• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

4.4 Karakterisasi Kolagen dan Nanopartikel Kolagen

4.4.3 Analisis gugus fungsi dengan FTIR

Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan teknik analisis spektroskopi yang memanfaatkan sinar infra merah sebagai sumber radiasi elektromagnetik yang menyebabkan terjadinya vibrasi molekul senyawa organik ketika menyerap sinar tersebut. Analisis FTIR banyak digunakan untuk mengkarakterisasi senyawa-senyawa organik dengan melihat gugus fungsi penyusunnya. Analisis FTIR yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk memastikan bahwa senyawa yang dihasilkan merupakan kolagen berdasarkan gugus-gugus fungsi penyusunnya.

Hasil pendeteksian gugus fungsi kolagen dan nanopartikel kolagen dengan teknik FTIR disajikan pada Gambar 11, sedangkan rangkuman karakteristik gugus fungsi kolagen dan nanopartikel kolagen hasil deteksi FTIR dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan spektra FTIR baik kolagen maupun nanopartikel kolagen menunjukkan puncak-puncak serapan pada wilayah serapan amida yang meliputi amida A, amida I, amida II, dan amida III.

Amida A merupakan gugus khas kolagen dengan wilayah serapan pada bilangan gelombang ( ) = 3490–3430 cm-1 yang menunjukkan stretching NH (Coates 2000). Keberadaan amida A pada kolagen ditunjukkan dengan adanya serapan pada = 3431,91 cm-1 sedangkan pada nanopartikel kolagen pada serapan = 3431,41 cm-1. Spektra FTIR kolagen dan nanopartikel juga menunjukkan adanya serapan pada = 2928,27cm-1 dan = 2929,29 cm-1. Hal ini menunjukkan gugus fungsi amida B dengan wilayah serapan pada ( ) = 29352915 cm-1 yang terbentuk dari Methylene C-H asym./sym. stretching (Coates 2000).

Gugus fungsi khas kolagen berikutnya adalah amida I yang berada pada wilayah serapan = 16001690 cm-1 yang menunjukkan C=O streching (Kong dan Yu 2007). Gugus fungsi ini ditunjukkan dengan adanya serapan pada

= 1641,24 cm-1 pada spektra FTIR kolagen dan = 1643,72 cm-1 pada spektra FTIR nanopartikel kolagen.

Muyonga et al. (2004b) menyatakan bahwa amida I terdiri dari empat komponen struktur sekunder protein, yaitu -heliks, β-sheet, β-turn, dan random coil yang saling bertumpang tindih. Kong dan Yu (2007) mengungkapkan bahwa setiap komponen dari struktur sekunder protein memiliki wilayah serapan yang

berbeda. Komponen -heliks ditunjukkan pada wilayah serapan = 1654 dan 1658 cm-1; β-sheet pada = 1624 dan 1642 cm-1; β-turn pada = 1666, 1672, 1680, 1688 cm-1; dan random coil pada = 16482 cm-1.

(a)

(b)

Tabel 12 Karakteristik gugus fungsi kolagen dan nanopartikel kolagen hasil deteksi dengan FTIR

Amida Wilayah serapan (cm-1) puncak serapan (cm-1) Keterangan Referensi Kolagen Nanopartikel kolagen

Amida A 34903430 3431,91 3431,41 NH stretching Coates (2000) Amida B 2935-2915/ 2865–2845 2928,27 2929,29 Methylene C-H asym./sym. stretching Coates (2000) Amida I 1600-1690 1641,24 1643,72 C=O streching Kong dan

Yu (2007) Amida II 1480-1575 1555,99 1500 CN sterching, NH

bending

Kong dan Yu (2007) Amida III 1229-1301 1240,49 1240,39 CN sterching, NH

bending

Kong dan Yu (2007)

