• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standard Mutu Biodiesel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Standard Mutu Biodiesel

Biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

Persyaratan-persyaratan tersebut berupa standard mutu biodiesel telah dirangkum dalam table 2.1.

Tabel 2.1 Standard Mutu Biodiesel (SNI 7182:2015) No Parameter 10 Abu tersulfatkan %-massa,

maks 0,02 ASTM D 874

14 Gliserol bebas %-massa,

maks 0,02 AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584

15 Gliserol total %-massa,

maks 0,24 AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584

16 Kadar ester metil %-massa,

min 96,5

17 Angka iodium

%-massa(g-I2/100g), maks

115 AOCS Cd 1-25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia, Fakultas teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 BAHAN PENELITIAN 1. Minyak kelapa sawit 2. Biji Pepaya

3. Metanol (CH3OH) 4. Etanol (C2H5OH) 5. Aquadest (H2O)

6. Phenolphtalein (C20H14O4) 3.3 PERALATAN PENELITIAN

1. Labu leher tiga 2. Magnetic stirrer 3. Hot plate

4. Refluks kondensor 5. Buret

6. Beaker glass 7. Corong gelas 8. Erlenmeyer 9. Gelas ukur 10. Piknometer 11. Selang

12. Statif dan klem 13. Termometer 14. Water bath

15. Viskosimeter Ostwald

3.4 RANCANGAN PENELITIAN

3.4.1 Tahap Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya

Tahap persiapan abu biji pepaya dilakukan dengan cara pengeringan, penghancuran, pengayakan dengan ukuran 100 mesh, kemudian dilanjutkan dengan proses kalsinasi pada variasi suhu 500, 600, dan 700 °C selama 3 jam.

3.4.2 Pembuatan biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dengan Proses Transesterifikasi

Yang menjadi variabel tetap dalam pembuatan biodiesel menggunakan minyak Sawit dengan proses transesterifikasi adalah jumlah putaran. Sedangkan variabel berubahnya adalah suhu reaksi, jumlah katalis, dan waktu reaksi rasio metanol : minyak kelapa sawit.

Tabel 3.1 Rancangan percobaan tahap Transesterifikasi

Run

3.5 PROSEDUR PENELITIAN

3.5.1 Tahap Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya

Prosedur pembuatan katalis abu biji pepaya dilakukan dengan modifikasi dari Taslim dkk. (2019a) sebagai berikut:

1. Biji pepaya dicuci dengan air untuk menghilangkan impuritis dan dijemur selama 1 hari di bawah matahari.

2. Biji pepaya dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C dan ditimbang dengan interval 1 jam hingga massa biji pepaya konstan.

3. Biji pepaya kering dihancurkan dengan menggunakan ball mill.

4. Serbuk biji pepaya diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh.

5. Serbuk biji pepaya yang lolos ayakan 100 mesh dikalsinasi menggunakan furnace pada suhu 500, 600, 700 °C selama 3 jam.

6. Serbuk biji pepaya dan abu hasil kalsinasi dianalisis kadar unsur dan oksida logamnya.

7. katalis abu biji pepaya disimpan dalam wadah tertutup dan siap digunakan.

3.5.2 Prosedur Transesterifikasi

1. Analisis kadar asam lemak bebas minyak kelapa sawit dilakukan.

2. Minyak kelapa sawit dimasukkan sebanyak 50 gram ke dalam labu leher tiga.

3. Minyak kelapa sawit dipanaskan dengan hot plate hingga mencapai suhu reaksi.

4. Pelarut metanol dengan rasio 9: 1 ; 12:1 ; 15:1 terhadap minyak kelapa sawit dan katalis abu biji papaya dengan variasi massa 1,2,3,4 % selama 30 menit dalam beaker glass kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga.

5. Reaksi dilangsungkan dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer sebesar 300 rpm hingga waktu reaksi 90, 120, 150, 180 menit tercapai.

