• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI PSIKOLOGI"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI PADA PENYINTAS BUNUH DIRI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Maria Magdalintan Kalvari Puspita Maraji’s

159114067

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

(2)
(3)
(4)

“Happiness can be found even in the darkest of times

if one only remembers to turn on the light.”

- Albus Dumbledore

(5)

Tulisan ini untuk semua yang sudah meluangkan waktunya membaca skripsi saya. Terimakasih.

(6)
(7)

RESILIENSI PADA PENYINTAS BUNUH DIRI Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Maria Magdalintan Kalvari Puspita Maraji’s

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika resiliensi pada penyintas bunuh diri. Untuk memenuhi tujuan tersebut, peneliti melibatkan tiga orang penyintas bunuh diri dengan menggunakan wawancara semi terstruktur pada ketiga penyintas bunuh diri, kemudian melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan fenomenologi deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan telah memiliki resiliensi dalam diri mereka karena terdapat tujuh aspek resiliensi yaitu; regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan peningkatan aspek positif. Dalam menumbuhkan resiliensi, para penyintas menemukan faktor-faktor penguat resiliensi seperti dukungan dari orang terdekat, harapan untuk kembali menjalani hidup, mengubah cara pandang pada kehidupannya dan juga mendekatkan diri pada Tuhan.

Kata kunci: fenomenologi deskriptif, bunuh diri, resiliensi, penyintas bunuh diri

(8)

RESILIENCE OF SUICIDE SURVIVOR Department of Psychology Faculty of Psychology

Sanata Dharma University

Maria Magdalintan Kalvari Puspita Maraji’s ABSTRACT

The aim of this study is to find out the resilience in suicide survivors. To achieve this goal, the researcher involved three suicide survivors using semi-structured interviews with the three suicide survivors, then conducted an analysis using a descriptive phenomenological approach. The result shows that three informants had seven aspects of resilience; emotion regulation, impuls control, optimism, emphaty, analysis of problem, self eficacy, reaching out. In fostering resilience, the suicide survivors found some resilience enhancement factors such as social support, hope, change the life perspective, and also spirituality.

(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Maria Magdalintan Kalvari Puspita Maraji‟s Nomor Mahasiswa : 159114067

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul:

RESILIENSI PENYINTAS BUNUH DIRI

Saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, serta mengolahnya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 4 Maret 2021

Yang menyatakan

(10)

KATA PENGANTAR

Happiness can be found even in the darkest of times if one only remembers to turn on the light.” Kalimat yang diucapkan oleh Albus Dumbledore pada film Harry Potter and Prisoner Of Azkaban membuat saya yang waktu itu sedang kehilangan semangat menyelesaikan penelitian ini, kemudian menemukan suatu pemikiran. Benar sekali, sepertinya saya hanya lupa untuk menyalakan lampu. Ucapan terimakasih dan maaf juga untuk segala kesalahan yang saya sengaja maupun tidak sengaja lakukan untuk Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menolong dan mengabulkan doa peneliti. Papa, Mama, Dek Monda, Simbah Kakung, Simbah Suro yang selalu bertanya kapan lulus dan mendukung serta mendoakan peneliti. Maaf terlalu lama menanti momen ini.

Seorang rekan dan bapak yang telah terlibat dalam proses peneliti, selalu mengajak peneliti untuk jangan melihat ini sebagai sebuah beban dan mengingatkan peneliti bahwa tidak ada skripsi yang sempurna, Bapak Dr. YB. Cahya Widiyanto M.Si., terimakasih sudah memberi saya kesempatan menjadi asisten PPKMB dan juga menjadi anak bimbingan Bapak. Dosen-dosen penguji; Ibu Dr. Agnes Indar Ekawati, M.Si., Psikolog. dan Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. atas saran dan segala masukannya yang berharga. Para teman yang selalu berbaik hati menyediakan waktu untuk peneliti; Winta, Stella, Angela, Yoga, Taufik, Mbak Intan Agatha. Segala yang terbaik akan hadir dalam setiap langkah hidup kalian.

Tidak lupa terimakasih sebesar-besarnya untuk semua orang baik yang saya temui khususnya Tetta, Renatte, Benjamin, Thomas, Made, Devi, Selina, Tami, Pandu, Dandi, Putut, Dinar, Juan, Lintang, Rosi, Levina, Raquel, Gevin, Mas Ojek, Mas Efan. Teman-teman Psychotrip meskipun tidak jadi ada jilid II tapi semoga tawa dan bahagia ini bisa selalu kubagikan dengan kalian. Juga terimakasih pada Tuhan karena memiliki Mas Danan yang selalu mengingatkan bahwa diri saya lebih hebat dari apa yang saya pikirkan selama ini,

(11)

terimakasih sudah menjadi lampu bagi peneliti dengan hadir dari awal proses pengerjaan ini sampai akhir pengerjaan ini dan semoga seterusnya sampai nanti.

Terakhir untuk para informan, telah meluangkan waktunya yang berharga untuk peneliti dan mengijinkan peneliti untuk menyimpan cerita mereka dalam bentuk tulisan ini. Akhir kata semoga kita tidak pernah lupa untuk menyalakan „lampu‟ ketika berada dalam gelap; teruntuk para informan, para pembaca dan saya sendiri. Tuhan memberkati.

Yogyakarta,

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN. ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Pertanyaan Penelitian ... 4 C. Tujuan Penelitian ... 4 D. Manfaat Penelitian ... 4 BAB II ... 6 A. Bunuh Diri ... 6

1. Definisi dan Motivasi Bunuh Diri ... 6

2. Tahapan Percobaan Bunuh Diri ... 7

B. Penyintas Bunuh Diri ... 10

C. Resiliensi ... 12

1. Definisi Resiliensi ... 12

2. Ciri-Ciri Individu yang Resilien ... 13

3. Aspek-Aspek Resiliensi ... 13

BAB III ... 1

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 1

B. Informan Penelitian ... 2

C. Fokus Penelitian ... 2

D. Pengumpulan Data ... 2

E. Prosedur Pengumpulan Data ... 3

F. Metode Analisis Data ... 5

(13)

H. Refleksitivas Penelitian ... 7

BAB IV ... 9

A. Pelaksanaan Penelitian... 9

1. Persiapan dan Perizinan ... 9

2. Pelaksanaan Penelitian ... 10

B. Informan Penelitian ... 13

1. Data diri informan ... 13

2. Latar Belakang Informan ... 13

C. Hasil Penelitian ... 16

D. Analisis Data ... 36

E. Pembahasan ... 54

Bagan Hasil Penelitian ... 59

BAB V ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. PELAKSANAAN PENGAMBILAN DATA ...11

Tabel 2. PELAKSANAAN MEMBER CHECKING ...12

Tabel 3. DEMOGRAFI INFORMAN ...13

Tabel 4. HASIL PENELITIAN ...54

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kematian adalah sesuatu yang pasti dalam kehidupan, yang cepat atau lambat, harus dihadapi oleh semua orang (Feist & Feist, 2008). Bunuh diri adalah suatu hasil pemikiran sadar manusia untuk memilih kematiannya dengan cara seperti apa, di mana dan kapan waktunya. Penyebab perilaku bunuh diri sendiri tidak sepenuhnya dapat dipahami, karena bagaimanapun juga perilaku ini disebabkan oleh interaksi dari banyak faktor. Para peneliti menemukan faktor terbesar yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri disebabkan oleh faktor psikologis dan juga karena seseorang membuat keputusan dalam kesadaran untuk mengakhiri hidupnya (Pappas, 2017).

Keputusan sadar untuk mengakhiri hidup dapat didorong oleh ide bunuh diri yang muncul ketika seorang individu merasa memiliki beban berat. Beban yang dimaksudkan ialah seperti memiliki tanggung jawab baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, membenci diri sendiri, gagal dalam pengalaman kepemilikan yang mengakibatkan perasaan sepi dan kurang perhatian, serta merasa tidak akan mendapatkan pengalaman yang baik (Paashaus, 2019).

Menurut Anderson & Jenskins (2005 seperti dikutip dalam Lakeman, 2008) ada lebih dari satu juta individu di dunia yang diperkirakan melakukan complete suicide setiap tahunnya. Bahkan, organisasi kesehatan tingkat nasional yang kita kenal dengan nama World Health Organization (WHO) memiliki catatan mengenai tingkat rasio bunuh diri di dunia sampai tahun 2016 adalah 10,5 per 100.000 jiwa (WHO, 2019). Menurut Gerintya (2017), tahun 2001 tingkat rasio bunuh diri di Indonesia dalam rentang 1,6 sampai 1,8 orang untuk setiap 100.000 penduduk. Angka tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2005 sebesar 11,4 orang per 100.000 penduduk. Selanjutnya pada tahun 2017 jumlah kematian yang dilaporkan ke kepolisian sebesar 789 kasus (Pusdatin, 2019).

