DAFTAR PUSTAKA
4.4 Karakterisasi Kolagen dan Nanopartikel Kolagen
4.4.8 Analisis termal
Analisis termal digunakan untuk memahami sifat termodinamis material sehingga dapat diketahui sifat material dibawah pengaruh pemanasan atau pendinginan, dibawah atmosfer reduksi atau oksidasi dan dibawah tekanan gas. Analisis termal juga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi material berdasarkan perubahan sifat fisik maupun kimia material sebagai fungsi suhu (Klancnik et al. 2010). Beberapa metode analisis termal yang sering digunakan dalam bidang farmasi dan industri makanan adalah Differential Thermal Analysis (DTA), Differential Scanning Calorimetry (DSC), dan Thermogravimetric Analysis (TGA). Analisis termal dengan metode DSC dilakukan dengan mengukur perbedaan aliran panas pada sampel dan standar (referensi). Teknik ini biasa digunakan untuk mengukur fase-fase transisi, yaitu transisi gelas (Tg), titik leleh (Tm), dan temperatur dekomposisi (Td) pada polimer.
Kurva termogram DSC dari pemanasan kolagen dan nanopartikel kolagen pada rentang suhu 20 C300 C dengan laju pemanasan 10 C/menit diperlihatkan pada Gambar 13. Berdasarkan kurva termogram DSC tersebut baik kolagen maupun nanopartikel kolagen memiliki pola gfafik DSC yang sama yaitu memiliki dua puncak eksotermis. Puncak eksotermis kolagen terjadi pada suhu 88,92 C dan 165,88 C, sedangkan untuk nanopartikel pada suhu 86,75 C dan 156,63 C. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Martianingsih dan Atmaja (2009) dimana DSC gelatin dari
kulit ikan pari memiliki dua puncak eksotermis yang berkisar antara 44,83 C48,39 C untuk puncak eksotermis pertama dan 187,93 C188,71 C
untuk puncak eksotermis kedua. Puncak eksotermis pertama menunjukkan transisi gelasi dari kolagen akibat terputusnya ikatan hidrogen yang mengarah pada pembentukan polimer amorf yaitu gelatin. Karim dan Bhat (2009) mengatakan suhu transisi untuk gelatin dari ikan terjadi diatas suhu 40 C. Pemanasan dengan suhu diatas 40 C menyebabkan hancurnya ikatan hidrogen dan terpotongnya sejumlah ikatan kovalen yang menstabilkan struktur triple heliks menghasilkan konversi kolagen menjadi gelatin yang larut. Berdasarkan kurva
DSC, transisi gelasi kolagen terjadi pada suhu 82,49 C, sedangkan nanopartikel kolagen pada suhu 78,78 C.
(a)
(b)
Gambar 13 Kurva termogram DSC: kolagen (a) nanopartikel kolagen (b). Puncak eksotermis kedua menunjukkan puncak melting bahan yang sangat jelas sehingga dapat dikatakan suhu transisi maksimum (Tmax) dari kolagen
maupun nanopartikel kolagen terjadi pada puncak eksotermis kedua yaitu berturut-turut pada suhu 165,88 C dan 156,63 C. Nilai Tmax kolagen sedikit
lebih tinggi dibandingkan Tmax nanopartikel kolagen, namun baik kolagen maupun
nanopartikel kolagen memiliki nilai Tmax yang jauh lebih tinggi dibandingkan Tmax
kolagen dari beberapa spesies ikan dan mamalia(Tabel 15). Tingginya nilai Tmax
disebabkan oleh perbedaan jenis pelarut kolagen yang digunakan pada pengujian DSC. Pada penelitian ini digunakan air sebagai media pelarut kolagen sementara pada umumnya asam asetat digunakan sebagai pelarut. Penelitian Singh et al. (2011) menunjukkan penggunaan air sebagai media pelarut pada pengujian DSC dari Acid Soluble Collagen (ASC) dan Pepsin Soluble Collagen (PSC) dari kulit ikan striped catfish memberikan nilai Tmax yang lebih tinggi dibandingkan ASC
maupun PSC yang dilarutkan dalam asam asetat. Ahmad dan Benjakul (2010) mengatakan adanya asam asetat menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen intramolekul yang merupakan penstabil struktur triple heliks dari kolagen. Hasil penelitian Samouillan et al. (2011) menunjukkan bentuk akhir kolagen juga mempengaruhi terhadap suhu denaturasi kolagen. Kolagen type I dari urat sapi dalam bentuk terliopilisasi menunjukkan Tmax yang lebih tinggi dibandingkan
dalam bentuk hydrated kolagen dengan nilai berturut-turut 225 C dan 78,3 C.