6. Produk transesterifikasi dipisahkan dari katalis dengan disaring dan menggunakan kertas saring.

7. Produk cairan hasil fitrasi dimasukkan ke dalam corong pisah dan dibiarkan selama 18 jam hingga terbentuk 2 lapis.

9. Lapisan bawah berupa gliserol dikeluarkan dari corong pisah.

Mulai

Biji pepaya dicuci dengan air, lalu dijemur selama 1 hari Biji pepaya dikeringkan dalam oven 105 °C dan ditimbang

dengan interval 1 jam hingga massa konstan Biji pepaya dihancurkan dalam ball mill hingga hancur

Serbuk Biji pepaya diayak dengan ayakan 100 mesh Serbuk yang lolos ayakan 100 mesh dikalsinasi dalam furnace

pada suhu 500, 600, 700 °C selama 3 jam

Analisis kadar oksida logam pada serbuk dan abu Biji pepaya Selesai

10. Lapisan atas (metil ester) yang tertinggal di dalam corong pisah ditambahkan air panas pada suhu 80 °C, dikocok-kocok, kemudian didiamkan hingga 5 menit hingga terbentuk 2 lapisan.

12. Lapisan bawah dikeluarkan dari corong pisah. Lapisan atas dilakukan pencucian ulang hingga air buangan menjadi jernih.

13. Metil ester (biodiesel) yang diperoleh dipanaskan pada suhu 105 °C menggunakan hotplate dan diaduk menggunakan magnetic stirrer untuk menguapkan sisa air di dalam biodiesel.

14. Biodiesel didinginkan hingga mencapai suhu ruangan lalu ditimbang dan dilakukan analisis meliputi: densitas, viskositas, dan kemurnian.

15. Perlakuan dilanjutkan dengan variasi-variasi lainnya.

3.6 FLOWCHART PENELITIAN

3.6.1 Flowchart Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya

Gambar 3.1 Flowchart Tahap Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya

3.6.2 Flowchart Proses Transesterifikasi

Pelarut metanol dengan rasio 9:1, 12:1, 15:1terhadap minyak kelapa sawit dan katalis abu biji pepaya diaduk

selama 30 menit dalam beaker glass kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga.

Cairan hasil penyaringan dimasukkan kedalam corong pisah dan dibiarkan selama 18 jam hingga membentuk 2 lapisan

lapisan bawah dikeluarkan dari corong pisah

Lapisan atas di dalam corong pemisah dicuci dengan air panas 80 oC, dikocok perlahan dan didiamkan hingga membentuk 2 lapisan Dihomogenkan dengan magnetic stirrer 300 rpm hingga 90, 120, 150, 180

menit

lapisan bawah dibuang, lapisan atas dicuci ulang hingga air pencuci jenih Produk transesterifikasi dipisahkan dari katalis dengan kertas saring.

A

Dimasukkan 50 gram minyak sawit ke dalam labu leher tiga Mulai

Analisis kadar asam lemak bebas minyak kelapa sawit dilakukan

Minyak kelapa sawit dipanaskan dengan hot plate hingga mencapai suhu reaksi 55, 60, 65 °C

Gambar 3.2 Flowchart tahap Transesterifikasi Minyak Sawit

3.7 PROSEDUR ANALISIS

3.7. 1 Analisis Kadar Air Bahan Baku Minyak Kelapa Sawit Prosedur untuk analisa kadar air minyak kelapa sawit

1. Minyak kelapa sawit sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam beaker glass dan dihitung bertanya.

2. Minyak kelapa sawit dimasukkan kedalam oven pada suhu 105 oC dan dibiarkan selama 2 jam.

3. Minyak kelapa sawit yang telah dikerkingkan ditimbang dan pengeringan dilanjutkan hingga berat bahan baku konstan

adar air Bera ba an bak ba a bera ba an bak kerin

Bera ba an bak kerin Selesai

Dikeringkan lapisan atas (metil ester) dengan hotplate pada suhu 105 oC

Metil ester (biodiesel) didinginkan lalu ditimbang dan dilakukan analisis dengan instrumen yaitu: densitas, viskositas, dan kemurnian.

