• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR DETERMINAN TERHADAP

PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL

Endang S Soesilowati

Pendahuluan

Seperti telah dijelaskan pada bab 1 buku ini, perilaku konsumen dipengaruhi oleh banyak aspek, termasuk kultural, sosial, personal, dan karakteristik psikologis. Faktor kultural dianggap yang paling be-sar pengaruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Agama merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang mempenga-ruhi perilaku dan keputusan membeli (lihat Assadi 2003, Esso and Dibb Sally 2004, Delener 1994, Babakus et al 2004, Cornwell 2005). Religion is a system of beliefs and practices by which group of people interprets and responds to what they feel is supernatural and sacred (Johnstone, 1975 dikutip dari Shafi e & Othman, 2008). Pada umumnya agama mengatur tentang apa-apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang untuk di-lakukan, termasuk perilaku konsumsi (Shafi e & Othman, 2008). Dengan mengutip Cloud (2000), Fam et al (2004) dan juga Wirthington (1988) menyatakan bahwa agama merupakan keyakinan dan nilai-nilai dalam menginterpretasi kehidupan yang diekspresikan menjadi suatu ke-biasaan. Lembaga agama memformalkan sistem tersebut secara terus menerus dan diajarkan pada setiap generasi. Agama dapat mempen-garuhi perilaku konsumen dan perilaku pada umumnya (Delener 1994, Pettinger et al 2004), khususnya pada keputusan membeli bahan maka-nan dan kebiasaan makan (Bonne et al 2007). Seperti juga dikemukakan oleh Schiff man dan Kanuk (1997) yang menyatakan bahwa keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh identitas agama mereka (dikutip dari Shafi e & Othman, 2008).

Istilah perilaku konsumen secara umum digambarkan sebagai suatu proses dari pencarian, pemilihan, sampai pada keputusan mem-beli sesuatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan fi sik maupun psikis. Dalam studi perilaku konsumen, hal ini mencakup beberapa hal seperti apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membelinya? Kapan mereka membelinya? Dimana mereka membe-linya? Berapa sering mereka membemembe-linya? Dan berapa sering mereka menggunakannya? (Sumarwan, 2002). Sebagai penganut agama Islam, maka keputusan untuk memilih dan membeli barang akan tidak hanya memperhatikan dari segi kebutuhan dan biaya yang harus dikeluarkan tetapi yang paling penting adalah sejauhmana barang yang dikonsum-si akan memberikan maslahah (manfaat dan berkah) secara makdikonsum-simum (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008).

Telah ditunjukkan pada bab-bab sebelumnya, betapa masyarakat muslim Banten yang diwakili oleh 100 responden perkotaan sangat con-cern terhadap perilaku mereka dalam mengkonsumsi makanan halal. Telah ditunjukkan pula bahwa tingkat komitmen beragama seseorang mempengaruhi perilakunya terhadap konsumsi makanan halal. Namun demikian, seperti juga telah disebutkan di bab 1 buku ini, bahwa ter-dapat tiga aspek dominan yang mempengaruhi niat seseorang untuk berperilaku, Dengan mengadaptasi pendekatan teori perilaku Planned Behaviour (Ajzen 1991) sebagai landasan konseptual yang dipakai un-tuk menjelaskan proses perilaku konsumen, ada tiga aspek yang san-gat menentukan perilaku seseorang yaitu sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku. Keputusan konsumen untuk membeli ma-kanan halal tidak hanya dipengaruhi oleh sikapnya, tetapi juga oleh pengaruh kelompok atau komunitas di mana seseorang tinggal, dan juga oleh persepsi kontrol mereka sendiri. Kekuatan pengaruh dari ke-tiga faktor tersebut terhadap keputusan membeli pun akan bervariasi tergantung pada jenis produk dan situasi. Maka dari itu, untuk dapat memprediksikan apakah seseorang akan melakukan sesuatu, kita

per-lu mengetahui apakah orang tersebut suka akan perbuatan tersebut (sikap), seberapa jauh dia merasakan tekanan sosial untuk melakukan perbuatan itu (norma subyektif ), dan juga mengetahui apakah orang tersebut melakukan kontrol terhadap perbuatannya tersebut (persepsi kontrol perilaku). Selanjutnya, kadar ke Islaman/ komitmen beragama seseorang akan mencerminkan identitas dirinya sebagai seorang Mus-lim. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim dia akan mempunyai sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku dalam mempengaruhi niat (intention)nya untuk berperilaku dalam mengkonsumsi makanan halal yang mungkin berbeda dengan orang yang non Muslim. Tulisan pada bab ini akan menguji manakah yang lebih dominan pengaruh dari ketiga aspek tersebut terhadap perilaku muslim Banten dalam meng-konsumsi makanan halal.

