• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITERIA MAKANAN HALAL DALAM PERSEPSI

MASYARAKAT MUSLIM BANTEN

Diah Setiari Suhodo

Pendahuluan

Sebagai Negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, istilah halal sudah tentu bukan lagi suatu ‘barang aneh’, pemahaman untuk mengkonsumsi hanya yang halal dalam persepsi sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sudah di’sosialisasikan’ sejak dini, bahkan sejak anak-anak Indonesia memulai memakan makanan padat selepas masa bayinya. Pemahaman yang sudah tertanam sangat kuat ini menimbulkan implikasi yang menarik, di satu sisi edukasi mengenai makanan halal tentu saja tidak akan mengalami kesulitan yang berarti, dimana pemerintah, pemuka agama Islam dan pihak-pihak yang berwenang ‘menjaga’ umat Islam mengkonsumsi produk halal akan bisa menjalankan tugas mereka dengan baik. Tetapi di sisi yang lain, kondisi menjadi mayoritas membuat umat mengganggap persoalan makanan halal ini adalah hal yang mudah dan menjebak mereka untuk tidak lagi berhati-hati dalam memilih makanannya.

Karena umat Islam menjadi mayoritas di Indonesia, seolah-olah terdapat asumsi bahwa semua makanan yang ada menjadi halal dan boleh dikonsumsi, selama makanan itu tidak jelas-jelas berwujud haram seperti daging babi, misalnya. Padahal makanan halal tidak saja dilihat dari bentuk fi siknya, tetapi juga harus melihat proses yang menjadikan produk tersebut bisa dikonsumsi. Ayam goreng misalnya, secara fi sik daging ayam memang halal dikonsumsi, tetapi untuk menjadikannya ayam goreng sudah tentu terdapat berbagai macam

proses yang berpotensi menjadikan produk tersebut haram, apakah penyembelihan ayam tersebut menyebut nama Allah, apakah bumbu yang digunakan bebas arak/alkohol, apakah minyak yang digunakan untuk menggoreng bukan minyak babi, dsb.

Seiring perkembangan zaman dimana teknologi pengolahan makanan sudah demikian canggih, umat Islam harus semakin waspada terhadap makanan yang dikonsumsinya, terutama produk-produk olahan yang semakin banyak dewasa ini. Jika menghadapi produk-produk alami saja (seperti daging, sayur dan buah) kita akan bisa segera tahu mana produk yang halal dan mana yang haram, tetapi jika produk-produk makanan tersebut sudah mengalami proses pengolahan (seperti mi instan, sosis, es krim, margarin, permen, dsb) maka akan sangat sulit bagi kita untuk langsung memutuskan apakah produk tersebut halal atau tidak. Karena bisa jadi secara zat, makanan tersebut halal, tetapi secara proses dan bahan pencampur yang digunakan bisa menjadi haram. Kompleksnya proses pengolahan satu jenis makanan yang terkadang tidak dipahami -atau tidak diindahkan- oleh umat rentan membuat makanan yang secara zat tergolong halal menjadi haram karena adanya zat tambahan dalam proses pengolahannya. Sebagai contoh, daging ayam merupakan bahan makanan yang halal, tetapi jika diubah menjadi sosis ayam, apakah bahan pencampurnya halal? Bagaimana dengan selaput tipis pembungkus sosis yang berwarna merah, misalnya, apakah itu bukan terbuat dari selaput kulit babi? Apakah masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam sudah menyadari hal ini? Atau jangan-jangan karena berada di Negara mayoritas muslim, masyarakat lalu menganggap bahwa semua makanan yang ada di sekitarnya sudah secara otomatis menjadi halal, kecuali makanan yang secara zat memang haram (seperti daging babi, dsb). Oleh karena itu pembahasan mengenai kriteria makanan halal dan pemahaman masyarakat akan hal tersebut menjadi penting untuk dibahas.

Halal berarti ’lepas’ atau ’tidak terikat’, menurut istilah, halal berarti segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt (Qardhawi, 2008). Haram berarti segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan berpahala.