A

Apakah masih ada variasi

lain?

Tidak

Ya

3.7.2 Analisis Gugus Fungsi

Analisa gugus fungsi katalis dilakukan dengan menggunakan fourrir transform Infrared Spectroscopy (FTIR).

3.7.3 Analisis Kadar Free Fatty Acid (FFA)

Analisa kadar FFA bahan baku di lakukan dengan menggunakan standar AOCS Ca 5a-40 (2009).

3.7.4 Analisis Morfologi Dan Komposisi Unsur Pada Katalis

Analisis morfologi dan komposisi dari katalis diakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) serta Enery Dispersive X-Ray (EDX).

3.7.5 Analisis Komposisi Minyak Sawit Dan Metil Ester

Analiss komposisi minyak sawit menggunakan instrumen Gas Chromatography (GCdengan AOCS Official Method Cd 11b-91, sedangkan analisis komposisi biodiesel menggunakan AOCS official Method Ce-1b-89.

3.7.6 Analisis Densitas Dan Viskositas Kinematik

Untuk analisis densitas menggunakan metode tes OECD 109 untuk pengukuran densitas ini menggunakan peralatan utama yaitu poknometer. Perbedaan berat kosong dan penuh dihitung pada suhu 40oC. Sedangkan untuk analisis viskositas menggunakan tes ASTM D-445 untuk pengukuran viskositas ini mnggunakan peralatan utama yaitu viskosimeter Ostwald tube tipe kapiler, visosimeter holder dan bath pemanas. Termometer yang digunakan dengan ketelitian hingga 2oC dan menggunakan stopwatch dengan ketelitian 0,2 detik.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 ANALISA DAN KARAKTERISASI BAHAN 4.1.1 Hasil Analisis Minyak Sawit

Pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan adalah minyak sawit yang diperoleh dari metro swalayan, Medan. Komposisi asam lemak minyak sawit dianalisis dengan AOCS Official Method Ce 1b-89. Tabel 4.1 dibawah ini menunjukkan komposisi asam lemak minyak sawit yang digunakan.

Tabel 4.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit No.

4 21,536 Asam Palmitoleat (C16:1) 0,1555

5 21,530 Asam Stearat (C18:0) 3,2619 Lampiran A.1 dan A.2, didapat bahwa berat molekul asam lemak bebas minyak sawit adalah 272,10 g/mol dan berat molekul trigliserida minyak sawit adalah 854,37 g/mol. Komponen asam lemak utama penyusun minyak sawit adalah asam oleat pada puncak nomor 6 dengan komposisi 47,0284 %.

Selain mengidentifikasi komposisi asam lemak pada minyak sawit, dilakukan juga analisis kadar Free Fatty Acid (FFA) pada minyak sawit dengan metode analisis AOCS Official Method Ca 5a-40 dan diperoleh kadar FFA minyak sawit adalah 0,57 %. Kadar FFA merupakan salah satu parameter yang penting untuk pemilihan minyak. Kadar FFA yang terlalu tinggi dapat menyebabkan FFA bereaksi dengan basa membentuk sabun, menyebabkan proses pemisahan biodiesel dengan

gliserol lebih sulit sehingga menurunkan yield biodiesel. Minyak untuk produksi biodiesel disarankan untuk memiliki kadar FFA di bawah 1% massa minyak (Gashaw, dkk., 2015).