Dari uraian di atas, ditunjukkan bahwa sikap adalah merupakan tendensi psikologis seseorang dalam mengevaluasi sesuatu untuk menjadi suka atau tidak suka berperilaku konsumsi makanan halal. Norma subyektif merupakan tekanan sosial terhadap seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan (perilaku). Dalam hal ini budaya masyarakat (Muslim Banten) dimana dia tinggal akan memberikan pengaruh terhadap perilaku konsumsi makanan halalnya. Sementara itu, persepsi kontrol perilaku merupakan suatu persepsi ter-hadap sejauhmana perilaku konsumsi makanan halal tersebut dapat dikontrol. Bagaimana seseorang memahami dan mengikuti aturan aga-manya merupakan persepsi yang akan mengontrol perilakunya.

Ketiga aspek (sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol) tersebut akan menentukan niat seseorang untuk mengkonsumsi makanan halal, dan ditunjukkan dalam perilaku konsumsi makanan halalnya. Niat (intention) merupakan faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk

menampilkan suatu perilaku konsumsi makanan halal. Oleh karenanya, kadar komitmen beragama seseorang melalui beberapa proses di atas akan sangat menentukan niatnya untuk berperilaku dalam konsumsi makanan halal. Namun demikian, seberapa jauh seseorang akan menampilkan perilakunya, juga tergantung pada beberapa faktor-faktor lain, seperti ketersediaan, kesempatan, pengetahuan (misalnya, tentang sertifi kasi halal), dan sumber yang dimiliki (uang, misalnya) nya. Hal ini ditunjukkan oleh antara lain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat usia, jenis kelamin, dan juga latar belakang pengetahuan agamanya.

Sikap

Sikap telah menjadi area studi yang penting dalam psikologi, oleh karena sikap dipercaya mempengaruhi seseorang berperilaku terha-dap objek maupun konsep, dan bahkan dianggap sebagai faktor yang paling menentukan perilaku (Omar, Muhammad & Omar, 2008). Pada sajian di bab-bab terdahulu, tercerminkan bahwa mayoritas respon-den muslim Banten sangat peduli terhadap konsumsi makanan halal. Kepedulian tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang di-anggap memiliki kadar komitmen beragama yang tinggi, tetapi juga ditunjukkan oleh hampir semua responden muslim Banten. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam perilaku mereka untuk mengkonsumsi ma-kanan halal. Hal menarik selanjutnya adalah mengungkapkan seberapa jauh perilaku yang ditampakkan tersebut dipengaruhi oleh sikap mer-eka. Apa itu sikap?

Banyak defi nisi yang diberikan untuk kata sikap. Sebagian ment-erjemahkan sikap sebagai suatu cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Sebagian juga memandang bahwa sikap merupakan kondisi mental yang kompleks

yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk ber-tindak dengan cara tertentu. Dalam studi pemasaran, sikap konsumen merupakan perpaduan dari dan saling terkait antara beliefs about, (2) feelings about, dan (3) behavioral intentions yang besar peranannya dalam mempengaruhi reaksi seseorang terhadap sesuatu objek1. Dari beberapa pendapat tersebut, pada prinsipnya sikap didudukkan seba-gai predisposisi untuk melakukan sesuatu (perilaku).

Dalam penelitian ini, sikap dimaksudkan sebagai predisposisi re-sponden untuk memutuskan membeli dan memilih makanan Halal. Ba-gaimana mengukur sikap? Di sini peneliti menggunakan pengukuran sikap melalui lima pertanyaan yang diajukan terhadap responden. Per-tanyaan yang diajukan berturut-turut adalah penilaian responden ter-hadap pentingnya mengkonsumsi makanan halal, seberapa jauh Halal menjadi pertimbangan saat berbelanja produk makanan, sejauh mana ketersediaan makanan halal menjadi pertimbangan utama responden saat memilih restoran/warung makan, seberapa besar tendensi respon-den untuk tidak jadi membeli makanan yang tidak bersertifi kat halal, dan juga seberapa besar kemungkinan responden akan mencari pro-duk lain yang bersertifi kat halal, bila makanan halal bersertifi kat yang biasa dbelinya tidak tersedia.

