Tingkat kesetaraan gender pada program Diklat FPTP dianalisis dengan menggunakan alat analisis gender. Analisis gender yang digunakan adalah model Harvard yang digunakan untuk melihat profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan. Komponen analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat kesetaraan gender pada model Harvard yaitu tingkat akses dan tingkat kontrol pegawai LIPI sebagai peserta Diklat terhadap sumberdaya Diklat FPTP. Bab ini akan menjelaskan hasil analisis gender secara kuantitatif dan kualitatif dalam program Diklat FPTP di Pusbindiklat LIPI.
Akses Peserta terhadap Sumberdaya Diklat FPTP
Akses terhadap sumberdaya Diklat FPTP adalah kesempatan atau peluang yang dimiliki oleh peserta laki-laki maupun perempuan terhadap keikutsertaan dan perolehan fasilitas yang diberikan selama kegiatan Diklat. Sumberdaya Diklat FPTP selain dari fasilitas (persyaratan keikutsertaan, ruang kelas, tempat ibadah, sanitasi, kamar asrama, kantin, dan ruang kesehatan) juga berupa hak-hak peserta laki-laki dan perempuan dalam memeroleh ilmu pengetahuan, dan suasana belajar yang kondusif serta nyaman. Akses peserta terhadap sumberdaya Diklat FPTP dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut akses terhadap sumberdaya Diklat FPTP dan jenis kelamin, 2013
Kategori Tingkat Akses Jenis Kelamin n (%) Total n (%) Laki-laki Perempuan
Rendah Tidak Setara 6 (40.0) 9 (60.0) 15 (50.0) Tinggi Setara 9 (60.0) 6 (40.0) 15 (50.0) Total n (%) 15 (100.0) 15 (100.0) 30 (100.0) Pada Tabel 10 terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan perolehan akses antara peserta laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya Diklat FPTP, dengan jumlah persentase yang berbanding terbalik satu sama lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta laki-laki memiliki akses yang lebih tinggi, yaitu sebesar 60 persen terhadap fasilitas, hak-hak dalam memeroleh ilmu pengetahuan, dan suasana belajar yang kondusif serta nyaman, sedangkan peserta perempuan memeroleh akses yang lebih rendah, yaitu sebesar 40 persen.
Selama dilaksanakannya kegiatan Diklat FPTP, seluruh peserta baik laki- laki dan perempuan diberikan fasilitas (persyaratan keikutsertaan, ruang kelas, tempat ibadah, sanitasi, kamar asrama, kantin, dan ruang kesehatan), hak-hak dalam memeroleh ilmu, dan suasana belajar yang sama. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian di lapangan, sebagian peserta perempuan lebih merasa bahwa fasilitas, hak-hak dalam memeroleh ilmu pengetahuan, dan suasana belajar yang diberikan oleh Pusbindiklat LIPI selama Diklat masih kurang dirasakan. Namun, sebagian peserta perempuan lainnya sudah merasakan cukup.
Sebelum mengikuti Diklat, seluruh peserta harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Pusbindiklat LIPI agar dapat mengikuti Diklat FPTP. Menurut penuturan pihak penyelenggara Diklat, persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon peserta sudah disiapkan oleh masing-masing departemen/bidang kerjanya di LIPI, kecuali calon peserta Diklat dari luar LIPI yang harus memenuhi persyaratannya sendiri. Jadi, pihak penyelenggara Diklat memberikan kemudahan bagi para peserta, baik laki-laki maupun perempuan untuk dapat mengikuti kegiatan Diklat.
Hal yang membuat adanya perbedaan perolehan akses antara peserta laki- laki dan perempuan lebih banyak terlihat dari segi fasilitas yang diberikan selama dilaksanakannya Diklat. Seluruh peserta laki-laki dan perempuan diasramakan selama tiga minggu dengan fasilitas asrama yang sama. Akan tetapi, sebagian besar peserta perempuan yang sudah berkeluarga mengeluhkan ketatnya peraturan yang tidak memperbolehkan mereka membawa anggota keluarga (khususnya anak yang masih bayi/balita dan masih memerlukan ASI), serta tidak adanya ruang khusus menyusui bagi peserta perempuan. Berikut ini adalah salah satu penuturan dari peserta perempuan yang masih memiliki bayi/balita:
“Saya kurang nyaman dengan peraturan tidak diperbolehkan membawa anak selama Diklat. Makanya saya suka kasihan sama anak saya yang masih bayi, tidak bisa dikasih ASI. Maka dari itu, kadang saya diam-diam membawa anak ke lingkungan tempat saya Diklat untuk disusui, meskipun tidak disediakan ruang khusus untuk menyusui. Bahkan saya juga pernah gak diizinkan keluar kelas sebentar untuk nyusuin, jadi saya suka kucing-kucingan sama panitia pura-pura keluar buat buang air, padahal saya nyusuin anak saya dulu di kamar asrama” (PN, Biologi).
