BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.7 Prosedur Analisis
3.7.2 Analisis Gugus Fungsi
Analisa gugus fungsi katalis dilakukan dengan menggunakan fourrir transform Infrared Spectroscopy (FTIR).
3.7.3 Analisis Kadar Free Fatty Acid (FFA)
Analisa kadar FFA bahan baku di lakukan dengan menggunakan standar AOCS Ca 5a-40 (2009).
3.7.4 Analisis Morfologi Dan Komposisi Unsur Pada Katalis
Analisis morfologi dan komposisi dari katalis diakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) serta Enery Dispersive X-Ray (EDX).
3.7.5 Analisis Komposisi Minyak Sawit Dan Metil Ester
Analiss komposisi minyak sawit menggunakan instrumen Gas Chromatography (GCdengan AOCS Official Method Cd 11b-91, sedangkan analisis komposisi biodiesel menggunakan AOCS official Method Ce-1b-89.
3.7.6 Analisis Densitas Dan Viskositas Kinematik
Untuk analisis densitas menggunakan metode tes OECD 109 untuk pengukuran densitas ini menggunakan peralatan utama yaitu poknometer. Perbedaan berat kosong dan penuh dihitung pada suhu 40oC. Sedangkan untuk analisis viskositas menggunakan tes ASTM D-445 untuk pengukuran viskositas ini mnggunakan peralatan utama yaitu viskosimeter Ostwald tube tipe kapiler, visosimeter holder dan bath pemanas. Termometer yang digunakan dengan ketelitian hingga 2oC dan menggunakan stopwatch dengan ketelitian 0,2 detik.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 ANALISA DAN KARAKTERISASI BAHAN 4.1.1 Hasil Analisis Minyak Sawit
Pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan adalah minyak sawit yang diperoleh dari metro swalayan, Medan. Komposisi asam lemak minyak sawit dianalisis dengan AOCS Official Method Ce 1b-89. Tabel 4.1 dibawah ini menunjukkan komposisi asam lemak minyak sawit yang digunakan.
Tabel 4.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit No.
4 21,536 Asam Palmitoleat (C16:1) 0,1555
5 21,530 Asam Stearat (C18:0) 3,2619 Lampiran A.1 dan A.2, didapat bahwa berat molekul asam lemak bebas minyak sawit adalah 272,10 g/mol dan berat molekul trigliserida minyak sawit adalah 854,37 g/mol. Komponen asam lemak utama penyusun minyak sawit adalah asam oleat pada puncak nomor 6 dengan komposisi 47,0284 %.
Selain mengidentifikasi komposisi asam lemak pada minyak sawit, dilakukan juga analisis kadar Free Fatty Acid (FFA) pada minyak sawit dengan metode analisis AOCS Official Method Ca 5a-40 dan diperoleh kadar FFA minyak sawit adalah 0,57 %. Kadar FFA merupakan salah satu parameter yang penting untuk pemilihan minyak. Kadar FFA yang terlalu tinggi dapat menyebabkan FFA bereaksi dengan basa membentuk sabun, menyebabkan proses pemisahan biodiesel dengan
gliserol lebih sulit sehingga menurunkan yield biodiesel. Minyak untuk produksi biodiesel disarankan untuk memiliki kadar FFA di bawah 1% massa minyak (Gashaw, dkk., 2015).
Hasil analisa Densitas, viskositas kinematik, dan kadar air minyak sawit secara berturut-turut adalah 918 kg/m3; 24,15 cSt, dan 0,2 %. Minyak nabati tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar karena densitas dan viskositas kinematik yang terlalu tinggi. Bahan bakar diesel memiliki densitas 820-860 kg/m3 dan viskositas kinematik 3,5-5 cSt. Reaksi transesterifikasi perlu dilakukan untuk menurunkan viskositas kinematik minyak bahan baku sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar, yaitu biodiesel dengan menggunakan katalis yang sesuai (Verma dan Sharma, 2016).