Sejauhmana kelima jenis pernyataan tersebut menggambarkan sikap responden terhadap perilaku konsumsi makanan halal? Tabel 5-1 menggambarkan hasil uji reliabilitas dengan menggunakan analisa cronbach alpha, dan pengujian validitas variabel memakai korelasi Pearson dari setiap aitem terhadap total lima aitem pernyataan tersebut di atas, serta perolehan sekor rata-rata responden dari masing-masing aitem pertanyaan.

Tabel 5.1 Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Sikap Responden

Jenis Pernyataan Validitas Reliabilitas

Sekor rata-rata

(COP) Penting mengkonsumsi makanan

halal 0.551 0.632 6.93

Selalu berbelanja produk

makanan halal 0.568 0.607 6.9 0

Memilih restoran /warung yang

menjual makanan halal 0.736 0.560 6.84

Tidak membeli makanan yang

tidak bersetifi kat halal 0.835 0.599 4.73

Mencari produk sejenis lain yang

bersertifi kat halal 0.839 0.444 5.82

Total Sikap

6.24 Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009

Tabel 5-1 menggambarkan bahwa lima pernyataan yang digunakan untuk mengungkapkan sikap responden terhadap niatnya berperilaku konsumsi makanan halal memiliki tingkat validitas yang tidak seejalan dengan tingkat reliabilitasnya. Namun demikian, kelima pertanyaan yang diajukan cukup valid (> 0.3 untuk korelasi Pearson), walaupun sedikit kurang reliabel terutama bagi pertanyaan tentang mencari produk sejenis lain yang bersertifi kat halal.

Dengan menggunakan tujuh skala jawaban (1 bagi yang bersikap sangat negatif – 7 untuk yang sangat positif ) diperoleh sekor rata-rata sebesar 6.244. Hal ini tentu saja menujukkan sikap yang sangat positif bagi seluruh responden muslim Banten untuk berperilaku konsumsi makanan. Hal tersebut, terutama ditunjukkan pada sikap responden yang menyatakan betapa sangat pentingnya mereka (masyarakat muslim Banten) untuk mengkonsumsi makanan halal. Mereka juga

sangat suka untuk selalu membeli makanan halal dan juga bahkan penyediaan makanan halal di warung makan/ restoran sangat kuat mempengaruhi keputusan untuk makan di rumah makan atau restoran tersebut. Di sisi lain, sikap positif responden terhadap konsumsi makanan halal ini kurang kuat dalam masalah sertifi kasi, hal ini ditunjukkan dengan sekor yang tidak cukup tinggi bagi dua pertanyaan keputusan membeli, yaitu bahwa apabila responden tidak menemukan makanan yang bersertifi kat halal yang biasa mereka beli, mereka agak sedikit enggan untuk mencari produk sejenis lain yang ada sertifi kat halalnya. Demikian halnya, responden muslim Banten ini menunjukkan kecenderungan untuk tetap membeli makanan kesukaannya walaupun tidak bersertifi kat halal.

Kenyataan ini tidak serta merta menggambarkan bahwa responden muslim Banten masih suka mengkonsumsi makanan yang tidak halal, oleh karena pernyataan dalam kuesioner hanya menekankan pada tendensi responden untuk mengkonsumsi makanan yang bersertifi kat halal. Penjelasan lain yang dapat diberikan adalah oleh karena sampai saat ini ketersediaan produk makanan yang telah bersertifi kat halal masih sangat terbatas, sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di Bab sertifi kasi (bab 6) buku ini.

Norma Subyektif

Pengaruh norma subyektif terhadap perilaku konsumsi makanan halal yang merupakan anggapan diri responden terhadap penilaian masyarakat muslim Banten dan termasuk juga Pemerintah daerah terhadap keputusan mereka untuk memilih dan membeli makanan halal diukur melalui dua kelompok pertanyaan. Kelompok pertanyaan pertama menggambarkan tentang pendapat responden terhadap adanya tuntutan mengkonsumsi makanan halal dari empat kelompok

masyarakat, mulai dari tuntutan keluarga, masyarakat, pemerintah, sampai pada tuntutan pemuka agama. Kelompok pertanyaan ke dua memfokuskan pada pendapat responden terhadap penilaian negatif yang akan diterimanya, bila mereka tidak mengkonsumsi makanan halal. Anggapan penilaian negatif terhadap responden ini pun di dapatkan dari empat kelompok masyarakat tersebut di atas.