Istilah halal dan haram banyak digunakan dalam perkara makanan (termasuk juga minuman), meskipun ada banyak perkara lain yang juga berhubungan dengan kedua istilah ini seperti dalam hal ekonomi, mencari rezeki, pergaulan, rumah tangga, dll. Allah Swt merupakan satu-satunya pihak yang paling berhak memutuskan mengenai status halal-haramnya sesuatu, tidak terkecuali dalam hal makanan dan minuman. Hal ini diatur secara jelas di dalam Al Qur’an dan Hadits, diantaranya:

”Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi makanan yang halal lagi baik.” (QS Al Baqarah: 168)

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas. Dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar atau tidak jelas”. (HR. Bukhari).

Tulisan ini akan mengkaji secara khusus bagaimana Muslim Banten yang diwakili oleh seratus (100) responden perkotaan mempersepsikan kriteria makanan yang mereka anggap halal. Sebelumnya, penulis akan memaparkan hukum yang berlaku tentang kriteria kehalalan suatu makanan.

Kriteria Makanan Halal dalam Islam

Terdapat 3 jenis makanan berdasarkan kategori halal-haramnya, yakni:

1. Halal 2. Haram 3. Syubhat

Yang halal jelas diperbolehkan untuk dikonsumsi, yang haram jelas dilarang keras untuk dikonsumsi (kecuali pada kondisi-kondisi darurat), sedangkan syubhat merupakan kondisi yang berada diantara keduanya, dimana terdapat dalil yang tidak jelas mengenai halal-haramnya suatu makanan atau karena adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fi qih dalam menetapkan suatu makanan. Dalam menyikapi hal-hal yang syubhat, Islam menekankan untuk mengambil sikap hati-hati (wara’) dan menjauhi makanan syubhat supaya tidak terjerumus kepada hal-hal yang haram. Hal ini termasuk ke dalam upaya mencegah sebelum terjadi kerusakan (akibat memakan makanan yang belum jelas kehalalannya) pada diri manusia (Al Asyhar, 2002).

Pada prinsipnya, dalam hal muamalah (hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia), terdapat kaidah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal (boleh), tidak ada satupun yang haram selama tidak ada dalil yang sah dan tegas yang menyatakan hal tersebut haram. Hal ini berarti sesungguhnya semua makanan di atas bumi ini halal dan boleh dikonsumsi, selama tidak ada dalil (Al Qur’an dan Hadits) yang melarangnya untuk dikonsumsi. Jika ada dalil yang melarangnya untuk dikonsumsi, maka barulah makanan tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi. Dari dalil ini bisa diketahui bahwa sebenarnya, bahan-bahan makanan dan minuman yang diharamkan tidaklah banyak, tidak sebanding dengan bahan-bahan halal yang disediakan Allah untuk dikonsumsi manusia.

Kriteria makanan haram secara garis besar terbagi 2 (Hosen, 2007), yakni:

1. Haram li dzatihi, haram dalam substansinya (zat-nya) yang pada dasarnya memang dilarang oleh agama dan sudah jelas rambu-rambunya di dalam Al Qur’an;

2. Haram li ghairihi, suatu hal yang pada dasarnya (secara zat) tidak dilarang dalam agama, tetapi menjadi haram karena ada

hal-hal lain yang membuatnya menjadi haram, misalnya dalam cara mendapatkan suatu makanan dengan cara yang haram dan yang batil, seperti mencuri, suap, menipu, judi, dsb.

