BAB I PENDAHULUAN
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Adapun bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit, biji pepaya, Metanol dan Aquadest.
Variabel proses pembuatan katalis:
Variabel tetap yaitu waktu kalsinasi = 3 jam (Taslim, 2019b)
Varaibel berubah yaitu suhu kalsinasi = 500, 600, dan 700 oC (Taslim, dkk 2019b)
Variabel Pembuatan biodiesel yaitu:
Variabel tetap: Jumlah putaran = 300 rpm (Taslim, dkk., 2019b) Variabel berubah:
a. Suhu reaksi = 55, 60, dan 65 °C
b. Rasio mol minyak terhadap metanol = 1 : 9; 1 : 12; dan 1: 15
c. Waktu reaksi = 90, 120, dan 150 menit
d. Jumlah katalis = 1, 2, 3, dan 4 %
Analisis yang akan dilakukan pada katalis dan biodiesel yang dihasilkan meliputi:
1. Analisis permukaan abu biji pepaya serta komposisinya menggunakan SEM-EDX (Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray).
2. Analisis gugus fungsi yang terdapat pada katalis dilakukan dengan FT-IR (Fourier Transform Infrared).
3. Analisis FFA (free fatty acid) minyak sawit sebelum di reaksikan.
4. Analisis kompoisi kimia Minyak Sawit menggunakan GC (Gas Chromatography).
5. Analisis Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dari Biodiesel menggunakan Gas Chromatography (GC).
6. Analisa densitas dan viskositas kinematik minyak sawit dan biodiesel.
7. Analisa kadar air minyak sawit dan biodiesel.
8. Analisa titik nyala biodiesel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIODIESEL
Biodiesel adalah salah satu alternatif prospektif untuk sumber daya minyak bumi karena sifatnya yang terbarukan dan ramah lingkungan. Biodiesel diproduksi secara komersial melalui transesterifikasi minyak nabati seperti minyak kelapa sawit dan minyak kedelai (Yodsuwan, dkk., 2017). Biodiesel memiliki titik didih yang relatif tinggi sehinga tidak mudah menguap dan lebih mudah untuk ditangani dibanding bahan bakar solar. Salah satu keuntungan biodiesel adalah sifatnya yang dapat melumasi sehingga mesin dapat bertahan lebih lama. Oleh karena itu, penggunaan biodiesel terus berkembang (Gashaw, dkk, 2015).
Produksi biodiesel diperkirakan akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang; naik dari 29,7 x 106 m3 pada 2014 serta 39 x 106 m3 pada 2024 dengan peningkatan 27%. Ekspansi ini didukung oleh ekspektasi bahwa harga biodiesel akan tetap dan hampir tidak berubah sampai 2024 karena proyeksi penurunan harga minyak nabati (Veljkovic, dkk., 2018). Minyak terbarukan ini dapat dibuat dari beberapa bahan baku yang mengandung asam lemak seperti lemak hewan, minyak jarak, minyak karanji, minyak jojoba, minyak biji karet, minyak biji kapas, minyak jeruk serta minyak jelantah (Gashaw, dkk, 2015).
Sifat bahan bakar biodiesel memainkan peran penting dalam proses pembakaran, komposisi asam lemak dan viskositas memainkan peran penting dalam kualitas biodiesel. Nilai fatty acid dan viskositas yang terlalu tinggi dapat merusak performa mesin (Laila dan Listiani 2017). Viskositas adalah ukuran gesekan atau hambatan fluida internal minyak untuk mengalir, yang cenderung menentang setiap perubahan dinamis dalam gerakan fluida. Ketika suhu minyak meningkat, viskositasnya menurun dan karena itu ia dapat mengalir dengan lebih mudah.
Semakin rendah viskositas minyak, semakin mudah untuk memompa dan menyemprotkan atom dan menghasilkan tetesan yang lebih halus. Cetane number merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas biodiesel, Ini sebanding dengan waktu penyalaan bahan bakar di mesin. Angka CN bahan bakar
dapat diterapkan untuk menentukan karakteristik penyalaan bahan bakar biodiesel.
(Sivaramakrishnan dan Ravikumar 2012).
Biodiesel dapat bercampur dengan petro-diesel, kompatibel dengan infrastruktur mesin pengantar bahan bakar, memiliki titik nyala tinggi, dan dapat digunakan pada mesin diesel standar yang tidak memerlukan modifikasi mesin.
