• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOMITMEN BERAGAMA DALAM

PERILAKU KONSUMSI MAKANAN HALAL

Jusmaliani

Pendahuluan

Perilaku konsumsi makanan halal individu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti informasi kehalalan suatu makanan, pemahamannya tentang terminologi halal dan banyak lainnya. Dalam bab ini yang diduga berpengaruh pada perilaku konsumsi makanan halal adalah komitmen beragama individu tersebut. Komitmen beragama seseorang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sejak dari yang ekstrim taat sampai yang hanya menyandang label Islam di KTPnya. Bab ini ingin mengetahui seberapa jauh kadar komitmen beragama (Islam) memberikan pengaruh terhadap kepedulian masyarakat muslim Banten dalam mengkonsumsi makanan halal. Disadari pula tingkat keberagamaan seseorang memiliki gradasi dan ini dapat disebut sebagai kadar keIslaman. Semakin tinggi kadar keIslamannya berarti dia akan semakin takut untuk menyepelekan apapun yang diajarkan agama termasuk makanan yang dikonsumsinya. Di sisi lain disadari pula bahwa sebenarnya tidak ada satu carapun untuk mengukur kadar keIslaman seseorang.

Jadi jika kadar keIslaman identik dengan kadar keimanan/ ketakwaan, maka tidak seorang manusiapun yang dapat mengukurnya karena, selain kadar keimanan ini dapat naik turun, juga hanya Allah yang tahu dan mampu mengukurnya. Ketaatan seseorang menjalankan ibadah tidak dapat dipakai menjadi ukuran ketakwaannya, karena niat yang dikandungnya hanya Allah SWT yang tahu, sedangkan niat

merupakan syarat dalam melaksanakan ibadah, tanpa niat nilai ibadah akan nol. Sebagai contoh, seseorang yang berpuasa, hanya Allah yang tahu apakah ia berpuasa tulus karena Allah, atau karena ingin dilihat orang. Apakah sedekah yang diberikannya ikhlas atau karena ingin mendapat sebutan dermawan. Jika sedikit saja dilandasi ‘riya’ maka ketakwaannya sudah tidak ada.

Islam adalah agama yang kaff ah, oleh karena itu sewajarnyalah semakin orang memahami dan menghayati ajarannya maka perilaku kesehariannya akan menunjukkan perilaku yang Islami dalam segala hal, tidak terkecuali tentunya perilaku konsumsi makanan. Dalam hal ini ia akan selalu mencari makanan yang jelas kehalalannya, dan inipun tidak sekedar jaminan dari penjual makanan atau label yang tertera, namun lebih jauh lagi harus dimulai sejak dari mencari rezeki yang akan digunakan untuk membeli makanan halal tersebut. Pemahaman dan penghayatan ini dapat diukur dengan komitmen beragama. Jadi oleh karena kadar keIslaman atau ketakwaan sulit diukur maka sebagai gantinya bab ini akan melihat komitmen beragama seseorang. Untuk melihat komitmen beragama, penelitian ini menggunakan beberapa pertanyaan yang bisa ditafsirkan sebagai tinggi rendahnya komitmen beragama seseorang.

Metodologi yang digunakan dalam analisis ini adalah deskriptif statistik dan untuk melihat pengaruh komitmen beragama dengan beberapa aspek prilaku konsumsi makanan halal digunakan korelasi, selain itu dicoba pula melihat komitmen dalam memberikan toleransi kenaikan harga untuk produk yang memiliki label halal.

Komitmen Beragama

Ada tiga hal yang diduga dapat menunjukkan komitmen beragama seorang Muslim. Pertama, pendidikan yang ditempuh, jika ia mendapatkan pendidikan yang sarat dengan ajaran agama, maka bekal yang dimilikinya untuk komit menjalankan agama pasti lebih dari cukup. Ke dua pengakuan bahwa ia seorang Muslim; dengan mengaku sebagai Muslim, seharusnya ia konsekuen menjalankan hidup dalam koridor aturan agama. Ke tiga dengan menghitung indeks dari beberapa pernyataan berkaitan dengan fi kih baik ibadah maupun muamalah.

