• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. ANALISIS SOSIOLOGI TERHADAP CERITA NOVEL “SAGA

3.2 Analisis Sosiologis Tokoh Utama Dalam Novel “Saga No

3.2.1 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama Dengan

anggota keluarga. Dalam hal ini melibatkan anak, cucu dan sepupu.

Cuplikan 1 : Nenek Osano dan Akhiro Tokunaga (Cucu) Hal : 59 – 60

Segera saja seusai sekolah aku mencoba ikut latihan. Meski olahraga yang ini tidaklah semenarik kendo bagiku, berbeda dengan kendo, judo hanya membutuhkan pakaian khusus.

Aku pun buru – buru pulang, kemudian masih dengan napas terengah – engah memohon kepada nenek.

“Aku ikutan judo ya, nek? Dibandingkan kendo, judo tidak butuh banyak uang kok.”

“Gratis?”

“Yah, tidak gratis juga sih...”

“Lupakan saja.”

Biasanya bila sudah begini keadaannya, aku tidak akan berkeras memaksakan kehendak. Masalahnya aku sudah benar – benar menetapkan di dalam hati untuk punya kegiatan olahraga.

Saat aku sekuat tenaga menjelaskan soal ini kepada nenek, nenek mendengarkan dengan seksama lalu mengangguk keras.

“Baiklah. Kalau begitu, aku punya ide bagus.”

“Apa?”

“Mulai besok, kau lari saja.”

“Lari?”

“Ya. Tidak perlu peralatan dan tempat berlarinya juga gratis. Lari saja.”

Meski merasa ada sesuatu yang aneh, karena masih kanak – kanak, aku pun setuju dan memutuskan untuk mulai olahraga lari.

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat diketahui interaksi yang terjadi antara nenek Osano dengan Akihiro Tokunaga yang tidak lain adalah cucunya sendiri. Dalam cuplikan di atas, dapat dilihat adanya hubungan saling pengertian antara keduanya. Di mana Akihiro meminta izin dan dukungan dari nenek Osano untuk mengikuti latihan Judo. Namun tentunya hal ini di tolak oleh nenek Osano, dikarenakan olahraga Judo memerlukan biaya untuk latihan.

Sebagai gantinya, nenek Osano menyarankan Akihiro untuk memilih lari sebagai olahraganya. Hal ini dikarenakan lari tidak memerlukan biaya, karena tempat berlarinya gratis, kemudian tidak memerlukan pakaian dan peralatan khusus yang memerlukan uang. nenek Osano berbuat demikian dikarenakan

kondisi keuangan keluarganya yang tidak bisa dikatakan berlebih. Selain itu, dari cuplikan di atas dapat dilihat kecerdikan nenek Osano dalam menyikapi permintaan Akihiro yang mendesak untuk mengikuti latihan Judo.

Cuplikan di atas juga mengandung nilai “ninjou” yang diperlihatkan oleh sikap nenek Osano kepada Akihiro. Karena nenek Osano mau mendengarkan permintaan Akhiro dan penjelasannya tentang olahraga Judo yang ingin dikutinya. Walau permintaan itu di tolak, tetapi nenek Osano mau meluangkan pemikirannya untuk membantu Akihiro mencari olahraga lain sebagai kegiatannya.

Cuplikan 2 : Nenek Osano dan Bibi Kisako (Anak Nenek Osano) Hal : 32 – 33

Rumah itu secara luar biasa tampak menyatu dengan rumpun pampas. Rumah yang paling menyedihkan. Rumah yang sungguh merupakan penggambaran tepat gubuk bobrok beratap jerami dalam kisah rakyat Jepang. Sudah begitu, separuhnya, di bagian yang jeraminya terlepas tampak ditempeli lempengan timah.

“Akihiro – Chan, kita sudah sampai,” begitulah kata bibi.

Langkahnya berhenti di depan rumah tersebut.

Saat itu kepalaku langsung kosong.

Aku bahkan takut membayangkan rupa nenek yang tinggal di rumah bobrok ini. Bagaimanapun, rumahnya saja sudah seperti tempat tinggal nenek sihir gunung.

“Ibu, kami sudah tiba.”

Ketika bibi membuka pintu depan rumah lebar – lebar, dari dalam muncullah sosok nenek yang di luar dugaan bertubuh tinggi dan langsing, berkulit putih bersih, dan memiliki aura anggun.

Melihat ini, kalau boleh jujur, aku agak kecewa.

“Akihiro – Chan, ini nenekmu,” Bibi berucap sambil berdiri di antara aku dan nenek.