(16)

Melihat paparan hitungan tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik ialah setiap tahunnya selalu ada individu yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Angka laporan bunuh diri yang tercatat di atas adalah angka kematian para individu yang melakukan complete suicide. Lantas bagaimana dengan mereka yang melakukan suicide attempt dan mereka yang hanya sebatas memiliki pemikiran bunuh diri?

Sebuah penelitian menyatakan setidaknya ada 100 individu pada setiap tahunnya melaporkan ide bunuh diri namun hanya 1 individu dalam kurun waktu empat tahun yang benar-benar melakukan tindakan complete suicide, sisanya memilih untuk menyimpan ide tersebut dalam pikiran mereka (suicide ideation) atau melakukan tindakan bunuh diri namun tidak sampai mengakhiri hidupnya biasa dikenal dengan nama suicide attempt (Booth & Owens dalam Lakeman, 2008).

Sebuah data dari Global School-Based Student Health Survey 2015 (GSHS) yang diselenggarakan di Indonesia mengenai survey kesehatan mental pada pelajar tingkat SLTP dan SLTA pada rentang usia 12-18 tahun memaparkan bahwa dari 10.837 remaja yang mengikuti survey tersebut ada 5,2% memiliki pemikiran untuk bunuh diri (Pusdatin, 2019). Data dari Tirto (2019) menyatakan bahwa 34,5% dari 284 mahasiswa berusia 18-24 tahun memiliki pemikiran untuk bunuh diri. Beberapa data tersebut cukup untuk menggambarkan keadaan para individu yang tidak melakukan complete suicide.

Menceritakan sebuah pengalaman percobaan bunuh diri menjadi hal yang sulit terkhusus bagi seorang individu yang tinggal di Indonesia, karena bunuh diri dianggap sebagai perilaku yang menentang ajaran norma sosial di Indonesia. Sehingga terdapat anggapan di masyarakat bahwa seseorang yang mencoba untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri akan diberi label sebagai seseorang yang menentang ajaran dari norma-norma sosial dan hal tersebut membuat mereka menjadi kurang terbuka dengan pengalamannya terdahulu (Cvinar, 2005).

Sementara itu penemuan Maple, et al., (2019) mengemukakan bahwa pengalaman orang-orang yang pernah melakukan tindakan bunuh diri telah menghadirkan wawasan baru

(17)

yang penting mengenai perkembangan pengetahuan tentang pencegahan bunuh diri. Salah satu bentuk dukungan yang dapat diberikan adalah mendengarkan kisah seorang individu yang pernah melakukan tindakan bunuh diri, hal tersebut dapat mencegah individu tersebut melakukan tindakan bunuh diri yang berulang karena berhubungan kembali dengan orang lain dikaitkan dengan pemulihan atau penyelesaian krisis pada individu tersebut serta dapat mengerti apa yang bisa dikembangkan dari individu tersebut (Lakeman, 2008).

Irigoyen, et al., (2018) menyatakan bahwa salah satu hal yang menantang dunia kesehatan adalah pencegahan terhadap perilaku bunuh diri yang berulang. Menurutnya, seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri dalam jangka 6 bulan akan mengulangi lagi tindakannya ketika dirinya belum mencapai resiliensi. Maka dari itu, resiliensi adalah hal yang krusial bagi penyintas bunuh diri. Merujuk pada Reivch dan Shatte (dalam Dewi, Djoeanina, & Melisa, 2004) resiliensi adalah kondisi ketika seorang individu mampu beradaptasi dan bertahan dalam keadaan terekan dan berhadapan dengan kesengsaraan yang dialaminya dalam hidup.

Meningkatkan resiliensi di antara individu dengan risiko bunuh diri yang tinggi dapat menurangi kemungkinannya untuk melakukan bunuh diri, karena resiliensi dapat mengadaptasi respon seorang individu terhadap rasa takut serta dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah telah terbukti dapat menjadi kompensasi terhadap ide dan perilaku bunuh diri (Sher, 2019). Clerverley (2011) dalam penelitiannya, konsisten dengan penelitian sebelumnya (Rew, Taylor-Seehafer, Thomas, & Yockey, 2001) menemukan bahwa individu yang resilien akan kehilangan minat untuk bunuh diri. Bahkan resiliensi dapat mencegah risiko seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri untuk mengulangi perilakunya kembali (Brailovskaia, et al., 2018).

Akan tetapi, mencapai resiliensi sangatlah sulit bagi individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Penelitian Hawgood & De Leo (2016) menemukan bahwa kebanyakan tenaga medis kesulitan dan bahkan sampai berhenti melakukan treatment ketika menemukan individu yang sudah sampai di tahap percobaan bunuh diri, dikarenakan ada ketakutan

(18)

kalau-kalau ahli medis juga bisa menjadi penyebab kembalinya keinginan untuk bunuh diri lagi. Beberapa penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri mempunyai tingkat resiliensi yang lebih rendah dibandingkan individu yang tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri (Roy, Sarchiapone, & Carli, 2007).

Meskipun demikian, resiliensi bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dicapai. Seorang seniman muda Indonesia bernama Hana Alfikih atau biasa dikenal dengan nama Hana Madness, bercerita bahwa dirinya telah melewati masa-masa percobaan bunuh dirinya dengan melukis (Rossa & Isyana, 2020). Dalam hal ini, melukis menjadi sebuah cara seorang individu dalam mencapai resiliensi. Maka dari itu, penelitian ini akan berusaha memaparkan dinamika resiliensi individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Harapan yang terkandung dalam penelitian ini ialah semoga mampu menambah wawasan mengenai dinamika resiliensi pada penyintas bunuh diri serta menemukan cara untuk semakin mendorong individu lainnya agar tetap melanjutkan hidup dan semoga dapat mengurangi stigma tentang penyintas bunuh diri.

B. Pertanyaan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, pertanyaan utama atas penelitian ini adalah bagaimana dinamika resiliensi pada penyintas bunuh diri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai dinamika resiliensi pada penyintas bunuh diri.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penelitian ini adalah a. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan disiplin ilmu Psikologi Klinis khususnya mengenai dinamika resiliensi dan penyintas bunuh diri.

(19)

b. Manfaat praktis

Bagi penyintas bunuh diri, hasil penelitian ini dapat membuat semakin terbukanya pandangan tentang kehidupan yang masih layak untuk dijalani, dan semoga semakin diperkuatnya pilihan para penyintas bunuh diri untuk melanjutkan hidup. Selain itu, peneliti juga berharap agar dapat menyampaikan kisah pengalaman hidup dari beberapa penyintas bunuh diri yang nantinya akan membantu para pemerhati pencegahan bunuh diri untuk lebih mengerti tentang intervensi yang harus dilakukan terutama dalam hal mengembangkan dinamika resiliensi para individu yang memiliki keinginan untuk bunuh diri.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, peneliti akan mengawalinya dengan penjelasan mengenai bunuh diri dan dilanjutkan penjelasan mengenai penyintas bunuh diri sebagai konteks dari penelitian ini. Kemudian peneliti akan melanjutkan dengan pemaparan mengenai resiliensi beserta aspek-aspek pembentuk resiliensi. Pada bagian akhir, peneliti akan memberikan sebuah penjelasan dan bagan kerangka konseptual alur berpikir pada penelitian ini.

A. Bunuh Diri

1. Definisi dan Motivasi Bunuh Diri

Leenars (2003) mengemukakan bahwa ketika pergantian abad ke-20, sebuah studi modern psikoanalisa dengan tokoh utamanya adalah Sigmund Freud menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan atau keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri. Pada pribadi yang menderita gangguan jiwa, dorongan ini akan sulit ditekan. Meskipun ada banyak definisi yang menjelaskan tentang bunuh diri, yang pasti bunuh diri tidak hanya memiliki alasan tunggal yang melatarbelakanginya. Selain itu dibutuhkan pula alasan yang mendalam ketika seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Leenars (2003) juga mendefinisikan bahwa bunuh diri dimaksudkan sebagai tindakan sengaja untuk mengakhiri hidup dikarenakan akibat dari penyakit mental atau hasil dari berbagai motivasi yang melebihi naluri untuk terus hidup. Motivasi yang dimaksud tidak selalu menjadi bagian dari penyakit mental yang diderita seseorang.