Seperti halnya pengukuran sikap, pengujian terhadap pertanyaan yang dikelompokkan dalam norma subyektif ini pun dianalisa validitas dan reliabilitasnya menggunakan alat ukur yang sama (lihat Tabel 5-2). Dengan menggunakan uji statistik korelasi Pearson dan cronbach alpha, delapan pertanyaan yang digunakan untuk menggambarkan pengaruh norma subyektif terhadap perilaku responden dalam mengkonsumsi makanan halal menunjukkan tingkat validitas dan reliabilitas yang sangat tinggi.

Tabel 5.2 Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Norma Subyektif Responden

Jenis Pernyataan Korelasi

Pearson Reliabilitas

(Sekor rata-rata) Mengkonsumsi makanan halal

oleh karena tuntutan keluarga 0.840 0.897 5.44

Mengkonsumsi makanan halal

oleh karena tuntutan masyarakat 0.857 0.895 4.68

Mengkonsumsi makanan halal

oleh karena tuntutan pemerintah 0.790 0.904 4.39

Mengkonsumsi makanan halal oleh karena tuntutan pemuka agama

0.830 0.897

5.61 Jika tidak mengkonsumsi

makanan halal akan dinilai negative oleh keluarga

0.743 0.906

Jika tidak mengkonsumsi makanan halal akan dinilai

negative oleh masyarakat 0.780 0.903 5.63

Jika tidak mengkonsumsi makanan halal akan dinilai negative oleh pemerintah

0.712 0.912

4.66 Jika tidak mengkonsumsi

makanan halal akan dinilai negative oleh pemuka agama

0.799 0.901

5.92 5.323 Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009

Ternyata, tingkat pengaruh norma subyektif terhadap perilaku responden dalam mengkonsumsi makanan halal tidak sekuat pengaruh sikap mereka sendiri. Hal ini ditunjukkan dari perolehan sekor rata-rata (COP) yang hanya 5.323. Ini mengindikasikan bahwa responden muslim Banten berperilaku konsumsi makanan halal lebih dikarenakan mereka memang menyukainya (sikap), ketimbang oleh karena adanya tekanan yang mereka rasakan dari lingkungan sekitar. Sedikit pengaruh tekanan terhadap responden yang ditunjukkan oleh tuntutan terhadap responden untuk mengkonsumsi makanan halal terutama karena pengaruh pemuka agama. Sedangkan penilaian negatif yang akan diterimanya bila responden tidak mengkonsumsi makanan halal, terutama didapatkan dari keluarga terdekatnya.

Persepsi Kontrol Perilaku

Persepsi kontrol perilaku merefl eksikan kepercayaan/ keyakinan seseorang terhadap akses yang mereka miliki untuk memperoleh sumber dan kesempatan yang diperlukan untuk mewujudkan perilakunya. Oleh karenanya, hal ini meliputi dua komponen (Ajzen, 1991; Taylor & Todd, 1995). Komponen pertama merefl eksikan ketersediaan sumber yang diperlukan untuk mewujudkan perilaku,

seperti akses terhadap uang, waktu, dan lain sebagainya. Komponen ke dua mencerminkan keyakinan responden terhadap kemampuannya sendiri untuk melakukan sesuatu.

Dalam tulisan ini pengaruh persepsi kontrol perilaku responden untuk mengkonsumsi makanan halal lebih ditekankan pada komponen ke dua, yaitu keyakinan diri responden tentang kemampuannya untuk mengkonsumsi makanan halal. Setidaknya ada delapan pernyataan yang dapat dipakai untuk menggambarkan persepsi kontrol perilaku mereka terhadap konsumsi makanan halalnya.Tabel 5-3 menggambarkan tingkat validitas, reliabilitas masing-masing variabel pertanyaan yang diperoleh memakai alat ukur yang sama seperti pengukuran yang dilakukan terhadap dua aspek (sikap dan norma subyektif ) terdahulu.

