• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Rahn di PERUM Pegadaian Syariah kudus

2. Analisis Yuridis Dan Normatif Praktik Rahn di PERUM Pegadaian Syariah Kudus

2.2. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Rahn di PERUM Pegadaian Syariah kudus

PERUM Pegadaian Syariah telah mengeluarkan beberapa produk jasa antara lain : gadai syariah, jual beli emas logam mulia

(produk mulia) dan arrum. Dari tiga produk tersebut ada praktik produk pegadaian syariah yang hampir sama yaitu arrum dengan gadai syariah. Jasa-jasa tersebut telah didipraktikkan sebagaimana perjanjian yang didiskripsikan di atas yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Secara umum perjanjian yang di gunakan dalam operasional jasa-jasa tersebut adalah akad rahn, akad ijarah dan akad jual beli murabahah.

a. Gadai Syariah

Gadai syariah atau rahn telah di perbolehkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah untuk bermuamalah berdasarkan gadai. Dasarnya adalah :

ﭝ ﭜ ﭛﭚ ﭙ ﭘ ﭗ ﭖ ﭕ ﭔ ﭓ ﭒ

ﭨ ﭧﭦ ﭥ ﭤ ﭣ ﭢ ﭡ ﭠ ﭟ ﭞ

ﭲ ﭱﭰ ﭯ ﭮ ﭭ ﭬ ﭫﭪ ﭩ

ﭵ ﭴ ﭳ

Dan jika kamu dalam perjalanan (safar) dan kamu tidak dapati penulis, maka hendaklah ada jaminan (borg sebagai barang gadaian) yang kamu pegangi. Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia takut kepada allah Tuhannya (Qs. Al-Baqarah, 283)

Sedangkan akad yang telah terjadi di Pegadaian Syariah telah di atur mulai dari nama akad, subyek dan obyek akad, para pihak dalam akad bahkan sampai pada penyelesaian akad. Hal ini bila merujuk pada norma-norma yang ada dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi, bahwa akad rahn harus mempunyai empat rukun antara lain (internet september 11,2007) :

(a) Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan) (b) Al Marhun bih (hutang)

(c) Shighat

(d) Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang).

Sedangkan dalam referensi lain menyebutkan bahwa rukun rahn itu terdiri dari (Mahsin Hj. Mansor,1992:68):

(a) Al-rahin adalah orang yang menggadaikan barang untuk mendapatkan pinjaman uang;

(b) Al-murtahin adalah orang penerima gadai karena ia memberikan pinjaman uang;

(c) Al-marhun adalah barang yang dijadikan jaminan hutang; (d) Sighat adalah ijab dan qabul.

Para pihak yang bertransaksi bisa juga tidak hanya dua pihak tetapi bisa tiga pihak yaitu : pihak raahin, pihak murtahin dan pihak ketiga yang menjamin atas hutang-hutang raahin. Hal ini bisa terjadi pada saat barang yang di gadaikan itu milik orang lain, atau barang itu telah di jual kepada pihak ke-tiga.

Pihak ke-tiga tersebut di sebut juga pemberi gadai atau raahin hanya saja tanggung jawabnya hanya terbatas sebesar benda gadai yang ia berikan, sedangkan lebih dari itu tetap menjadi tanggungan debitur raahin sendiri. Pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai hutang tetapi secara yuridis ia mempunyai tanggungjawab dengan benda gadaiannya.

Bila menganalisis perjanjian yang di buat oleh para pihak, keempat rukun yang di butuhkan oleh perjanjian rahn telah terpenuhi. Bahkan yang di perjanjikan tidak hanya itu saja, ada hal-hal lain yang di perjanjikan berkaitan dengan al-rahin antara lain :

a. Harus membayar uang pemeliharaan dan keamanan; b. Membayar biaya administrasi;

c. Membayar asuransi;

d. Membayar denda bila telat dalam pelunasan hutang;

e. Menjual barang yang di gadaikan bila tidak mampu melunasi hutangnya.

Sedangkan penerima gadai juga ada perjanjian yang kedua belah sepakati antara lain:

(a) Wajib memelihara barang dan mengamankan dari segala kerusakan;

(b) Akan mengganti barang apabila karena kelalaian petugas gadai untuk mengamankan dan memelihara barang gadai; (c) Menyerahkan barang gadai bila rahin telah melunasi

Berdasarkan penjelasan dalam fiqih muamalah, akad yang dibuat oleh para pihak di Pegadaian Syariah telah memenuhi rukun yang tercantum dalam akad gadai syariah tersebut.

Sedangkan syarat rahn dalam fiqih muamalah menurut Khalid Samhudi adalah sebagai berikut (internet september 11,2007) :

(1) Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).

(2) Syarat yang berhubungan dengan Marhun bih (barang gadai) ada dua:

(a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.

(b) Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

(c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

(3) Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan Umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan marhun

(a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

(b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.

(c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

(d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup

(a) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

(a) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. Perjanjian yang di bahas selain syarat dan rukun ada juga tentang pembiayaan terhadap pemeliharaan dan perawatan barang gadai. Menurut Khalid Samhudi Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:

(a) Pemegang barang gadai

Pemegang barang gadai adalah murtahin selama perjanjian belum berakhir.

