• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi Pendahuluan

Pelarut yang digunakan pada tahap ekstraksi pendahuluan ada 4 macam. Keempat pelarut memiliki polaritas yang meningkat yaitu : diklorometan, aseton, campuran toluen-etanol 2:1 , dan air destilasi. Persentasi ekstrak untuk masing- masing pelarut seperti pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Persentasi ekstrak pada ekstraksi pendahuluan

Pelarut Persentasi Ekstrak (%)

Diklorometan 1.67

Aseton 2.93

Toluen-etanol (2:1) 5.88

Air destilasi 10.51

Berdasarkan Tabel 1 diatas, tampak bahwa persentasi ekstrak paling besar adalah ekstrak air dan persentasi terkecil adalah ekstrak diklorometan. Menurut Harkin & Rowe (1971) macam pelarut yang digunakan berpengaruh pada jenis komponen atau senyawa yang keluar (terekstrak). Umumnya senyawa non polar akan mudah diekstrak menggunakan pelarut non polar seperti eter, diklorometan dan kloroform. Demikian pula sebaliknya senyawa polar akan mudah diekstrak menggunakan pelarut polar seperti metanol atau air. Air merupakan pelarut paling polar. Adapun karakteristik senyawa yang dapat terekstrak oleh bermacam jenis pelarut yang digunakan seperti tersaji pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Karakteristik senyawa hasil ekstraksi dari berbagai macam pelarut

Macam pelarut Jenis senyawa yang dapat diekstrak

Petrolium eter, eter, benzene, kloroform

Terpena dan turunannnya, lemak, lilin, asam lemak bebas, sterol,alkohol resin

Alkohol , aseton Polifenol sederhana, mono dan disakarida, tanin, senyawa glikosida

Air (dingin atau panas) Disakarida, pati, getah, tanin, pektin

Alkali (aqueuse) Phlobapene, asam fenolik, fragmen suberin, hemiselulosa, lignin

Asam (hidrolisis) Gula sederhana, asam uronik sebagai turunan dari holoselulosa, dan lignin residu

Karakterisasi Infra Merah (FTIR)

Adapun karakterisasi ekstrak dari masing-masing pelarut menggunakan FTIR adalah sebagai berikut :

1. Ekstrak diklorometan

Berdasarkan spektra FTIR yang diperoleh seperti pada Gambar 8, senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak terindikasi memiliki ikatan O-H pada absorpsi 3400 cm-1, ikatan C-H alifatik pada serapan 2917,6 cm-1 dan 2849,6 cm-1. Pada daerah absorpsi 1738,5 cm-1dan 1646,7 cm-1 masing-masing mencirikan adanya ikatan C=O ester dan ikatan C=C non konjugasi, sedangkan pada daerah 1300-1000 cm-1 mengindikasikan adanya ikatan eter C-O. 4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 12,4 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 44,7 cm-1 %T 3419,4 2917,6 2849,6 1738,5 1646,7 1504,7 1463,7 1165,1 1054,6 719,3 612,6 496,9

Gambar 8. Spektrum FTIR ekstrak diklorometan 2. Ekstrak Aseton

Karakterisasi ekstrak aseton menggunakan FTIR menunjukkan hasil yang sama seperti pada ekstrak diklorometan. Pada ekstrak ini terdapat serapan pada daerah 3392 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus fungsi O-H, pada daerah 2919,0 cm-1 dan 2850,4 cm-1 menunjukkan serapan untuk identifikasi gugus C-H alifatik, serapan pada daerah 1701,7 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi karbonil terkonjugasi, sedangkan pada daerah 1653,0 cm-1 dan 1601,5 cm-1 mengkarakterisasi adanya ikatan rangkap C=C non konjugasi dan

aromatik. Serapan dengan intensitas lemah pada daerah 1000 cm-1 hingga 1300 cm-1 menunjukkan gugus fungsi C-O sebagai penanda adanya ester. Karakterisasi menggunakan FTIR ini memang memiliki keterbatasan namun dugaan adanya lignan, gula dan polifenol dapat diindikasi melalui spektra FTIR. Adapun gambar lengkap spektra FTIR ekstrak aseton seperti pada Gambar 9 berikut : 4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 30,0 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70,0 cm-1 %T 3392,0 2919,0 2850,4 2360,5 1701,7 1653,0 1601,5 1504,0 1451,4 1401,1 1284,9 1219,4 1199,5 1113,9 1083,7 1036,9 849,3 766,6 669,0 616,9