Dibandingkan dengan pengaruh aspek sikap maupun aspek nor-ma subyektif, pengaruh aspek persepsi kontrol perilaku terhadap peri-laku responden dalam mengkonsumsi makanan halal menunjukkan kecenderungan posisi di antara keduanya. Artinya, persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh aspek norma subyektif, tetapi tidak sekuat pengaruh sikap responden terhadap perilaku responden muslim Banten dalam meng-konsumsi makanan halal.

Tabel 5.3 Validitas, Reliabilitas, dan Sekor rata-rata Persepsi Kontrol Perilaku Responden

Jenis Pernyataan Validitas Reliabilitas

COP (Sekor

rata-rata) Melakukan Kontrol terhadap

konsumsi makanan halal 0.702 0859 6.66

Mendorong pihak keluarga untuk

mengkonsumsi makanan halal 0.577 0.874 6.85

Mendorong pihak kerabat/ saudara untuk mengkonsumsi makanan halal

0.774 0.850 6.39

Mendorong pihak sahabat untuk

mengkonsumsi makanan halal 0.837 0.842 5.74

Mendorong pihak teman untuk

mengkonsumsi makanan halal 0.830 0.842 5.56

Mendorong pihak pemuka agama untuk mengkonsumsi makanan halal

0.772 0.872 4.90

Mendorong pihak komunitas/ masyarakat untuk

mengkonsumsi makanan halal

0.867 0.836

5.37

Label halal harus terlihat jelas 0.575 0.871 6.67

Total Persepsi Perilaku 6.018

Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009

Aspek persepsi perilaku kontrol yang paling kuat bersumber pada kontrol diri responden sendiri, dan juga kejelasan label halal dipersepsikan akan mempermudah responden melakukan kontrol ter-hadap konsumsi makanannya. Di samping itu, persepsi kontrol

peri-laku responden juga ditunjukkan tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga terutama dengan mengontrol keluarga dan kerabat terdekatnya, dan bahkan komunitas masyarakat Muslim Banten untuk mengkonsumsi makanan halal.

Dominansi Faktor

Telah jelas bahwa proses berperilaku konsumsi makanan halal dipengaruhi oleh tiga aspek, sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku. Intensitas pengaruh dari ketiga aspek tersebut ternyata tidak sama. Sikap nampaknya memberikan pengaruh yang lebih besar, diikuti oleh persepsi kontrol perilaku, sementara aspek norma subyektif memiliki intensitas pengaruh yang paling lemah dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Selanjutnya, apakah intensitas kekuatan dari sikap selalu lebih menonjol dalam mempengaruhi perilaku konsumsi ketimbang pengaruh dua aspek lainnya? Apakah ini berlaku untuk semua orang? Tentu saja masih perlu dipertanyakan.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa perilaku konsumsi sangat bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi seseorang. Oleh karenanya sangat menarik untuk mengkaji lebih lanjut variasi pengelompokkan responden muslim Banten dalam proses perilaku konsumsi makanan halalnya. Penyajian perbandingan masing-masing kelompok responden dalam tulisan ini dibedakan atas dasar tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, kelompok usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan pengetahuan agama yang diperoleh melalui institusi pendidikan pesantren, ditampilkan melalui enam gambar (Gambar 5-1, 5-2, 5-3, 5-4, 5-5, dan 5-6) berturut-turut.

Seperti analisa yang telah dilakukan pada Bab 3, segmentasi responden berdasarkan tingkat pendapatan diukur melalui besaran pengeluaran yang kemudian dikelompokkan menjadi lima kelas

besaran pengeluaran bulanan dengan selisih masing-masing pengeluaran sebesar Rp.1.500.000. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, didapatkan berurutan kelompok bawah 1 (tingkat pengeluaran responden per bulannya sampai Rp.1.500.000, kelompok bawah 2 untuk kelompok responden dengan besaran pengeluaran per bulan > Rp.1.500.000 – Rp3.000.000, kelompok berpendapatan sedang bagi responden dengan pengeluaran >Rp.3.000.000-Rp.4.500.000, disusul dengan kelompok atas 2 untuk >Rp.4.500.000 – Rp. 6.000.000,-. Kelompok responden dengan pengeluaran sebesar lebih dari Rp.6.000.000, merupakan kelompok responden yang diklasifi kasikan sebagai kelompok atas1.