1. Dilihat dari pendidikan yang ditempuh.

Sebaran kuesioner diberikan pada mereka yang pernah mendapatkan pendidikan pesantren salafi yah dan yang tidak pernah dengan perkiraan yang pernah di pesantren komitmen beragamanya akan lebih tinggi dibanding yang tidak pernah mendapat pendidikan pesantren..Asumsinya disini adalah, semakin lama seseorang menempuh pendidikan agama, maka semakin tinggi/kuat komitmen beragamanya.

Dari 100 kuesioner, 35 tidak pernah mengikuti pendidikan pesantren salafi yah, 6 sampai tingkat amil, 41 tingkat jurumiyah-kaylani/matan bina dan 13 sampai alfi yah. Kalau dilihat dari pendidikan madrasah, hanya 7 yang tidak pernah mengikuti pendidikan madrasah, 31 berpendidikan diniyah, 20 ibtidaiyah, 16 tsanawiyah dan jumlah terbanyak 44 lulusan aliyah. Jika jumlah ini melebihi 100 maka hal itu karena ada 7 responden yang berpendidikan aliyah, menyatakan juga mereka berpendidikan tsanawiyah dan ibtidaiyah, sekalipun untuk sampai pada tingkat aliyah, jenjang yang harus dilalui adalah ibtidaiyah dan tsanawiyah.

Dilihat dari pendidikan ini jelas terlihat bahwa mayoritas masyarakat muslim Banten sedikit banyaknya pernah mendapatkan pendidikan agama; atau bisa ditafsirkan mereka sangat faham bahwa makanan itu haruslah halal karena inilah tuntutan agama. Tambahan lagi provinsi Banten mensyaratkan pemilikan ijazah diniyah bagi siswa yang ingin meneruskan pendidikan ke tingkat SLTP.

Latar belakang pendidikan muslim Banten yang cenderung agamis inilah yang membuat semua responden menilai konsumsi makanan halal adalah sesuatu yang penting, ini terlihat dari 94% responden memilih skala tertinggi (angka 7), 5% memilih skala 6 dan hanya 1% yang memilih skala 5. Pilihan skala ini bagaimanapun menunjukkan kecenderungan yang kuat bahwa masyarakat Banten secara umum menilai konsumsi makanan halal sebagai suatu hal yang penting.

Berdasarkan uraian ini jelas bahwa latar belakang pendidikan tidak mempengaruhi pilihan makanan mereka, karena baik yang berpendidikan pesantren maupun yang bukan sama-sama menyatakan bahwa makanan halal penting bagi mereka. Karena kesamaan jawaban inilah maka latar belakang pendidikan tidak digunakan sebagai indikator untuk melihat komitmen beragama masyarakat Banten. 2. Saya Muslim

Ada empat pernyataan/pertanyaan dalam kelompok ‘saya Muslim’ ini yang dimasukkan dalam daftar pertanyaan. Pertama, deklarasi bahwa saya Muslim, kedua seberapa pentingkah agama dalam kehidupan sehari-hari anda, ketiga apakah anda menjalankan syari’ah Islam dan terakhir apakah anda menjalankan mu’amalah Islam. Berikut analisis terhadap jawaban responden.

Hasil pilihan responden terhadap pertanyaan “saya adalah seorang Muslim” tidak menunjukkan variasi yang berarti, oleh karena semua responden men-declare- dirinya sebagai Muslim, bahkan semuanya memilih skala 7, kecuali 2 responden yang memilih skala 6. Angka rata-rata untuk semua rresponden sangat tinggi yaitu 6,97. Akibatnya pernyataan ini juga sulit digunakan untuk mengukur kadar komitmen beragama.

Pernyataan berikut menanyakan seberapa penting agama dalam kehidupan anda sehari-hari. Untuk pernyataan ini angka rata-ratanya juga menunjukkan sekor yang tinggi yaitu 6,9. Demikian pula berturut-turut untuk menjalankan syariah Islam dalam keseharian dan menjalankan muamalah Islam dalam keseharian sekornya 6,6 dan 6,35. Jadi dari empat pernyataan ini tidak satupun dapat digunakan untuk mengukur kadar komitmen beragama responden.