Gambar 9. Spektrum FTIR ekstrak aseton 3. Ekstrak Toluen-Etanol (2:1)

Karakterisasi ekstrak toluen-etanol menunjukkan hasil yang hampir sama dengan ekstrak dari kedua pelarut sebelumnya. Pada ekstrak toluen-etanol terindikasi adanya ikatan O-H pada daerah serapan 3369,5 cm-1, ikatan C-H alifatik ditandai oleh absorbansi pada daerah serapan 2918,8 cm-1 , serapan pada daerah 1645,6 cm-1 menunjukkan adanya ikatan rangkap C=C non konjugasi, dan serapan pada daerah 1000-1300 cm-1 menunjukkan adanya C-O. Gambar lengkap spektra FTIR ekstrak toluen-etanol seperti pada Gambar 10.

4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 1,4 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60,0 cm-1 %T 3369,5 2918,8 1645,6 1600,4 1503,7 1451,2 1402,6 1285,1 1218,4 1199,5 1053,3 848,1 819,3 766,4 614,0 497,6

Gambar 10. Spektrum FTIR ekstrak toluen-etanol 4. Ekstrak air destilasi

Karakterisasi FTIR ekstrak air destilasi menunjukkan adanya ikatan O-H dan C-H alifatik, ikatan C=O dan ikatan C=C dengan absorbansi yang lemah. Serapan pada ekstrak FTIR cenderung lebih lemah dibandingkan dengan ketiga ekstrak lainnya. Gambar lengkap spektra FTIR ekstrak air destilasi seperti pada Gambar 11. 4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400,0 16,1 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37,2 cm-1 %T 2363,6;21,3 2916,8;19,2 2332,6;23,9 3353,9;18,4 1654,1;17,9 1503,3;18,4 1555,5;19,11453,1;18,4 1866,6;33,7

Berdasarkan karakterisasi FTIR dapat diketahui bahwa senyawa yang terdapat didalam ekstrak memiliki gugus rangkap C=C maupun ikatan rangkap yang menunjukkan gugus C=O, C-H, C-O maupun N-H. Adapun jumlah puncak dan intensitas puncak pada daerah serapan dapat menjadi kunci untuk menunjukkan keberadan gugus fungsi. gugus C=O merupakan gugus yang perlu dilihat terlebih dahulu. Gugus C=O akan memberikan absorbsi kuat pada daerah 1820-1660 cm-1 berupa puncak kuat dengan lebar yang cukup. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi keberadaan gugus fungsi lainnya seperti gugus O-H yang dicirikan dengan absorbsi lebar pada 3400-2400 cm-1, namun sering overlap dengan absorbsi N-H. Serapan yang mengindikasikan adanya N-H sering tidak muncul karena adanya serapan gugus O-H yang lebih kuat dibandingkan dengan N-H (amina). Hal ini disebabkan ikatan hidrogen amina lebih lemah dibandingkan dengan alkohol (OH) (Silverstein et.al, 1984). Penciri gugus amida N-H akan memberikan absorbsi medium di dekat daerah 3500 cm-1 dan sering berupa puncak rangkap. Penanda adanya gugus ester dicirikan dengan adanya gugus C-O yang memberikan absorbsi kuat pada 1300-1000 cm-1. Penciri adanya gugus anhidrida dicirikan dengan adanya dua absorbsi sebagai penanda adanya gugus C=O di dekat serapan 1810 dan 1760 cm-1. Penanda adanya gugus aldehid dicirikan dengan adanya C-H aldehid yang tampak dengan adanya dua absorbsi lemah di dekat 2850 dan 2750 cm-1 atau di sebelah kanan absorbsi C-H. Jika seluruh pilihan tersebut diatas tidak muncul, maka itu sebagai penciri adanya gugus keton. Analisis FTIR memberikan kelemahan dengan adanya overlap daerah serapan. Meskipun gugus penciri telah dapat teridentifikasi, hasil spektra FTIR masih perlu dukungan analisis lanjutan menggunakan kromatografi gas maupun cair. Hal ini dikarenakan keberadaan gugus penciri yang tampak pada spektra FTIR dapat dimiliki oleh senyawa sakarida, asam lemak maupun senyawa fenol. Untuk memperkuat hasil analisis dan determinasi senyawa aktif maka posisi proton dapat diidentifikasi menggunakan NMR, sedangkan berat molekul dan struktur molekul senyawa dapat dianalisis menggunakan GC atau LC yang ditandem dengan spektrometri massa.