1. Haram dalam Substansi (Zat) atau Haram li dzatihi 1

Akan sangat mudah bagi masyarakat untuk mengenali dan men-ghindari produk-produk yang secara fi sik sudah tergolong haram, ter-lebih untuk produk-produk yang alami. Pemahaman keIslaman yang baik akan secara otomatis menyadarkan masyarakat untuk tidak meng-konsumsi produk haram, jangankan mengmeng-konsumsi, melihat wujudnya terkadang membuat umat ‘bergidik’. Terdapat dua jenis kriteria produk yang haram dikonsumsi, yakni yang berupa tumbuhan dan hewan. a. Tumbuhan

Semua jenis tumbuhan baik berupa sayur dan buah-buahan boleh dikonsumsi, kecuali yang mengandung racun, memabukkan atau bernajis baik secara langsung ataupun setelah melalui suatu proses. Jika mendatangkan bahaya, maka bahan nabati tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan, Islam sendiri tidak mengharamkan produk yang berasal dari tumbuhan ini, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda tersebut sudah mencapai kadar memabukkan maka produk tersebut haram.

b. Hewan

Allah Swt menyediakan banyak sekali jenis hewan yang boleh dikonsumsi manusia, secara garis besar, semua jenis hewan baik yang hidup di darat, di laut maupun di udara boleh disembelih dan dimakan, kecuali beberapa yang dilarang diantaranya adalah:

1. Babi dan produk turunannya 2. Hewan lainnya:

a. Hewan yang bertaring seperti gajah, harimau, dsb

b. Hewan yang memiliki cakar seperti kucing, burung hantu, burung elang, dsb

c. Hewan yang menjijikkan seperti kutu, lalat, cacing, belatung, biawak, dsb

d. Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh yakni ular,

kalajengking, tikus, cicak, anjing liar, burung gagak dan burung elang

e. Hewan yang dilarang untuk dibunuh yakni semut, lebah, katak, burung hud-hud dan burung pelatuk

f. Hewan yang beracun atau berbisa

g. Hewan yang memakan kotoran (hewan jalallah) 3. Bangkai

4. Darah

5. Hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah Swt

Bangkai hewan termasuk haram karena hewan tersebut mati tanpa disembelih secara sempurna, termasuk diantaranya hewan yang mati karena dicekik, dipukul oleh manusia, jatuh dari tempat yang tinggi, dimangsa oleh hewan lain yang buas sehingga menyisakan daging dan ditanduk atau diserang oleh hewan lain. Tetapi jika hewan seperti yang disebutkan di atas ditemui sebelum mati, masih bergerak kakinya, ekornya atau kerlingan matanya dan kemudian sempat disembelih secara benar maka hewan tersebut halal untuk dimakan. Termasuk diantara kategori bangkai adalah bagian tubuh hewan yang dipotong ketika hewan tersebut masih hidup. Sebagai contoh, di zaman Rasul, kaum kafi r Quraish biasa memotong punuk unta hidup. Meski demikian, terdapat dua jenis bangkai yang halal untuk dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Darah juga merupakan bagian tubuh hewan yang haram untuk dimakan, darah di sini adalah darah yang mengalir,

sedangkan untuk darah yang menggumpal seperti hati dan limpa, boleh dikonsumsi, demikian juga darah yang sedikit yang biasa ada pada tubuh hewan seperti yang berada di dalam tulang, yang memang sangat sulit untuk dibersihkan

Termasuk diantara yang haram dimakan adalah hewan yang memakan kotoran, baik itu kotoran hewan maupun kotoran manusia, seperti misalnya unta, sapi, kambing, ayam, dsb. yang diberi pakan kotoran.Tetapi jenis hewan seperti ini akan menjadi halal untuk dikonsumsi jika telah dikurung selama 3 hari dan diberi makan dengan pakan hewan. Sesungguhnya, makanan atau pangan yang halal dimakan adalah makanan yang halaalan, thayyiban ditambah mubaarakan dan tidak terdiri dari najis atau bercampur najis. Kenajisan makanan bisa bermula dari bahannya yang memang sudah najis atau karena dalam proses produksinya terkena atau tercampur (Ikhthilat) dengan benda najis atau haram. Penjelasan Nabi Muhammad SAW kalau yang terkena najis atau haram itu makanan yang berbentuk padat (keras), maka buanglah barang najis itu berikut makanan di sekitarnya, dan silahkan memakan sisanya. Sedangkan kalau yang terkena najis atau haram itu makanan yang berbentuk cair, maka seluruh makanan itu tidak boleh lagi dimakan (Mudhafi er, 2004).

