• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Data

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI (Halaman 67-85)

Setelah memaparkan hasil penelitian dari masing-masing informan, pada bagian ini peneliti akan memaparkan unit-unit yang memiliki makna psikologis dari keseluruhan informan. Jika menemukan adanya unit-unit makna yang tidak memiliki makna psikologis, maka hal ini akan diabaikan dalam bagian ini. Unit-unit psikologis yang muncul merefleksikan pertanyaan dari penelitian ini, yaitu bagaimana resiliensi pada penyintas bunuh diri. Untuk lebih detailnya, unit-unit psikologis akan dipaparkan sebagai berikut:

a. Negative life events

Beragam kejadian dialami ketiga informan dalam hidupnya. Tidak jarang, kejadian yang tidak diinginkan pun hadir menyapa. Bahkan beberapa kejadian menyakitkan pun masih melekat kuat dalam pikiran ketiga informan dan kejadian-kejadian itu dapat menjadi pemicu pikiran-pikiran buruk lainnya muncul. Beberapa pengalaman dialami oleh ketiga informan di dalam kehidupan bersama dengan keluarga mereka.

“sebenernya dari keluarga saya sendiri saya di kurang perhatian gak pernah dikasih mobilitas dan dibeda-bedain tu Mbak. Dalam artian kakak saya dibelikan ini adek saya dibelikan motor saya cuma suruh tunggu rumah” (T, 22-26)

“Bapak itu bilang orang ngomong apa saya ikuti jangan mbantah karena orang itu ngeliat saya, bukan saya yang liat jadi kayak hmm

mungkin kayak gitu ya mindsetnya dari kecil kebawa jadi ya gitu.” (L, 73-75)

“Eee meskipun aku gak deket sama mereka, perpisahan mereka tetep bikin aku sedih, karena keluarga aku udah ga utuh dan gimana ya eee tau kalau mereka sudah gak serumah itu rasanya menyakitkan sih” (M, 40-43)

Kejadian-kejadian buruk nan menyakitkan yang dialami ketiga informan dalam keluarga, melahirkan suatu pemikiran baru tentang mereka masing-masing. Selain itu, perlakuan orangtua memberikan dampak bagi T dan L. T mempertanyakan apakah orangtuanya menyayangi dirinya atau tidak, karena dibandingkan dengan orang lain T merasa orangtuanya tidak sayang pada dirinya karena ia memiliki kondisi fisik yang berbeda dari orang lain. Sedangkan, L tumbuh menjadi pribadi yang kurang mencintai dirinya sendiri dikarenakan sebuah nasihat dari ayahnya yang mengatakan bahwa L harus menuruti perkataan orang lain dan itu membuat L menjadi lebih memerhatikan perasaan orang lain ketimbang dengan perasaannya sendiri.

“kenapa orang tua saya gak peduli kan gitu to sedangkan orang lain sing baru kenal ini baru kenal lo gak sedarah lo eee maksud e apa gak sayang sama saya ya, apa eee karna ya saya gini cacat tapi ya mereka orangtua saya” (T, 114-118)

“Kalau ehm apa ya aku kalau orang lain ngomong aku lebih memikirkan perkataan orang lain dari pada diriku sendiri, yah I dont care aku gak peduli apa ya bahasa kasarnya aku gak pedulilah sama diriku yang penting orang lain senang.” (L, 62-66)

Berbeda dengan M yang memiliki kisah negatif akan perpisahan orangtuanya. Perpisahan orangtua M sangat menyakitkan baginya, hal tersebut berpengaruh pada dirinya. M menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.

“waktu Papa Mama pisah tuh ya kayak aduh sedih hmm aku habis itu kayak janji sih aku gak mau menikah eee karena itu sih aku jadi sulit percaya sama hubungan dan sama orang lain sih gimana ya ternyata orang yang sudah diikat sama janji suci aja bisa pisah kok ya pemikiranku sih.” (M, 28-31)

Selain memiliki pengalaman menyakitkan dalam keluarga, ketiga informan juga memiliki pengalaman menyakitkan di lingkungan sekitar mereka. Seperti pengalaman dibully karena kekurangan yang mereka miliki, diremehkan orang lain, tidak memiliki teman hingga pernah menjadi korban pelecehan.