Karakterisasi GCMS

Disamping karakterisasi menggunakan FTIR, ekstrak yang diperoleh dari 4 macam pelarut juga dikarakterisasi menggunakan GCMS. Berdasarkan analisis menggunakan GCMS, hanya ekstrak aseton dan toluen-etanol yang menunjukkan hasil positif. Keduanya menunjukkan identifikasi senyawa alkaloid berupa brusin. Untuk ekstrak diklorometan tidak menunjukkan hasil kromatogram yang signifikan. Hal ini juga terjadi pada ekstrak air destilasi. Identifikasi adanya brusin pada ekstrak aseton ditunjukkan pada Gambar 12 berikut :

4.84 6.84 8.84 10.84 12.84 14.84 16.84 18.84 20.84 22.84 24.84 26.84 28.84 30.84 32.84 34.84 36.84 Time 0

100

%

Litsea acetone 1m6 der 01 Scan EI+

TIC 7.31e9 Area, Height 16.09 60004220 2351295488 15.25 35192368 915908608 5.12 38397344 330744544 20.18 98911112 865421696 35.97 108144128 203885424 32.83 33.33 33.83 34.33 34.83 35.33 35.83 36.33 36.83 37.33 37.83 Time 0 100 %

litsea acetone 1m6 der 01 Scan EI+

TIC 2.43e8 35.97 35.88 35.85 34.32 32.39 34.88 14 34 54 74 94 114 134 154 174 194 214 234 254 274 294 314 334 354 374 394 414m/z 0 100 % 394.2608 379.0648 31.9205 31.092643.919555.012679.0996 107.1361120.0420 162.3534 197.2205207.1488 280.5864 228.4386 256.4304 294.6143321.5072350.6607363.1170 395.4929 (replib) Brucine 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 0 50 100 42 55 77 91 120 146 162 203 228 256 280 311326 351 379 394 O N O N O O

Gambar 12. (A) Kromatogram ekstrak aseton ; (B) Kromatogram diperbesar pada waktu retensi 35.97 menit; (C) Spektrometri massa eksperimental pada 35.97 menit; (D) Spektrometri massa brusin pada database GCMS

A

B

C

Berdasarkan Gambar 12 diatas, dapat diketahui bahwa pada 10 menit pertama belum ditemukan adanya puncak kromatogram yang mengidentifikasikan keberadaan senyawa tertentu. Pada waktu retensi antara 12 hingga 22 menit menunjukkan adanya puncak kromatogram yang mewakili adanya sylil dan glukosida. Keberadaan senyawa yang memiliki gugus furanik atau pyranik mungkin berada pada waktu retensi ini. Pada waktu retensi 35.97 menit terdapat puncak kromatogram yang kecil dan mengindikasikan adanya brusin berdasarkan spektrometri massa dan gambar struktur molekul senyawa yang muncul pada database GCMS. Brusin merupakan kelompok alkaloid. Adapun hasil analisis kromatografi gas pada ekstrak aseton secara lengkap seperti pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Identifikasi ekstrak aseton dengan GCMS

Waktu Retensi (menit) Nama senyawa

5.12 Asam propanoik

16.09 Myo-inositol

20.18 α -D Glucopiranosida

35.97 Brusin

Keberadaan brusin dapat teridentifikasi pula pada ekstrak toluen-etanol pada waktu retensi sekitar 35 menit. Namun gambar puncak kromatografinya yang kecil menunjukkan jumlah brusin yang sedikit pada ekstrak. Gambar analisis kromatografi gas untuk ekstrak toluen-etanol seperti pada Gambar 13.