Bunuh diri sendiri adalah perilaku dengan sengaja dari seorang individu untuk mengakhiri hidupnya. Mengutip dari Hawton (2014), para ahli dari tahun ke tahun berusaha untuk mendefinisikan perilaku bunuh diri. Sejumlah negara melaporkan bahwa individu dengan gangguan psikiatri adalah individu yang paling berpotensi untuk melakukan bunuh diri (Dougall, et al., 2014), akan tetapi Shneidman (1985) memiliki pendapat bahwa

(21)

kombinasi dari tekanan, sakit fisik dan gangguan menjadi hasil untuk faktor seseorang melakukan bunuh diri.

Baumeister (1990) menjelaskan motivasi utama dari bunuh diri adalah untuk kabur dari rasa sakit yang dirasakannya. Kemudian, risiko bunuh diri tidak disebabkan hanya karena gangguan psikiatri tetapi juga dari sebuah kecenderungan pikiran secara impulsif (yang disebabkan oleh kerentanan terhadap pengalaman hidup) untuk bunuh diri (Mann, Waternaux, Haas, & Malone, 1999). Bunuh diri juga dapat didefinisikan sebagai tindakan yang melukai diri sendiri bagi individu yang dengan sengaja bertujuan dan berkeinginan untuk mati (Stack, 2000).

Terdapat tiga jenis perilaku bunuh diri. Ketiganya itu ialah completed suicide, suicide attempt, dan suicide ideation. Complete suicide adalah perilaku bunuh diri dimana seseorang telah melakukan tindakan bunuh diri secara fatal sehingga menyebabkan kematian yang cepat. Suicide attempt adalah perilaku dimana individu melakukan percobaan bunuh diri, tetapi tidak berakibat fatal dengan kata lain tidak sampai mengakibatkan yang bersangkutan mati. Biasanya, individu yang pernah melakukan suicide attempt masih mengalami kebingungan antara ingin hidup atau ingin mati. Selanjutnya ada suicide ideation yang merupakan ide individu untuk melakukan bunuh diri, namun hal tersebut hanya sebatas pada pikiran dan belum dilakukannya (Klonsky, May, & Saffer, 2016).

Maka dari itu, bunuh diri adalah tindakan seorang individu dengan penuh kesadaran untuk mengakhiri hidupnya. Bunuh diri disebabkan oleh berbagai faktor namun yang terutama dikarenakan seseorang ingin menghilangkan atau pergi dari rasa sakit yang ia rasakan. Seorang individu tersebut akan memutuskan untuk bunuh diri jika merasa tidak ada lagi jalan keluar dari segala penderitaan yang ia rasakan.

2. Tahapan Percobaan Bunuh Diri

Ideasi bunuh diri adalah keadaan di mana seseorang memikirkan, mempertimbangkan dan merencanakan untuk melakukan bunuh diri (Klonsky, May, & Saffer, 2016). Dalam

(22)

three-step theory of suicide dijelaskan tentang pembentukan ide untuk bunuh diri berkembang menjadi aksi bunuh diri.

a. Tahap satu : Perkembangan ideasi bunuh diri.

Tahap pertama dari ideasi bunuh diri dimulai dengan rasa sakit (pain). Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit secara psikologis atau emosional. Menurut Durkheim (Klonsky, May, & Saffer, 2016) rasa sakit psikologis dapat timbul dari pengalaman mengalami isolasi sosial. Bentuk dari isolasi sosial antara lain adalah perasaan kesepian (loneliness), penarikan diri dari lingkungan sosial (social withdrawal), hidup sendiri dan hanya memiliki sedikit dukungan sosial, tinggal dalam keluarga yang bermasalah (nonintact families), kehilangan pasangan karena ditinggal mati atau bercerai, dan tinggal dalam sel penjara khusus untuk satu orang. Joiner (2005, seperti dikutip dalam Klonsky, May, & Saffer, 2016) juga memiliki pendapat bahwa merasakan kebosanan akan hidup juga menimbulkan rasa sakit secara psikologis. Selanjutnya, merasa kalah dan terjebak (O‟Connor, 2011, seperti dikutip dalam Klonsky, May, & Saffer, 2016) serta persepsi negatif terhadap diri juga mengakibatkan rasa sakit secara psikologis (Baumeister, 1990). Lebih lanjut three-step theory of suicide menjelaskan bahwa gabungan dari rasa sakit dan keputusasaan mendorong seseorang untuk mengembangkan ide bunuh diri.

b. Tahap dua : Ideasi bunuh diri yang kuat vs ideasi bunuh diri menengah Tahapan kedua three-step theory of suicide menjelaskan bahwa tahap yang mengarahkan seseorang kepada perilaku bunuh diri yang fatal muncul ketika rasa sakit yang dialami lebih besar daripada keterhubungan seseorang dengan dunia sekitarnya. Keterhubungan dimaksudkan dengan minat atau ketertarikan kepada suatu hal, kelekatan dengan orang lain dan tujuan-tujuan yang membuat seseorang tetap memilih untuk hidup. Menurut teori ini, jika ada seseorang yang mengalami rasa sakit dan keputusasaan kemudian mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri tetapi memiliki keterhubungan yang lebih kuat dengan dunia sekitarnya, maka ia hanya akan sampai di ideasi bunuh diri taraf menengah. Apabila, rasa sakit yang dialami lama-kelamaan bertambah menjadi lebih besar

(23)

maka ideasi bunuh diri akan semakin kuat. Dalam three-step theory of suicide, keterhubungan berperan sebagai pelindung agar ideasi bunuh diri tidak meningkat pada mereka yang berisiko.

c. Tahap tiga : Pengembangan ide bunuh diri menuju perilaku bunuh diri Dalam tahap ini, dijelaskan bagaimana kondisi yang menyebabkan ideasi bunuh diri yang kuat berkembang menuju percobaan bunuh diri. Ada tiga kategori variabel yang lebih spesifik memiliki kontibusi terhadap bunuh diri yaitu kecenderungan (dispossitional), penerimaan (acquire), dan pelaksanaan (practical). Kecenderungan merujuk pada hal-hal yang lebih dikendalikan oleh genetik seperti sensitifitas terhadap rasa sakit (Young, et. al., 2011, seperti dikutip dalam Klonsky, May, & Saffer, 2016). Penerimaan merujuk pada keterbiasaan terhadap pengalaman yang berhubungan dengan rasa sakit, terluka dan kematian yang seiring berjalannya waktu membuat seseorang memiliki kapasitas untuk melakukan bunuh diri. Pelaksanaan merujuk pada faktor-faktor yang membuat bunuh diri menjadi lebih mudah. Misalnya seseorang memiliki pengetahuan dan akses terhadap benda-benda yang dapat mengakibatkan kematian seperti senjata api dan obat-obatan (Swanson, S. P., Roberts, L. J., Chapman, M. D., 2003 seperti dikutip dalam Klonsky, May, & Saffer, 2016).

Jadi, tahapan perilaku bunuh diri dimulai dari ketika seorang individu merasakan sakit yang luar biasa dalam dirinya. Kemudian rasa sakit yang ia rasakan itu bersamaan dengan perasaan kesepian yang melanda. Hal ini akan menumbuhkan pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Ketika seorang individu telah memiliki pemikiran untuk bunuh diri, selanjutnya individu tersebut akan mempertimbangkan, akankah memutuskan untuk mengakhiri hidup atau mengolah pikirannya tersebut hanya menjadi sebatas pemikiran. Ketika individu tersebut merasa bahwa ia tidak memiliki ikatan yang kuat dengan dunia, maka individu tersebut akan memutuskan untuk melakukan bunuh diri. Maka dari itu three-step theory of suicide menekankan pada rasa sakit, keputusasaan, keterhubungan dengan dunia dan kapasitas untuk seseorang dapat melakukan bunuh diri, akan tetapi hal ini tidak mengesampingkan gangguan psikologis, kondisi pikiran, personality traits, tempramen dan kecendrungan serta pengalaman

(24)

sebagai faktor yang memperngaruhi munculnya ideasi hingga usaha bunuh diri. Beberapa hal misalnya depresi, self-criticism, kepribadian ambang batas, emosi negatif dan pengalaman kehilangan sesuatu yang berharga diakui berhubungan dengan ideasi dan perilaku bunuh diri. Akan tetapi dalam three-step theory of suicide, beberapa faktor di atas juga memberikan kontribusi terhadap rasa sakit, keputusasaan dan keterhubungan dengan dunia.