3. Aktivitas Agama.

Beberapa pertanyaan khususnya yang berkaitan dengan aktivitas agama dapat pula digunakan sebagai tolok ukur komitmen beragama seseorang. Aktivitas agama yang ditanyakan disini berjumlah 14, yaitu:

Sholat lima waktu

1. . Sholat lima waktu adalah rukun Islam yang kedua

setelah syahadat. Syahadat tidak dimasukkan ke dalam aktivitas agama, karena dengan pernyataan-pernyataan dalam kelompok “saya muslim” sudah jelas bahwa syahadat sudah diucapkan. Ibadah shalat lima waktu ini demikian pentingnya, sehingga di hari akhir kelak shalat lima waktu1 inilah yang terlebih dulu dihisab, baru yang lain-lainnya.

Sholat di mesjid

2. . Bagi pria Muslim, shalat di mesjid lebih diutamakan

dari pada di rumah, oleh karena itu ganjarannyapun lebih tinggi.

1QS Al-Baqarah: 238 (Kerjakanlah dengan tetap akan sembahyang-sembahyang, dan akan

Disamping itu manfaat lainnya adalah kesempatan berinteraksi dan silaturahin yang dapat dijalin dengan sesama jamaah. Dari sini akan dapat dibina kepedulian sosial.

Membayar Zakat

3. . Zakat adalah kewajiban sosial yang mendapat

penekanan khusus oleh agama. Sering kita menemukan ayat Al-Qur’an yang menyatukan antara shalat dan zakat (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat)2

Membayar Ziswaf

4. . Ziswaf adalah singkatan dari zakat (fi trah),

infaq, sedekah dan waqaf, Semuanya ini adalah bagian dari harta yang diberikan pada orang lain, Dampak dari perbuatan ini secara aggregate akan mengurangi kemiskinan melalui realokasi pendapatan yang dapat digunakan sebagai bantuan langsung tunai, ataupun pembangunan sarana publik, dan lain sebagainya. Puasa Wajib

5. . Puasa ini juga merupakan bagian dari rukun Islam3,

dengan berpuasa seorang Muslim dilatih menahan diri dan pada gilirannya latihan ini akan menjadikannya terbiasa menahan nafsu duniawi, termasuk nafsu terhadap harta yang bias mengakibatkan tindak korupsi.

Puasa Sunnah

6. . Aktivitas ini sangat dianjurkan tetapi bukan

sesuatu yang diwajibkan. Jika yang sunnah ini dijalankan secara berkelanjutan, dapat diartikan komitmen beragama relatif tinggi. Melaksanakan Ibadah Umroh atau Haji

7. 4. Haji adalah bagian dari

rukun Islam yang wajib, namun ini terkait dengan dana yang dimilki, sehingga hukum wajibnya conditional. Dalam melakukan ibadah haji, terdapat dua kali umroh wajib dan umroh sunnah yang

2Ayat-ayat yang menggabungkan shalat dan zakat antara lain dalam QS: Al-Baqarah: 43, Al-Anfal: 3, Ibrahim: 31

3Ayat yang paling popular dan sering dikutip para da’I, terutama dalam bulan ramadhan adalah dari Al-Baqarah: 183, terjemahannya: Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang dahulu dari pada kamu, supaya kamu terpelihara (dari pada kejahatan)

4 Perintah untuk berhaji dapat dilihat a.l dalam Al-Baqarah: 125, 158, 189, 196 s/d 200, 203, Ali Im-ran: 96,97, Al-Maidah: 1, 2, 94 s/d 97, bahkan salah satu surat bernama Al-Hajj

dapat dilakukan kapan saja dalam periode melaksanakan ibadah haji. Namun disamping kegiatan yang dilakukan dalam periode khusus ini, umroh dapat saja dilakukan diluar musim haji. Untuk melakukan umroh di luar musim haji ini, senantiasa ada pilihan, umroh atau jalan-jalan ke tempat lain atau membeli barang, menambah akumulasi kekayaan.