Biodiesel juga menawarkan pelumasan yang lebih baik pada mesin diesel rendah sulfur tertentu dan dengan demikian dapat membantu mengurangi keausan komponen mesin. Menjalankan biodiesel pada peralatan mesin diesel dapat bermanfaat dalam hal ramah lingkungan dan ketahanan energi (Pullen dan Saeed, 2015).
Biodiesel diproduksi terutama dari minyak nabati: lobak di Eropa, kedelai di AS dan juga lebih umum dari minyak goreng bekas (UCO), meskipun dapat berasal dari berbagai macam minyak biji-bijian lain, lemak hewani dan bahkan lipid tertentu.
Komponen molekul utama minyak dan lemak adalah Trigliserida, juga dikenal sebagai Triasilgliserol (TAG). Biodiesel secara konvensional dibuat melalui reaksi kimia katalis basa-basa yang dikenal sebagai transesterifikasi, yang mengubah TAG dan alkohol menjadi asam lemak alkil ester (FAAE), membentuk gliserol sebagai produk sampingan (Pullen dan Saeed, 2015).
2.2 TRANSESTERIFIKASI
Proses transesterifikasi adalah metode yang digunakan untuk mengubah minyak nabati dan lemak hewani menjadi ester yang membentuk bahan bakar biodiesel.
Secara umum, transesterifikasi adalah reaksi antara trigliserida (yang terkandung dalam minyak dan lemak) dengan akseptor-akseptor yang dapat berupa asam karboksilat (asidolisis), alkohol (alkoholisis), atau ester lain (interesterifikasi) (Gonzalez, dkk., 2020). Proses transesterifikasi digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. 1 Struktur Kimia Proses Transesterifikasi (Casas, dkk., 2013)
Gambar 2.2 Reaksi berturut-turut Transesterifikasi trigliserida dan methanol (Casas, dkk., 2013)
Transesterifikasi terdiri dari sejumlah reaksi revesibel berurutan. Trigliserida dikonversi ke digliserida, digliserida ke monogliserida dan gliserol akan membebaskan satu mol ester di setiap tahap. Kesetimbangan terletak pada produksi ester asam lemak dan gliserol (Venkateswarulu, dkk., 2014).
Dalam reaksi transesterifikasi, kandungan Free Fatty Acid (FFA) minyak atau lemak yang digunakan tidak boleh melebihi 1% yang setara dengan 2 mg KOH/g trigliserida. Jika tingkat FFA melebihi ambang batas ini, akan terjadi saponifikasi yang menghalangi pemisahan ester dari gliserin dan mengurangi hasil dan laju pembentukan Fatty Acid Metil Ester (FAME) (Supardan dan Satriani, 2009).
untuk produksi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi, metanol dan etanol adalah alkohol yang paling sering digunakan dalam produksi biodiesel. Metanol lebih disukai karena kelebihan fisik dan kimianya. Disamping reaksinya dengan trigliserida cepat dan mudah larut dalam. metanol, juga dikenal sebagai 'alkohol kayu', biasanya lebih mudah ditemukan dibandingkan dengan etanol. Selain itu trigliserida dapat bereaksi dengan berbagai jenis alkohol. Tetapi alkohol rantai pendek memberikan konversi yang lebih baik di bawah waktu reaksi yang sama.
Namun, kadar air dalam alkohol sangat penting dalam produksi biodiesel. Karena adanya air selama reaksi transesterifikasi menyebabkan hidrolisis trigliserida menjadi
asam lemak bebas yang menyebabkan pembentukan sabun, dan rendemen yang buruk (Musa, 2016).
Secara umum, rasio molar tetap dari 6: 1 metanol: minyak adalah yang paling optimal. Peningkatan suhu mendorong transesterifikasi dengan bantuan katalis basa, suhu yang paling efisien adalah mendekati titik didih alkohol. Suhu yang lebih tinggi (mendekati atau di atas titik didih) akan menghasilkan gelembung atau penguapan alkohol yang merugikan reaksi. Metanolisis pada atau di atas 60°C tetapi lebih rendah dari titik didih alkohol, umumnya menyebabkan penyelesaian reaksi lebih cepat daripada pada suhu yang lebih rendah. Waktu reaksi Lebih dari 60 menit umumnya menghasilkan yield yang lebih besar, dan menguntungkan dan reaksi selesai dalam waktu yang lebih singkat (Pullen dan Saeed, 2015).