“tetangga eee temen-temen di sekolah dulu juga mbak mikir saya gak bisa ee sehingga saya bingung” (T, 26-28)

“beberapa kali itu apa namanya melakukan kekerasan fisik gitu kayak ndorong dari tangga ngelemparin Aku barang gitu tapi ya gak pernah sampai luka ehm jatuh pernah luka tapi gak pernah ngasih tau orang sih karena ya, Aku gak mau ngasih tau karena ya ngapain, gak ada guna sih pasti” (L, 283-287)

“aku pernah dilecehkan sama dulu sih dia pacarku, dan tau gak eee itu yang dihukum aku doang. Aku gak boleh ikut semua kegiatan selama setahun bayangin, dan ya si cowok itu bebas” (M, 70-72); “mereka eee gatau masalah sebenernya terus ikut main labrak aja. Kayak aduh eee bukan urusanmu koe ki sopo. Tapi waktu dulu aku ya cuma nangis eee nangis sendirian juga ya mereka berbanyak terus ngata-ngatain aku ya eee jahat sih terus pake bilang ya pantes ortunya cerai hahaha itu kuinget banget sih jahat banget deh itu ya. Kek gimana ya eee kenapa gitu yang kena masalah gue kok lu ambil pusing? Ngerugiin idup lu juga kagak kok lu ikutan ngehakimin gue” (M, 107-113)

b. Motivasi bunuh diri

Motivasi bunuh diri kebanyakan berasal dari keinginan seseorang untuk lari dari rasa sakit yang ia rasakan. Begitu pula dengan apa yang diinginkan oleh ketiga informan. T berkeinginan melakukan bunuh diri agar dirinya tidak bisa melihat perlakuan tidak adil yang dilakukan keluarganya pada dirinya.

“La nek tekanan, tekanan keluarga tekanan lingkungan lama-lama gak betah yo mbak, punya sodara tapi si A si B si C dikasih, ketika saya minta motor harga satu juta limaratus, gak dikasih saya gak dibelikan terus adik saya minta belikan motor satria langsung dibelikan yo mbak e mungkin nek merasakan itu yo wes lah nek ngene ki mending ra ruh sisan gitu to mbak nek saya pergi dari rumah tapi kan masih denger adimu bar dibelikan motor masih denger to mbak tapi kan nek udah meninggal dah gak denger selamanya.” (T, 233-243)

L mengaku hal yang membuatnya berani melakukan percobaan bunuh diri adalah saat dirinya mendapat nilai jelek yang kemudian membuatnya berpikir bahwa orangtuanya menganggapnya sebagai sebuah kegagalan. Hal tersebut dipicu oleh sikap kedua orangtuanya yang tidak berbicara dengan L dan menyuruh L tidur di luar serta L tidak diajak pergi pada saat mereka sekeluarga pergi makan di luar.

“Aku nilainya jelek terus jadi kayak apa ya, pandangannya ngeliat Aku jadi kayak gagal hehehe. Ya mungkin itu kan hanya perasaan. Aku juga gak tau pemikiran Bapak waktu itu apa, apa yang Bapak pikirkan juga ndak tau, Aku menyimpulkan bahwa Bapak merasa Aku itu gagal, eee ya karena Bapak sampai segitu marahnya gitu Aku akhirnya kan ngambil kesimpulan bahwa aku udah bener gagal ditambah lagi Bapak gak ngomong sama Aku 2 hari, Mama juga sama” (L, 198-205);