Ta’ziyah dan Silaturahim

8. . Dua hal ini adalah bentuk-bentuk

kepedulian sosial, yang sangat penting dalam membina hubungan kekerabatan dan komukasi dalam masyarakat.

Menghadiri Pengajian.

9. Hakekat dari menghadiri pengajian

adalah menambah pengetahuan agama non-formal. Ajaran Islam memang menyuruh umatnya agar selalu menambah pengetahuan, menuntut ilmu sejak dari buaian sampai kuburan.

Diskusi Agama

10. . Diskusi agama juga merupakan bentuk menambah

pengetahuan agama, jika dalam pengajian sering lebih pasif, maka dalam diskusi tentunya dituntut untuk lebih aktif.

Menggali Pengetahuan Agama.

11. Walaupun menggali pengetahuan

sudah jelas arahnya untuk menambah pengetahuan, tapi pertanyaan ini dimaksud dengan menggali melalui usaha sendiri seperti membaca buku-buku agama

Berguru pada Ustadz/Ulama

12. . Jika melaksanakan aktivitas seperti

disebutkan dalam butir 9, 10 dan 11 maka pengetahuan yang didapatkan adalah dengan cara yang tidak terstruktur, maka pada butir ini (berguru pada ustadz/ulama) perolehan pengetahuan akan lebih terstruktur.

Menerapkan Jual Beli secara Islam

13. . Islam sebagai agama yang kaaff ah,

tidak hanya mengatur masalah-masalah berkaitan dengan hubungan vertikal dengan Allah ataupun terbatas pada interaksi sosial; melebihi semua ini Islam juga mengatur bagaimana memperoleh pendapatan, yang dalam buku-buku disebut sebagai muamalat.

Menjadi Nasabah Bank Islam

14. . Hal ini merupakan salah satu

implementasi dari jual beli secara Islam. Menggunakan fasilitas perbankan syari’ah menjadi wajib hukumnya karena dua hal, pertama adanya fatwa ulama, yang dimulai dari ulama Mesir pada tahun 1970an yang mengatakan bahwa bunga Bank hukumnya haram (MUI mengeluarkan fatwa ini pada 2007). Kedua keberadaan bank-bank Islam yang relatif sudah menjangkau seluruh Nusantara, sehingga alasan darurat untuk tetap di bank konvensional tidak dapat diterima lagi. Sekalipun ada dua faktor seperti disebutkan di atas yang mendorong penggunaan bank Islam, namun dalam kenyataannya perkembangan jumlah nasabah tidaklah seperti yang diharapkan. Aktivitas keagamaan yang ditanyakan ini adalah sehubungan dengan fi kih baik fi kih yang berkaitan dengan hubungan antara makhluk dan khaliq (ibadah), fi kih yang mengatur hubungan sesama manusia maupun fi kih yang mengatur cara-cara mencari nafkah. Tentunya pertanyaan ini masih mungkin ditambah lagi, namun 14 butir ini tampaknya cukup mewakili aktivitas agama keseharian yang sekaligus mampu pula mencerminkan komitmen beragama seseorang.

Dari 14 pernyataan yang harus diisi oleh responden, pernyataan yang sekor jawabannya 1-4 umumnya adalah pada pernyataan tentang muamalah. Pernyataan awal seperti sholat, puasa, ziswaf umum mendapat jawaban sebagai selalu dikerjakan, sedangkan tentang ibadah haji, jawabannya bervariasi karena memang tidak semua responden adalah haji, selain aktivitas ini menuntut dana yang cukup banyak dan umumnya melalui proses menabung tahunan.

Untuk mengukur aktivitas agama ini, penulis membuat indeks rata-rata dari sekor jawaban responden untuk keempat belas pertanyaan tersebut, yang kemudian diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Indeks rata-rata terendah yang diperoleh adalah 3,78 (resp. nomor 64, 97)) dan tertinggi 7 (resp nomor 35, 36) sesuai dengan

skala yang diberikan dalam jawaban. Berdasarkan kisaran indeks ini, penulis membagi komitmen beragama menjadi tiga kategori, pertama komitmen beragama rendah (sekor < 4,99), komitmen beragama sedang (sekor 5,0 – 6,0) dan komitmen beragama tinggi (sekor > 6).