Gambar 13. Kromatogram ekstrak toluen-etanol (2:1) Karakterisasi LCMS

Untuk mendukung karakterisasi GCMS, maka analisis menggunakan LCMS dilakukan untuk memperkuat identifikasi adanya brusin pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume. Hasil karakterisasi menggunakan LCMS seperti pada Gambar 14 berikut :

250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z 0,0 1,0 2,0 Inten. (x10,000,000) 395 214 102 789

Gambar 14. (A) Kromatogram ion total ekstrak aseton; (B) Kromatogram pada berat molekul 395 (m/z ); (C) Spektrometri massa eksperimental Berdasarkan Gambar 14 diatas, dapat diketahui keberadaan brusin pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume. Berdasarkan referensi, brusin memiliki berat molekul sebesar 394.47 (Merck Index:1426). Menurut kerja 2012020917-Feb-2012

5.02 7.02 9.02 11.02 13.02 15.02 17.02 19.02 21.02 23.02 25.02 27.02 29.02 31.02 33.02 35.02 37.02 Time 0

100

%

litsea toleth 4mg6 der 01 Scan EI+

TIC 1.06e10 16.13 15.95 15.27 14.55 14.49 14.21 20.06 16.76 18.9719.97 20.11 21.00 A B C

LCMS yang menggunakan detektor ESI, pembacaan dilakukan dengan skema [M+1] pada mode positif dan [M-1] pada mode negatif. Sifat gugus amina pada brusin yang lebih mudah terprotonisasi, menyebabkan pembacaan berat molekul yang teridentifikasi efektif pada mode positif. Oleh karena itu, teridentifikasinya nilai 395 pada waktu retensi 5, 21 menit mendukung hipotesa adanya brusin pada ekstrak. Senyawa lain yang teridentifikasi pada ekstrak aseton adalah senyawa enantiomer brusin yaitu striknin. Hal ini dapat diketahui berdasarkan Gambar 15 berikut : 250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z 0,0 1,0 2,0Inten. (x10,000,000) 335 102 214

Gambar 15. (A) Kromatogram pada 335 (m/z); (B) Spektrometri massa eksperimental

Berdasarkan referensi berat molekul striknin adalah 334.40 (Merck Index : 8724). Dengan demikian munculnya nilai 335 pada mode positif LCMS pada waktu retensi 4, 472 menit menunjukkan keberadaan striknin [M+1].

Brusin dan striknin juga teridentifikasi pada ekstrak toluen-etanol (2:1). Keduanya teridentifikasi pada waktu 5,21menit untuk brusin dan 4,48 menit untuk striknin. Karakterisasi LCMS mengenai teridentifikasinya brusin dan striknin pada ekstrak toluen-etanol seperti pada Gambar 16.

A

Gambar 16. (A) Kromatogram ion total ekstrak toluen-etanol; (B) Kromatogram pada m/z 395; (C) Kromatogram pada m/z 335

Optimasi Proses (Ekstraksi menggunakan metanol)

Setelah melakukan ekstraksi pendahuluan dan melakukan karakterisasi menggunakan infra merah, GCMS dan LCMS, maka dipilih teknik ekstraksi yang lebih optimal. Berdasarkan studi hasil penelitian sebelumnya dan hasil ekstraksi pendahuluan yang diperoleh, maka optimisasi proses dilakukan dengan pemilihan metanol sebagai pelarut dengan tetap menggunakan metode soklet. Persentasi ekstrak yang diperoleh menggunakan pelarut metanol sebesar 16.21 % dari jumlah total serbuk kulit batang yang diekstrak sebanyak ±170 gram. Adapun hasil optimisasi proses adalah sebagai berikut :

Karakterisasi menggunakan LCMS

Berdasarkan hasil analisa kromatografi cair (LCMS), brusin dan striknin dapat teridentifikasi pada ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. Adapun gambar kromatogram lengkap yang menunjukkan adanya brusin dan striknin seperti pada Gambar 17.

A

B

Gambar 17. (A). Kromatogram ion total ekstrak metanol; (B) kromatogram pada m/z 395; (C) kromatogram pada m/z 335

Brusin teridentifikasi pada waktu retensi 5.21 menit. Selain brusin, pada ekstrak metanol ini dapat teridentifikasi adanya striknin pada waktu retensi 4.81 menit. Adanya kesamaan hasil identifikasi LCMS pada ekstraksi pendahuluan dan ekstraksi menggunakan metanol, semakin memperkuat keberadaan brusin pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume. Striknin merupakan enantiomer dari brusin. Literatur menyebutkan bahwa striknin merupakan parents compounds dari brusin. Hal ini disebabkan perbedaan keduanya hanya terletak pada 2 gugus metoksi (-CH3O-) yang dimiliki oleh brusin. Brusin memiliki 6 atom karbon asimetris. Brusin kurang larut dalam air namun dapat larut dengan baik dalam alkohol. Struktur brusin dan striknin yang hampir mirip, sering dimanfaatkan untuk pemisahan asam rasemik. Oleh karena itu pemisahan antara striknin dan brusin bukanlah hal yang mudah.