“Aku gak papa, tapi yang gak bisa Aku tahan itu ya orangtua masih gak mau ngomong sama Aku, ehm itu kan agak memperparah perasan gitu jadi kayak awalnya sih mikir dulu hehehe kayak ada ehm ada perkataan yah bodoh gak berguna gitu-gitu. Terus lama-lama yaudah mati aja kayak gitu” (L, 214-218)

Hal yang membuat M memiliki dorongan untuk mengakhiri hidupnya adalah setelah ia berhasil menggugurkan kandungannya. Saat itu, M merasa dirinya sudah menjadi seorang pembunuh, ditambah lagi pemikiran bahwa tidak akan ada yang sedih ketika ia meninggal memperkuat keinginan dalam dirinya untuk mengakhiri hidupnya. Selain itu, M merasa bahwa dengan mati ia sudah menghukum dirinya yang telah membunuh anaknya sendiri.

“Hancur banget aku eee ga ngerti lagi itu berat banget kayak apa ya gatau deh eee ya aku pembunuh anak aku sendiri. Hancur banget itu aku, kayak gimana ya wah udah jadi seorang pembunuh. Itu sih yang bikin aku bener-bener ingin mati aja aku. Semua kejadian yang dulu-dulu juga kayak meloncat keluar lagi kayak apa ya ehm ditambah ini aku semakin merasa aku gak guna banget. Waktu itu juga mikir sih, sebenernya kalo aku mati gak ada yang sedih juga kayaknya.” (M, 191-197)

c. Perkembangan motivasi bunuh diri menjadi perilaku bunuh diri

Jika seorang individu akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri, itu artinya individu tersebut telah kehilangan harapan untuk penyelesaian masalah-masalah mereka dan merasa tidak ada jalan keluar selain mengakhiri hidupnya. Dalam hal ini, ketiga informan telah melakukan suicide attempt yang berarti mereka melakukan percobaan bunuh diri namun tidak sampai menyebabkan kematian. Baik T, L maupun M ketiganya tidak hanya melakukan percobaan bunuh diri satu kali, namun mereka melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri.

“saya melakukan percobaan bunuh diri, ha kan sebelum kan Mbaknya nek mau beli tiket kereta api tu kan lihat jadwal. Saya mau bunuh diri pun lihat jadwal. Kereta mana yang paling tercepat dan jam berapa ha kan gitu to biasanya setengah satu jam 1 jam setengah 2 hoo segitu jam setengah 3 hoo to” (T, 128-133);

“Saya itu temen saya pada mabuk, punya saya tak campur baygon tak campur autan, nah kan abis itu nah saya kan namanya juga orang mabuk to mbak jadi pada minum tapi gak tau nek temen saya tu pada minum to maksud e yang saya racik kan pengennya tak minum sendiri haa berempat itu yang selamet itu eeh yang berlima itu cuma dua og mbak sama saya yang tiga meninggal.” (T, 167-175);

“Iki tukokke wipol ra ono suworo. Ya di dobrak itu, itu dah tapi belum masuk tenggorokan sih mbak belum masuk dalem, terus sama temen saya itu dicarikan kelapa muda to itu. terus dibawa ke rumah sakit dikira mati meneh” (T, 209-213)

“Ndak mikir kanan-kiri. Tetapi tapi ada atap di bawah dekat pas dibawah jendela, Aku jatuhnya ke situ yang patah hanya kaki, syukurlah. Nah Aku jatuh. Apa ya, jatuhnya kayak kaki dulu. Terus baru gelinding ke bawah. Terus Aku nangis, ada tetangga. Yah patah kaki hanya kaki kanan.” (L, 220-224);

“pas jatuh itu kayak sadar oh Aku masih idup. Ada rasa sedihnya ya apa ya mungkin pas jalan ke rumah sakit itu kaki udah di gips. Mungkin selama beberapa hari perasaan Aku sedih karena gak mati hahaha Aku udah capek banget hidup.” (L, 227-231);