Kadar air berlebih dalam minyak bahan baku dapat menghidrolisis minyak menjadi FFA selama proses reaksi, menyebabkan penurunan yield biodiesel. Minyak bahan baku pembuatan biodiesel disarankan untuk memiliki kadar air kurang dari 0,5 % (Gashaw dkk., 2015). Dengan demikian minyak kelapa yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
4.1.2 Hasil Analisis dan Karakterisasi SEM-EDX Serbuk dan Katalis Abu Biji Pepaya
Pada penelitian ini serbuk biji pepaya dengan ukuran 100 mesh dikalsinasi pada variasi suhu 500, 600, dan 700 °C selama 3 jam untuk mendapatkan katalis abu biji pepaya. Serbuk dan katalis abu biji pepaya dianalisis dengan EDX. Hasil analisis EDX serbuk dan katalis abu biji pepaya ditunjukkan pada Tabel 4.2. Analisis EDX dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi usur (atau senyawa oksida) serbuk biji pepaya dan katalis abu biji pepaya hasil kalsinasi. Dari Tabel 4.2 dapat dilihat terdapat 10 unsur yang terdapat dalam serbuk biji pepaya yaitu C, O, Mg, P, S, Cl, K, Ca, Cu, dan Zn. Hasil analisa menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Maisarah dan Fauziah (2014), yang melaporkan bahwa biji pepaya mengandung mineral logam. Kandungan logam dalam katalis abu biji pepaya (terutama K2O dan CaO) meningkat setelah proses kalsinasi. Pada variasi suhu 500 °C dengan waktu kalsinasi 3 jam, dihasilkan oksida logam tertinggi adalah K2O sebesar 22,5%. Ketika suhu dinaikkan menjadi 600 °C kandungan logam K2O meningat menjadi 39,76%, juga terdapat logam CaO sebesar 20,92%.
Tabel 4.2 Komposisi Senyawa dalam Serbuk dan Katalis Abu Biji Pepaya
Peningkatan kandungan mineral dapat disebabkan oleh adanya pembentukan ulang kristal dan kisi karna dekomposisi karbon selama proses kalsinasi. Sementara, senyawa oksida berkurang pada abu hasil kalsinasi pada 700 °C. Logam K2O berkurang dari 39,76% menjadi 29,17% dan logam CaO berkurang dari 20,92%
menjadi 10,05%. Hal ini dapat disebabkan suhu kalsinasi yang terlalu tinggi, sehingga komponen dalam jumlah kecil ikut terdekomposisi. Oleh karena kandungan logam yang tinggi dalam katalis abu biji pepaya maka penggunaannya sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel sangat beralasan. Ditinjau dari kandungan logam khususnya K2O dan CaO yang lebih tinggi maka suhu kalsinasi terbaik adalah 600 oC.
Morfologi permukaan serbuk dan katalis abu biji pepaya dianalisis menggunakan SEM. Hasil analisis SEM serbuk dan katalis abu biji pepaya ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dari gambar 4.1 dapat diamati perbedaan yang signifikan pada serbuk biji pepaya dan katalis abu biji pepaya. kalsinasi sampel pada suhu yang tinggi membuat perubahan pada permukaan dan bentuk serta ukuran katalis. Permukaan serbuk biji pepaya terlihat halus, mengkilap, memiliki rongga atau ruang kosong, tidak memiliki pori-pori yang jelas, dan sedikit retakan dan lubang yang tidak beraturan. Namun setelah kalsinasi 3 jam pada suhu 500 oC porositas permukaan katalis abu biji pepaya meningkat yang terbukti dengan adanya perforasi besar, sangat berpori, terdapat partikel kecil dan retakan yang banyak pada permukaannya. Abu hasil kalsinasi juga menunjukan bentuk partikel mengarah ke
semi-spherical dan membentuk seperti spons di permukaan katalis. Peningkatan porositas ini meningkatkan luas permukaan katalis yang selanjutnya meningkatkan aktivitas katalis abu sehingga menyebabkan hasil metil ester yang signifikan (Balajii, dkk., 2020).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.1 Hasil Analisis SEM (a) Serbuk Biji Pepaya, dan Hasil Kalsinasi Katalis Abu Biji Pepaya pada (b) 500 °C, (c) 600 °C, dan (d) 700 °C pada Perbesaran 3000 kali
Pada saat suhu kalsinasi dinaikkan menjadi 600 oC perbedaan utama yang terlihat adalah pori-pori permukaan katalis terlihat lebih besar, sedikit lebih halus dibanding hasil kalsinasi 500 oC namun masih terlihat kasar dan memiliki spons alami pada permukaannya. Kalsinasi dapat mencegah leaching kalium, dan dapat meningkatkan penggunaan kembali katalis. Namun, peningkatan suhu kalsinasi hingga suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penggumpalan dan peleburan partikel (sintering), sehingga pori-pori partikel mengecil (Castro, dkk., 2019).