A B

Gambar 18. (A) Struktur molekul brusin dan (B) Struktur molekul striknin A

B

Karakterisasi menggunakan NMR

Ekstrak metanol dianalisa menggunakan NMR untuk memperkuat hasil analisa sebelumnya. Hasil analisa NMR ekstrak dibandingkan dengan brusin standar dari Sigma Aldrich. Adapun hasil analisa NMR ekstrak metanol dengan brusin standar adalah sebagai berikut :

n o v i0 7 .0 0 1 .e s p

8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 Chemi cal Shift (ppm)

-0.05 0 0.05 0.10 0.15 N o rm a li z e d I n te n s it y

Gambar 19. Spektrum NMR (1H) ekstrak metanol dan brusin standar Berdasarkan Gambar 19 diatas, dapat diketahui bahwa adanya persamaan spektra NMR antara ekstrak metanol dengan brusin standar pada daerah 3.5 - 4.0 ppm. Pada daerah tersebut terdapat puncak dengan intensitas tinggi yang mengindikasikan keberadan 2 gugus metoksi siklik (-CH3O-). Keberadaan proton aromatik (1H dan 4H) diidentifikasi pada daerah 6.0- 8.5 ppm. Keberadaan proton pada karbon yang terikat gugus karboksil (-CH-C=O) ada pada daerah 2.0-3.0 ppm. Pada daerah sekitar 3.0 ppm menunjukkan proton methyne yang bertetangga dengan atom N (-CH-N-). Pada daerah 2.6 - 3.6 ppm mencirikan proton methylene yang bertetangga dengan atom N (-CH2-N-) . Hal ini memperkuat dugaan adanya brusin pada ekstrak metanol.

Ekstrak metanol

Adapun karakterisasi spektra NMR (1H) ekstrak metanol secara lengkap disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 20 berikut :

Tabel 4. Karakterisasi NMR (1H) ekstrak metanol

Posisi ppm Posisi ppm 1H 6.70 16H 2.79 4H 7.73 17H a/b 1.33 8H 3.10 18H a b 2.86 2.59 11H a B 2.63 2.55 20H a b 3.28 2.43 12H 4.45 22H 6.30 13H 1.78 23H a/b 4.23 14H 1.67 MeO 2/3 3.85 15H a B 1.07 1.53

Gambar 20. Struktur molekul brusin Analisis Sakarida (Gula)

Untuk melengkapi hasil analisis maka dilakukan analisis sakarida yang terkandung didalam ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. Hasil analisis sakarida ini, dapat membantu overlap analisis pada spektrometri massa LCMS. Hasil analisis sakarida menggunakan HPLC-PAD diketahui bahwa jenis sakarida yang terdapat didalam ekstrak metanol antara lain : glukosa, xylosa, mannosa, asam glukuronik, asam galakturonik. Adapun kadar sakarida yang terdapat di dalam ekstrak seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis dan kadar sakarida pada ekstrak metanol Jenis sakarida Kadar dalam ekstrak (mg/g)

Glukosa 0.35

Xylosa 0.06

Mannosa 0.01

Asam glukoronik 0.20

Asam galakturonik 0.01

Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa spektrometri massa LCMS dapat mendeteksi berat molekul senyawa tertentu. Untuk menghindari kerancuan atau kesalahan pembacaan berat molekul pada spektrometri massa LCMS, maka analisis sakarida ini penting dilakukan. Glukosa memiliki rumus molekul C6H12O6 memiliki berat molekul: 180.16 g/mol. Xylosa memiliki rumus molekul C5H10O5 memiliki berat molekul 150.13 g/mol . Mannosa memiliki rumus molekul dan berat molekul yang sama seperti glukosa. Asam glukoronik memiliki rumus molekul C7H12O6 dengan berat molekul 192.17 g/mol. Asam galakturonik memiliki rumus molekul C6H10O7 dengan berat molekul 194.14 g/mol.