“Mencoba untuk bunuh diri ada, berapa kali ya. Kalau self harm sih banyak. Kalau bunuh diri kemungkinan ya 3 kali. Yang pertama kan tadi yang loncat. Terus kalau yang kedua, yang dua ini gak terlalu itu deh separah yang loncat. Yang kedua mungkin ndak makan tapi sengaja biar pelan-pelan mati hehehe sengaja kan apa namanya tu, mungkin karena itu juga pas itu sih orang mulai manggil Aku gemuk, itu SMP.” (L, 295-301);

“Jadi ya pas itu Aku mau menyebrang, tapi ehm keretanya itu masih apa namanya melaju itu kan ya Aku nyebrang tapi syukurnya gak kena dan ya seperti dulu hanya luka hahaha sekarang bilangnya syukurnya, dulu sih sayangnya kok gak kena hahaha ya soalnya ndak ada palang, dan itu pas ya gak sepi juga ada beberapa gitu, kayak mungkin ehm yang mistis itu ada memanggil hahaha jadi Aku ngelaju biar kena kereta gitu dalam pikiran Aku sih semoga kena, tapi ya ndak.” (L, 319-326)

“selfharm tiap malem aku gak bisa tidur aku cuma diem aja, aku dah sampe ga bisa nangis pas itu rasanya sesak banget aku cuma jeduk-jedukin kepalaku di tembok sambil pegang pisau tapi gak aku tusuk ya cuma sayat-sayat gitu, terus eee pernah aku minum obat gatau udahan ya itu obat apa aku minum aja eee banyak terus sampe muntah lemes tapi kok gak mati bingung juga sih” (M, 210-215);

“Sampai ada satu malam, aku juga kayak setengah sadar sih rasanya ya hmm aku pegang pisau terus aku ehm pokoknya tanganku sudah berdarah banyak banget itu kayaknya subuh deh.

Yang aku pikirin saat itu cuma satu, oke akhirnya aku bakal pergi beneran.” (M, 215-218)

d. Titik balik

Sebuah peristiwa penting bisa membuat seorang individu menjauhi keinginannya untuk bunuh diri, peristiwa itu kemudian dinamakan sebuah titik balik. Peristiwa penting yang dimaksud biasanya dengan membuka diri kembali untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan bisa juga perubahan suasana tempat. Bagi T, titik balik dalam hidupnya ialah ketika dirinya mengalami beberapa kali percobaan bunuh diri dan selalu gagal. Entah karena ada orang lain yang tiba-tiba menghentikannya atau juga karena proses refleksi yang terjadi dalam diri T.

“saya gak bisa layat to, habis itu yo saya mikir berarti saya udah ee masih diberi kesempatan untuk hidup berarti saya ee harus melakukan yang lebih baik.” (T, 180-183);

“Hooh wipol tapi gak mati mbak. Malah ketauan temen kui mbak, la wes minum wipol malah gak mati pie iki hahaha dulu sih mikir e gitu, malu je mbak malahan nek gitu yawes beberapa kali nyoba mati gak mati-mati, jadi kan eee saya kepikiran e apa iya ya masih diberi kesempatan hidup, eee lagian ya ada teman juga” (T, 190-196);

“Jadi temen-temen saya tu lebih ibaratnya lebih waspada.” (T, 208-209)

L mempunyai proses refleksi dalam dirinya sehingga hal tersebut sedikit demi sedikit mengubah pandangannya mengenai bunuh diri dan keinginannya untuk mati. Titik balik yang dialami L adalah ketika dirinya memutuskan untuk mengubah cara

pandangnya dan berusaha untuk tetap menjalani kehidupan dengan berpegang pada harapan bahwa suatu saat hidupnya akan menjadi lebih baik.