Hasil analisa Densitas, viskositas kinematik, dan kadar air minyak sawit secara berturut-turut adalah 918 kg/m3; 24,15 cSt, dan 0,2 %. Minyak nabati tidak dapat digunakan sebagai bahan bakar karena densitas dan viskositas kinematik yang terlalu tinggi. Bahan bakar diesel memiliki densitas 820-860 kg/m3 dan viskositas kinematik 3,5-5 cSt. Reaksi transesterifikasi perlu dilakukan untuk menurunkan viskositas kinematik minyak bahan baku sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar, yaitu biodiesel dengan menggunakan katalis yang sesuai (Verma dan Sharma, 2016).

Kadar air berlebih dalam minyak bahan baku dapat menghidrolisis minyak menjadi FFA selama proses reaksi, menyebabkan penurunan yield biodiesel. Minyak bahan baku pembuatan biodiesel disarankan untuk memiliki kadar air kurang dari 0,5 % (Gashaw dkk., 2015). Dengan demikian minyak kelapa yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.

4.1.2 Hasil Analisis dan Karakterisasi SEM-EDX Serbuk dan Katalis Abu Biji Pepaya

Pada penelitian ini serbuk biji pepaya dengan ukuran 100 mesh dikalsinasi pada variasi suhu 500, 600, dan 700 °C selama 3 jam untuk mendapatkan katalis abu biji pepaya. Serbuk dan katalis abu biji pepaya dianalisis dengan EDX. Hasil analisis EDX serbuk dan katalis abu biji pepaya ditunjukkan pada Tabel 4.2. Analisis EDX dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi usur (atau senyawa oksida) serbuk biji pepaya dan katalis abu biji pepaya hasil kalsinasi. Dari Tabel 4.2 dapat dilihat terdapat 10 unsur yang terdapat dalam serbuk biji pepaya yaitu C, O, Mg, P, S, Cl, K, Ca, Cu, dan Zn. Hasil analisa menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Maisarah dan Fauziah (2014), yang melaporkan bahwa biji pepaya mengandung mineral logam. Kandungan logam dalam katalis abu biji pepaya (terutama K2O dan CaO) meningkat setelah proses kalsinasi. Pada variasi suhu 500 °C dengan waktu kalsinasi 3 jam, dihasilkan oksida logam tertinggi adalah K2O sebesar 22,5%. Ketika suhu dinaikkan menjadi 600 °C kandungan logam K2O meningat menjadi 39,76%, juga terdapat logam CaO sebesar 20,92%.

Tabel 4.2 Komposisi Senyawa dalam Serbuk dan Katalis Abu Biji Pepaya

Peningkatan kandungan mineral dapat disebabkan oleh adanya pembentukan ulang kristal dan kisi karna dekomposisi karbon selama proses kalsinasi. Sementara, senyawa oksida berkurang pada abu hasil kalsinasi pada 700 °C. Logam K2O berkurang dari 39,76% menjadi 29,17% dan logam CaO berkurang dari 20,92%

menjadi 10,05%. Hal ini dapat disebabkan suhu kalsinasi yang terlalu tinggi, sehingga komponen dalam jumlah kecil ikut terdekomposisi. Oleh karena kandungan logam yang tinggi dalam katalis abu biji pepaya maka penggunaannya sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel sangat beralasan. Ditinjau dari kandungan logam khususnya K2O dan CaO yang lebih tinggi maka suhu kalsinasi terbaik adalah 600 oC.

Morfologi permukaan serbuk dan katalis abu biji pepaya dianalisis menggunakan SEM. Hasil analisis SEM serbuk dan katalis abu biji pepaya ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dari gambar 4.1 dapat diamati perbedaan yang signifikan pada serbuk biji pepaya dan katalis abu biji pepaya. kalsinasi sampel pada suhu yang tinggi membuat perubahan pada permukaan dan bentuk serta ukuran katalis. Permukaan serbuk biji pepaya terlihat halus, mengkilap, memiliki rongga atau ruang kosong, tidak memiliki pori-pori yang jelas, dan sedikit retakan dan lubang yang tidak beraturan. Namun setelah kalsinasi 3 jam pada suhu 500 oC porositas permukaan katalis abu biji pepaya meningkat yang terbukti dengan adanya perforasi besar, sangat berpori, terdapat partikel kecil dan retakan yang banyak pada permukaannya. Abu hasil kalsinasi juga menunjukan bentuk partikel mengarah ke