Terdapat kemungkinan terjadinya transformasi katalis menjadi fase kristal pada 700
10 10 10 10 10 µµµµµmmmmm 10 10 10 10 10 µµµµµmmmmm
10 10 µµmm 10 µm 10 µm
10 µm 10 µm10 µm10 µm10 µm10 µm
°C karena suhu kalsinasi yang terlalu tinggi. Pada kalsinasi 700 oC Partikel terlihat lebih halus dibanding variasi lainnya, abu memadat dan memperkecil pori sehingga partikel abu menjadi lebih besar dan permukaannya terlihat lebih halus.
Untuk proses heterogen, katalis yang sangat berpori mencapai efisiensi konversi yang lebih tinggi, situs katalitik atau luas permukaan yang lebih tinggi juga penting. Katalis dengan luas permukaan yang lebih besar mempermudah interaksi yang lebih baik antara situs aktif katalis dan reaktan (Gohain, 2017). Dapat disimpulkan, suhu optimum untuk membentuk katalis abu biji pepaya adalah katalis pada suhu 600 °C karena dihasilkan abu dengan permukaan kasar dan memiliki banyak pori.
4.1.3 Hasil Analisis FTIR Serbuk dan Katalis Abu Biji Pepaya
Analisis FTIR pada serbuk dan biji pepaya dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi pada kedua bahan tersebut. Katalis abu biji pepaya yang diuji adalah katalis abu yang didapat pada suhu 600 °C karena memiliki kandungan oksida logam tertinggi. Hasil analisis FTIR dari serbuk dan abu biji pepaya ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Hasil Analisis FTIR Serbuk Biji Pepaya dan Katalis Abu Biji Pepaya
Identifikasi setiap absorbsi ikatan dari setiap gugus fungsi merupakan basis dari interpretasi spektrum inframerah. Puncak pada panjang gelombang diantara 3650 dan 3250 cm-1 menunjukkan ikatan hidrogen diantaranya hidrat (H2O), hidroksil (-OH), amonium dan amino. Pada hasil FT-IR serbuk biji pepaya terdapat puncak di panjang gelombang 3286,88 yang menunjukkan adanya molekul air pada biji pepaya sebelum dikalsinasi (Laskar, 2018). Adanya Puncak gelombang di sekitar 1300-1400 adalah karbonat yang dihasilkan karna adanya adsorpsi CO2 ke oksida logam. Pada katalis abu biji pepaya terdapat gelombang 1397,78 cm-1 menujukkan adanya K2CO3. K2O telah dianggap sebagai spesies aktif dalam katalisis karna pembentukan situs setelah kalsinasi (Gohain 2017). Puncak di sekitar 1040, 1123, dan 1198 juga dapat mengindikasikan adanya ikatan K-O (Fan, dkk., 2018).
Puncak diantara panjang gelombang 550-700 cm-1 dan diantara 1000-1107 cm-1 berhubungan dengan adanya Phospat dan Silika, Kalsium yag berikatan dengan oksida (Mendonca, dkk., 2018; Fan, dkk., 2018). Maka pada hasil katalis abu biji pepaya puncak yang terbentuk pada 564,31; 615,53; 1013,53 menunjukkan adanya Phospat dan Kalsium yang menjunjukkan hasil serupa pada uji EDX. Perbedaan utama pada katalis sebelum kalsinasi dan sesudah kalsinasi terlihat dari ikatan hidrogen yang berkurang dan menyisakan gugus oksida logam yang berperan sebagai katalis. Hasil uji FT-IR serbuk dan katalis abu biji pepaya menunjukkan hasil serupa pada hasil uji EDX. Dapat disimpulkan biji pepaya merupakan salah satu katalis heterogen yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biodiesel.
4.2 ANALISIS PROSES TRANSESTERIFIKASI 4.2.1 Pengaruh Suhu Kalsinasi Terhadap Yield Biodiesel
Serbuk biji pepaya yang dikalsinasi pada variasi suhu 500, 600, dan 700 °C digunakan sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel. Pengaruh suhu kalsinasi terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.3.
Aktivitas katalis secara signifikan dipengaruhi oleh suhu kalsinasi. Pengaruh positif dari suhu kalsinasi ditunjukkan dengan peningkatan hasil biodiesel seiring dengan kenaikan suhu. Namun, peningkatan suhu kalsinasi lebih lanjut dapat menyebabkan laju sintering yang tinggi dan keruntuhan struktur yang berlebihan, yang mengakibatkan penurunan aktivitas katalitik (Pandiangan, dkk., 2016).