Gambar 4.1 menunjukkan sebaran responden menurut komitmen beragama rendah, menengah dan tinggi. Dari kategori ini terlihat bahwa mayoritas responden komitmen beragamanya menunjukkan sekor tinggi (52%), kemudian 32% dari responden komitmen beragamanya menengah dan hanya 16% yang komitmen beragamanya rendah. Artinya secara rata-rata dapat dikatakan bahwa komitmen beragama muslim Banten relatif cukup tinggi. Kesimpulan ini diambil karena batas bawah sekor menengah saja sudah menunjukkan angka 5 dari skala 1 sampai 7, artinya jika dijumlahkan antara yang menengah dengan yang tinggi maka jumlah yang diperoleh sudah 84%. Selain itu batas bawah dari komitmen beragama yang rendah adalah 3,78; angka yang lebih besar dari 3,5 (indeks pertengahan dari skala 1 sampai 7). Setelah membuat kategori ini, baru dilihat perilaku masing-masing kelompok terhadap makanan halal.

Seperti dijelaskan di muka komitmen beragama ini diukur berdasarkan aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh responden. Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja yang mendapatkan sekor tinggi dan apa saja yang mendapat sekor rendah. Untuk semua aitem pertanyaan, sekor yang relatif lebih tinggi terlihat ada pada kelompok dengan komitmen beragama yang lebih tinggi pula. Yang agak aneh adalah dalam melaksanakan puasa wajib, mereka yang komitmen beragamanya menengah memiliki sekor lebih tinggi dibanding yang memiliki komitmen beragamanya tinggi. Apa yang menjadi latar belakang hal ini juga tidak terlihat. Apakah karena dorongan untuk berpuasa lebih kuat, dalam masyarakat? Dalam pergaulan siapa yang tidak berpuasa akan cepat terlihat; selain itu puasa relatif lebih mudah dijalankan. Disisi lain sholat lima waktu dapat dilakukan di rumah sehingga tidak selalu tampak.

Jika aktivitas keagamaan khusus untuk ibadah kita kelompokkan ke dalam kategori wajib dan sunnah, maka ada empat hal yang termasuk rukun Islam ditanyakan di sini. Tiga diantaranya merupakan kewajiban tanpa syarat yaitu sholat lima waktu, membayar zakat dan puasa wajib sedangkan yang keempat adalah kewajiban yang sifatnya conditional (jika mampu) yaitu ibadah umroh/haji.

Mereka dengan komitmen beragama rendah memiliki sekor yang cukup tinggi (di atas 6) untuk ibadah wajib tanpa syarat ini, yaitu 6,45 untuk shalat lima waktu, 6,36 untuk membayar zakat dan 6,63 untuk puasa wajib. Di sisi lain sekor untuk ibadah haji/umroh sangat kecil yaitu 1,36 yang dapat ditafsirkan dengan kemungkinan besar tabungan yang belum mencukupi. Mereka dengan komitmen beragama menengah memiliki sekor 6,88 untuk shalat lima waktu, 6,70 untuk membayar zakat dan 6,98 untuk puasa wajib, sedangkan haji dan umroh hanya 1,94. Yang memiliki komitmen beragama tinggi sekornya lebih tinggi lagi yaitu 6,91 untuk sholat lima waktu, 6,85 untuk membayar zakat dan 6,91 untuk puasa wajib. Kelompok ini memiliki sekor relatif tinggi untuk ibadah haji/umroh yaitu 4,11.