Kemudian seolah ingin menyadarkan diriku yang cuma diam terpaku, dia menambahkan sambil tersenyum, “Waktu kau masih kecil, kalian pernah bertemu. Ingat, tidak?”

Aku rasa bibi sedang berusaha keras mencari kata – kata yang tepat untuk saat itu. Meski sudah tentu, saat nenek dan aku bertemu untuk pertama kali, aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya.

“Nah, sekarang Bibi pulang ya... Ibu, selanjutnya kuserahkan kepadamu.”

Ternyata bibi pastinya masih merasa sangat bersalah. Bahkan tanpa masuk ke rumah, dia segera berlalu pergi meninggalkan kami. Kini tinggal aku dan nenek, hanya berdua, yang bisa dibilang baru bertemu untuk pertama kalinya.

Analisis :

Dari analisis cuplikan di atas dapat dilihat bahwa hubungan nenek Osano dengan bibi Kisako berjalan dengan baik. Walaupun bibi Kisako jarang datang berkunjung ke rumah nenek Osano, tetapi hubungan di antara keduanya baik – baik saja. Bibi Kisako pada hari itu datang hanya untuk menitipkan Akihiro, tetapi nenek Osano tetap bersikap biasa – biasa saja seperti tidak ada masalah. Padahal Akihiro di titipkan kepada nenek Osano untuk tinggal bersama nya di kota Saga karena ibunya sibuk bekerja di kota Hiroshima.

Dari cuplikan di atas, dapat dilihat juga kebaikan hati nenek Osano yang merupakan penerapan dari nilai “ninjou” dalam masyarakat Jepang. Akihiro dititipkan kepada nenek Osano untuk tinggal dan dirawatnya, yang pada dasarnya merupakan menambah tanggung jawab dan beban hidupnya sehari – hari. Akan tetapi nenek Osano bersikap biasa saja ketika Akhiro dan bibi Kisako datang saat itu. Selain itu, merawat dan membesarkan cucu merupakan salah satu tindakan dalam menanamkan “on” kepada orang lain dalam masyarakat Jepang, dalam hal ini nenek Osano menanamkan “ko on” kepada Akhiro yang kelak suatu hari harus ia kembalikan dalam bentuk “gimu” kepada keluarga yang telah membesarkannya.

Cuplikan 3 : Nenek Osano dan Yoshiko Tokunaga (Anak Nenek Osano dan Ibu Akhiro)

Hal : 132 – 134

Nah, karena hanya bisa bertemu setahun sekali, aku dan ibuku berkomunikasi lewat surat – menyurat. Kalau aku menulis, “Aku butuh barang ini, jadi tolong kirim ya,” sudah pasti hanya separuh surat yang dikabulkan, sedangkan separuhnya lagi tidak.

Dari kenyataan ini, aku dapat merasakan kasih sayang sekaligus kesusahan ibu.

Saat surat dari ibu datang, pasti ada dua surat yang datang bersamaan. Yang satu, khusus ditujukan kepadaku sedangkan yang satu lagi, khusus untuk nenek.

Di hari itu pun, dua surat datang dari Ibu. Aku dan nenek sedang berada di ruang duduk sambil membaca surat.

“Permisi!”

“Ya, sebentar. Siapa ya?”

Karena ada suara yang menyapa di pintu masuk, nenek pun keluar untuk melihat siapa yang datang. Pada saat itu, surat untuk nenek tergeletak begitu saja dalam keadaan terbuka.

Sama sekali tidak ada niatan dalam diriku untuk mencuri lihat surat tersebut. Tanpa berpikir macam – macam, aku meraih dan membacanya.

Surat tersebut dibuka dengan tulisan, “Ibu yang tersayang. Apakah Akihiro sehat – sehat saja?”

Karena namaku sudah muncul di awal surat, saking bahagianya aku pun melanjutkan membaca. Sayangnya setelah itu, surat tersebut hanya dapat mengisahkan kesulitan Ibu.

“... Meski setiap bulan biasanya aku dapat mengirimkan lima ribu yen, sayangnya untuk bulan ini, aku hanya dapat mengirim dua ribu yen. Untuk sisanya, aku harap Ibu dapat membantu,” begitu isinya.

Waktu Nenek kembali ke ruang duduk, aku langsung duduk dengan memasang wajah tak tahu apa – apa. Meski sebenarnya hatiku bergemuruh karena tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Analisis :

Dari cuplikan diatas dapat dilihat hubungan nenek Osano dengan Yoshiko berjalan baik. Mereka terpisah jarak dan waktu, tetapi keduanya tetap berhubungan baik walau hanya surat yang menghubungkan mereka berdua. Pada cuplikan di atas, dapat dilihat terjalin rasa saling percaya di antara keduanya, di mana Yoshiko dengan jujur dan terbuka menceritakan permasalahan yang ia alami di Hiroshima. Rasa saling percaya yang ditunjukkan antara nenek Osano dan Yashiko ini didasari oleh rasa kasih sayang di antara keduanya yang merupakan penerapan dari nilai “ninjou” dalam masyarakat Jepang.