Secara teknis, biodiesel digambarkan sebagai monoester asam lemak yang berasal dari sumber rantai panjang terbarukan termasuk minyak nabati dan lemak hewani. Biodiesel terdiri dari campuran ester terutama diproduksi melalui reaksi transesterifikasi trigliserida oleh alkohol rantai pendek seperti metanol dan etanol sedangkan produk sampingan utama adalah gliserol. Minyak nabati tidak digunakan secara langsung sebagai bahan bakar dalam mesin diesel, terutama karena viskositas, komposisi Asam Lemak (AL) dan kandungan asam lemak bebas (ALB) yang tinggi.
Untuk mengatasi masalah ini, konversi AL dan ALB ke Fatty Acid Alkyl Esters (FAAE) diteliti secara luas. Transesterifikasi minyak nabati telah dikenal luas dan diterapkan sejak abad ke-19. Reaksi ini adalah metode sederhana dan menonjol yang berlangsung baik dengan bantuan katalis (Amini, dkk., 2016).
2.3 KATALIS
Biodiesel adalah campuran asam lemak metil ester yang dihasilkan dari reaksi kimia minyak mentah dengan alkohol. Reaksi ini dinamakan transesterifikasi atau alkoholisis biasanya dilakukan dengan adanya sejumlah katalis homogen ataupun heterogen. Katalis yang paling umum digunakan adalah katalis homogen seperti kalium dan natrium hidroksida meskipun memiliki beberapa kekurangan. Misalnya, katalis tidak dapat dipulihkan dan digunakan kembali setelah reaksi, harus dinetralkan pada akhir reaksi dengan pencucian air, yang menghasilkan sejumlah
besar air limbah, dan menuntut tindakan pencegahan untuk penanganan yang aman selama reaksi dan penyimpanan (Miladinovic, dkk., 2020).
Sementara itu, penerapan katalisis asam homogen dalam langkah transesterifikasi menyebabkan korosi peralatan dan menghasilkan volume besar air limbah asam (Panchal, dkk., 2019). Selain itu, untuk bahan baku yang memiliki kelembaban dan asam lemak bebas tinggi, proses transesterifikasi dengan katalis homogen tidak cocok karena kemungkinan akan mengakibatkan reaksi penyabunan (Gashaw, dkk., 2015). Katalisis bahan baku dengan FFA tinggi oleh asam adalah sebuah alternatif, tetapi jauh lebih lambat dari transesterifikasi yang di katalisis oleh basa (Supardan dan Satriani, 2009).
Untuk mengatasi masalah yang demikian, katalis heterogen telah mendapat perhatian luas. Keuntungan katalis heterogen dibandingkan katalis homogen dapat diklasifikasikan sebagai: (a) ekologis - penghapusan bagian pencucian dan sejumlah besar air limbah; pembuangan katalis padat bekas yang lebih mudah; (b) ekonomis - katalis dapat digunakan kembali lebih murah, produksi gliserol dan produk akhir dengan kemurnian tinggi; dan (c) proses lebih sederhana (Vujicic, dkk., 2010).
Katalis heterogen juga memiliki beberapa kekurangan seperti keterbatasan dalam transfer massa. Katalis heterogen seperti KOH/Al2O3 dan alumina/silika memiliki tingkat alkalinitas yang tinggi dan kinerja yang dapat diandalkan untuk produksi biodiesel. Namun demikian, katalis ini memiliki beberapa kelemahan karena mudah larut dalam metanol, relatif sulit disintesis, dan rentan terhadap kelembaban. Untuk katalis asam, rasio molar dari metanol harus lebih besar dari minyak, dan membutuhkan waktu reaksi yang lebih lama (Margaretha, dkk., 2012).
Aplikasi yang paling penting dalam katalis heterogen adalah kemudahan dalam penggunaanya, juga dikenal sebagai katalis yang stabil dan menguntungan secara ekonomi, kemudahan daur ulang dimana dapat dipisahkan hanya dengan teknik penyarigan (Venkateswarulu, 2014). Beberapa katalis heterogen yang tersedia di alam adalah biji pepaya yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini.