Tabel 15 Nilai Tmax kolagen dari berbagai jenis ikan
Sumber kolagen Tmax (C) pustaka
ASC PSC
Kulit ikan balloon
(Diodon holocanthus) 29,64 30,30
Huang et al. (2011) Kulit ikan bigeye snapper
(Priacanthus macracanthus) 30,37 30,87
Jongjareonrak et al. (2005)
Tulang rawan ikan
brownbanded bamboo Shark (Chiloscyllium punctatum
)
36,73 35,98
Kittiphattanabawon et al. (2010b)
Tulang rawan ikan blacktip
shark (Carcharhinus limbatus) 36,28 34,56
Kittiphattanabawon et al. (2010b)
Kulit ikan ornate threadfin
bream (Nemipterus hexodon) 33,35
Nalinanon et al. (2011) Kulit ikan striped
catfish (Pangasianodon hypophthalmus)
39,3 39,6
Singh et al. (2011) Kulit ikan largefin longbarbel
catfish (Mystus macropterus) 32,1 31,6
Zhang et al. (2009)
kulit babi 37 Nagai dan Suzuki (2000)
Kulit sapi
40,8 Komsa-Penkova et al. (1999)
msa-Penkova
Perbedaan stabilitas termal dari kolagen juga dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu komposisi dan susunan asam imino sebagai pembentuk struktur tersier kolagen (Ahmad dan Benjakul 2010), musim penangkapan dan tingginya
komposisi ikatan α1 pada struktur kolagen (Duan et al. 2012), asal bahan baku
(Karim dan Bhat 2009), serta keberadaan garam-garam mineral misalnya Cl-, SCN-, H2PO4-, HPO42-, SO42-, Li+, Na+, NH4+, dan Ca2+ (Komsa-Pencova et al.
1996).
4.4.9 Solubilitas
Solubilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat kimia tertentu (solute) untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Solubilitas kolagen dan nanopartikel kolagen diukur pada pH yang bervariasi yaitu dari pH 1-12 dengan tujuan untuk mengetahui kondisi pH optimun yang menghasilkan tingkat kelarutan kolagen atau nanopartikel kolagen yang paling baik. Solubilitas kolagen dan nanopartikel kolagen ditentukan dengan membandingkan konsentrasi protein terlarut dari kolagen atau nanopartikel terhadap total protein pada kolagen atau nanopartikel kolagen. Solubilitas yang dihasilkan pada pH tertentu dibandingkan terhadap solubilitas tertinggi untuk menentukan solubilitas relatif kolagen maupun nanopartikel kolagen.
Solubilitas relatif kolagen dan nanopartikel kolagen pada berbagai pH ditunjukkan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa tingkat solubilitas kolagen cenderung bervariasi pada kondisi pH berbeda, sedangkan tingkat solubilitas nanopartikel kolagen cenderung stabil pada kondisi pH berbeda. Kolagen menunjukkan solubilitas tertinggi pada pH 7 dengan tingkat solubilitas sebesar 99,5%; sedangkan pada pH 6, 9, dan 10 solubilitas kolagen cukup rendah dengan tingkat solubilitas sekitar 60%. Solubilitas nanopartikel kolagen pada berbagai pH menunjukkan nilai rata-rata sebesar 80% dengan tingkat solubilitas tertinggi pada pH 3 (92,8%) dan solubilitas terendah pada pH 6 (64,3%). Hal ini menunjukkan bahwa pH optimum untuk melarutkan kolagen adalah pada pH 7, sedangkan untuk nanopartikel kolagen pada pH 3. Solubilitas terendah menunjukkan titik isoelektrik kolagen maupun nanopartikel kolagen. Titik isoelektrik kolagen berada pada pH 6, 9,dan 10; sedangkan nanopartikel kolagen pada pH 6.
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 S o lu b il itas re latif pH
Gambar 14 Solubilitas pada berbagai pH: kolagen () nanopartikel kolagen (). Nilai pH optimum solubilitas kolagen dan nanopartikel kolagen serta pH minimum (titik isoelektrik) yang diperoleh berbeda dengan pH optimum dan pH minimum (titik isoelektrik) kolagen dari beberapa kulit ikan (Tabel 16). Menurut Kittiphattanabawon et al. (2005), perbedaan pH optimum dan minimum dari kelarutan kolagen berkaitan dengan perbedaan struktur molekuler dari setiap kolagen.
Tabel 16 pH optimum dan minimum solubilitas kolagen dari kulit ikan
Sumber kolagen pH
optimum
pH minimum (titik isoelektrik)
Sumber pustaka Kulit ikan rainbow trout
(Onchorhynchus mykiss)
1 9 Tabarestani et al.
(2012) Kulit ikan unicorn leatherjacket
(Aluterus monocerous)
2 8 Ahmad dan
Benjakul (2010) Kulit ikan balloon fish
(Diodon holocanthus)
1-5 7 Huang et al. (2011)
kulit ikan striped catfish
(Pangasianodo hypophthalmus)
2 5 Singh et al . (2011)
Variasi solubilitas kolagen pada berbagai pH disebabkan perbedaan titik isoelektrik (pI) dari kolagen (Jongjareonrak et al. 2005). Hal ini berkaitan dengan muatan protein kolagen yang berbeda pada titik isoelektrik. Kittiphattanabawon et al. (2005) mengatakan bahwa ketika nilai pH berada di atas dan di bawah pI, protein memiliki muatan positif atau negatif sehingga memiliki kemampuan berinteraksi dengan air yang lebih tinggi. Ahmad dan Benjakul (2010) mengungkapkan bahwa pada pH titik isoelektrik protein bermuatan nol sehingga
interaksi hidrofobik meningkat dan terjadi pengendapan protein terlarut pada pH titik isolektrik tersebut.