ُُة َضوُبْقَّم ُُناَهِرَف اًبِتاَك اوُد ِجَت ْمَلَو ٍرَف َس ىَلَع ْمُتنُك نِإَو

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:

اًنوُهْرَم َناَك اَذِإ ُبَر ْشُي ِّرَّدلا ُنَبَلَو اًنوُهْرَم َناَك اَذِإ ُبَكْرُي ُرْهَّظلا

ُهُتَقَفَن ُبَر ْشَيَو ُبَكْرَي يِذَّلا ىَلَعَو

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

(b) Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :

اًنوُهْرَم َناَك اَذِإ ُبَر ْشُي ِّرَّدلا ُنَبَلَو اًنوُهْرَم َناَك اَذِإ ُبَكْرُي ُرْهَّظلا

ُهُتَقَفَن ُبَر ْشَيَو ُبَكْرَي يِذَّلا ىَلَعَو

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya

dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:

اَذِإ ِهِتَقَفَنِب ُبَر ْشُي ِّرَّدلا ُنَبَلَو اًنوُهْرَم َناَك اَذِإ ِهِتَقَفَنِب ُبَكْرُي ُنْهَّرلا

ُةَقَفَّنلا ُبَر ْشَيَو ُبَكْرَي يِذَّلا ىَلَعَو اًنوُهْرَم َناَك

Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:

ُهُمَرَغ ِهْيَلَعَو ُهُمْنُغ ُهَل

Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)

Khalid Samhudi menambahkan suatu keterangan yang diambil dari Ibnul Qayyim. Beliau memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini menunjukkan kaedah dan ushul syari’at yang menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya

dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.

(c). Perpindahan kepemilikan dan Pelunasan hutang dengan barang gadai

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya (Kholid Syamhudi). Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.

Demikianlah barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam

pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.

Pendapat yang lebih kuat, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip sosial masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya. Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.

Akad yang telah di lakukan oleh para pihak juga memuat kapan berakhirnya suatu perjanjian. Menurut ketentuan syariat bahwa apabila hal-hal yang diperjanjikan itu telah terpenuhi yaitu hutang telah di bayar oleh rahin, maka perjanjian itu telah berakhir. Namun bia rahin belum mampu membayar hutangnya, ia di perbolehkan membayar

biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang kemudian diadakan pembaharuan dalam perjanjian gadai syariah. Jadi perjanjian yang baru di buat juga teramasuk perjanjian yang benar-benar baru menurut berlakunya perjanjian.

Tentang ketidakmampuan rahin dalam membayar hutang, dalam syariat Islam di perbolehkan untuk menjual barang gadai yang ada di kekuasaan murtahin. Hal ini Sayyid Sabiq (1987:145) berpendapat bahwa klausula murtahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, itu diperbolehkan. Karena barang yang digadaikan hak penguasa telah berpindah ke murtahin dalam hal menjual.

Atas dasar keterangan tersebut berakhirnya perjanjian rahn karena hal-hal berikut ini (Abdul Ghafur Anshori, 2006:98) :

(a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya; (b) Rahin membayar hutangnya;

(c) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin;

(d) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.

F. SIMPULAN

Berdasarkan deskripsi tentang struktur hukum akad rahn yang telah penulis teliti di Pegadaian Syariah Kudus dapat di simpulkan, bahwa struktur hukum akad rahn yang di buat oleh para pihak yaitu rahin dan marhun meruupakan struktur hukum gadai pada akad rahn. Tapi struktur ini berbeda dengan gadai konvensional yang memberikan pinjaman uang dengan meminta bunga atas sejumlah uang yang dipinjam, sedangkan gadai syariah atau rahn meminta imbalan atas sewa tempat menaruh barang gadai atau marhun bih dan biaya pemeliharaannya. Struktur hukum gadai yang di lakukan di Pegadaian Syariah Kudus memuat: suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak. Perjanjian ini dalam struktur hukum perdata termasuk perjanjian bernama yang mempunyai sifat timbal balik, di satu sisi punya hak dan di sisi lain punya kewajiban secara timbal balik. Perjanjian demikian itu termasuk perjanjian konsensuil obligatoir,

karena terbentuknya perjanjian itu berdasarkan konsensus dan yang di perjanjikan mengandung unsur ekonomi. Struktur hukum tersebut telah diatur dalam KUH perdata dan telah diatur dalam hukum perdata yang berasal dari hukum Islam. Struktur hukum ini mempunyai kekhususan dimana ia berasal dari struktur hukum Islam yang di adopsi dari budaya Islam di zaman Arab. Karena itu rahn yang diimplementasikan oleh gadai syariah mempunyai landasan hukum Islam yang kuat dan landasan hukum perdata Indonesia yang kuat, dengan tidak mempraktikkan bunga dalam praktik gadai.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan kepada publik bahwa :

1. Keberadaan Pegadaian Syariah Kudus merupakan lembaga yang baru dan membutuhkan kreatifitas umat Islam dalam mengembangkan produk-produk tentang kegiatan syariah yang dilakukan, karena itu hendaklah semua komponen umat Islam mendukung dengan bertransaksi di Pegadaian Syariah Kudus. 2. Hendaknya Pegadaian Syariah mempunyai payung hukum

yang lebih jelas dan spesifik dari undang-undang karena gadai syariah mempunyai spesifik perilaku, sehingga mempunyai kepastian hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan syariah yang berkaitan dengan gadai syariah.