyakit sesak nafas juga disebabkan bau sampah yang menyengat yang mengandung Amonia Hydrogen, Solfide dan Metylmercaptan. Hasil penelitian menunjukkan sebelas sampel balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki sarana pembuangan sampah.
Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat menjadi tempat peistirahatan lalat. Dimana lalat adalah vektor berbagai penyakit perut, salah satunya diare (Slamet, 2014).
Insidensi penyakit kulit juga dapat meningkat karena penyebab penyakitnya hidup dan berkembang biak di tempat pembuangan dan pengumpulan sampah yang kurang baik. Penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung ataupun melalui udara. Hasil penelitian menunjukkan enam sampel balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki sarana pembuangan sampah.Tidak tersedianya sarana pembuangan sampah juga merupakan faktor risiko terjadinya diare. Menurut Fauzi (2005), tempat sampah terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan kejadian diare pada anak.
5.3 Deskripsi Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita
Gambaran riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita yang tinggal di desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dengan jumlah sampel 60 balita yang terdiri dari 33 laki-laki dan 27 perempuan adalah sebagai berikut:
5.3.1 ISPA
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 11 balita yang mengalami ISPA.
Sebagian besar balita penderita ISPA berjenis kelamin laki-laki yaitu 8 balita (72,73%). Sebagian besar balita yang mengalami ISPA adalah balita dengan golongan umur <4 tahun yaitu delapan balita (72,73%). Sebagian besar balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki langit-langit yaitu delapan orang (72,73%). Hal ini mungkin disebabkan debu yang berasal dari atap tidak terhalang dan langsung jatuh menuju ruangan rumah. Debu-debu yang berterbangan dapat menggangu pernafasan. Balita yang menderita ISPA pada umumnya tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sembilan orang (81,82%). Hal tersebut dapat menjadi faktor risiko ISPA disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, dan terjadi peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit sehingga akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA. Seluruh balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki lubang asap dapur. Hal ini juga diperparah oleh aktivitas memasak yang masih menggunakan kayu untuk membakar. Pertukaran udara yang tidak berlangsung dengan baik ini dapat mengakibatkan asap dapur
terkumpul dalam rumah sehingga balita yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Sampel balita yang menderita ISPA lebih banyak tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu 6 orang (54,55%). Kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah membuat rumah terasa sumpek, pengap, panas. Selain berguna untuk penerangan, sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan dan membunuh bakteri penyebab penyakit tertentu, misalnya bakteri penyebab ISPA.
5.3.2 Diare
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 balita yang mengalami diare.
Sebagian besar balita penderita diare berjenis kelamin laki-laki yaitu tiga balita (60%). Balita yang mengalami diare pada umumnya terjadi pada balita dengan golongan umur <4 tahun yaitu 4 balita (80%). Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sehingga air tergenang tidak teratur di halaman rumah. Air limbah banyak mengandung mikroorganisme patogen. Salah satu penyakit yang disebabkan mikroorganisme yang ada pada air limbah adalah diare. Mikroorganisme ini akan dibawa oleh vektor atau serangga yang akan diinfeksikan kepada manusia melalui makanan dan minuman. Menurut Fauzi (2005), Limbah rumah tangga yang dibuang ke sarana pengelolaan air limbah yang terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan risiko diare pada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya responden tidak memiliki sarana pembuangan sampah, yaitu 55 (91,67%). Tidak tersedianya sarana pembuangan sampah juga merupakan faktor risiko terjadinya diare. Menurut Fauzi (2005),
tempat sampah terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan kejadian diare pada anak.
5.3.3 Penyakit kulit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 balita yang mengalami penyakit kulit. Sebagian besar balita penderita penyakit kulit berjenis kelamin laki-laki yaitu 4 balita (66,67%). Balita yang mengalami penyakit kulit lebih banyak pada golongan umur ≥ 4 tahun yaitu 3 balita (50%). Seluruh balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi.
Hal tersebut dapat menjadi faktor risiko penyakit kulit. Hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah menjadi tidak lancar, dan meningkatnya kelembaban ruangan karena proses penguapan cairan dari kulit.
Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga mendukung terjadinya penularan penyakit, misalnya perkembangbiakan jamur yang dapat menimbulkan gangguan pada kulit. Sebagian besar balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu empat orang (66,67%). Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah maupun bagian lain dari rumah yang terbuka, selain berguna untuk penerangan sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya pada panjang gelombang 4000 A sinar ultra violet (Azwar, 1990).
Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup, karena suatu rumah yang tidak mempunyai cahaya selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan penyakit (Prabu, 2009).
Menurut Sukini (1989), sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri patogen. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam ruangan rumah terutama ruangan tidur.
Orang tua balita menyatakan bahwa balita yang mangalami diare dan ISPA dibawa ke puskesmas atau ke bidan desa utuk mendapatkan pengobatan, sedangkan balita yang mengalami gangguan pada kulit, sebagian besar diobati di rumah dengan menggunakan cara tradisional.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
1. Rentang skor dari 60 rumah balita yang diteliti adalah 287 - 856 atau sekitar 22% - 67% dari total skor sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat rumah sehat dari 60 rumah yang diteliti di Desa Sihonongan.
2. Kondisi komponen rumah antara lain pada umumnya rumah yang dihuni penduduk tidak memiliki langit-langit, sebagian besar memiliki dinding dengan semi permanen, sebagian kecil lantai diplester namun sudah retak dan berdebu, pada umumnya memiliki jendela kamar dan jendela ruang keluarga , pada umumnya tidak memiliki ventilasi. Seluruh rumah tidak memiliki lubang asap dapur, dan kondisi pencahayaan rumah penduduk lebih banyak dalam kondisi yang tidak terang.
3. Kondisi sarana sanitasi rumah antara lain pada umumnya rumah telah memiliki sarana air bersih yang tergolong dalam kategori milik sendiri dan
3. Kondisi sarana sanitasi rumah antara lain pada umumnya rumah telah memiliki sarana air bersih yang tergolong dalam kategori milik sendiri dan