semi-spherical dan membentuk seperti spons di permukaan katalis. Peningkatan porositas ini meningkatkan luas permukaan katalis yang selanjutnya meningkatkan aktivitas katalis abu sehingga menyebabkan hasil metil ester yang signifikan (Balajii, dkk., 2020).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.1 Hasil Analisis SEM (a) Serbuk Biji Pepaya, dan Hasil Kalsinasi Katalis Abu Biji Pepaya pada (b) 500 °C, (c) 600 °C, dan (d) 700 °C pada Perbesaran 3000 kali

Pada saat suhu kalsinasi dinaikkan menjadi 600 oC perbedaan utama yang terlihat adalah pori-pori permukaan katalis terlihat lebih besar, sedikit lebih halus dibanding hasil kalsinasi 500 oC namun masih terlihat kasar dan memiliki spons alami pada permukaannya. Kalsinasi dapat mencegah leaching kalium, dan dapat meningkatkan penggunaan kembali katalis. Namun, peningkatan suhu kalsinasi hingga suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penggumpalan dan peleburan partikel (sintering), sehingga pori-pori partikel mengecil (Castro, dkk., 2019).

Terdapat kemungkinan terjadinya transformasi katalis menjadi fase kristal pada 700

10 10 10 10 10 µµµµµmmmmm 10 10 10 10 10 µµµµµmmmmm

10 10 µµmm 10 µm 10 µm

10 µm 10 µm10 µm10 µm10 µm10 µm

°C karena suhu kalsinasi yang terlalu tinggi. Pada kalsinasi 700 oC Partikel terlihat lebih halus dibanding variasi lainnya, abu memadat dan memperkecil pori sehingga partikel abu menjadi lebih besar dan permukaannya terlihat lebih halus.

Untuk proses heterogen, katalis yang sangat berpori mencapai efisiensi konversi yang lebih tinggi, situs katalitik atau luas permukaan yang lebih tinggi juga penting. Katalis dengan luas permukaan yang lebih besar mempermudah interaksi yang lebih baik antara situs aktif katalis dan reaktan (Gohain, 2017). Dapat disimpulkan, suhu optimum untuk membentuk katalis abu biji pepaya adalah katalis pada suhu 600 °C karena dihasilkan abu dengan permukaan kasar dan memiliki banyak pori.

4.1.3 Hasil Analisis FTIR Serbuk dan Katalis Abu Biji Pepaya

Analisis FTIR pada serbuk dan biji pepaya dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi pada kedua bahan tersebut. Katalis abu biji pepaya yang diuji adalah katalis abu yang didapat pada suhu 600 °C karena memiliki kandungan oksida logam tertinggi. Hasil analisis FTIR dari serbuk dan abu biji pepaya ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Hasil Analisis FTIR Serbuk Biji Pepaya dan Katalis Abu Biji Pepaya

Identifikasi setiap absorbsi ikatan dari setiap gugus fungsi merupakan basis dari interpretasi spektrum inframerah. Puncak pada panjang gelombang diantara 3650 dan 3250 cm-1 menunjukkan ikatan hidrogen diantaranya hidrat (H2O), hidroksil (-OH), amonium dan amino. Pada hasil FT-IR serbuk biji pepaya terdapat puncak di panjang gelombang 3286,88 yang menunjukkan adanya molekul air pada biji pepaya sebelum dikalsinasi (Laskar, 2018). Adanya Puncak gelombang di sekitar 1300-1400 adalah karbonat yang dihasilkan karna adanya adsorpsi CO2 ke oksida logam. Pada katalis abu biji pepaya terdapat gelombang 1397,78 cm-1 menujukkan adanya K2CO3. K2O telah dianggap sebagai spesies aktif dalam katalisis karna pembentukan situs setelah kalsinasi (Gohain 2017). Puncak di sekitar 1040, 1123, dan 1198 juga dapat mengindikasikan adanya ikatan K-O (Fan, dkk., 2018).