2. Haram karena sebab lain atau Haram li ghairihi

Kriteria ini yang terkadang dilupakan oleh umat Islam karena tidak mudah untuk mengatakan suatu produk yang asalnya halal menjadi tidak halal karena sebab lain yang bermacam-macam. Tingkat pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat akan hal ini juga sangat beragam dan bergantung pada banyak hal, tidak saja pada pengetahuan keagamaan yang luas tetapi juga pengetahuan dan wawasan umum yang luas dan bahkan tingkat pendidikan. Terdapat banyak sebab sebuah produk yang secara substansi halal bisa menjadi haram, diantaranya karena

cara mendapatkannya, cara memanfaatkannya, cara memprosesnya, cara menyimpannya, cara menyajikannya dan proses pengolahannya. a. Cara mendapatkan

Produk yang secara zat halal dan boleh dikonsumsi bisa menjadi haram dimakan karena cara mendapatkannya melanggar aturan-aturan dalam Islam. Adapun cara mendapatkan makanan yang diharamkan antara lain didapat dari hasil mencuri, berjudi, riba, korupsi, jual beli produk haram dan suap menyuap.

b. Cara memanfaatkan

Selain cara mendapatkan sebuah produk yang berpotensi ‘menjerumuskan’ produk ke dalam kategori haram, cara memanfaatkan produk juga berpotensi menjadikan sebuah produk makanan menjadi haram. Misalnya daging kambing yang termasuk halal, bisa menjadi haram jika dimakan oleh penderita kolesterol tinggi, asam urat, dan penderita penyakit-penyakit lain yang memiliki pantangan memakan daging kambing. Keharaman di sini lebih dikarenakan pemanfaatan makanan yang menimbulkan kerusakan atau berbahaya bagi kesehatan.

c. Cara memproses

Binatang yang bisa dikonsumsi manusia tidak bisa langsung dimakan begitu saja, tetapi harus melewati suatu proses yakni penyembelihan, pengulitan, pembersihan dan pemasakan/pematangan. Ketika suatu jenis hewan yang ingin dikonsumsi sudah halal secara zat, maka proses-proses untuk menjadikannya bisa disantap juga harus memenuhi prinsip-prinsip kehalalan yang sudah diatur oleh Islam.

Kecuali ikan dan belalang, semua hewan yang halal dimakan harus melewati proses penyembelihan. Proses ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan tetapi memiliki beberapa syarat yang jika ditinjau dari segi kesehatan akan membawa manfaat yang sangat besar bagi kesehatan manusia. Beberapa persyaratan tersebut diantaranya seekor hewan harus disembelih oleh orang Islam, baligh, berakal dan mengeta-hui tata cara penyembelihan dalam Islam. Seorang penyembelih boleh saja bukan orang Islam tetapi dia haruslah ahli kitab2 dan menyembelih dengan tata cara Islam. Ketika akan menyembelih haruslah dibacakan Basmallah oleh si penyembelih. Binatang yang akan disembelih harus masih hidup, karena jika binatang yang akan disembelih sudah mati berarti sudah menjadi bangkai dan statusnya menjadi haram untuk di-konsumsi. Ketika akan disembelih, hewan dihadapkan ke kiblat, peny-embelihan dilakukan di daerah leher (urat tenggorokan) hingga darah hewan terpancar. Alat yang digunakan untuk menyembelih haruslah yang tajam, hal ini termasuk adab dalam memperlakukan binatang, karena jika alat penyembelih tumpul bisa menyiksa binatang sembe-lihan sebelum hewan tersebut mati. Setelah disembelih, hewan yang akan dikonsumsi tersebut akan dikuliti dan dibersihkan. Alat-alat yang digunakan dalam proses ini, seperti pisau, ember, baskom dsb haruslah suci, bersih dan halal, tidak digunakan untuk membersihkan daging yang haram. Air yang digunakan untuk mencuci juga harus air yang bersih dan suci mensucikan3. Proses ini harus dilakukan secara seksama, tidak boleh dicampur dengan bahan-bahan atau daging hewan yang haram dikonsumsi.