Uji Bioaktivitas Ekstrak Metanol

Untuk mengetahui bioaktivitas ekstrak, maka ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. diujikan pada biakan jamur. Jamur yang digunakan adalah Poria placenta , Coriolus versicolor dan Gloeophyllum trabeum. Ekstrak dilarutkan pada metanol hingga mencapai konsentrasi 1 mg/ml. Sebagai pembanding diamati pula biakan jamur yang telah ditambahkan metanol maupun yang tidak ditambahkan metanol (kontrol). Adapun hasil pengujian pada ketiganya seperti pada Gambar 21, 22 dan 23.

Gambar 21. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Poria placenta : (1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH (3) ditambahkan ekstrak

Gambar 22. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Coriolus versicolor : (1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH (3) ditambahkan ekstrak

Gambar 23. Pengujian bioaktivitas ekstrak pada jamur Gloeophyllum trabeum: (1) Kontrol (2) ditambahkan MeOH; (3) ditambahkan ekstrak

Pengukuran indeks antijamur menggunakan metode Mun dan Prewitt, 2011 dengan rumus :

(AI) = [1-D1/D2] x100

dimana AI adalah nilai Indeks Antijamur, D1 nilai diameter pertumbuhan jamur yang telah ditambahkan ekstrak pada cawan petri, D2 nilai diameter pertumbuhan

1 2 3

1 2 3

jamur yang telah ditambahkan metanol pada cawan petri. Adapun rataan pertumbuhan diameter mycelium jamur seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan pertumbuhan diameter mycelium jamur setelah 7 hari inkubasi

Species Tanpa MeOH

(cm) Dengan MeOH (cm) Dengan ekstrak (cm) Poria placenta 7,67 3,00 1,00 Coriolus versicolor 6,17 2,90 1,33 Gloeophyllum trabeum 4,83 1,83 0,00

Berdasarkan Tabel 6 diatas tampak bahwa ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume memiliki sifat inhibitor terhadap pertumbuhan ketiga jenis jamur. Adanya perbedaan nilai diameter pertumbuhan mycelium jamur yang ditambahkan metanol dengan yang ditambahkan ekstrak, menunjukkan bahwa bioaktifitas ekstrak memang berperan dalam menghambat pertumbuhan jamur. Meskipun pada penambahan metanol terlihat adanya hambatan pertumbuhan diameter mycelium jamur, hal ini dikarenakan metanol yang bersifat asam. Tingkat keasaman sangat berpengaruh bagi pertumbuhan jamur. Disamping tingkat kelembaban dan temperatur, pH berperan dalam menentukan pertumbuhan jamur. Umumnya jamur dapat bertahan hidup pada suasana yang tidak terlalu asam. Ketiga jenis jamur diatas dikenal sebagai jamur pembusuk kayu. Poria placenta dan Gloeophyllum trabeum dikenal sebagai brown rot fungi yang menyebabkan busuk cokelat pada kayu. Coriolus versicolor dikenal sebagai white rot fungi yang menyebabkan busuk putih pada kayu.

Nilai indeks antijamur untuk ketiga jenis jamur uji adalah sebagai berikut: Poria placenta sebesar 66.7 %, Coriolus versicolor sebesar 54.0 %, Gloeophyllum trabeum sebesar 100.0 %. Nilai inhibitor ekstrak terbesar adalah pada jamur Gloeophyllum trabeum. Dimana ekstrak mampu menghambat total pertumbuhan jamur di dalam cawan petri. Sedangkan pada jamur Poria placenta dan Coriolus versicolor penghambatan pertumbuhan mycelium jamur separuhnya

dipengaruhi oleh sifat inhibitor ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume.

Gambar 24. Diagram batang nilai indeks antijamur ekstrak metanol Jamur Poria placenta dan Gloeophyllum trabeum dikenal sebagai jamur pembusuk kayu dengan istilah brown rot fungi dan termasuk pada kelompok fungi Basidiomycetes. Brown rot fungi lebih banyak mendegradasi polisakarida pada interior kayu dan sedikit mendegradasi lignin sehingga kayu menjadi cokelat dan rapuh. Struktur anatomi hifa Poria placenta adalah hifa monomitic sedangkan Gloeophyllum trabeum memiliki hifa dengan tipe nodose septate. Poria placenta berdinding tipis hingga tebal, memiliki basidiospora dengan ukuran 12-14 x 5-6 µm. Gloeophyllum trabeum berdinding tipis dengan ukuran basidiospora 9.0-12.0 x 3.0-4.5 µm.