Berdasarkan puncak serapan Amida I pada kolagen maupun nanopartikel kolagen ( = 1641,24 cm-1 dan = 1643,72 cm-1) menunjukkan bahwa kolagen maupun nanopartikel kolagen yang dihasilkan memiliki struktur β-sheet. Hal ini berarti bahwa kolagen yang dihasilkan dengan proses ekstraksi kulit dengan air pada suhu 40 C belum terdegradasi menjadi bentuk gelatin. Gómez-Guillén et al. (2011) menyatakan bahwa denaturasi kolagen akibat proses pemanasan menyebabkan rantai triple heliks kolagen secara sempurna bertransformasi menjadi rantai tunggal -heliks (gelatin). Muyonga et al. (2004a) menunjukkan bahwa spektra amida I dari gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan Nile perch (Lates niloticus) dengan ekstraksi pada suhu 70 C terdapat pada wilayah serapan = 1658 cm-1 yang berarti gelatin menunjukkan struktur -heliks. Hasil penelitian Martianingsih dan Atmaja (2009) menunjukkan bahwa spektra Amida I dari gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan pari (Himantura gerrardi) dengan ekstraksi pada suhu 6070 C terdapat pada wilayah serapan = 1647,2; 1648,7; dan 1650 cm-1 yang berarti gelatin menunjukkan struktur -heliks dan random coil.

Amida II juga merupakan gugus fungsi khas kolagen yang berada pada wilayah serapan = 14801575 cm-1 yang menunjukkan CN sterching dan NH bending (Kong dan Yu 2007). Hasil spektra FTIR kolagen dan nanopartikel

kolagen menunjukkan keberadaan gugus ini dengan adanya serapan pada = 1555,99 cm-1 (kolagen) dan = 1500 cm-1 (nanopartikel kolagen).

Gugus fungsi khas kolagen terakhir adalah amida III yang ditunjukkan pada wilayah serapan 12291301 cm-1 yang menunjukkan CN sterching dan NH bending (Kong dan Yu 2007). Hal ini ditunjukkan pada serapan = 1240,49 cm-1 untuk kolagen dan = 1240,39 cm-1 untuk nanopartikel kolagen. Muyonga et al. (2004b) menyatakan bahwa intensitas amida III berkaitan dengan struktur triple heliks. Hal ini berarti bahwa kolagen yang dihasilkan dengan proses ekstraksi kulit dengan air pada suhu 40 C belum terdegradasi menjadi bentuk gelatin yang ditandai dengan masih terdapatnya struktur triple heliks.

Spektra infrared kolagen juga menunjukkan serapan pada bilangan gelombang 1163,89; 1081,19; 1032,21 cm-1 dan nanopartikel kolagen pada bilangan gelombang 1082,25 dan 1031,89 cm-1. Petibois et al. (2006) mengatakan serapan pada daerah bilangan gelombang tersebut menunjukkan vibrasi streching

C-OH karbohidrat yang berikatan dengan protein kolagen. Hal ini menunjukkan bahwa kolagen dan nanopartikel kolagen mengandung karbohidrat. Friess (1998) mengatakan bahwa kolagen tipe I tergolong glikoprotein dengan kandungan karbohidrat tidak lebih dari 1%. Karbohidrat penyusun kolagen terdiri dari galaktosa tunggal dan disakarida (galaktosa dengan glukosa O-glycosidically). 4.4.4 Penentuan berat molekul dengan SDSPAGE

Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electroforesis (SDS‐PAGE) merupakan salah satu metode PAGE yang umumnya digunakan untuk analisis campuran protein secara kualitatif. Prinsip analisis SDS-PAGE adalah pemisahan protein berdasarkan berat molekul. Metode ini menggunakan 2 macam gel, yaitu gel penahan (stacking gel) dan gel pemisah (resolving gel). Penambahan deterjen anionik, misalnya SDS (sodium dodesil sulfat), -merkaptoetanol ke dalam gel tersebut dan pada proses pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein.