Fasilitas ruang khusus menyusui ini menjadi bahan pertimbangan bagi peserta perempuan mengingat kodratnya untuk menyusui. Lain halnya dengan peserta laki-laki, mereka tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal seperti demikian meskipun statusnya sudah berkeluarga. Selain itu, mereka masih kental dengan budaya dan ideologi bahwa perempuanlah yang lebih memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga, khususnya merawat anak-anak dan keluarganya.
Selain daripada ruang khusus untuk menyusui, sarana tempat ibadah di lokasi sekitar ruang kelas Diklat dikeluhkan oleh para peserta perempuan. Mushala yang tersedia disana sangat terbatas, dimana tempat shalat bagi kaum muslim laki-laki dan perempuan disatukan dalam satu ruangan dan perempuan hanya mendapat sepertiganya, padahal jumlah peserta perempuan. Bila tidak mencukupi, peserta harus kembali ke kamar asrama, sedangkan gedung ruang kelas dan gedung asrama terpisah cukup jauh sehingga membutuhkan waktu yang lebih banyak. Menurut penuturan salah seorang responden mengenai mushala adalah sebagai berikut:
“Enggak ada mushala yang luas di deket ruang kelas. Sekalinya ada, ruangannya kecil dan itu disatukan antara laki-laki dan perempuan. Tapi ruang untuk laki-laki lebih luas dibandingkan ruang untuk perempuan. Jadi, kalau lagi istirahat siang untuk shalat dzuhur, kita
suka lari-lari ke asrama buat shalat karena waktu istirahatnya juga sempit” (RM, Bioteknologi).
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan akses pada peserta laki-laki dan perempuan, yaitu dari materi yang disajikan selama kegiatan belajar di ruang kelas. Oleh karena tingkat pendidikan tertinggi, yaitu Strata II (S2) dan Strata III (S3) lebih banyak dimiliki peserta perempuan daripada peserta laki-laki, maka keluhan mengenai akses terhadap kualitas materi belajar Diklat yang kurang sesuai lebih banyak diutarakan oleh perempuan. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi merasa bahwa materi yang disajikan seperti mengulang materi yang telah didapatkan pada jenjang pendidikan sebelumnya, seperti misalnya materi mengenai Teknik Penulisan Ilmiah, sehingga mereka berpendapat bahwa waktu belajar terlalu lama dan seperti membuang-buang waktu. Akan tetapi, bagi para peserta yang berpendidikan S1, baik laki-laki maupun perempuan merasakan materi yang diberikan selama Diklat sudah memenuhi kebutuhan pengetahuan mereka dengan porsi waktu belajar yang cukup.
Selanjutnya, selama kegiatan belajar dilaksanakan, beberapa peserta yang berpendidikan tinggi khususnya perempuan pun mengeluhkan suasana belajar kurang cukup kondusif. Mereka menuturkan bahwa rekan satu kelas pada Diklat FPTP terdiri dari bidang kerja yang berbeda-beda, sehingga pernah ditemui beberapa kesulitan untuk berdiskusi satu sama lainnya.
Hal-hal yang telah diutarakan seperti fasilitas Diklat yang kurang menunjang (ruang khusus menyusui dan tempat ibadah), serta materi yang tidak begitu sesuai dengan kebutuhan merupakan faktor-faktor yang mengurangi kenyamanan para peserta dalam mengikuti Diklat, khususnya peserta perempuan. Kurangnya rasa nyaman ini, selain disebabkan oleh pihak penyelenggara yang masih belum optimal memperhatikan kebutuhan para peserta, juga dari diri peserta permpuan itu sendiri yang menyebabkan terganggunya kegiatan Diklat. Akibatnya, para peserta perempuan kurang begitu merasakan akses yang setara dengan laki-laki.