“Pandanganku udah berubah. Sekarang kalau ditanya kenapa dulu mau bunuh diri ya pasti karena ingin agar eee Mama Bapak tu tau kalau ini lo ada aku. Yah Tuhan memang punya rencana lain. Ternyata meskipun aku malas ke gereja, Tuhan punya rencana lain di hidupku, itu pikiran yang selalu datang ketika aku selalu gagal untuk bunuh diri dan secara tidak sadar eee pikiranku itu yang membekas ehm yang apa ya eee pikiran itu jadi yang mengubahku sedikit-sedikit sih. Iya sepertinya memang Tuhan punya rencana indah atas hidupku” (L, 350-358)

Bagi M, teman kosnya memiliki andil besar dalam perubahan positif yang ia alami. M merasa sangat menyayangi temannya itu karena temannya sangat menjaga dan mengurus M sehingga M bisa kembali berbaur dengan kehidupan di luar dirinya sendiri. M juga mengalami proses refleksi dalam dirinya yang membuat dirinya sadar bahwa banyak hal yang harus M perbaiki sebelum akhirnya ia mati.

“aku harus menghadapi hidupku gitu, aku ya eee memperbaikinya harus. Aku dibantu banget sih sama temen kosku itu, dia itu ya dia tu dah kayak penyelamatku lah bener-bener deh aku sayang sama dia. Udah kayak kakak cewekku gitu eee dia baik banget nemenin aku mastiin aku baik-baik aja dan dia juga mau tetep temenan sama aku. Setelah keluar dari rumah sakit waktu itu juga aku gak langsung berani eee apa ya tampil eee membaur lagi aku butuh waktu ya si temen kosku itu yang nemenin beneran pelan-pelan gitu.” (M, 234-240);

“Aku gak tau dapet pikiran itu dari mana eee pas di rumah sakir sih itu kepikirannya kayak eee aku yang lama terus di rumah sakit eee kayak membentuk aku yang baru hehehe tapi itu jadi kayak motivasi eee sebuah apa ya keinginanku untuk hidup lagi eee untuk kembali menjalani hidup dan ya aku gak menyesal sudah memilih untuk menjalani hidup hehehe aku sudah sejauh ini dan ternyata aku bisa gitu kembali menjalani hidup, dan eee bukan sebagai hukuman lagi melainkan sebagai kesempatan agar ia bisa memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan sebelumnya” (M, 245-252)

e. Resiliensi

Seorang individu pasti akan mengalami kejadian-kejadian dalam seumur hidupnya. Kejadian-kejadian tersebut akan dievaluasi, dicerna, diberi makna, diingat kemudian direspon oleh individu itu. evaluasi terhadap kejadian yang dialami adalah hasil interpretasi individu terhadap kejadian dengan informasi akan konteks kejadian tersebut. Respon individu dapat tercipta karena didasari oleh hasil dari evaluasi sebuah kejadin dan makna yang individu masukkan terhadap kejadian itu. Dalam hal ini, resiliensi akan membantu seorang individu dalam menginterpretasikan kejadian tersebut sehingga mampu memunculkan suatu hasil evaluasi dan makna pada kejadian tersebut. Seorang individu yang memiliki resiliensi tentunya memiliki beberapa aspek resiliensi di dalam dirinya. Hal ini yang dapat dilihat dari ketiga informan.

Regulasi emosi

Salah satu aspek resiliensi adalah seorang individu mampu untuk mengendalikan emosi, atensi, dan perilakunya serta dapat mengekspresikannya secara tepat, ini disebut sebagai regulasi emosi. Regulasi emosi dapat dicapai dengan cara menenangkan dirinya bisa dengan berdoa kepada Tuhan, mendengarkan musik dan bisa juga dengan melakukan suatu kegiatan.