Puncak diantara panjang gelombang 550-700 cm-1 dan diantara 1000-1107 cm-1 berhubungan dengan adanya Phospat dan Silika, Kalsium yag berikatan dengan oksida (Mendonca, dkk., 2018; Fan, dkk., 2018). Maka pada hasil katalis abu biji pepaya puncak yang terbentuk pada 564,31; 615,53; 1013,53 menunjukkan adanya Phospat dan Kalsium yang menjunjukkan hasil serupa pada uji EDX. Perbedaan utama pada katalis sebelum kalsinasi dan sesudah kalsinasi terlihat dari ikatan hidrogen yang berkurang dan menyisakan gugus oksida logam yang berperan sebagai katalis. Hasil uji FT-IR serbuk dan katalis abu biji pepaya menunjukkan hasil serupa pada hasil uji EDX. Dapat disimpulkan biji pepaya merupakan salah satu katalis heterogen yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biodiesel.

4.2 ANALISIS PROSES TRANSESTERIFIKASI 4.2.1 Pengaruh Suhu Kalsinasi Terhadap Yield Biodiesel

Serbuk biji pepaya yang dikalsinasi pada variasi suhu 500, 600, dan 700 °C digunakan sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel. Pengaruh suhu kalsinasi terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Aktivitas katalis secara signifikan dipengaruhi oleh suhu kalsinasi. Pengaruh positif dari suhu kalsinasi ditunjukkan dengan peningkatan hasil biodiesel seiring dengan kenaikan suhu. Namun, peningkatan suhu kalsinasi lebih lanjut dapat menyebabkan laju sintering yang tinggi dan keruntuhan struktur yang berlebihan, yang mengakibatkan penurunan aktivitas katalitik (Pandiangan, dkk., 2016).

Gambar 4.3 Pengaruh Suhu Kalsinasi Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Jumlah Katalis 3 %, Suhu Reaksi 60 °C, Rasio Mol Minyak Terhadap Metanol 1:12, dan Waktu Reaksi 120 Menit

Pada reaksi heterogen, adsorpsi reaktan dan desorpsi produk terjadi pada permukaan katalis padat (Marinkovic, dkk., 2016). Banyak oksida logam telah dipelajari untuk proses transesterifikasi minyak, termasuk oksida logam alkali tanah, oksida logam transisi, dan oksida logam campuran. Efisiensi katalis bergantung pada beberapa faktor seperti luas permukaan spesifik, ukuran pori, volume pori dan situs aktif (Refaat, 2010). Dari hasil penelitian, kalsinasi pada suhu 600°C menghasilkan yield lebih tinggi dibanding variasi lainnya. Hal itu disebabkan kandungan oksida logam seperti K2O dan CaO lebih tinggi juga pori-pori yang lebih jelas daripada variasi suhu kasinasi lainnya. Abu hasil kalsinasi pada 700 °C menghasilkan yield biodiesel lebih rendah dibandingkan abu hasil kalsinasi pada 600 °C karena kadar oksida logam yang lebih sedikit.