Gambar 4.3 Pengaruh Suhu Kalsinasi Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Jumlah Katalis 3 %, Suhu Reaksi 60 °C, Rasio Mol Minyak Terhadap Metanol 1:12, dan Waktu Reaksi 120 Menit
Pada reaksi heterogen, adsorpsi reaktan dan desorpsi produk terjadi pada permukaan katalis padat (Marinkovic, dkk., 2016). Banyak oksida logam telah dipelajari untuk proses transesterifikasi minyak, termasuk oksida logam alkali tanah, oksida logam transisi, dan oksida logam campuran. Efisiensi katalis bergantung pada beberapa faktor seperti luas permukaan spesifik, ukuran pori, volume pori dan situs aktif (Refaat, 2010). Dari hasil penelitian, kalsinasi pada suhu 600°C menghasilkan yield lebih tinggi dibanding variasi lainnya. Hal itu disebabkan kandungan oksida logam seperti K2O dan CaO lebih tinggi juga pori-pori yang lebih jelas daripada variasi suhu kasinasi lainnya. Abu hasil kalsinasi pada 700 °C menghasilkan yield biodiesel lebih rendah dibandingkan abu hasil kalsinasi pada 600 °C karena kadar oksida logam yang lebih sedikit.
Katalis abu hasil kalsinasi pada 500 °C menghasilkan yield paling rendah dapat disebabkan karena kandungan oksida logam yang lebih rendah dan permukaan abu hasil kalsinasi pada 500 °C tidak terlalu berpori. Lani dkk (2016) melaporkan bahwa suhu kalsinasi optimum pada pemanfaatan cangkang telur sebagai katalis yaitu 900 °C dengan yield 92,81 %. Sinaga dkk (2018) juga melaporkan pemanfaatan kulit kakao sebagai katalis biodiesel dan dihasilkan kalsinasi optimum yaitu pada suhu 650 oC dengan yield 92,68 %. Pada penelitian ini, suhu kalsinasi yang optimum
80 85 90 95 100
400 500 600 700 800
yield (%)
Suhu Kalsinasi (C)
adalah pada 600 °C dengan yield 95,29 %. Hasil pada penelitian ini lebih masih lebih lebih baik dibandingkan katalis lainnya sehingga cukup optimum untuk dimanfaatkan sebagai katalis heterogen karena yield yang lebih tinggi dan suhu kalsinasi yang lebih rendah sehingga lebih hemat energi.
4.2.2 Pengaruh Jumlah katalis Terhadap Yield Biodiesel
Variasi jumlah katalis dalam penelitian ini adalah 1, 2, 3 dan 4 %. Pengaruh jumlah katalis terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.4. Data pada run 6 (variasi jumlah katalis 3 %) sama dengan data pada run 2 (variasi suhu kalsinasi 600 °C).
Gambar 4.4 Pengaruh Jumlah Katalis Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Suhu Kalsinasi 600 °C, Suhu Reaksi 60 °C, Rasio Mol Minyak Terhadap Metanol 1 : 12, dan Waktu Reaksi 120 Menit
Pada gambar 4.4 terjadi peningkatan yield biodiesel pada jumlah katalis 2%
dan terjadi penurunan yield biodiesel pada jumlah katalis 3% dan 4%. Katalis meningkatkan reaksi transesterifikasi dengan mempercepat laju reaksi untuk menghasilkan biodiesel yang tinggi. Ketika jumlah katalis ditingkatkan, akan terjadi peningkatan hasil biodiesel yang signifikan (Ramirez, dkk., 2021). Betiku, dkk (2016) melaporkan bahwa pada saat jumah katalis ditingkatkan, maka jumlah situs aktif katalis yang berperan semakin banyak sehingga meningkatkan hasil bidiesel.
Namun peningkatan jumlah katalis berlebih dapat mengurangi konversi akibat 85
90 95 100
0% 1% 2% 3% 4% 5%
Yield (%)
Jumlah Katalis (%)
adanya kejenuhan situs aktif dan kemungkinan adanya pembentukan emulsi sehingga memperburuk transfer massa yang bereaksi pada situss aktif katalis (Ramirez, dkk., 2021).