B. Penyintas Bunuh Diri

McIntosh pada tahun 2003 (dalam Andriessen, 2005) menyatakan bahwa frasa suicide survivors atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan penyintas bunuh diri, memiliki makna ganda. Frasa ini bisa berarti seorang yang berduka dan kehilangan karena bunuh diri dan bisa juga berarti seorang individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri namun mengalami kegagalan. Namun pada tahun 2004, Seager (dalam Andriessen, 2005) berusaha untuk menjelaskan tentang makna penyintas bunuh diri. Dalam hal ini suicide survivors lebih merujuk pada survive yang artinya terus bertahan dan ada dalam keadaan sulit. Maka dari itu, suicide survivors atau penyintas bunuh diri adalah seorang yang selamat dari bunuh diri dan terus hidup setelahnya. Dewasa ini, di beberapa negara, istilah penyintas bunuh diri pun masih digunakan untuk merujuk pada orang yang selamat dari bunuh diri (Honeycutt & Praetorius, 2016). Penelitian ini pun akan menggunakan istilah penyintas bunuh diri untuk memaparkan mengenai seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri namun mengalami kegagalan dalam tindakannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Tzeng (2010) terdapat pernyataan bahwa masalah kesulitan berhubungan dan berkomunikasi dengan keluarga sebelum seorang individu melakukan percobaan bunuh diri tetap tidak dapat terselesaikan setelah seorang individu tersebut melakukan percobaan bunuh diri. Sebagian besar individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, merasa bahwa keluarga mereka tidak memahami perasaan mereka. Dikatakan pula dalam bahwa mereka yang selamat setelah melakukan percobaan bunuh diri merasa malu dan bersalah karena memilih untuk mati. Hal ini dipengaruhi oleh nilai

(25)

kebudayaan timur yang dianut sebagian besar responden yang memiliki latar belakang Tionghoa. Kebanyakan, para individu ini menyalahkan diri sendiri karena menurut masyarakat mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap orangtua karena dalam budaya Tionghoa diajarkan bahwa tubuh seorang anak merupakan pemberian dari orangtua sehingga tidak boleh dirusak sembarangan (Tzheng, Su, Chiang, Kuan, & Lee, 2010).

Indonesia sebagai negara yang juga menganut kebudayaan timur, memiliki prasangka negatif terhadap bunuh diri. Bagi sebagian besar masyarkat, bunuh diri adalah suatu tindakan yang dipengaruhi oleh kutukan atau guna-guna dan sebagainya (Sungkana & Sutejo, 2012). Sampai saat ini pun masih banyak dari para penyintas bunuh diri di Indonesia yang enggan bercerita mengenai pengalaman hidup mereka. Padahal, mereka yang selamat dari upaya bunuh diri memiliki banyak pengalaman untuk menginformasian program pencegahan yang sesuai dan dapat memberikan wawasan penting tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat menanggapi kebutuhan mereka pada saat tekanan yang mengancam jiwa (Maple, McKay, & Sanford, 2019). Kemudian, Chesley dan Loring-McNulty (seperti dikutip dalam Maple, McKay, & Sanford, 2019) mengidentifikasi alasan umum para individu tidak lagi mencoba bunuh diri adalah strategi koping yang berkisar pada komunikasi. Dengan kata lain, berbicara mengenai pengalaman bunuh diri dan membuka percakapan untuk mendapatkan bantuan bisa menjadi strategi koping yang baik bagi individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Komunikasi menjadi sebuah harapan bahwa perilaku bunuh diri berulang dapat teratasi, karena dalam sebuah penelitian dikatakan; salah satu hal yang menantang dunia kesehatan adalah pencegahan terhadap perilaku bunuh diri yang berulang. Menurutnya, seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri dalam jangka 6 bulan akan mengulangi lagi tindakannya ketika dirinya belum mencapai resiliensi. Maka dari itu, resiliensi adalah hal yang krusial bagi penyintas bunuh diri (Irigoyen, et al., 2018). Merujuk pada Reivch dan Shatte (2002, seperti dikutip dalam Ifdil & Taufik, 2012) resiliensi adalah kondisi ketika

(26)

seorang individu mampu beradaptasi dan bertahan dalam keadaan tertekan dan berhadapan dengan kesengsaraan yang dialaminya dalam hidup.

C. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Pandangan mengenai resiliensi individu dalam menghadapi tantangan sudah ada sejak lama. Ketika ilmu psikologi berkembang pada abad ke-19 sampai abad ke-20. Pada masa itu terdapat ketertarikan pada adaptasi individu dengan lingkungannya. Satu dekade kemudian, studi sistematis mengenai resiliensi mulai muncul pada psikologi klinis dan perkembangan (Masten & Reed, 2002). Luthans (2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk bangkit dari kesulitan, konflik, kegagalan, bahkan pengalaman positif, kemajuan dan tanggung jawab yang meningkat.

Resiliensi diartikan sebagai kemampuan untuk bangkit dari proses perubahan kehidupan yang dirasa tidak mudah. Individu yang resilien dapat mengatasi perasaan yang membuat tidak nyaman dengan cara yang sehat, seperti mampu menginjinkan diri mereka untuk merasakan marah, kesedihan, kehilangan dan kebimbangan namun tidak mengijinkan perasaan tersebut bertahan terlalu lama di dalam dirinya (Siebert, 2005). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa resiliensi adalah kapasitas seseorang untuk mengatasi kesulitan di dalam hidupnya dengan baik, tetap mampu menjaga kesehatan fisik maupun mental saat berada di bawah tekanan kemudian bangkit kembali dengan mudah dari keterpurukan yang dialaminya, serta menghadapi persoalan dengan tenang dan tanpa emosi negatif.

Ayala dan Manzano (2014) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan adaptasi dinamis yang memungkinkan individu untuk tetap menatap masa depan walaupun berada dalam masa yang berat. Selain itu, resiliensi juga membantu individu membuat keputusan yang baik dalam tekanan, dan memungkinkan individu untuk bangkit dengan efektif (Everly, Strouse, & McComack, 2015).

(27)

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan dan tidak menyerah dalam situasi yang tidak menyenangkan dan membuat tidak nyaman, berusaha untuk bertahan, serta mampu menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut kemudian bangkit sehingga menjadi pribadi yang lebih baik dalam menghadapi permasalahan.

2. Ciri-Ciri Individu yang Resilien

Lebih lanjut, menurut Grotberg (1995), individu yang resilien adalah individu yang memiliki kendali atas perasaan dan dorongan dari dalam dirinya, mampu mengatasi permasalahannya dengan baik, serta memiliki inisiatif dalam mengambil keputusan dan peduli terhadap sesama. Reivich (2002, seperti dikutip dalam Dewi, Djoeanina, & Melisa, 2004), mengatakan bahwa individu resilien ialah individu yang optimis dalam menyelesaikan masalah sehingga tidak menimbulkan stress dan mampu mengekspresikan sikap dan pikirannya tanpa beban.

Seorang individu akan dianggap sebagai pribadi resilien apabila dirinya pernah mengalami ancaman dalam proses perkembangannya (Toland & Donna, 2011). Selain itu, dijelaskan lebih lanjut bahwa resiliensi bukanlah karakteristik dari seorang individu. Pernyataan ini didukung oleh beberapa penelitia yang menyatakan bahwa resiliensi adalah sebuah fenomena dan bukan sifat dari seorang individu (Luthar, Lyman, & Crossman, 2014). Jadi individu yang resilien adalah individu yang memiliki kepercayaan dalam dirinya bahwa ia mampu menyelesaikan persoalan dalam hidupnya dan juga individu yang mampu bangkit ketika mengalami keterpurukan. Maka dari itu, resiliensi memiliki beberapa aspek yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

3. Aspek-Aspek Resiliensi

Resiliensi memiliki dua aspek penting di dalamnya. Aspek pertama adalah adanya ancaman atau kesulitan berat, kemudian setelah seorang individu mendapatkan kesulitan tersebut, jika individu tersebut dapat mencapai keadaan yang baik berarti individu tersebut

(28)

telah mengalami adaptasi positif. Adaptasi positif adalah aspek yang kedua (Toland & Donna, 2011).

Kesulitan yang dimaksud adalah kondisi yang menganggu atau bisa juga mengancam tugas tahap perkembangan dengan kemungkinan akan menghasilkan suatu hasil yang tidak diinginkan contohnya adalah pola asuh, kekerasan, kemiskinan (Wright & Masten, 2005). Sedangkan Luthar, et. al., (2000) menjelaskan bahwa adaptasi positif didefinisikan sebagai suatu perwujudan perilaku yang sukses dalam menghadapi kesulitan pada tugas di setiap tahapan perkembangan.