Pada Bab 3 telah ditunjukkan bahwa antara tingkat pendapatan dan perilaku konsumsi walaupun korelasinya tidak cukup kuat, namun mempunyai korelasi negatif, dalam arti bahwa tingginya tingkat pendapatan seseorang tidak serta merta diikuti oleh semakin tingginya kepedulian untuk mengkonsumsi makanan halal, tapi justru sebaliknya semakin kurang peduli dibandingkan dengan kelompok tingkat pendapatan di bawahnya. Hal ini didukung oleh gambaran yang ditunjukkan pada Gambar 5-1. Gambar tersebut mengindikasikan bahwa kelompok masyarakat muslim Banten yang paling tinggi tingkat pendapatannya memiliki norma subyektif, persepsi kontrol, dan sikap untuk mengkonsumsi makanan halal yang paling lemah. Sebaliknya, responden komunitas muslim Banten berpendapatan sedang menunjukkan sikap, persepsi kontrol, dan norma subyektif yang paling kuat untuk berperilaku konsumsi makanan halal dibandingkan kelompok pendapatan lainnya.

Dari kedua kelompok pendapatan ini, bisa dilihat bahwa bagi kelompok masyarakat kelas menengah memang sikap menunjukkan intensitas yang paling kuat diikuti berturu-turut oleh persepsi kontrol dan norma subyektif dalam mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Sementara itu, bagi kelompok masyarakat dengan kelas sosial tinggi, ternyata persepsi kontrollah yang sedikit lebih berperan dalam mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan dengan pengaruh sikap dan norma subyektif.

Lebih lanjut, segementasi responden berdasarkan jenis pekerjaan menunjukkan bahwa responden muslim Banten yang berprofesi Guru (termasuk dosen) ternyata memiliki sikap dan persepsi kontrol yang paling tinggi terhadap konsumsi makanan halal dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya, tetapi norma subyektif mereka cukup rendah. Artinya, mereka merasa tuntutan sosial terhadap perilaku konsumsi

Gambar 5.1 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok pendapatan

halal mereka cukup rendah. Hal ini cukup bisa diterima logika, bila dalam benak para guru ini, ketika mereka tidak mengkonsumsi makanan halal, masyarakat tentu saja kurang berani menegurnya. Dari gambar tersebut nampak pula bahwa responden Ibu Rumah tangga cukup peduli terhadap makanan halal yang dikonsumsinya, baik itu karena sikap, norma subyektif, maupun persepsi kontrol mereka.

Hal menarik ditunjukkan dari segmentasi kelompok usia responden. Dengan mengamati Gambar 5-3 secara mudah dapat dilihat bahwa kelompok responden muslim Banten pada golongan usia termuda menunjukkan sikap, persepsi kontrol, dan norma subyektif untuk berperilaku konsumsi makanan halal yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Namun, sedikit agak sulit ketika membandingkan kelompok usia manakah yang menunjukkan intensitas pengaruh dalam ketiga aspek tersebut yang paling lemah terhadap niat mereka untuk mengkonsumsi makanan halal. Bagi responden muslim Banten dalam rentang usia 26-35, misalnya, memiliki persepsi kontrol dan norma subyektif paling lemah pengaruhnya untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, tetapi, ternyata sikap mereka untuk mengkonsumsi makanan halal masih lebih

Gambar 5.2 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok Jenis Pekerjaan

kuat dibandingkan dengan responden muslim Banten yang berusia 46 tahun ke atas.

Tendensi yang sama ditunjukkan dalam variasi pengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan. Responden dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi (S2) ternyata menunjukkan sikap, persepsi kontrol, dan norma subyektif yang paling tinggi dalam mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi makanan halal dibandingkan kelompok pendidikan di bawahnya. Kelompok responden yang berpendidikan D1-D3 menunjukkan norma subyektif dan persepsi kontrol yang paling lemah pengaruhnya terhadap perilaku mereka untuk mengkonsumsi makanan halal, tetapi sikap mereka untuk mengkonsumsi makanan halal masih lebih kuat dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Oleh karena jumlah responden SD, D1-D3, dan S2, masing-masing hanya 3 orang, maka pengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan perlu diperingkas menjadi tiga kelompok saja, yaitu kelompok berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), tingkat pendidikan menengah (SLTA), dan berpendidikan tinggi (D1 ke atas).

Gambar 5.3 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan kelompok umur Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009

Gambar 5.4 Perolehan sekor rata-rata responden terhadap tiga aspek pengaruh perilaku berdasarkan Tingkat Pendidikan

Dokumen terkait