“Oh ini mbak, saya dulu nek ada masalah ketika itu larinya mesti mabuk mbak hooh, mesti mabuk. Tapi ketika nek pas rodo eling itu ya mesti shalat gitu mbak itu, jadi mendekatkan pada Yang Maha Kuasa. Nek curhat sama temen-temen, paling dijak OrangTua hahaha. Dijak mabuk, dijak mabuk gitu tapi ketika tak coba ah tak curhat ning sing nduweni urip gitu. Rasanya ini mbak, ayem saya merasakan maksud e merasakan tenang gitu lo mbak” (T, 343-351) “ada satu grup hahaha ada satu grup apa ya mungkin mereka kan juga melakukan beberapa hal yang berat gitu kan jadi kayak Aku merasa oh mereka juga ngomong kalau dunia ini memang indah bagus kita jalani aja, ada hal yang lebih indah dari pada hal-hal yang buruk, lebih banyak kalau kita gali-gali aja itu hanya permukaan, tapi bawahnya mesti lebih indah tanda kutip mereka. Apa ya mungkin karena dari situ Aku lebih mikir, apa ya Aku coba jalani. Yah itu adalah grup band yang Aku sukai. Yah bukan orang secara langsung” (L, 363-371);

“aku mulai menggambar lagi eee ini kalau lagi punya tenaga ya kak, ya biasanya ndengerin lagu itu tapi sebenernya aku suka menggambar aku dengan menggambar bisa memikirkan masalahku. Aku jarang sekali cerita ke orang kan kak, jadi aku suka apa ya memikirkan sendiri, aku dengar lagu terus aku kadang juga ehm menggambar itu sih kak bikin aku bisa berpikir ya gitu pokoknya kak. Tapi sebenarnya aku masih sering apa ya kalau tiba-tiba ada masalah masih suka tidak tenang, kadang langsung nangis yang benar-benar nangis dan aku jadi seringnya tidur, nah sehabis itu aku baru bisa apa memikirkannya.” (L, 434-443)

“Biar ga gabut juga, seneng juga sih ngerajut apalagi tas ginian lucu aja gitu ya aku menikmati ehm proses merajutnya bikin gimana ya tenang gitu apasih rasanya kadang masih kepikiran dong jelas, emang bakal kepikiran seumur idup iye gue sadar. Aku sengaja cari aktivitas setidaknya mengurangi kepikiranku, dan aku menemukan ini merajut. Ohya aku juga sibuk fangirling hahahha dulu sih sempat kan suka-suka gitu pas SMP terus lama berhenti sekarang suka lagi. Ya gitu deh yang bikin aku tenang juga selain temen sekosku juga boyband ini, gatau sih mereka tu lagunya ya ampun seakan-akan memelukku gitu sih” (M, 305-312)

Pengendalian impuls

Aspek selanjutnya adalah pengendalian impuls. Pengendalian impuls dimaksudkan cara-cara seorang individu dalam mengontrol tekanan dalam dirinya. Jika seorang individu memiliki pengendalian impuls, maka individu tersebutakan mampu menahan diri dari perasaan-perasaan negatif dan menjadi seseorang yang tidak gegabah. Pengendalian impuls juga berguna untuk membantu seorang individu menerima permasalahan yang terjadi dalam hidupnya. Cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan impuls adalah mengubah cara pandang diri sendiri.

“Nek eee ada masalah dalam hidup, ya kan gak mungkin to mbak hidup gak ada masalah pasti ada to nah itu bisa dari saya yang salah atau memang ya takdir hahaha bukan saya yang buat tapi tetap kudu diselesaikan biar bisa menikmati hidup la wong yo hidup yo mbak yo ngene kan” (T, 384-389)

“Mungkin memang cara pandang yang harus diubah, hidup mau diubah ya sulit, tapi cara pandang ehm cara menyikapinya juga mungkin. Malah ya mungkin terimakasih sih sama pengalaman itu,

jadi bisa berpikir lebih jauh bahwa ini pemberian ini tu belum saatnya berakhir. Aku tidak apa ya tidak marah dengan siapa pun, aku tau ini pilihanku. Tidak papa ini jadi pengalaman buat aku, aku ingat gitu kak ya buat aku perbaiki, aku isi lebih baik lagi” (L, 425-432)

“aku pengen aja gitu punya panti asuhan. Ya ini sebenernya karena

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI (Halaman 67-85)

Dokumen terkait