Lebih lanjut sebuah penelitian mengemukakan beberapa aspek resiliensi (Jackson & Watkin, 2004). Aspek-aspek resiliensi ini dijabarkan menjadi tujuh aspek dan hampir tidak ada individu yang memiliki ketujuh aspek tersebut dengan baik secara keseluruhan. Adapun tujuh aspek tersebut adalah sebagai berikut:

a. Regulasi Emosi.

Kemampuan individu untuk menghadapi situasi yang tidak mudah dengan mampu mengendalikan emosi, atensi dan perilakunya serta dapat mengekpresikan emosi secara tepat, emosi negatif maupun emosi positif. Terdapat dua jenis keterampilan yang membantu individu dalam pencapaian regulasi emosi, yakni tenang (calming) dan fokus (focusing). Kedua kemampuan tersebut akan membantu individu agar tetap fokus dalam berpikir walaupun banyak hal yang menganggu serta mampu mengurangi stress.

b. Pengendalian Impuls.

Merupakan keterampilan individu dalam mengontrol dorongan, kesukaan, dan tekanan dari dalam dirinya. Individu dengan pengendalian impuls yang baik mampu menahan diri dari perasaan negatif, seperti sabar dalam menghadapi masalah, tidak mudah marah, dan memberikan respon yang tepat pada permasalahan dalam artian tidak bertindak gegabah dalam melakukan hal yang akan atau sedang dihadapi.

(29)

Seorang individu dikatakan sebagai individu yang resilien adalah individu yang optimis. Dalam hal ini optimis berarti memiliki harapan pada masa depan dan percaya pada dirinya sendiri untuk memegang kendali atas kehidupan yang di masa sekarang dan masa depan. Optimisme yang dimaksud ialah optimisme yang realistis, yakni keyakinan pada masa depan lebih baik yang diimbangi dengan usaha dan doa untuk mewujudkannya

d. Empati.

Adalah keterampilan individu untuk memahami kondisi emosional dan psikologis orang lain serta memiliki keterampilan yang cukup baik dalam menangkap bahasa-bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan memahami sesuatu yang dirasakan orang lain. Seseorang yang memiliki empati biasanya memiliki hubungan sosial yang positif pula.

e. Analisis Penyebab Masalah.

Analisis penyebab masalah erat kaitannya dengan gaya berpikir. Gaya berpikir sendiri merupakan suatu cara yang digunakan oleh seorang individu guna menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada dirinya. Gaya berpikir dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Personal (saya / bukan saya) : individu yang memiliki gaya berpikir “saya” cenderung menyalahkan diri sendiri jika ada kejadian yang tidak berjalan sesuai rencananya, namun individu dengan gaya berpikir “bukan saya” adalah individu yang memiliki keyakinan bahwa ada hal-hal di luar diri yang bisa menjadi andil dalam kejadian yang terjadi pada diri.

b. Permanen (selalu / tidak selalu) : individu yang memiliki pemikiran “selalu” bisa dikatakan adalah seorang individu yang pesimis dan berasumsi bahwa suatu peristiwa buruk akan terulang kembali. Sedangkan seorang individu yang memiliki pemikiran “tidak selalu” akan cenderung berpikir bahwa ia dapat memperbaiki kesalahan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan yang sementara. c. Pervasive (semua / tidak semua) : seorang individu yang memiliki gaya pikir

(30)

lainnya. Sedangkan, individu dengan gaya pikir “tidak semua” adalah orang yang dapat menjelaskan penyebab dari masalah yang sedang dihadapinya dan hal tersebut tidak memengaruhi aspek kehidupannya yang lain.

Dalam hal ini, individu dikatakan resilien apabila dirinya memiliki fleksibilitas dalam berpikir dan mampu untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab permasalahan yang dihadapinya.

f. Efikasi diri.

Ialah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah yang dialami dan percaya bahwa dirinya mampu mencapai keberhasilan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan mengusahakan berbagai cara untuk memecahkan masalah serta tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Individu ini memiliki kepercayaan penuh terhadap kemampuan dirinya dan akan cepat menghadapi jika ada masalah yang datang.

g. Peningkatan Aspek Positif.

Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam kehidupan seorang individu. Jika seorang individu mampu meningkatkan aspek positif maka, individu tersebut dapat melakukan dua aspek berikut dengan baik; (1) dapat membedakan risiko yang realistis dan yang tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta dapat melihat gambaran dari kehidupannya. Seorang individu yang memiliki kemampuan ini akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup dan juga peningkatan aspek positif berperan meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi bagi dirinya.

Berdasarkan uraian di atas, individu yang resilien dalam penelitian ini adalah seorang penyintas bunuh diri yang telah mampu menahan dorongan dan emosi negatif dari dalam dirinya ketika dihadapkan pada sebuah kesulitan serta dapat mengenali penyebab masalah secara akurat sehingga mampu menemukan cara untuk menyelesaikannya. Selain itu, individu dikatakan resilien ketika mampu bangkt dari keterpurukan sehingga dapat melanjutkan hidup.

(31)

Banyak sekali teori yang mengatakan bahwa kondisi hidup yang negatif berpengaruh sangat besar dengan keinginan dan perilaku bunuh diri (Joiner & Rudd, 2000). Penelitian yang lain sepakat bahwa hal penting yang mempengaruhi perbedaan individu yang berpikiran untuk bunuh diri dan telah melakukan percobaan bunuh diri, terletak pada ketakutan mereka terhadap kematian dan toleransi mereka terhadap rasa sakit (Klonsky, May, & Saffer, 2016). Ide bunuh diri dan upaya bunuh diri telah lama diasosiakan dengan sejumlah perilaku dari pengalaman hidup yang buruk (Bagge, Littlefield, Conner, Schumacher, & Lee, 2014). Penelitian oleh selanjutnya juga mendukung bahwa negative life event adalah sumber utama bagi individu yang mengalami krisis dan berpotensi untuk bunuh diri. Akan tetapi jika seorang individu memiliki rasa takut lebih besar dan toleransi terhadap rasa sakit yang lebih rendah, individu tersebut memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan bunuh diri (Buchman-Schmitt, et al., 2017). Dalam hal ini, diperlukan resiliensi sebagai suatu bentuk protektif paling penting dari peningkatan masalah psikologis (Rutter, 1985).

Menurut Mowbray (Mowbray, 2011), seorang individu pasti akan mengalami kejadian-kejadian dalam seumur hidupnya. Kejadian-kejadian-kejadian tersebut akan dievaluasi, dicerna, diberi makna, diingat kemudian direspon oleh individu itu. evaluasi terhadap kejadian yang dialami adalah hasil interpretasi individu terhadap kejadian dengan informasi akan konteks kejadian tersebut. Respon individu dapat tercipta karena didasari oleh hasil dari evaluasi sebuah kejadin dan makna yang individu masukkan terhadap kejadian itu.

Dalam hal ini, resiliensi akan membantu seorang individu dalam menginterpretasikan kejadian tersebut sehingga mampu memunculkan suatu hasil evaluasi dan makna pada kejadian tersebut. Jika melihat dari fokus penelitian ini, resiliensi dibutuhkan seorang penyintas bunuh diri guna membantunya menginterpretasi kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Seorang penyintas bunuh diri yang memiliki resiliensi tentunya akan mendapatkan evaluasi yang membangun dari apa yang telah ia alami sebelumnya dan juga dapat mengambil makna yang positif sebagai bentuk adaptasi positif pula.

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan dan memahami dinamika resiliensi pada penyintas bunuh diri. Untuk mendapatkan gambaran dari masalah penelitian ini, diperlukan penggalian data yang mendalam dan menyeluruh sehingga informasi mengenai dinamika resiliensi penyintas bunuh diri dapat diperoleh secara lengkap. Demi mendapatkan data yang dimaksud, desain penelitian kualitatif dipilih dalam penelitian ini.