-merkaptoetanol akan memecah ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus sulfihidril, sedangkan SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks bermuatan negatif sehingga protein akan bergerak dalam medan listrik hanya berdasarkan pada ukuran molekul. Protein berukuran kecil akan bergerak lebih cepat melintasi gel dibandingkan protein berukuran lebih besar sehingga

protein dengan berat molekul rendah memiliki jarak tempuh (Rf) yang lebih panjang dibandingkan protein dengan berat molekul tinggi (Rosenberg 1996).

Proses elektroforesis dilakukan pada voltase 220 volt dan arus 50 mA selama 2 jam. Pola elektroforesis SDS-PAGE dari marker, kolagen, dan nanopartikel kolagen ditunjukan pada Gambar 12. Berdasarkan pola elektroforesis terlihat bahwa baik kolagen maupun nanopartikel kolagen mengandung dua rantai α yaitu rantai α1 dan α2. Kolagen maupun nanopartikel kolagen juga mengandung komponen dengan berat molekul tinggi (high molecular weight) yang meliputi komponen (α chain dimers) dan (α chain trimers). Keberadaan komponen dan menunjukkan adanya ikatan silang (cross-linked) dalam molekul kolagen. Friess (1998) mengatakan bahwa kolagen tipe I dicirikan dengan adanya ikatan (α1(I))2α2(I) dan trimer (α 1(I))3. Hal ini berarti bahwa

kolagen maupun nanopartikel kolagen yang dihasilkan tergolong kolagen tipe I. Pola elektroporesis SDS-PAGE yang hampir sama juga ditunjukkan pada kolagen

dari kulit beberapa spesies ikan, misalnya unicorn leatherjacket (Aluterus monocerous), largefin longbarbel catfish (Mystus macropterus), striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus), balloon fish (Diodon holocanthus) dan ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon) (Ahmad dan Benjakul 2010; Zhang et al. 2009; Singh et al. 2011; Huang et al. 2011; Nalinanon et al. 2011).

Gambar 12 Pola elektroforesis SDS-PAGE dari: marker (M) kolagen (A) dan nanopartikel kolagen (B).

Berat molekul untuk masing-masing pita rantai yang terdeteksi pada kolagen maupun nanopartikel kolagen dihitung berdasarkan berat molekul dari marker spektra multicolor broad range protein ladder dari permentos (Lampiran

M A B 260 kDa 140 kDa 100 kDa 70 kDa 50 kDa α1 α2

15). Berat molekul pita rantai α1, α2, , dan dari kolagen dan nanopartikel kolagen ditunjukkan pada Tabel 13. Berat molekul rantai α1, α2 dan dari kolagen dan nanopartikel kolagen hampir sama dengan berat molekul α1 (120 kDa), α2 (112 kDa) dan (205 kDa) pada kolagen dari kulit bluefin tuna (Thunnus orientails) serta α1 (117,3 kDa) dan α2 (107,4 kDa) pada kolagen tipe I dari sisik ikan karper (Sung-Hee et al. 2011; Zhang et al. 2011).

Tabel 13 Berat molekul kolagen dan nanopartikel kolagen dari kulit ikan pari

Sampel Berat molekul (kDa)

α1 αβ

Kolagen 132,35 113,72 207,33 294,31

Nanopartikel kolagen 125,70 108,17 187,58 279,94 Berdasarkan pola elektroforesis SDS-PAGE kolagen dan nanopartikel kolagen (Gambar 12) dapat dilihat bahwa baik kolagen maupun nanopartikel kolagen tidak mengandung komponen dengan berat molekul lebih rendah dari berat molekul α2. Hal ini menunjukkan bahwa kolagen yang dihasilkan dengan proses ekstraksi kulit dengan air pada suhu 40 C belum terdegradasi menjadi bentuk gelatin. Karim dan Bhat (2009) menyatakan bahwa gelatin mengandung campuran komponen dengan berat molekul berkisar dari 80250 kDa. Hasil penelitian Duan et al. (2011) menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan mas (Cyprinus carpio) mengandung komponen dengan berat molekul berkisar dari 97205 kDa. Hasil penelitian Nur Azira et al. (2012) menunjukkan bahwa gelatin babi komersial mengandung komponen dengan berat molekul sebesar 58, 64, 70, 76, 83, 87, 96, 106, 114, 120, dan 125 kDa.