Jamur Coriolus versicolor dikenal dengan white rot fungi yang mampu mendegradasi lignin pada kayu. Secara umum jamur white rot fungi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1) jamur yang menguraikan selulosa dan hemiselulosa lebih dahulu kemudian lignin, 2) lebih banyak memetabolisme lignin lebih dahulu kemudian selulosa dan hemiselulosa dan 3) mampu mendegradasi semua polimer dinding sel secara simultan. Coriolus versicolor memiliki tipe hifa hialin-nodose septate. Jamur ini berdinding tipis hingga tebal dengan ukuran basidiospora 4.5-7.5 x 2.2-4.5 µm.

Perbedaan nilai indeks antijamur ketiga jamur diatas, bisa disebabkan oleh struktur anatomi jamur, dimana jamur yang berdinding sel lebih tipis

memungkinkan untuk ekstrak lebih mudah masuk ke dalam sel dibandingkan dengan jamur yang berdinding sel tebal. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perbedaan indeks antijamur diatas adalah kandungan kimiawi yang terdapat pada jamur yang mampu mereduksi pengaruh ekstrak. Jamur Coriolus versicolor diketahui memiliki polisakarida-K yang sering digunakan sebagai immune system jamur itu sendiri dan diisolasi untuk tujuan penggunaan bahan obat seperti anti kanker (IMA, 2012).

Untuk mengetahui senyawa aktif yang terkandung pada ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume, maka dilakukan kromatografi kolom sebagai mekanisme separasi berbagai senyawa.

Kromatografi Kolom

Keberadaan brusin pada ekstrak metanol kulit batang Litsea tomentosa Blume. dapat diidentifikasi melalui analisa LCMS dan NMR. Untuk mendapatkan hasil yang lebih lanjut terkait kandungan senyawa aktif pada ekstrak kulit batang Litsea tomentosa Blume, maka pemisahan ekstrak dilakukan dengan kromatografi kolom. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah pemilihan eluen. Eluen terbaik yang dipilih adalah komposisi antara diklorometan:etil asetat:metanol dengan perbandingan 36:12:5. Melalui kromatografi kolom diperoleh 4 fraksi yang berbeda. Masing-masing fraksi kemudian dianalisis menggunakan LCMS dan NMR untuk mementukan struktur molekul senyawa didalamnya. Dari 4 fraksi yang diperoleh, hanya fraksi ke-2 dan ke-4 yang menunjukkan hasil positif, dimana berdasarkan hasil LCMS dan analisa NMR mengindikasikan adanya senyawa tertentu.

Fraksi 1

Setelah evaporasi pelarut, didapatkan fraksi 1 kering sebesar 14.1 mg. Berdasarkan analisa LCMS dan NMR , tidak ditemui adanya kromatogram yang menunjukkan keberadaan senyawa aktif. Kemungkinan fraksi ini didominasi oleh pelarut atau eluen yang keluar pertama kali dari kolom.

Fraksi 2

Jumlah fraksi 2 yang diperoleh adalah 29.1 mg. Pada fraksi ke-2 terindikasi adanya senyawa aktif yang menarik untuk dianalisis. Ini dapat diketahui berdasarkan hasil kromatografi cair dan spektra NMR. Adapun hasil analisis LCMS fraksi 2 seperti pada Gambar 25.

Gambar 25. (A) Kromatogram ion total fraksi 2; (B) Kromatogram pada m/z 395; (C) Kromatogram pada m/z 263

Berdasarkan Gambar 25 diatas, keberadaan brusin pada fraksi ke-2 menunjukkan hasil yang negatif. Namun pada waktu retensi sekitar 10.76 menit dapat dijumpai adanya nilai berat molekul yang menunjukkan adanya keberadaan senyawa tertentu. Dengan melihat Gambar 26 C, kita dapat menduga adanya senyawa yang memiliki berat molekul 262 pada fraksi ke-2 yang kemudian teridentifikasi pada m/z 263 [M+1]. Hal ini didukung oleh hasil spektrometri massa pada mode positif [M+1] dan mode negatif [M-1]. Hasil spektrometri massa fraksi 2 seperti pada Gambar 26.