Gambar 4.1 Sebaran Komitmen Beragama Responden Sumber: Dihitung dari hasil survey

Tabel 4.1 Aktivitas Agama menurut Kadar Komitmen Beragama Responden

Aktivitas Agama Rendah Menengah Tinggi

Sholat lima Waktu 6,45 6,88 6,91

Sholat di Mesjid 4,36 5,35 6,31

Membayar Zakat 6,36 6,70 6,85

Memberi sedekah/santunan/infaq/

waqaf 4,63 6,11 6,68

Melaksanakan puasa wajib 6,63 6,98 6,91

Melaksanakan puasa sunnah 3,54 5,33 6,08

Melaksanakan ibadah umroh/haji 1,18 1,94 4,11

Ta’ziyah dan Silaturahim 5,63 6,07 6,68

Menghadiri Pengajian 4,81 5,92 6,51

Diskusi Agama 4,27 5,62 6,42

Menggali Pengetahuan Agama (buku, dll) 3,90 5,81 6,62

Berguru pada Ustadz/Ulama 4,27 5,70 6,77

Menerapkan jual beli secara Islam 3,63 5,85 6,57

Menjadi nasabah Bank Islam 1,36 3,24 5,22

Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009

Lebih jauh lagi jika 14 pertanyaan ini dikelompokkan menjadi pertanyaan tentang ibadah wajib (sholat lima waktu, membayar zakat, melaksanakan puasa wajib, melaksanakan ibadah umroh/haji); ibadah sunnah (sholat di mesjid, memberi sedekah, melaksanakan puasa sunnah, ta’ziyah dan silarurahim); menambah ilmu (menghadiri pengajian, diskusi agama, menggali pengetahuan agama, berguru pada ustadz/ulama) dan mu’amalat Islam (menerapkan jual beli secara Islam dan menjadi nasabah bank Islam), maka gambaran yang diperoleh adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 4-2.

Dalam hal menjalankan mu’amalat semua kelompok responden menempatkan hal ini dalam urutan terendah. Responden dengan komitmen beragama rendah memiliki sekor tertinggi untuk ibadah wajib, kemudian ibadah sunnah, menuntut ilmu dan baru terakhir menjalankan mu’amalat. Responden dengan kadar komitmen beragama menengah mementingkan menuntut ilmu (sekor 5,76), kemudian lebih mendahulukan ibadah sunnah (sekor rata-rata 5,71) dibanding ibadah wajib (sekor rata-rata 5,62). Responden dengan kadar komitmen beragama tinggi juga menempatkan menuntut ilmu sebagai pilihan dengan sekor rata-rata tertinggi (6,58), kemudian seperti responden dengan kadar komitmen menengah menjalankan ibadah sunnah (sekor rata-rata 6,43) baru setelah itu ibadah wajib (sekor rata-rata 6,19).

Gambar 4.2 Kategori Aktivitas Agama menurut Kadar Komitmen Beragama Sumber: Diolah dari data primer tim P2E, 2009

Komitmen Beragama terhadap Perilaku Konsumsi

Makanan Halal

Perilaku konsumsi makanan halal, diukur dengan pertanyaan-pertanyaan seberapa penting mengkonsumsi makanan halal, sejauh mana orang lain didorong untuk juga mengkonsumsi makanan halal, apakah konsumsi makanan halal ini merupakan pilihan pribadi; bagaimana control terhadap makanan halal dan tuntutan siapa yang menjadikan responden mengkonsumsi makanan halal.

Secara statistik, dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson, hubungan antara kadar komitmen beragama dengan perilaku konsumsi halal diperoleh angka sebesar 0,565. Hal ini mengindikasikan hubungan yang cukup kuat antara kadar komitmen beragama dengan perilaku konsumsi makanan halalnya. Artinya, semakin tinggi kadar komitmen beragama seseorang, akan semakin kuat pula untuk mengkonsumsi makanan halal.

Selanjutnya, menarik untuk ditelusuri, variasi dari pengelompokkan yang telah dilakukan di atas, terhadap beberapa perilaku konsumsi makanan halal dimaksud.