2.3.1 Biji Pepaya
Katalis heterogen telah muncul sebagai konstituen utama upaya penghijauan.
Dalam konteks keberlanjutan, ekonomis dan ramah lingkungan, penggunaan katalis terbarukan yang dibuat dari biomassa semakin menjadi sasaran. Beberapa limbah biomassa telah diproses untuk membuat katalis asam dan alkali menggunakan karbon aktif sebagai pendukung katalis. Namun, biaya produksi katalis tersebut harus diperhitungkan dalam pembuatan katalis seperti suhu karbonisasi tinggi dan reaksi kimia yang boros selama penggunaan karbon aktif. oleh karena itu, biomassa yang mengandung logam dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk menyiapkan katalis tanpa proses kimiawi. Salah satu biomassa yang dapat dimanfaatkan adalah biji pepaya. Tanaman pepaya telah berkembang secar luas di negara tropis dan subtropis.
Buah pepaya memilki nilai energi yang baik karena mengandung vitamin dan mineral. tamanam pepaya telah lus digunakan untuk sintesis biokimia Pada 2017, total produksi pepaya dunia yaitu 13.016.281 ton. Dengan jumlah pepaya yang begitu banyak diproduksi, jumlah limbah pertanian yang dihasilkan diperkirakan 30-50% (Gohain, dkk., 2020).
Berat buah pepaya bisa bervariasi dari 200 g sampai 3000 g, dengan kira-kira 15% sampai 20% merupakan biji (berat basah). Biji pepaya tidak dikonsumsi dan akan dibuang menghasilkan limbah dan produk sampingan dalam jumlah besar yang menyebabkan pencemaran organik lingkungan. Dilaporkan bahwa biji pepaya mengandung mineral seperti Ca, K, Fe, Zn, Cu, Mg, Fe, P, dan Pb. Biji pepaya mengandung Ca 681, Mg 424, P 2,116, Fe 5.80, and Na 23.4 mg/100 g (Maisarah, 2014). Adesuyi and Ipinmoroti juga melaporkan bahwa biji pepaya mengandung Na, K, and Ca sekitar 33.6-16.2, 47.7- 17.0, and 2.52-4.14 mg/100 g, berturut-turut. . Biji pepaya juga mengandung Mg, Zn, and Fe berkisar 0.53- 2.81, 1.26-2.88, and 0.39-1.47 mg/100 g, berturut-turut. Mineral Mn, Cu, Pb, and P juga ditemukan dalam biji pepaya mulai dari 1.11-1.27, 0.05-0.19, 0.00010-0.00013, and 28.5-58.6 mg/100 g, berturut-turut (Adesuyi dan Ipinmoroti, 2011). Biji pepaya ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.3 Biji Pepaya
Logam yang terkandung dalam biji pepaya tersebut dapat di manfaatkan sebagai sumber katalis dalam pembuatan biodiesel dengan memberi perlakuan kalsinasi terhadapa biji pepaya. Kalsinasi telah banyak digunakan untuk meningkatkan kristalisasi dan aktivitas dari katalis oksida logam (Akinnawo, 2021).
Kalsinasi dengan suhu yang lebih tinggi akan meningkatkan pori-pori katalis (Hakim, dkk., 2016). Suhu kalsinasi merupakan faktor yang sangat penting untuk katalis. suhu kalsinasi memberikan pengaruh yang berbeda pada keadaan dispersi dan struktur komponen aktif, struktur pori, serta sifat asam dan sifat lainnya untuk setiap jenis katalis yang berbeda. Sementara itu, perubahan struktur dan sifat katalis lainnya akan menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas katalitik sehingga penting untuk mempelajari hubungan antara suhu kalsinasi dan aktivitas katalitik (Chen, dkk., 2020). Perlakuan kalsinasi merupakan bagian integral selama pembuatan dan aktivasi katalis heterogen. Kalsinasi mempengaruhi karakteristik tekstur dan struktural dari katalis awal. Telah diamati bahwa peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan peningkatan sifat tekstur. Di sisi lain, dengan meningkatkan suhu kalsinasi dapat menutup permukaan katalis serta mengurangi luas permukaan (Rashid, dkk., 2018). Suhu kalsinasi dapat berkisar antara 400 hingga 1000 °C tergantung pada jenis biomassa yang digunakan untuk pembuatan katalis (Gohain dkk., 2020; Wendi dkk., 2014).