A

B

250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z 0,0 1,0 Inten. (x10,000,000) 263 105 547 326 250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z 0,0 0,5 1,0Inten. (x10,000,000) 261 113 343

Gambar 26. Spektrometri massa fraksi 2 pada waktu retensi 10.76 menit mode positif (atas) dan spektrometri massa pada mode negatif (bawah) Analisis NMR (1H) diperlukan untuk mendukung adanya keberadaan senyawa tertentu pada fraksi 2. Spektra NMR (1H) yang diperoleh seperti pada Gambar 27 berikut : n o vif ra k s i2 .0 0 1 .e s p 8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 Chemical Shift (ppm) 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 N o rm a li z e d I n te n s it y

Gambar 27. Spektrum NMR (1H) fraksi 2

Berdasarkan Gambar 27 diatas, dapat dilihat adanya proton methyne (-CH-) pada daerah 0.5 - 1.0 ppm, proton methylene (-CH2-) pada 1.0 - 1.5 ppm, aromatik proton dicirikan pada 7.5 - 8.0 ppm. Keberadaan proton methyne yang bertetangga dengan atom N dicirikan pada daerah 3.0 - 3.5 ppm, proton methylene yang bertetangga dengan atom N didaerah 3.5 - 4.0 ppm. Hasil studi sebelumnya mengenai kandungan bahan aktif pada genus Litsea, yakni jenis Litsea cubeba, ditemukan senyawa dengan berat molekul yang sama yaitu 262 dan diduga sebagai 17-oxolupanin (Ardiansyah, 2001). Senyawa ini memiliki rumus molekul C15H22N2O2. Namun dugaan keberadaan 17-oxolupanin ini masih sangat lemah

mengingat tidak adanya pembanding dengan standar internal. Struktur molekul 17-oxolupanin seperti pada Gambar 28.

Gambar 28. Struktur molekul 17-oxolupanin

Struktur dasar alkaloid 17-oxolupanin adalah alkaloid lupanin. Alkaloid ini termasuk pada jenis alkaloid quinilozidine. Jung et.al (2006) meneliti potensi 17- oxolupanin sebagai agen antidiabetes. Alkaloid 13-α-OH lupanin dan 17- oxolupanin mampu mensekresi insulin pada konsentrasi glukosa sebesar 16.7 mM.

Fraksi 3

Berdasarkan hasil analisis LCMS dan NMR, tidak terdapat nilai kromatogram LCMS maupun yang mengindikasikan senyawa tertentu didalam ekstrak pada fraksi 3. Banyaknya fraksi 3 yang diperoleh sebanyak 3.7 mg. Identifikasi adanya brusin pada fraksi ini juga menunjukkan hasil yang negatif. Fraksi 4

Fraksi terakhir yang diperoleh adalah fraksi 4 sebanyak 2.1 mg. Berdasarkan hasil analisis LCMS, brusin dapat teridentifikasi pada fraksi 4. Hal ini didukung oleh hasil kromatogram pada LCMS (Gambar 29). Panjang garis pada spektrometri massa yang rendah, menunjukkan jumlah brusin yang sedikit pada fraksi ini. Jumlah brusin yang sedikit disebabkan oleh sifat dari silika sebagai fase diam yang bersifat asam dan menyebabkan brusin menjadi terdegradasi di dalam kolom.

250 500 750 1000 1250 1500 1750 m/z

105 214

395 307

Gambar 29. Kromatogram pada m/z 395 (atas) dan spektrometri massa eksperimental (bawah)

Tidak teridentifikasinya striknin menunjukkan bahwa pemisahan striknin dan brusin tidak dapat dilakukan melalui kromatografi kolom. Hal ini dikarenakan brusin dan striknin merupakan enantiomer. Pemisahan senyawa enantiomer tidak dapat dilakukan melalui kromatografi kolom. Pemurnian brusin dapat dilakukan dengan penambahan ethyl alkohol pada brusin hidroklorida. Pengkristalan akan

Dokumen terkait