Disamping hal-hal tersebut, peserta laki-laki dan perempuan telah memeroleh hak mereka masing-masing untuk dapat mengajukan penguduran diri sebagai peserta,seperti misalnya peserta perempuan tidak dapat mengikuti Diklat karena sedang dalam keadaan hamil atau peserta laki-laki yang tidak dapat mengikuti Diklat karena sudah ada kontrak untuk tugas lapang. Namun, pengunduran diri sebagai peserta ini pun disesuaikan dengan ketenteuan harus mendapatkan pengganti untuk mengikuti Diklat. Sebagaimana yang diutarakan informan dari pihak penyelenggara Diklat, sebagai berikut:
“Pada Diklat periode Tahun 2012, pernah ada satu kasus dimana peserta tidak bisa mengikuti Diklat dengan alasan sedang hamil. Kami sebagai pihak penyelenggara memberikan izin kepada peserta tersebut untuk tidak mengikuti Diklat Tahun 2012 dengan ketentuan harus menemukan peserta lain yang menggantikannya dan wajib mengikuti Diklat setelah peserta tersebut melahirkan pada tahun berikutnya” (IDR, bagian Perencana Pusbindiklat LIPI).
Kontrol Peserta terhadap Sumberdaya Diklat FPTP
Kontrol peserta terhadap sumberdaya Diklat FPTP merupakan kemampuan yang dimiliki oleh peserta laki-laki dan perempuan untuk membuat keputusan terhadap sumberdaya Diklat. Kontrol yang dimaksud, yaitu peserta dapat mengutarakan pendapat atau kemampuan untuk membuat keputusan terhadap segala kebijakan yang telah diberlakukan. Berikut adalah Tabel yang menjelaskan kontrol peserta laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya Diklat FPTP.
Tabel 11 Jumlah dan persentase sebaran responden menurut kontrol terhadap Diklat FPTP dan jenis kelamin, 2013
Kategori Tingkat Kontrol
Jenis Kelamin n (%) Total n (%) Laki-laki Perempuan
Rendah Tidak Setara 3 (20.0) 3 (20.0) 6 (20.0) Tinggi Setara 12 (80.0) 12 (80.0) 24 (80.0)
Total n (%) 15 (100.0) 15 (100.0) 30 (100.0) Berdasarkan Tabel 11, kontrol peserta laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu berada pada kategori tinggi, dengan jumlah persentase yang sama, yaitu 80 persen. Hal ini menunjukkan bahwa, sebagian besar peserta laki-laki maupun perempuan memiliki kontrol terhadap kebijakan program Diklat FPTP. Seperti misalnya peserta laki-laki dan perempuan selalu diberikan kesempatan untuk memberikan komentar atau tanggapan terhadap keseluruhan rangkaian kegiatan Diklat, serta mampu membuat keputusan terhadap kebijakan yang telah diberlakukan pihak penyelenggara. Contoh lain, yaitu ketika peserta mendapatkan mandat untuk mengerjakan suatu pekerjaan mendadak di saat kegiatan Diklat sedang berlangsung. Maka dari itu, peserta laki-laki dan perempuan memiliki kontrol dalam mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sebagai peserta atau meninggalkan kegiatan Diklat sementara waktu dengan ketentuan dan persyaratan tertentu, yaitu berupa pengajuan izin kepada pihak penyelenggara disertakan dengan alasan yang jelas. Sebagai contoh, peserta diperbolehkan mengundurkan diri dalam kegiatan Diklat, namun peserta tersebut harus mencari pengganti untuk menggantikan kursi yang telah terdaftar. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden, sebagai berikut:
“Saya pernah ngalamin kondisi dimana saya ada agenda rapat dengan tim eskpedisi di saat saya sedang Diklat. Saya minta izin ke pihak penyelenggara untuk meninggalkan kegiatan Diklat selama satu hari, dan diizinkan. Tapi perolehan izin bisa saya dapatkan dengan syarat kasih surat keterangan disertai cap dari Litbang saya kerja.”(IGS, Biomaterial).
Jadi, meskipun pada perolehan akses terdapat kesenjangan antara peserta laki-laki dan perempuan, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap perolehan kontrol mereka. Peserta laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan terhadap segala kebijakan yang kiranya dapat berdampak baik bagi mereka.
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN