• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori 1. Pengertian Masjid

SEBAGAI SENTRA PERADABAN UMAT MANUSIA

D. Kerangka Teori 1. Pengertian Masjid

Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam al-Quran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim (Quraish Shihab, 1996). Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya “tempat bersujud.” Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Dimana saja engk.au berada, jika waktu shalat tiba, dirikanlah shalat, karena di situ pun masjid” (HR. Muslim).

Selanjutnya, Quraish Shihab (1996) mengemukakan bahwa dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu QS. al-Jin (72): 18, menegaskan bahwa “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun”. Rasul Saw. bersabda, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri” (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).

Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT. Dengan demikian,

masjid menjadi pangkal tempat umat muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.

Selain makna sematik di atas, masjid juga memiliki makna syara’, yaitu sebuah bangunan sebagai tempat ibadah umat Islam. Tetapi karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah SWT semata. Atas dasar ini, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya QS. al-Jin [72] : 18, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Makajanganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. al-Jin [72] : 18)

Sementara itu, kita mengenal kata jami’ dan masjid. Muhammad as-Sarwati menegaskan bahwa istilah jami` dalam bahasa Arab berarti masjid besar yang dipakai untuk shalat jumat. Istilah ini tidak terdapat dalam al-Qur`an. Tetapi al-Quran memakai istilah masjid. Tetapi pada dasarnya kata masjid dan jami` mengandung satu arti yaitu tempat shalat.

2. Keutamaan Masjid

Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. 72:18) Juga firman Allah SWT, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. 24:36-37)

Dan Rasulullah SWT telah bersabda, “Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid, dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar.” (HR. Muslim). Beliau juga telah bersabda, “Masjid adalah rumah setiap orang yang beriman.” (HR. Abu Nu’aim dan dihasankan oleh al-Albani). Dalam sabda yang lainnya disebutkan, “Tidaklah seseorang berdiam diri di dalam masjid untuk shalat dan dzikir kecuali Allah akan menyambutnya dengan senang, sebagaimana orang- orang yang kehilangan menyambut saudaranya yang hilang apabila dia kembali kepada mereka.” (HR Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani).

Ajaran Islam yang penuh hikmah telah menganjurkan untuk membangun masjid serta menegakkan dzikrullah. Dan hendaklah motivasi untuk pembangunan masjid itu adalah untuk mengharapkan wajah (ridha) Allah SWT dan kampung Akhirat, bukan karena riya’, sum’ah atau untuk mencari popularitas di mata manusia. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan ra dari Nabi SAW beliau bersabda, “Barang siapa yang membangun masjid untuk Allah karena semata-mata mengharap wajah (ridha) Allah maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.” (Muttafaq ‘alaih). Dan di dalam hadits dari Umar ra. dari Nabi SAW secara marfu’, beliau bersabda, “Barang siapa membangun untuk Allah sebuah masjid yang di dalamnya digunakan untuk berdzikir maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.” (HR Ibnu Majah, al-Albani menyatakan shahih lighairihi).

Membangun masjid merupakan salah satu bentuk shadaqah jariyah (shadaqah yang pahalanya terus mengalir) yang kelak akan dijumpai oleh seorang mukmin setelah kematiannya.

Diriwayatklan dari Abu Hurairah ra., ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hal yang akan dijumpai seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah dia mati adalah; Ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan; Anak shalih yang dia tinggalkan; Mushaf yang dia wariskan; Masjid yang dia bangun; Rumah untuk para musafir (Ibnu Sabil); Sungai yang dia alirkan; Shadaqah yang dia keluarkan dari hartanya ketika dia sehat dan masih hidup, maka semua itu akan ditemui setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah dahn dihasankan oleh al-Albani)

Mengenai keutamaan masjid dan keagungan kedudukannya, maka terdapat banyak teks-teks agama (an-nushush) mengenai hal tersebut, diantaranya adalah : Firman Allah Ta’ala : “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS.72:18).

Allah Subhanahu wa Ta’ala –sebagai Pemilik segala sesuatu- menyandingkan masjid-masjid kepada-Nya. Penyandaran masjid kepada-Nya merupakan pemuliaan dan mengagungan terhadapnya. Dan masjid bukanlah kepunyaan siapapun, melainkan Allah semata. Sebagaimana halnya dengan ibadah yang telah dibebankan oleh Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, maka tidaklah diperkenankan untuk dialihkan pelaksanaannya selain kepada-Nya saja.

Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah-rumah Allah (masjid). Mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya (bersama-sama) di antara mereka, melainkan (akan) turun ketenangan atas mereka, mereka akan diliputi rahmat, dan para Malaikat (hadir) mengelilingi mereka, serta Allah menyebutkan (nama-nama) mereka di hadapan (para Malaikat) yang berada di sisi-Nya.”

Diantara dalil lain yang menunjukkan kedudukan masjid di sisi Allah Ta’ala, bahwa yang memakmurkannya baik secara material dan imaterial, hanyalah makhluk Allah Ta’ala pilihan, yaitu dari kalangan para Nabi dan Rasul, serta para pengikut-pengikut mereka dari orang-orang yang beriman, Allah Ta’ala berfirman : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’.” (QS. 2:127-128).

Dan firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid-Nya : “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 9:18).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan kepada siapa saja yang membangun masjid di muka bumi ini yang dilandasi dengan niat karena Allah Ta’ala semata, maka Allah Ta’ala akan membangunkan rumah baginya di surga. Sebagaimana dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, (niscaya) Allah akan membangunkan baginya yang semacamnya di dalam surga’.

3. Fungsi Masjid

Al-Quran menyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman-Nya: “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apa pun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang” (QS An-Nur [24]: 36-37).

4. Memakmurkan Masjid

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan ‘imaratul masjid adalah membangun, memperkokoh, dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Inilah yang disebut dengan ‘imarah hissiyah yaitu memakmurkan secara fisik/inderawi. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi saw. yang berbunyi: “Barangsiapa membangun masjid karena Allah walaupun seperti sangkar burung qathah maka Allah swt. akan membangunkan baginya rumah di surga”. Sementara itu, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan masjid adalah dengan shalat, dzikir, serta ibadah-ibadah yang lain. Sebagaimana firman-Nya: “Di masjid-masjid yang oleh Allah telah diidzinkan untuk didirikan dan disebutnya asma-Nya di dalamnya”. (QS. An Nur : 36). Inilah yang disebut dengan ‘imarah maknawiyah yang merupakan tujuan utama didirikannya masjid. Sudah menjadi suatu keniscayaan jika kita memaknai ‘imaratul masjid dengan makna keduanya.