2.4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TRANSESTERIFIKASI Faktor terpenting yang mempengaruhi transesterifikasi dan menentukan keberhasilan konversi TAG ke FAME adalah jenis dan konsentrasi katalis, rasio molar alkohol terhadap minyak, suhu reaksi, waktu reaksi, intensitas pencampuran,
dan kemurnian reaktan, terutama kadar air dan kadar asam lemak bebas yang ada dalam minyak (Pullen dan Saeed, 2015).
a. Suhu Reaksi
Pada suhu reaksi yang lebih tinggi, diharapkan energi kinetik reaktan cukup untuk mempercepat laju perpindahan massa dan mengatasi resistensi difusi di antara tiga fase katalis, metanol, minyak, yang menyebabkan peningkatan hasil metil ester (Lani, dkk, 2017).
Suhu reaksi adalah faktor penting yang akan mempengaruhi hasil biodiesel. Misalnya, suhu reaksi yang lebih tinggi meningkatkan laju reaksi dan mempersingkat waktu reaksi karena pengurangan viskositas minyak. Namun, peningkatan suhu reaksi di luar tingkat optimal menyebabkan penurunan hasil biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi menyebabkan metanol menguap sehingga mengakibatkan penurunan hasil. Temperatur meningkatkan energi molekul yang bereaksi dan juga meningkatkan kemampuan alkohol yang polar memasuki fasa minyak yang nonpolar sehingga menghasilkan reaksi yang jauh lebih cepat (Gashaw, dkk, 2015). Dalam penelitan Etim, dkk (2020) yaitu pembuatan biodiesel dengan katalis heterogen dari kulit pepaya mendapatkan suhu optimum sebesar 60 oC.
b. Rasio Metanol dengan Minyak
Rasio molar alkohol terhadap trigliserida adalah variabel paling penting yang mempengaruhi hasil biodiesel. Rasio stoikiometri untuk transesterifikasi membutuhkan tiga mol alkohol dan satu mol trigliserida untuk menghasilkan tiga mol biodiesel dan satu mol gliserol. Namun, transesterifikasi adalah reaksi kesetimbangan di mana alkohol dalam jumlah besar diperlukan untuk mendorong reaksi ke arah yang lebih maju. Namun, rasio molar tinggi alkohol terhadap minyak nabati mengganggu pemisahan gliserin karena peningkatan kelarutan. Ketika gliserin tetap dalam larutan, ini membantu untuk mendorong keseimbangan kembali ke kiri, menurunkan hasil ester (Jagadale, dkk., 2015).
Metanol, etanol, propanol, butanol, dan amil alkohol dapat digunakan dalam reaksi transesterifikasi, di antara alkohol-alkohol ini metanol diterapkan lebih sering karena biayanya rendah dan menguntungkan secara fisika dan kimiawi (alkohol rantai pendek dan polar) dibandingkan alkohol lainnya (Gashaw, dkk., 2015). Transesterifikasi biodiesel dengan pemanfaatan katalis heterogen abu
kulit pepaya mengasilkan rasio molar metanol dengan minyak terbaik 12: 1 (Etim, dkk, 2020).
c. Waktu Reaksi
Tingkat konversi FAME secara signifikan tergantung pada waktu reaksi. FAME tertinggi dihasilkan pada waktu reaksi kurang dari 90 menit, dan kemudian tetap relatif konstan seiring dengan peningkatan waktu reaksi. Waktu reaksi berlebih menyebabkan berkurangnya hasil FAME karena terjadi reaksi balik yang mengakibatkan hilangnya ester serta menyebabkan lebih banyak asam lemak terbentuk (Li, dkk., 2014). Pada transeterifikasi, reaksi awalnya berlangsung agak cepat, kemudian berangsur perlahan dan hampir konstan setelah penambahan waktu lebih lanjut (Jagadale, dkk., 2015). Pada pembuatan biodiesel dengan katalis heterogen abu kulit pepaya dihasilkan waku terbaik adalah 2 jam (Etim, dkk, 2020).