Katalis abu hasil kalsinasi pada 500 °C menghasilkan yield paling rendah dapat disebabkan karena kandungan oksida logam yang lebih rendah dan permukaan abu hasil kalsinasi pada 500 °C tidak terlalu berpori. Lani dkk (2016) melaporkan bahwa suhu kalsinasi optimum pada pemanfaatan cangkang telur sebagai katalis yaitu 900 °C dengan yield 92,81 %. Sinaga dkk (2018) juga melaporkan pemanfaatan kulit kakao sebagai katalis biodiesel dan dihasilkan kalsinasi optimum yaitu pada suhu 650 oC dengan yield 92,68 %. Pada penelitian ini, suhu kalsinasi yang optimum

80 85 90 95 100

400 500 600 700 800

yield (%)

Suhu Kalsinasi (C)

adalah pada 600 °C dengan yield 95,29 %. Hasil pada penelitian ini lebih masih lebih lebih baik dibandingkan katalis lainnya sehingga cukup optimum untuk dimanfaatkan sebagai katalis heterogen karena yield yang lebih tinggi dan suhu kalsinasi yang lebih rendah sehingga lebih hemat energi.

4.2.2 Pengaruh Jumlah katalis Terhadap Yield Biodiesel

Variasi jumlah katalis dalam penelitian ini adalah 1, 2, 3 dan 4 %. Pengaruh jumlah katalis terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.4. Data pada run 6 (variasi jumlah katalis 3 %) sama dengan data pada run 2 (variasi suhu kalsinasi 600 °C).

Gambar 4.4 Pengaruh Jumlah Katalis Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Suhu Kalsinasi 600 °C, Suhu Reaksi 60 °C, Rasio Mol Minyak Terhadap Metanol 1 : 12, dan Waktu Reaksi 120 Menit

Pada gambar 4.4 terjadi peningkatan yield biodiesel pada jumlah katalis 2%

dan terjadi penurunan yield biodiesel pada jumlah katalis 3% dan 4%. Katalis meningkatkan reaksi transesterifikasi dengan mempercepat laju reaksi untuk menghasilkan biodiesel yang tinggi. Ketika jumlah katalis ditingkatkan, akan terjadi peningkatan hasil biodiesel yang signifikan (Ramirez, dkk., 2021). Betiku, dkk (2016) melaporkan bahwa pada saat jumah katalis ditingkatkan, maka jumlah situs aktif katalis yang berperan semakin banyak sehingga meningkatkan hasil bidiesel.

Namun peningkatan jumlah katalis berlebih dapat mengurangi konversi akibat 85

90 95 100

0% 1% 2% 3% 4% 5%

Yield (%)

Jumlah Katalis (%)

adanya kejenuhan situs aktif dan kemungkinan adanya pembentukan emulsi sehingga memperburuk transfer massa yang bereaksi pada situss aktif katalis (Ramirez, dkk., 2021).

Gohain dkk (2017) juga melaporkan bahwa peningkatan jumlah katalis menyebabkan pengurangan konversi Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Mereka melaporkan bahwa hal tersebut terjadi karna katalis berlebih mengakibatkan penurunan difusi campuran reaksi (minyak, metaol, dan katalis) yang disebabkan larutan yang terlalu kental dan berdampak pada laju perpindahan massa dan pada akhirnya menurunkan konversi FAME.

Penggunaan katalis yang terlalu banyak menyebabkan campuran katalis dan reaktan menjadi kental dan memerlukan energi lebih untuk pencampuran (Taslim, dkk., 2019a). Etim, dkk (2020) yang menggunakan katalis kulit pepaya menghasilkan jumlah katalis optimum adalah sebesar 3,5 % dengan yield biodiesel mencapai 97,5%. Pada penelitian ini jumlah katalis optimum adalah 2% dengan yield 98%.

4.2.3 Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap Yield Biodiesel

Variasi suhu reaksi dalam penelitian ini adalah 55, 60, dan 65 °C. Pengaruh suhu reaksi terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.5. Data pada run 9 (variasi suhu reaksi 60 °C) sama dengan data run 5 (variasi jumlah katalis 2%).