Penelitian kualitatif dipilih sebagai desain penelitian ini karena penelitian kualitatif berfokus pada deskripsi yang kaya dari beberapa aspek pengalaman (Langdridge, 2007) dan bahwa penelitian kualitatif digunakan sebagai metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna oleh sejumlah individu maupun kelompok (Creswell, 2016). Selain itu, Willig (2013) mengungkapkan bahwa tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memberikan gambaran yang sebenarnya dari sebuah kejadian yang dialami oleh seorang individu secara apa adanya. Berangkat dari beberapa teori di atas, peneliti berharap dapat memperoleh dan memahami segala informasi mengenai dinamika resiliensi pada penyintas bunuh diri dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis fenomenologi deskriptif. Penelitian fenomenologi deskriptif menekankan pada proses mendeskripsikan pengalaman sampai pada esensi dari pengalaman itu (Kahija, 2017). Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman secara murni, asli, dan apa adanya tanpa adanya teori, penilaian dan asumsi atau spekulasi yang mungkin akan bercampur ke dalamnya. Analisis fenomenologis deskriptif berarti mengeksplorasi secara langsung, analisis dan mendeskripsi fenomena-fenomena tertentu, sebebas mungkin dari praanggapan yang tidak diuji (Spiegelberg, 1975). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Landridge (2007) bahwa fenomenologi deskriptif setia pada pemikiran filisofis Edmund Husserl –pendiri fenomenologi- yang berupaya menemukan

(33)

esensi dari pengalaman dengan menjalankan “pembersihan diri” (epochē) dan reduksi fenomenologis. Walaupun pakar fenomenologi deskriptif mengakui bahwa penafsiran memiliki kedudukan yang berarti dalam analisis pengalaman seorang individu, mereka yakin bahwa dengan meminimalkan penafsiran akan menghasilkan cerita pengalaman yang murni. (Willig, 2013).

B. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah tiga orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri dan telah resilien. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan risiko percobaan bunuh diri berulang dari para informan. Harapannya dengan memahami dan mengetahui kisah resiliensinya, ini bisa meminimalkan pandangan negatif mengenai label “pernah melakukan bunuh diri”.

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada dinamika resiliensi seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri (penyintas bunuh diri).

D. Pengumpulan Data

Data dari penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara kepada informan. Wawancara merupakan salah satu bentuk pengambilan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Pertanyaan yang akan diajukan kepada informan berbentuk wawancara semi terstruktur, hal itu membuat peneliti memiliki panduan mengenai topik akan tetapi juga memudahkan untuk eksplorasi data sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh informan. Sesuai dengan paparan Creswell (2016) metode wawancara akan menghasilkan data dengan makna dari fenomena penelitian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu, dapat diperoleh pemahaman serta pengetahuan baru dari aspek pengalaman informan (Willig, 2013).

(34)

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur lebih mudah untuk diatur dalam pengumpulan data (Willig, 2013). Juga memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mendengar informan berbicara mengenai aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman mereka. Pertanyaan yang diajukan berfungsi untuk menstimulus informan berbicara.

Adams dalam Willig (2013), membuat rancangan garis besar wawancara dalam bentuk wawancara semi-terstruktur. Berikut adalah daftar pertanyaan yang disusun oleh peneliti:

a. Latar Belakang Informan

1. Nama, umur, pekerjaan atau kegiatan saat ini 2. Kondisi keluarga

3. Dinamika lingkungan saat bertumbuh

b. Pengalaman Melakukan Percobaan Bunuh Diri

1. Sejak kapan memiliki pemikiran bunuh diri? 2. Mengapa melakukan percobaan bunuh diri?

3. Apa yang diharapkan ketika melakukan percobaan itu?

4. Apakah ada peran orang lain ketika melakukan percobaan bunuh diri?

c. Resiliensi

1. Apakah menyesal pernah melakukan percobaan bunuh diri? 2. Kenapa kok memutuskan untuk melanjutkan hidup?

3. Apakah memiliki cita-cita atau harapan untuk masa depan? 4. Adakah seseorang atau sesuatu yang disebut penyelamat? 5. Apa aktivitas belakangan ini?

6. Kalau sekarang ini punya masalah biasanya melakukan apa? 7. Menurut kamu, menjalani kehidupan itu artinya apa?

(35)

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Namun sebelum melakukan tahap wawancara ada beberapa hal yang harus dilakukan. Beberapa hal tersebut antara lain:

1. Peneliti menentukan dan mencari informan dengan karakteristik seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri namun selamat ketika melakukannya dengan cara membuat google form dengan beberapa pertanyaan sederhana. Hal ini memiliki tujuan untuk mencari informan yang dengan sukarela mau membagikan kisahnya dan agar terhindar dari unsur paksaan.

2. Peneliti memiliki kriteria bahwa informan adalah seorang individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri dan telah menjadi individu yang resilien. Cara peneliti menentukan informan yang sesuai dengan kriteria adalah membangun rapport pada awal pertemuan dan juga berkomunikasi dengan beberapa calon informan untuk mendapatkan cerita pengalaman mereka terkait dengan percobaan bunuh diri, selain itu peneliti juga menyesuaikan cerita tersebut dengan teori resiliensi yang akan dipakai dalam penelitian ini.

3. Pembahasan dan penandatanganan informed consent. Informed consent berisi identitas peneliti, tujuan penelitian, partisipan penelitian, metode pengambilan data, hak informan, metode penyimpanan data, kerahasiaan data, dan pernyataan kesediaan informan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam hal ini, yang menjadi hak informan antara lain adalah dapat menghubungi peneliti sewaktu-waktu mereka membutuhkan, indentitas yang dirahasiakan sampai akhir, mendapatkan hasil penelitian ini dan juga mendapatkan reward atas kesediaannya membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

4. Melakukan wawancara dengan masing-masing informan di waktu dan tempat yang telah disepakati. Wawancara yang digunakan bersifat semi terstruktur. Peneliti membuat panduan wawancara sebagai acuan namun tidak menutup kemungkinan untuk menambah atau mengurangi pertanyaan sesuai dengan respon informan.

(36)

5. Setelah proses wawancara selesai dilakukan, peneliti membuat transkrip wawancara.

F. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan empat tahapan analisis fenomenologi deskriptif sesuai dengan yang tertulis pada Langdridge (2007). Keempat tahapan tersebut ialah membaca makna keseluruhan, mengidentifikasi unit makna, menilai signifikansi psikologis dari unit makna, dan memadukan unit makna dan menyajikan deskripsi struktural. Ketiga dari keempat tahapan tersebut akan dituangkan dalam tiga bagian kolom yang berbeda. Seturut dengan Giorgi dan Giorgi (2008, seperti dikutip dalam Langdridge, 2007) bahwa tidak ada batasan jumlah terjemahan yang diperlukan untuk mengidentifikasi signifikansi psikologis yang kemudian menghasilkan deskripsi struktural, akan tetapi lazimnya dalam beberapa penelitian, jarang membutuhkan lebih dari dua kolom.

1. Membaca Makna Keseluruhan

Dalam tahap ini, peneliti diharuskan untuk membaca keseluruhan isi teks wawancara untuk mencoba memahami keseluruhan arti dari teks yang dibaca. Keseluruhan isi teks wawancara kemudian disebut sebagai transkrip akan dituliskan di dalam kolom yang paling kiri dan dipecah menjadi beberapa unit. Selain membaca, diharapkan dapat membaca secara berulang dan melakukannya secara individu. Apabila sumber data yang diperoleh berasal dari wawancara, maka perlu dilakukan proses transkripsi yang mana harus dengan menjalankan epochē. Dengan begitu, sangat penting untuk melakukan segala upaya membaca teks dengan rasa penemuan dan menghindari godaan untuk memasukkan makna yang peneliti temukan dalam pikirannya sendiri.

2. Mengidentifikasi Unit Makna

Pada tahap kedua ini, peneliti diharuskan untuk mengidentifikasi unit makna yang menunjukkan perubahan makna. Dalam hal ini, diperlukan banyak pembacaan dan

(37)

koreksi hingga ada rasa cukup yakin tentang unit-unit yang telah diitentifikasi. Hasil dari identifikasi unit makna ini kemudian akan ditulis pada bagian kolom tengah yang adalah terjemahan teks asli ke dalam bahasa yang kurang khas.

3. Menilai Unit Makna untuk Signifikansi Psikologis

Jika menemukan beberapa unit yang tidak memiliki makna psikologis, tentu saja hal tersebut akan diabaikan. Membaca lebih dari satu unit makna, merefleksikannya serta memfokuskan hanya yang sesuai dari fokus penelitian adalah cara untuk menentukan makna psikologis. Hasil terjemahan lebih lanjut ke dalam bahasa yang mewakili signifikansi psikologis ini kemudian disajikan dalam kolom paling kanan.

4. Menyajikan Deskrisi Struktural

Tahapan ini melibatkan upaya menyintesiskan unit-unit makna psikologis kemudian menuliskannya kembali menjadi sebuah kronologi untuk para informan. Setelah menyajikan deskripsi struktural per informan, peneliti menyajikan deskripsi struktural secara umum. Deskripsi struktural umum adalah puncak analisis dan mewakili esensi dari fenomena yang sedang diselidiki.