2 Ahli kitab adalah kaum beragama Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Dinamakan demikian karena pada keduanya menurut ajaran Islam, Allah menurunkan Kitab Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa. Dengan kedatangan Nabi Muhammad dan diturunkannya Al-Quran, ahli kitab ini ada yang menerima dan ada yang menolak kerasulan Muhammad maupaun kebenaran Al-Quran dari Allah.

3 Disebut juga Air Muthlaq, yaitu air suci yang tidak tercampur air najis, yang bisa dipakai wudhu, mandi dan juga bisa dipakai keperluan rumah tangga seperti mencuci piring, dll. Contohnya air laut, air hujan atau air yang keluar dari perut bumi, air zam-zam, air yang berubah warnanya karena tidak mengalir.

d. Cara menyimpan dan menyajikan

Dalam menyimpan bahan makanan halal, hendaknya disimpan secara baik sehingga tidak terkena najis atau bersentuhan/bercampur dengan bahan makanan haram. Begitupula ketika menyajikan, alat-alat yang digunakan untuk menyajikan, seperti piring, mangkok, sendok, garpu, dsb, haruslah bersih dari najis, kotoran, dan percampuran dari bahan haram. Pakaian orang yang menyajikan juga harus bersih dan bebas dari najis sehingga kemungkinan najis tersebut menodai kehalalan makanan tidak ada.

Makanan Olahan

Berkembangnya teknologi pengolahan pangan menjadikan bahan-bahan makanan alami banyak ditransformasi ke dalam beraneka bentuk produk makanan. Bahkan sekarang ini bisa dikatakan bahwa produk makanan olahan memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dibanding produk makanan alami. Biskuit, wafer, bolu, es krim, keju, nugget, sosis, bakso, mie, permen, chiki, jelly, krimer, susu instan, dan masih banyak lagi jenis-jenis produk olahan yang dalam proses pembuatannya tidak lagi hanya berisi bahan-bahan yang alami, tetapi sudah bercampur dengan bahan-bahan lain melalui proses kimiawi. Hal ini akan berimplikasi pada status kehalalan suatu produk makanan dimana tidak bisa langsung diputuskan produk itu halal atau haram hanya dengan melihat bentuk fi siknya saja, tetapi harus melalui suatu proses ’audit’ dengan mengikuti standar-standar tertentu. Penelusuran bahan makanan olahan dimulai dari bahan baku yang digunakan, bahan tambahan, bahan penolong, proses produksi, proses pengemasan hingga bahan yang digunakan untuk mengemas. Penelusuran bahan baku tidak hanya sekedar berasal dari babi atau bukan, tetapi juga diselidiki mengenai cara penyembelihan, pembersihan, penyimpanan dan metode produksi. Jika bahan baku suatu produk berasal dari luar

negeri (impor) maka spesifi kasi bahan harus diketahui secara lengkap, jika bahan baku impor tersebut berasal dari hewan, harus diketahui secara pasti status kehalalannya.