d. Jumlah katalis
Keberadaan katalis meningkatkan konversi trigliserida dan meningkatkan hasil FAME. Katalis berfungsi untuk mempercepat laju reaksi. Untuk reaksi transesterifikasi, peningkatan jumlah katalis heterogen menyebabkan slurry (campuran katalis dan reaktan) terlalu kental sehingga menimbulkan masalah pencampuran dan konsumsi daya yang lebih tinggi untuk hasil pengadukan yang memadai. Di sisi lain, ketika jumlah katalis tidak cukup, hasil produksi maksimum tidak dapat dicapai. Selain itu, pada pemakaian katalis yang berlebihan, produk biodiesel dapat diserap pada permukaan katalis yang tidak digunakan, sehingga mengurangi hasil metil ester (Lani, dkk., 2017).
Berdasarkan penelitian Etim, dkk, (2020) yang menggunakan katalis kulit pepaya menghasilkan jumlah katalis optimum adalah sebesar 3,5 % dengan yield biodiesel mencapai 97,5%.
d. Intensitas Pencampuran
Minyak dan alkohol tidak sepenuhnya larut, sehingga reaksi hanya dapat terjadi di daerah antarmuka antara cairan serta reaksi transesterifikasi adalah proses yang cukup lambat. Jadi, pencampuran sangat penting dalam proses transesterifikasi. Pencampuran yang memadai antara kedua reaktan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kontak antara keduanya, sehingga reaksi
transesterifikasi dapat berlangsung dengan baik (Gashaw, dkk,. 2015).
Kecepatan pengadukan sebesar 300 rpm sudah cukup untuk pembuatan biodiesel dengan katalis heterogen (Taslim dkk., 2019b).
2.5 STANDARD MUTU BIODIESEL
Biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Persyaratan-persyaratan tersebut berupa standard mutu biodiesel telah dirangkum dalam table 2.1.
Tabel 2.1 Standard Mutu Biodiesel (SNI 7182:2015) No Parameter 10 Abu tersulfatkan %-massa,
maks 0,02 ASTM D 874
14 Gliserol bebas %-massa,
maks 0,02 AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584
15 Gliserol total %-massa,
maks 0,24 AOCS Ca 14-56 atau ASTM D 6584
16 Kadar ester metil %-massa,
min 96,5
17 Angka iodium
%-massa(g-I2/100g), maks
115 AOCS Cd 1-25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia, Fakultas teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2 BAHAN PENELITIAN 1. Minyak kelapa sawit 2. Biji Pepaya
3. Metanol (CH3OH) 4. Etanol (C2H5OH) 5. Aquadest (H2O)
6. Phenolphtalein (C20H14O4) 3.3 PERALATAN PENELITIAN
1. Labu leher tiga 2. Magnetic stirrer 3. Hot plate
4. Refluks kondensor 5. Buret
6. Beaker glass 7. Corong gelas 8. Erlenmeyer 9. Gelas ukur 10. Piknometer 11. Selang
12. Statif dan klem 13. Termometer 14. Water bath
15. Viskosimeter Ostwald
3.4 RANCANGAN PENELITIAN
3.4.1 Tahap Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya
Tahap persiapan abu biji pepaya dilakukan dengan cara pengeringan, penghancuran, pengayakan dengan ukuran 100 mesh, kemudian dilanjutkan dengan proses kalsinasi pada variasi suhu 500, 600, dan 700 °C selama 3 jam.
3.4.2 Pembuatan biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dengan Proses Transesterifikasi
Yang menjadi variabel tetap dalam pembuatan biodiesel menggunakan minyak Sawit dengan proses transesterifikasi adalah jumlah putaran. Sedangkan variabel berubahnya adalah suhu reaksi, jumlah katalis, dan waktu reaksi rasio metanol : minyak kelapa sawit.
Tabel 3.1 Rancangan percobaan tahap Transesterifikasi
Run
3.5 PROSEDUR PENELITIAN
3.5.1 Tahap Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya
Prosedur pembuatan katalis abu biji pepaya dilakukan dengan modifikasi dari Taslim dkk. (2019a) sebagai berikut:
1. Biji pepaya dicuci dengan air untuk menghilangkan impuritis dan dijemur selama 1 hari di bawah matahari.
2. Biji pepaya dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C dan ditimbang dengan interval 1 jam hingga massa biji pepaya konstan.