G. Kredibilitas Penelitian

Creswell (2016) menjelaskan bahwa kredibilitas atau validasi merupakan suatu usaha untuk memeriksa akurasi dari penelitian dari perspektif peneliti, informan penelitian dan pembaca. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sistem member checking dan meminta seorang external auditor guna memeriksa apakah temuan dalam penelitian ini sudah akurat atau belum. Member checking dilakukan dengan melaporkan hasil penelitian kepada informan dan memastikan bahwa hasil penelitian ini bersifat akurat. Sedangkan, external auditor adalah seseorang yang mereview keseluruhan dari penelitian ini. External auditor dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing skripsi. Hal ini karena seorang auditor dapat memberi penilaian secara objektif mengenai hasil dari keseluruhan penelitian (Creswell, 2016).

(38)

H. Refleksitivas Penelitian

Untuk semua orang yang tidak pernah terpikir mengapa seseorang memilih jalan untuk mengakhiri hidupnya, mari sedikit berempati sejenak akan jalan yang mereka pilih. Kita semua tidak akan pernah tau apa yang ada di hati dan pikiran seseorang hingga dirinya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Saya pernah memiliki seorang teman yang bisa dikatakan saya dan dia pernah terlibat suatu konflik pada satu hari. Suatu saat saya mendengar kabar bahwa dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Satu kata yang terlintas dalam kepala saya ialah “berani”. Bagi saya, seorang yang memilih jalan untuk mengakhiri hidupnya adalah seseorang yang berani mengambil kemungkinan yang sama sekali belum pernah terbayangkan di benak semua orang. Kematian adalah suatu hal yang mutlak namun belum pernah ada orang yang telah mati kemudian kembali hidup dan menceritakan segala pengalaman apa yang dia alami di sana. Jikalau ada, jujur saya tidak mempercayainya.

Bagi saya, tindakan bunuh diri adalah suatu tindakan yang memerlukan keberanian. Namun, ada satu tindakan lagi yang menurut saya membutuhkan keberanian lebih besar, yaitu kembali menjalani hidup. Memang benar, kehidupan setelah kematian menjadi misteri yang belum terpecahkan –entah akan bahagia atau menderita tidak tahu- akan tetapi kembali menjalani hidup menurut saya bukan menjadi misteri. Hidup adalah sekumpulan penderitaan (lupa kata siapa) dan seseorang yang berani kembali menjalani hidup adalah seseorang yang berani menghadapi kumpulan penderitaan (lagi).

Saya pribadi pernah beberapa kali mendekati percobaan bunuh diri, dan percobaan terakhir adalah Bulan Maret tahun yang lalu. Ketika itu saya sedang dilanda ketakutan yang amat sangat akan hari esok dan hal itu sudah berlangsung selama beberapa minggu terakhir di awal tahun 2019. Bukan sebuah masalah besar yang menghantam saya namun kerikil-kerikil masalah dari masa lalu dan dari masa itu yang berkumpul sehingga menutupi pikiran dan hati saya. Satu malam ketika saya tidak bisa lagi menuangkan emosi dalam bentuk tangisan, saya mulai berpikir bagaimana jika saya tidak usah ada di dunia ini lagi yang kemudian pikiran itu

(39)

semakin menguat dari hari ke hari dan terkadang tanpa sengaja membuat saya tanpa sadar menyakiti diri saya sendiri.

Kemudian ketika pikiran itu semakin menguat, saya memberanikan diri untuk bercerita pada salah seorang sahabat saya. Tidak banyak nasehat dan petuah yang keluar dari dirinya namun ada satu kalimat yang selalu saya ingat dan saya pegang hingga hari ini. Segala hal yang saya punya di dunia ini hanya diri kita sendiri. Sampai akhir, siapa yang menemani diri ini ya saya sendiri. Untuk itu, meskipun berat saya berusaha untuk kembali hidup bukan hanya sekedar bernapas dan ada tapi kembali memaknai perjalanan saya di dunia ini.

Dengan adanya pengalaman ideasi yang saya miliki, saya ingin mengetahui cerita pengalaman dari orang-orang yang benar-benar pernah melakukan tindakan bunuh diri dan akhirnya memutuskan untuk menjalani kehidupannya kembali. Menurut saya, fenomena penyintas bunuh diri ini bisa membantu banyak orang untuk semakin menghargai hidup yang sedang dijalani.

Saya sebagai peneliti sadar bahwa hal ini dapat menimbulkan bias dari sudut pandang saya. Oleh karena itu saya berusaha mawas diri dan berusaha se-objektif mungkin ketika menggali data dari informan. Sehingga adanya dosen pembimbing serta rekan kerja yang memberikan saran, dapat membantu peneliti tetap bersikap objektif.

(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai pelaksanaan penelitian serta hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, peneliti juga akan memberikan pembahasan mengenai hasil yang telah diperoleh.

A. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan dan Perizinan

Informan dari penelitian ini adalah individu yang pernah melakukan percobaan bunuh diri namun gagal karena beberapa alasan. Peneliti meminta tolong kepada tiga orang yang dirasa sesuai dengan penelitian ini sebagai informan serta menjelaskan maksud dan tujuan dari adanya penelitian ini. setelah ketiga orang tersebut menyetujui untuk menjadi informan, peneliti memberikan informed consent dan meminta kesediaan informan untuk menandatangani informed consent tersebut. Peneliti juga membacakan dan menjelaskan secara rinci mengenai isi dari informed consent.

Sebelumnya, peneliti membuat sebuah form secara online guna mencari dan mendata calon informan. Adapun isi dari form tersebut antara lain nama, nomor yang bisa dihubungi, kondisi saat ini, cerita pengalaman percobaan bunuh diri secara singkat, domisili serta kesediaan untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Tujuan peneliti membuat form ini adalah untuk data awal sebagai pertimbangan peneliti untuk memilih informan.

Setelah mendapatkan tiga orang dengan kriteria yang sesuai, peneliti melakukan pendekatan kepada masing-masing informan. Hal ini dilakukan agar tumbuhnya rasa kepercayaan informan kepada peneliti. Sehingga, informan mampu lebih terbuka untuk membagikan pengalamannya dengan peneliti.

Proses pendekatan dilakukan beberapa kali dengan dua metode. Yang pertama adalah dengan berbincang di media sosial kemudian selanjutnya peneliti mengajak informan untuk bertemu dan berbincang-bincang dahulu sebelum melakukan proses pengambilan data. Untuk

(41)

proses pengambilan data, peneliti memberikan kelonggaran pada informan memilih waktu dan tempat yang sesuai dan nyaman bagi informan.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara sebagai metode untuk pengambilan data. Sebelum memulai pengambilan data, peneliti selalu membangun rapport awal agar informan merasa nyaman. Rapport awal dilakukan seperti berbincang mengenai kabar informan, kegiatan sebelum menuju ke tempat wawancara serta beberapa obrolan ringan lainnya. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur ini menggunakan pedoman wawancara, namun pedoman hanya dijadikan patokan dan untuk memperkirakan waktu wawancara. Dengan menggunakan metode ini, peneliti memiliki ruang bebas dalam melakukan probing terhadap data.