Gohain dkk (2017) juga melaporkan bahwa peningkatan jumlah katalis menyebabkan pengurangan konversi Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Mereka melaporkan bahwa hal tersebut terjadi karna katalis berlebih mengakibatkan penurunan difusi campuran reaksi (minyak, metaol, dan katalis) yang disebabkan larutan yang terlalu kental dan berdampak pada laju perpindahan massa dan pada akhirnya menurunkan konversi FAME.
Penggunaan katalis yang terlalu banyak menyebabkan campuran katalis dan reaktan menjadi kental dan memerlukan energi lebih untuk pencampuran (Taslim, dkk., 2019a). Etim, dkk (2020) yang menggunakan katalis kulit pepaya menghasilkan jumlah katalis optimum adalah sebesar 3,5 % dengan yield biodiesel mencapai 97,5%. Pada penelitian ini jumlah katalis optimum adalah 2% dengan yield 98%.
4.2.3 Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap Yield Biodiesel
Variasi suhu reaksi dalam penelitian ini adalah 55, 60, dan 65 °C. Pengaruh suhu reaksi terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.5. Data pada run 9 (variasi suhu reaksi 60 °C) sama dengan data run 5 (variasi jumlah katalis 2%).
Gambar 4.5 Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Suhu Kalsinasi 600 °C, Jumlah Katalis 2 %, Rasio Mol Minyak Terhadap
Suhu meningkatkan energi molekul yang bereaksi dan juga meningkatkan kemampuan alkohol yang polar memasuki fasa minyak yang nonpolar sehingga menghasilkan reaksi yang jauh lebih cepat. Suhu reaksi yang lebih tinggi meningkatkan laju reaksi dan mempersingkat waktu reaksi karena pengurangan viskositas minyak. Namun, peningkatan suhu reaksi di luar tingkat optimal menyebabkan penurunan hasil biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi menyebabkan metanol menguap sehingga mengakibatkan penurunan hasil (Gashaw, dkk, 2015).
Selain itu, suhu reaksi mengakibatkan tumbukan molekul reaktan untuk meningkatkan pencampuran dan interaksi molekul yang mengakibatkan pemutusan ikatan. Metanol mendidih dan polaritasnya meningkat pada 64 °C. Oleh karena itu, penurunan hasil biodiesel pada suhu 65 °C dapat dikaitkan penguapan yang tidak terkontrol pada methanol (Ramirez, dkk., 2021). Penggunaan suhu optimum penting supaya proses pembuatan biodiesel lebih hemat energi. Pada penelitian ini, suhu reaksi optimum yang didapat adalah 60 °C yang berada di bawah titik didih metanol (64,7 °C) dengan yield biodiesel sebesar 98,06 %.
4.2.4 Pengaruh Rasio Mol Terhadap Yield Biodiesel
Variasi rasio mol minyak terhadap metanol dalam penelitian ini adalah 1:9;
1:12 ; dan 1:15. Pengaruh rasio mol terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.6. Data pada run 12 (variasi rasio mol minyak terhadap metanol 1 : 12) sama dengan data run 5 (variasi jumlah katalis 2 %).
Gambar 4.6 Pengaruh Rasio Mol Minyak dengan Metanol Terhadap Yield Biodiesel pada Suhu Kalsinasi 600 °C, Jumlah Katalis 2 %, Suhu Reaksi 60 °C, dan Waktu Reaksi 120 Menit
Dari grafik terlihat rasio mol minyak terhadap metanol 1:9 menghasilkan yield yang rendah karena jumlah metanol yang tidak cukup untuk reaksi. Jika jumlah alkohol yang digunakan tidak mencukupi, reaksi akan berlangsung lebih lambat dan mengurangi konversi minyak dan yield biodiesel (Musa, 2016). Pada rasio mol minyak terhadap metanol 1:15 terjadi penurunan hasil biodiesel akibat metanol berlebih. Transesterifikasi adalah reaksi kesetimbangan di mana alkohol dalam jumlah besar diperlukan untuk mendorong reaksi ke arah yang lebih maju. Namun, rasio molar tinggi alkohol terhadap minyak nabati mengganggu pemisahan gliserin karena peningkatan kelarutan. Ketika gliserin tetap dalam larutan, ini membantu untuk mendorong keseimbangan kembali ke kiri, menurunkan hasil ester (Jagadale, dkk., 2015).