4.4.5 pH

Pengukuran pH dilakukan untuk menilai tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan. Nilai pH kolagen penting diketahui karena berkaitan erat dengan tingkat kelarutan kolagen (Tabarestani et al. 2012). Hasil pengukuran pH kolagen dan nanopartikel kolagen menunjukkan kedua bahan tersebut bersifat asam dengan nilai pH berturut turut 5,00 dan 4,93 (Tabel 14), namun nilainya masih

sedikit lebih tinggi dari pH kolagen beberapa merk kolagen untuk kosmetik yang dilaporkan Peng et al. (2004) yaitu berkisar antara 3,84,7.

Tabel 14 Sifat fisik kolagen dan nanopartikel kolagen

parameter Kolagen Nanopartikel kolagen

Titik leleh (oC) 165,88 156,63

Viskositas (cP) 292,33 110,00 Derajat putih (%) 72,48 60,03 pH 5,00 4,93

Perbedaan pH akhir kolagen tersebut dapat disebabkan perbedaan jenis dan konsentrasi asam atau basa yang digunakan selama perendaman. Proses asam cenderung menghasilkan nilai pH rendah dan sebaliknya proses basa akan cenderung menghasilkan nilai pH yang tinggi. Kombinasi proses asam dan basa cenderung menghasilkan pH mendekati netral (Zhou dan Regenstein 2005). Proses penetralan juga akan mempengaruhi pH akhir kolagen karena proses tersebut dapat mengurangi sisa-sisa asam maupun basa setelah perendaman. Proses penetralan yang baik menghasilkan pH akhir yang mendekati pH netral (Hinterwaldner 1977).

4.4.6 Viskositas

Viskositas atau kekentalan cairan menunjukkan ukuran ketahanan sebuah cairan terhadap perubahan bentuk ketika dikenai gaya. Viskositas juga dapat diartikan sebagai sifat cairan yang menentukan besarnya perlawanan terhadap gaya geser. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya viskositas antara lain temperatur, gaya tarik antar molekul, dan jumlah molekul terlarut.

Pengukuran viskositas kolagen dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan kolagen sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Nilai viskositas kolagen maupun nanopartikel kolagen yang diukur menggunakan viskometer Brookfield LV pada konsentrasi 1% dan suhu 30 C berturut-turut adalah 292,33 cP dan 110,00 cP (Tabel 14). Nilai viskositas kolagen dan nanopartikel kolagen cukup tinggi dibandingkan nilai viskositas Pepsin Soluble Collagen (PSC) dari kulit ikan unicorn leatherjacket (Aluterus monocerous) yang berkisar antara 19,622,8 cP pada suhu sistem 4 C (Ahmad dan Benjakul 2010).

Menurut Zhang et al. (2010) suhu dan konsentrasi larutan akan mempengaruhi nilai viskositas larutan. Semakin tinggi suhu maka viskositas semakin rendah dan semakin tinggi konsentrasi larutan viskositas juga mengalami peningkatan pada suhu yang sama. Tabarestani et al. (2012) menyatakan bahwa suhu yang tinggi menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen yang merupakan penstabil struktur kolagen sehingga struktur triple heliks kolagen mengalami perubahan menjadi bentuk coil. Viskositas yang tinggi juga berkaitan erat dengan tingginya proporsi

rantai dan sehingga menunjukkan pula tingginya berat molekul. Zhang et al.

(2011) menyatakan viskositas yang tinggi berkaitan dengan tolakan elektrostatik yang kuat antara molekul kolagen dalam larutan. Viskositas yang tinggi dari kolagen maupun nanopartikel kolagen juga disebabkan pada saat analisis kolagen dilarutkan dalam air bukan asam. Menurut Ahmad dan Benjakul (2010), adanya asam pada larutan kolagen dapat mengganggu kestabilan dari struktur triple heliks kolagen.

Dokumen terkait