Gambar 4.5 Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap Yield Biodiesel pada Kondisi Suhu Kalsinasi 600 °C, Jumlah Katalis 2 %, Rasio Mol Minyak Terhadap

Suhu meningkatkan energi molekul yang bereaksi dan juga meningkatkan kemampuan alkohol yang polar memasuki fasa minyak yang nonpolar sehingga menghasilkan reaksi yang jauh lebih cepat. Suhu reaksi yang lebih tinggi meningkatkan laju reaksi dan mempersingkat waktu reaksi karena pengurangan viskositas minyak. Namun, peningkatan suhu reaksi di luar tingkat optimal menyebabkan penurunan hasil biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi menyebabkan metanol menguap sehingga mengakibatkan penurunan hasil (Gashaw, dkk, 2015).

Selain itu, suhu reaksi mengakibatkan tumbukan molekul reaktan untuk meningkatkan pencampuran dan interaksi molekul yang mengakibatkan pemutusan ikatan. Metanol mendidih dan polaritasnya meningkat pada 64 °C. Oleh karena itu, penurunan hasil biodiesel pada suhu 65 °C dapat dikaitkan penguapan yang tidak terkontrol pada methanol (Ramirez, dkk., 2021). Penggunaan suhu optimum penting supaya proses pembuatan biodiesel lebih hemat energi. Pada penelitian ini, suhu reaksi optimum yang didapat adalah 60 °C yang berada di bawah titik didih metanol (64,7 °C) dengan yield biodiesel sebesar 98,06 %.

4.2.4 Pengaruh Rasio Mol Terhadap Yield Biodiesel

Variasi rasio mol minyak terhadap metanol dalam penelitian ini adalah 1:9;

1:12 ; dan 1:15. Pengaruh rasio mol terhadap yield biodiesel ditunjukkan pada Gambar 4.6. Data pada run 12 (variasi rasio mol minyak terhadap metanol 1 : 12) sama dengan data run 5 (variasi jumlah katalis 2 %).

Gambar 4.6 Pengaruh Rasio Mol Minyak dengan Metanol Terhadap Yield Biodiesel pada Suhu Kalsinasi 600 °C, Jumlah Katalis 2 %, Suhu Reaksi 60 °C, dan Waktu Reaksi 120 Menit

Dari grafik terlihat rasio mol minyak terhadap metanol 1:9 menghasilkan yield yang rendah karena jumlah metanol yang tidak cukup untuk reaksi. Jika jumlah alkohol yang digunakan tidak mencukupi, reaksi akan berlangsung lebih lambat dan mengurangi konversi minyak dan yield biodiesel (Musa, 2016). Pada rasio mol minyak terhadap metanol 1:15 terjadi penurunan hasil biodiesel akibat metanol berlebih. Transesterifikasi adalah reaksi kesetimbangan di mana alkohol dalam jumlah besar diperlukan untuk mendorong reaksi ke arah yang lebih maju. Namun, rasio molar tinggi alkohol terhadap minyak nabati mengganggu pemisahan gliserin karena peningkatan kelarutan. Ketika gliserin tetap dalam larutan, ini membantu untuk mendorong keseimbangan kembali ke kiri, menurunkan hasil ester (Jagadale,

Dari grafik terlihat rasio mol minyak terhadap metanol 1:9 menghasilkan yield yang rendah karena jumlah metanol yang tidak cukup untuk reaksi. Jika jumlah alkohol yang digunakan tidak mencukupi, reaksi akan berlangsung lebih lambat dan mengurangi konversi minyak dan yield biodiesel (Musa, 2016). Pada rasio mol minyak terhadap metanol 1:15 terjadi penurunan hasil biodiesel akibat metanol berlebih. Transesterifikasi adalah reaksi kesetimbangan di mana alkohol dalam jumlah besar diperlukan untuk mendorong reaksi ke arah yang lebih maju. Namun, rasio molar tinggi alkohol terhadap minyak nabati mengganggu pemisahan gliserin karena peningkatan kelarutan. Ketika gliserin tetap dalam larutan, ini membantu untuk mendorong keseimbangan kembali ke kiri, menurunkan hasil ester (Jagadale,

Dokumen terkait