Farooq, dkk., (2018) melaporkan bahwa ketika rasio metanol terhadap minyak ditingkatkan lebih jauh melampaui jumlah optimal, hasil biodiesel biodiesel sedikit menurun. Gliserol yang dihasilkan sebagai produk sampingan akan cenderung larut dalam metanol, sehingga menghambat reaksi biodiesel pada permukaan katalis dengan menggeser keseimbangan ke arah sebaliknya. Rasio molar minyak terhadap metanol optimum dalam penelitian ini adalah 1 : 12 dengan yield 98, 06 %.
90 92 94 96 98
0 1 2 3 4
Yield (%)
Rasio mol minyak: metanol
1:9 1:12 1:15
4.2.5 Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap Yield Biodiesel
Variasi waktu reaksi terhadap metanol dalam penelitian ini adalah 90, 120, 150, dan 180 menit. Pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.7. Data pada run 15 (variasi waktu reaksi 120 menit) sama dengan data run 5 (variasi jumlah katalis 2 %).
Gambar 4.7 Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Suhu Kalsinasi 600 °C, Jumlah Katalis 2 %, Suhu Reaksi 60 °C, dan Rasio Mol Minyak Terhadap Metanol 1 : 12
Pada transeterifikasi, reaksi awalnya berlangsung agak cepat, kemudian berangsur perlahan dan hampir konstan setelah penambahan waktu lebih lanjut (Jagadale, dkk., 2015). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi reversibel. Waktu berlebih dapat mengakibatkan reaksi balik sehingga terjadi penurunan hasil biodiesel. Penurunan yield juga dapat terjadi karena hidrolisis ester dapat terjadi karna peningkatan lebih lanjut dalam waktu reaksi, yang menghasilkan lebih banyak asam lemak dan membentuk sabun (Laskar, 2018).
Abba E, (2017) melaporkan bahwa lebih lama waktu reaksi dapat menurunkan hasil produksi dan ini disebabkan oleh peningkatan hidrolisis biodiesel di bawah kondisi basa. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera memisahkan biodiesel yang dihasilkan dari campuran reaksi untuk mendapatkan waktu reaksi yang dibutuhkan.
88 90 92 94 96 98 100
60 90 120 150 180 210
Yield (%)
Waktu Reaksi (Menit)
Untuk mendapatkan reaksi optimum transesterifikasi maka dilakukan variasi waktu reaksi. Pada penelitian ini waktu optimum reaksi adalah 120 menit dengan yield 98,06 %.
4.3 ANALISIS SIFAT FISIKA BIODIESEL
Kualitas biodiesel yang diperoleh tidak hanya dilihat dari yield biodiesel namun berkaitan dengan beberapa faktor sifat kimia dan fisikanya. Biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini dilakukan analisis yang meliputi densitas, viskositas kinematik, titik nyala dan kemurniannya. Sifat fisika dari biodiesel yang dihasilkan dibandingkan dengan standar SNI 7182:2015, ASTM D 6751/09, dan EN 14214/09.
Sifat fisika yang dimaksud meliputi densitas (860-900 kg/m3), viskositas kinematik (3,5-5,0 cSt) dan kadar ester (≥ 96,5 % b/b).
Densitas atau massa jenis menunjukkan perbandingan berat persatuan volume. Karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan mesin diesel per satuan volume bahan bakar. Jika biodiesel memiliki massa jenis melebihi ketentuan, akan terjadi reaksi tidak sempurna pada konversi minyak (Santoso, 2012). Viskositas menunjukkan fitur semprotan bahan bakar, pembentukan campuran, dan proses pembakaran. Viskositas tinggi dapat menyebabkan injeksi awal dan meningkatkan suhu ruang pembakaran ((Zhang, dkk., 2019).
Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis sifat fisika dari biodiesel yang dihasilkan.
Kondisi reaksi masing-masing run mengacu pada Tabel 3.1. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa biodiesel telah memenuhi standar SNI. Yield biodiesel tertinggi 98,06%
diperoleh dalam penelitian ini yaitu biodiesel dengan variabel suhu kalsinasi 600 oC, berat katalis 2%, suhu reaksi 60 °C, waktu reaksi 2 jam, rasio mol minyak : methanol 1 : 12. Hasil penelitian yang menghasilkan yield biodiesel terbaik kemudian dibandingkan dengan standar biodiesel di Indonesia (SNI 7182:2015), Amerika Serikat (ASTM D-6751), dan Eropa (EN 14214). Hasil perbandingan sifat fisika biodiesel dengan SNI disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.3 Hasil Analisis Sifat Fisika Biodiesel
Tabel 4.4 menunjukkan perbandingan hasil biodiesel dengan standar yang ada. Dapat dilihat bahwa biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar biodiesel di Indonesia (SNI 7182:2015), Amerika Serikat (ASTM D-6751), dan Eropa (EN 14214). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan katalis heterogen abu biji pepaya dalam proses transesterifikasi dapat menghasilkan karakteristik biodiesel yang memenuhi standar.