Peneliti juga meminta izin terlebih dahulu kepada informan untuk merekam segala proses wawancara melalui ponsel. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai media atau alat bantu peneliti. Hasil dari rekaman suara informan inilah yang akan ditranskrip oleh peneliti. Setelah mendapatkan transkrip, peneliti akan menganalisis data yang telah diperoleh. Melalui hasil penelitian ini, peneliti mulai kembali bertemu dengan para informan untuk melakukan kegiatan member checking, yaitu peneliti menjelaskan ulang kembali mengenai hasil yang telah didapatkan serta memastikan bahwa hasil temuan tersebut bersifat akurat dan telah sesuai dengan jawaban para informan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dengan peneliti bertemu dengan para informan untuk melakukan wawancara. Peneliti dibantu oleh tiga orang informan yang terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang laki-laki. Pelaksanaan wawancara diawali dengan perkenalan diri terlebih dahulu karena peneliti belum mengenal informan T dan informan L sebelumnya. Setelah itu, peneliti dan para informan menyepakati hari, waktu dan tempat untuk kemudian

(42)

bertemu dan melaksanakan proses wawancara. Adapun tempat dan waktu wawancara pengambilan data sebagai berikut:

Tabel 1. Pelaksanaan pengambilan data

Informan Lokasi Hari, Tanggal Waktu Keterangan

Informan T Wirobrajan, Yogyakarta Kamis, 14 November 2019 16.00 Wawancara latar belakang dan tanda tangan informed consent

Wirobrajan, Yogyakarta Jumat, 15 November 2019 17.00 Wawancara penelitian Informan L Gejayan, Yogyakarta Selasa, 4 Februari 2019

15.00 Wawancara latar belakang dan tanda tangan informed consent Gejayan, Yogyakarta Kamis, 6 Februari 2020 12.00 Wawancara penelitian Informan M Mrican, Yogyakarta Rabu 30 September 2020 14.00 Wawancara latar belakang dan tanda tangan informed consent

Seturan, Yogyakarta

Jumat,

2 Oktober 2020

(43)

Setelah hasil wawancara diperoleh dan analisis telah dilakukan, hasil penelitian dan analisis data ditunjukkan kepada informan. Proses ini disebut member checking. Hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi kesalahan analisis penelitian dan ketidaksesuaian pemahaman dari pemaknaan informan. Pelaksanaan dan hasil dari member checking adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Pelaksanaan member checking

Informan Penyerahan hasil Persetujuan Komentar

Informan T Senin,

6 Januari 2020

Senin,

6 Januari 2020

Ya sudah baik Mbak

Informan L Selasa,

10 Maret 2020

Selasa,

10 Maret 2020

Sudah pas Kak

Informan M Sabtu,

10 Oktober 2020

Sabtu,

10 Oktober 2020

(44)

B. Informan Penelitian

1. Data diri informan

Tabel 3.

No Keterangan Informan T Informan L Informan M

1 Usia 34 tahun 19 tahun 23 tahun

2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan

3 Pendidikan terakhir

SMA SMA S1

4 Pekerjaan Tukang Ojek Mahasiswa Fresh Graduate

5 Suku Jawa Tionghoa Jawa

2. Latar Belakang Informan

a) Informan 1 (T, 34 tahun).

T adalah seorang tukang ojek difabel berusia 34 tahun yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara. T terlahir berbeda dari sauara-saudaranya. T mengalami cacat fisik dibagian kaki dan cara berbicaranya pun kurang jelas. Hal tersebut membuat T diperlakukan berbeda oleh orang-orang disekitarnya termasuk oleh kedua orangtuanya sendiri. T merasa sejak kecil dirinya kurang difasilitasi dan ruang geraknya dibatasi, menurutnya hal ini disebabkan karena dirinya dipandang tidak mampu dan tidak berguna.

Selama ini T sudah melakukan tiga kali percobaan bunuh diri dan semuanya gagal. Ketiga kali percobaan T itu dipicu oleh perasaan rendah diri T yang merasa dirinya tidak mampu ditambah dengan pandangan banyak orang tentang dirinya yang tidak sanggup

(45)

melakukan apa pun. Hal yang membuat T semakin yakin untuk mengakhiri hidupnya adalah karena T merasa tidak disayang oleh kedua orangtuanya.

Namun, setelah mengalami banyak peristiwa dan pengalaman T akhirnya bergaabung dengan suatu komunitas komersil bernama Ojek Difabel. Mulai dari situ, T merasa mendapatkan banyak support secara sosial maupun secara materi. Setelah melalui banyak pengalaman serta kegagalan untuk bunuh diri, T dapat mengubah cara pandangnya terhadap hidup sehingga T sekarang memandang hidup dengan lebih positif.

b) Informan 2 (L, 19 tahun).

Secara biologis, L adalah seorang anak perempuan berusia 19 tahun yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Namun secara urutan keluarga, L adalah anak kedua karena L memiliki seorang kakak angkat yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Saat ini, L sedang menempuh pendidikan S1 di sebuah universitas swasta di Yogyakarta dan jauh dari keluarganya. L memiliki pandangan bahwa dirinya tidak berguna jika tidak berada di dekat orang lain. Selain itu L selalu dituntut untuk menjadi yang terbaik oleh orangtuanya. Hal itu memberikan tekanan tersendiri untuk L karena tuntutan itu sudah ditanamkan sedari L masih SD. L juga diajarkan untuk selalu patuh pada perkataan orang lain, itu juga membuat L menjadi tidak percaya diri jika sedang sendirian dan merasa bahwa dia harus selalu mendahulukan orang lain. Ini juga berdampak kepada perlakuan L pada dirinya sendiri. L merasa lebih baik dirinya yang tertindas dan tersakiti ketimbang harus melihat orang lain merasa sakit hati.

L pernah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri dan percobaan pertamanya ketika dirinya berada di kelas 5 SD. Saat itu L menjatuhkan dirinya dari lantai dua dan yang ia dapatkan bukanlah kematian melainkan kaki kanannya patah sehingga memberikan bekas luka hingga sekarang. Kemudian percobaan-percobaan L yang lain adalah self harm, berusaha tidak makan dan menabrakkan diri saat sedang berkendara. Dari sekian banyak percobaan

(46)

yang ia lakukan, L masih diberi kesempatan hidup sampai sekarang hal itu membuat L berpikir bahwa dirinya harus terus melanjutkan hidup dan mencari hal-hal indah dalam hidup serta melanjutkan hidup untuk menggapai segala hal yang belum dia capai.

c) Informan 3 (M, 23 tahun).

M adalah seorang perempuan berusia 23 tahun yang memiliki hobi merajut dan menjual hasil rajutannya itu. Saat ini M sedang menunggu panggilan pekerjaan karena M baru saja lulus dan sudah mendaftar ke beberapa tempat. M adalah anak kedua dari dua bersaudara. M hanya memiliki seorang kakak laki-laki. Sejak SMP, M hanya tinggal bersama Mamanya karena kedua orangtua M sudah berpisah. M bercerita bahwa sebelum kedua orangtuanya berpisah, hubungan M dengan keduanya memang tidak dekat karena kedua orangtua M bekerja. M sering merasa sedih terutama saat SD karena M merasa dirinya kurang diperhatikan orangtua berbeda dengan teman-teman di sekolahnya.

Setelah kedua orangtuanya berpisah, M merasa bahwa dirinya kesepian dan selalu berusaha mencari cara agar keduanya kembali. Cara yang dilakukan M adalah dengan menjadi anak yang sering dipanggil di sekolah, segala cara telah M lakukan namun usahanya untuk membuat kedua orangtuanya rujuk sia-sia. M juga merasa setelah kedua orangtuanya berpisah, segala kesialan menimpa dirinya. Sewaktu SMP M pernah dilecehkan oleh mantan pacarnya dan dia dihukum tidak bisa mengikuti semua kegiatan serta organisasi di sekolah. Selain itu, M mendapatkan sanksi sosial dari teman-temannya. M dijauhi dan dia tidak memiliki teman saat itu. Hal tersebut kemudian memicu M untuk mencoba berteman dan berkenalan dengan anak-anak dari sekolah lain. Namun M salah dalam memilih teman, karenanya M masuk ke dalam pergaulan yang kurang sehat.

Tahun 2018 tepatnya di Bulan Oktober, M baru mengetahui bahwa dirinya hamil. Hal ini disebabkan dari hubungan bersama mantan pacarnya yang berinisial H. Padahal M sudah putus dengan H bulan Agustus. M sebenarnya sudah mencurigainya karena sekitar Bulan Agustus M sudah tidak datang bulan dan juga sering merasa mual bahkan pingsan. Akhirnya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa perubahan harga jual kain batik terhadap kriteria investasi disajikan pada Tabel 25. Harga jual batas bawah kain batik per stel adalah Rp. 538.130 agar usaha

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Kelurahan Wates Tahun 2016 memuat gambaran situasi dan kondisi serta program kerja Kelurahan Wates dalam penyelenggaraan

Sistem manajemen pengetahuan yang dibangun pada organisasi ini difokuskan untuk menangkap (knowledge capture) dan mendistribusikan pengetahuan antar pekerja pengetahuan

Berdasarkan uraan d atas, maka dapat dkonstrukskan budaya hukum pengrajn perak yatu seperangkat pengetahuan, nla- nla dan keyaknan yang dmlk oleh komuntas

belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal. Kedua, adanya perbedaan

peneliti dapat menyimpulkan bahwa hampir sebagian mahasiswa perhotelan di International Hotel Management School tertarik dengan mata kuliah bahasa China khususnya

Dari beberapa permisalan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika arus a tidak mengikuti lampu lalu lintas maka akan mendapatkan waktu tunggu yang optimal dari