Makanan olahan selalu memiliki bahan-bahan tambahan atau senyawa tertentu, meskipun jumlahnya tidak banyak. Senyawa tambahan ini biasa disebut food additive (zat aditif ) yang bahan bakunya berasal dari tumbuhan, hewan maupun mikroba tetapi sudah melewati proses kimiawi tertentu. Zat aditif adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Zat aditif sudah termasuk pewarna, penyedap rasa, pengawet, pemantap, antioksidan, pengemulsi, penggumpal, pemucat, pengental, dan anti gumpal. Zat aditif ada yang diberikan secara sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu seperti yang sudah disebutkan di atas, ada juga zat aditif yang muncul secara tidak sengaja sebagai akibat dari proses pengolahan makanan. Bila dilihat dari sumbernya, zat aditif ada yang berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dsb, dan ada juga yang disintesis dari bahan-bahan kimia. Zat aditif dari bahan sintesis memiliki beberapa kelebihan seperti lebih pekat, lebih stabil dan harganya lebih murah, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan seperti sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan dan sering bersifat karsinogen yang bisa merangsang terjadinya kanker. Zat aditif memiliki kemungkinan haram sehingga bila ditambahkan ke dalam suatu produk makanan yang asalnya halal akan menyebabkan status kehalalannya berubah menjadi haram. Beberapa contoh zat aditif yang biasa digunakan adalah emulsifi er, enzim, shortening dan gelatin. Dengan berbagai tambahan dalam memproses makanan halal, maka mejadi penting sertifi kat halal yang di autorisasi instansi setempat (akan dijelaskan lebih jauh pada bab terakhir buku ini).

Bahan Makanan Beracun dan Berbahaya bagi Kesehatan

Selain haram karena zat dan karena sebab lainnya, ada kategori makanan yang tidak boleh dikonsumsi karena mengandung bahaya seperti racun. Bahaya yang terdapat di beberapa jenis makanan ini tidak bersifat absolut, tetapi bisa menjadi berbahaya bila dikonsumsi dalam jumlah tertentu atau menjadi berbahaya bila dikonsumsi oleh orang-orang tertentu, misalnya oleh orang-orang-orang-orang yang memiliki penyakit khusus yang berpantangan mengkonsumsi jenis makanan tertentu dimana jika ia memakannya maka akan memperparah sakitnya, padahal jika dikonsumsi oleh orang-orang yang sehat makanan tersebut tidak membawa bahaya, justru menyehatkan.

Pada bahan makanan, selain terdapat kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh, sering kali juga terdapat senyawa-senyawa kimia yang tidak mempunyai nilai nutrisi. Bahkan ada juga senyawa yang kehadirannya menyebabkan zat gizi lainnya tidak dapat diserap tubuh. Komponen ini sering disebut sebagai zat anti nutrisi. Beberapa contoh makanan segar yang mengandung bahaya diantaranya: kentang mengandung senyawa alkaloid solatinin yang bisa mempengaruhi transmisi impuls syaraf sehingga bisa menyebabkan gangguan pada syaraf manusia, kopi dan teh mengandung kafein yang bisa merangsang berbagai aktivitas biologis organ tubuh yang jika berlebihan akan berbahaya dalam jangka panjang, jengkol mengandung asam jengkolat yang bisa menyumbat saluran air seni, bengkuang mengandung pakrizida yang jika dikonsumsi secara terus menerus dapat menimbulkan kelumpuhan organ pernapasan hingga kematian, daging kambing yang berbahaya jika dikonsumsi penderita darah tinggi dan asam urat, dsb. Agama Islam secara tegas mengharamkan konsumsi makanan nabati dan hewani yang mengandung racun atau zat-zat membahayakan, sebagaimana Allah SWT berfi rman yang artinya “Janganlah kamu mencampakkan dirimu dalam kebinasaan” (QS Al Baqarah: 195), sehingga mengkonsumsi makanan yang menimbulkan

kerusakan di tubuh manusia juga menjadikan produk makanan tersebut haram.

Persepsi Muslim Banten terhadap Kehalalan Makanan

Dari keseluruhan proses pengumpulan data dan informasi yang dilakukan di daerah penelitian, secara umum bisa dikatakan bahwa pengetahuan mayarakat muslim Banten terhadap konsep dasar halal dan haram dalam makanan sudah sangat baik. Maraknya kajian-kajian ke-Islaman di daerah tersebut yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang beragam mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak hingga orang tua menjadi sarana awal bagi masyarakat untuk memahami konsep dasar halal dan haram dalam makanan yang dikonsumsi. Semangat masyarakat muslim Banten untuk mengkaji

Dokumen terkait