Tabel 4.4 Perbandingan Sifat Fisika Biodiesel yang Diperoleh dari Penelitian Ini dengan SNI 7182:2015, ASTM D 6751/09, dan EN 14214/09 Parameter Satuan Biodiesel Hasil
Penelitian
SNI 7182:2015
ASTM D 6751/09
EN 14214/09
Kandungan ester % b/b 98,75 ≥ 96,5 - ≥ 96,5
Densitas kg/m3 876 850-890 - 860-900
Viskositas
kinematik mm2/s 4,378 2,3-6,0 1,9-6,0 3,5-5,0
Titik nyala °C 145 ≥ 100 ≥ 3 ≥
Kadar air mg/kg 0 - - ≤ 5
Kandungan
monogliserida % b/b 0,4086 ≤ ,8 - ≤ ,8
Kandungan
digliserida % b/b - - - ≤ ,2
Kandungan
trigliserida % b/b - - - ≤ ,2
Total gliserol % b/b - ≤ ,24 ≤ ,24 ≤ ,25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil uji EDX katalis abu biji pepaya mengandung oksida logam yang tinggi, terutama K2O dan CaO. Hasil uji FTIR menegaskan bahwa katalis abu biji pepaya mengandung gugus karbonat menunjukkan adanya ikatan logam-oksigen seperti K2O, CaO, MgO, pada bilangan gelombang 1397,78 cm-1; 564,31 cm-1; 615,53 cm-1; 1013,53 cm-1. Keberadaan oksida-oksida logam inilah yang menyebabkan abu biji pepaya dapat bertindak sebagai katalis dalam sinstesis biodiesel.
2. Kondisi reaksi terbaik pada penelitian ini adalah pada suhu kalsinasi 600 °C, jumlah katalis 2 %, suhu reaksi 60 °C, rasio mol minyak : metanol 1 : 12, dan waku reaksi 120 menit dengan yield biodiesel tertinggi mencapai 98,06 %.
3. Hasil karakterisasi sifat fisika pada biodiesel meliputi kadar ester, densitas dan viskositas kinematik telah memenuhi standar SNI 7182:2015, ASTM D-6751, dan EN 14214.
4. Katalis abu biji pepaya menguntungkan karena dapat menghasilkan biodiesel dengan yield dan kemurnian tinggi pada penggunaan katalis yang lebih sedikit, suhu reaksi yang rendah, serta waktu reaksi yang lebih singkat.
5.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah:
1. Disarankan untuk mengkaji penggunaan ulang katalis abu biji pepaya untuk mengetahui kemampuan katalis.
2. Disarankan mengkaji bagaimana viskositas campuran reaksi mempengaruhi konversi metil ester.
3. Disarankan mengkaji lebih lanjut bagaimana penambahan waktu reksi terhadap yield metil ester.
4. Disarankan untuk selalu menyimpan katalis abu biji pepaya dalam wadah kedap udara untuk mencegah terjadinya leaching.
DAFTAR PUSTAKA
Abba E. C., Nwakuba N. R., Obasi S. N., Enem J. I. Effect of Reaction Time on the Yield of Biodiesel from Neem Seed Oil. American Journal of Energy Science 2017; 4(2): 5-9.
Adesuyi, A.O. and Ipinmoroti, K.O. (2011) The nutritional and functional properties of the seed flour of three Varieties of Carica papaya. Curr. Res. Chem., 3(1):
70-75.
Akinnawo, Christianah Aarinola., Ndzondelelo Bingwa., Reinout Meijboom.
Surface Properties vs Activity of Meso-ZrO2 Catalyst in Chemoselective Meerwein-Ponndorf-Verley Reduction of Citral: Effect of Calcination
Surface Properties vs Activity of Meso-ZrO2 Catalyst in Chemoselective Meerwein-Ponndorf-Verley Reduction of Citral: Effect of Calcination