Responden dengan Kadar komitmen Beragama Rendah

(sekor < 4,99)

Jumlah kelompok responden ini paling kecil yaitu hanya 16%, dimana 56,25% tidak pernah mendapatkan pendidikan pesantren. Perilaku konsumsi makanan halal dari kelompok ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Responden dengan kadar komitmen beragama rendah ini cenderung menyatakan bahwa pilihan terhadap makanan halal adalah pilihan pribadi, sekali lagi karena mayoritas memilih skala 7 untuk

jawaban ini, walau 2 orang memilih skala 4 dan 2 orang lainnya skala 6. Dengan 7 skala yang disediakan maka jawaban semua responden dapat digolongkan setuju, kecuali yang skala 4 yang menunjukkan keragu-raguan, dan ini hanya berjumlah 2 orang atau 12,5%.

Mereka memberikan juga dorongan bagi orang dan kelompok lain untuk mengkonsumsi makanan halal; pihak yang diperingatkan pertama kali adalah keluarga (6,125), kemudian baru berturut-turut saudara/ kerabat (4,875), sahabat (4,625), teman-teman (4,125), komunitas (3) dan terakhir baru pemuka agama (2,5). Kisaran sekor untuk memberi dorongan pihak lain mengkonsumsi makanan halal adalah 2,5 - 6,125. Selanjutnya dengan sekor 6,062 mereka menyatakan bahwa makanan halal adalah pilihan pribadi. Kontrol terhadap makanan halal hanya mendapat sekor 4,437.

Jawaban dengan sekor tertinggi untuk tuntutan terhadap konsumsi makanan halal adalah karena ajaran agama (5,75), kemudian berturut-turut pemuka agama (2,937), keluarga (2,562), masyarakat (1,875) dan terakhir baru karena tuntutan pemerintah. Kecilnya pengaruh tuntutan pemerintah terhadap konsumsi makanan halal responden mengindikasikan bahwa belum ada atau bahkan tidak ada aktivitas dari pemerintah (cq pemerintah daerah) baik menginformasikan atau pun menganjurkan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan halal. Lebih jauh, hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa sertifi kasi halal kurang berpengaruh terhadap perilaku konsumsi responden masyarakat muslim Banten (akan dianalisa pada Bab 6).

Selanjutnya karena komitmen beragama ini meliputi keseharian menjalankan ibadah dan muamalah maka pertanyaan sejauh mana menjalankan syariah Islam dianggap mewakili perilaku dalam beribadah, maka kelompok ini secara rata-rata mendapat sekor 6,437. Pertanyaan sejauh mana anda menjalankan muamalah Islam hanya mendapat sekor yang lebih rendah yaitu 5,875.

Responden dengan Kadar komitmen Beragama Menengah (sekor 5.0 – 6.0)

Responden dengan kadar komitmen beragama sedang/ menengah memiliki jawaban yang juga cenderung setuju bahwa pilihan terhadap makanan halal adalah pilihan pribadi dengan sekor rata-rata 6,562. Kontrol terhadap makanan halal mendapat sekor 6,125. Kelompok ini merupakan 32% dari keseluruhan responden; kisaran sekor untuk pertanyaan apakah anda mendorong orang lain/ kelompok untuk mengkonsumsi makanan halal adalah 3,968 – 6,843. Urutan kelompok yang diberi dorongan sama seperti mereka dengan kadar komitmen beragama rendah yaitu pertama keluarga (6,843) baru berturut-turut saudara/kerabat (6,218), sahabat (5,937), teman-teman (5,593), komunitas (5,125) dan pemuka agama (3,968).

Berkenaan dengan tuntutan siapa yang menyebabkannya mengkonsumsi makanan halal urutan terbesar sampai terendah yang diberikan kelompok ini adalah pertama ajaran agama (6,906), pemuka agama (5), keluarga (4,875), masyarakat (3,593) dan terakhir baru pemerintah (3,312). Kelompok ini mendapat sekor 6,437 untuk menjalankan syariah Islam dan 6,156 untuk muamalah Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dari kelompok ini ternyata 46,87% tidak pernah mendapat pendidikan pesantren.

Responden dengan Kadar komitmen Beragama Tinggi (sekor > 6.0)

Makanan halal adalah pilihan pribadi mendapat sekor yang cukup tinggi untuk kelompok ini yaitu 6,923. Kontrol terhadap makanan

Dokumen terkait