3. Biji pepaya kering dihancurkan dengan menggunakan ball mill.
4. Serbuk biji pepaya diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh.
5. Serbuk biji pepaya yang lolos ayakan 100 mesh dikalsinasi menggunakan furnace pada suhu 500, 600, 700 °C selama 3 jam.
6. Serbuk biji pepaya dan abu hasil kalsinasi dianalisis kadar unsur dan oksida logamnya.
7. katalis abu biji pepaya disimpan dalam wadah tertutup dan siap digunakan.
3.5.2 Prosedur Transesterifikasi
1. Analisis kadar asam lemak bebas minyak kelapa sawit dilakukan.
2. Minyak kelapa sawit dimasukkan sebanyak 50 gram ke dalam labu leher tiga.
3. Minyak kelapa sawit dipanaskan dengan hot plate hingga mencapai suhu reaksi.
4. Pelarut metanol dengan rasio 9: 1 ; 12:1 ; 15:1 terhadap minyak kelapa sawit dan katalis abu biji papaya dengan variasi massa 1,2,3,4 % selama 30 menit dalam beaker glass kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga.
5. Reaksi dilangsungkan dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer sebesar 300 rpm hingga waktu reaksi 90, 120, 150, 180 menit tercapai.
6. Produk transesterifikasi dipisahkan dari katalis dengan disaring dan menggunakan kertas saring.
7. Produk cairan hasil fitrasi dimasukkan ke dalam corong pisah dan dibiarkan selama 18 jam hingga terbentuk 2 lapis.
9. Lapisan bawah berupa gliserol dikeluarkan dari corong pisah.
Mulai
Biji pepaya dicuci dengan air, lalu dijemur selama 1 hari Biji pepaya dikeringkan dalam oven 105 °C dan ditimbang
dengan interval 1 jam hingga massa konstan Biji pepaya dihancurkan dalam ball mill hingga hancur
Serbuk Biji pepaya diayak dengan ayakan 100 mesh Serbuk yang lolos ayakan 100 mesh dikalsinasi dalam furnace
pada suhu 500, 600, 700 °C selama 3 jam
Analisis kadar oksida logam pada serbuk dan abu Biji pepaya Selesai
10. Lapisan atas (metil ester) yang tertinggal di dalam corong pisah ditambahkan air panas pada suhu 80 °C, dikocok-kocok, kemudian didiamkan hingga 5 menit hingga terbentuk 2 lapisan.
12. Lapisan bawah dikeluarkan dari corong pisah. Lapisan atas dilakukan pencucian ulang hingga air buangan menjadi jernih.
13. Metil ester (biodiesel) yang diperoleh dipanaskan pada suhu 105 °C menggunakan hotplate dan diaduk menggunakan magnetic stirrer untuk menguapkan sisa air di dalam biodiesel.
14. Biodiesel didinginkan hingga mencapai suhu ruangan lalu ditimbang dan dilakukan analisis meliputi: densitas, viskositas, dan kemurnian.
15. Perlakuan dilanjutkan dengan variasi-variasi lainnya.
3.6 FLOWCHART PENELITIAN
3.6.1 Flowchart Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya
Gambar 3.1 Flowchart Tahap Pembuatan Katalis Abu Biji Pepaya
3.6.2 Flowchart Proses Transesterifikasi
Pelarut metanol dengan rasio 9:1, 12:1, 15:1terhadap minyak kelapa sawit dan katalis abu biji pepaya diaduk
selama 30 menit dalam beaker glass kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga.
Cairan hasil penyaringan dimasukkan kedalam corong pisah dan dibiarkan selama 18 jam hingga membentuk 2 lapisan
lapisan bawah dikeluarkan dari corong pisah
Lapisan atas di dalam corong pemisah dicuci dengan air panas 80 oC, dikocok perlahan dan didiamkan hingga membentuk 2 lapisan Dihomogenkan dengan magnetic stirrer 300 rpm hingga 90, 120, 150, 180
menit
lapisan bawah dibuang, lapisan atas dicuci ulang hingga air pencuci jenih Produk transesterifikasi dipisahkan dari katalis dengan kertas saring.
A
Dimasukkan 50 gram minyak sawit ke dalam labu leher tiga
Dimasukkan 50 gram minyak sawit ke dalam labu leher tiga