Dari isi surat yang di tujukan kepada nenek Osano pada cuplikan di atas dapat lihat juga rasa sayang yang mendalam dari Yoshiko kepada Akhiro dan juga rasa hormatnya kepada nenek Osano karena sudah merawat serta menjaga Akhiro untuk dirinya yang sibuk bekerja di Hiroshima. Rasa hormat dari Yashiko kepada nenek Osano di sini merupakan suatu bentuk “gimu”, karena nenek Osano adalah ibunya Yoshiko dan juga karena pada saat itu nenek Osano menggantikan posisi Yashiko dalam merawat serta mendidik Akihiro.

Cuplikan 4 : Nenek Osano dan Sanrou – San (Sepupu Nenek) Hal : 198 – 199

Kalau ditulis seperti ini, seolah nenek hanya bisa bergantung pada kebaikan orang lain. Tapi sebenarnyanenek sendiri juga orang yang gemar membantu orang lain.

“Permisi.”

Ketika datang kerumah, sepupu nenek, Sanrou – san, selalu membawa serta bungkusan kain besar. Lalu sambil melebarkan bungkusan kain tersebut untuk memperlihatkannya kepada kami, dia akan berkata, “Hari ini, begitu kain ini selesai dijahit, aku akan membawanya dan mendapatkan uang sepuluh ribu yen di akhir bulan.”

Pekerjaan Sanrou adalah menjahit pakaian ala barat, namun upahnya baru bisa dia peroleh di akhir bulan. Kalimat berikutnya dari Sanrou-san sudah dapat ditebak.

“Tolong pinjami aku lima ribu yen, akan ku kembalikan di akhir bulan.”

Pertama kali mendengar permintaanya, aku tak dapat memepercayai telingaku sendiri. Tak kusangka ada orang yang bakal datang ke rumah ini untuk meminjam uang!

Bila dipikir – pikir, sebenarnya siapa yang berhati besar dan siapa yang lebih membutuhkan bantuan di sini? Sanrou-san mungkin yang kedua, karena nenek tidak pernah sekalipun menolak permintaannya.

Nenek akan membuka nagamochi beremblemnya, lalu seolah tidak ada masalah apa – apa, memberi uang lima ribu yen kepada Sanrou-san. “Kapan saja, tidak apa – apa.”

Bila dipikir – pikir, kehidupan kami sehari – hari tidaklah selalu mudah, namun jika melihat kejadian ini, aku benar – benar tidak tahu apakah nenek memang pelit atau malah royal. Sungguh nenek yang aneh.

Analisis :

Pada cuplikan di atas dapat dilihat hubungan nenek Osano dengan kerabatnya, dalam hal ini diwakili oleh sepupunya yaitu Sanrou – San berjalan baik. Karena nenek Osano percaya dan tidak ragu meminjamkan uangnya 5000 Yen kepada Sanrou – San yang datang meminjam uang. Padahal 5000 Yen merupakan jumlah uang yang cukup besar pada saat itu, apalagi bagi orang seperti nenek Osano yang bekerja sebagai tukang bersih – bersih di sekolah yang hidup dalam kondisi miskin.

Dari peristiwa ini dapat dilihat kebaikan hati nenek Osano yang merupakan penerapan dari “ninjou” dalam masyarakat Jepang, walaupun ia miskin tetapi tetap ingin menyenangkan hati orang dengan meminjamkan uangnya kepada orang yang membutuhkan. Selain itu, dari peristiwa di atas dapat dilihat bahwa nenek Osano menanamkan “giri” kepada Sanrou – San yang kelak suatu hari bila nenek Osano memerlukan bantuan, maka Sanrou – San wajib membantunya.

3.2.2 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama dengan Anggota Masyarakat Berikut adalah interaksi sosial yang terjadi antara nenek Osano dengan anggota masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.

Cuplikan 1 : Nenek Osano dan Wali Kelas Akihiro di Sekolah Dasar Hal : 67 – 69

Kami harus menjawab berbagai pertanyaan sepeti “pagi ini kaumakan apa?” atau “malam kemarin kau menyantap apa?” dan sebagainya, menuliskannya di buku catatan, kemudian mengumpulkannya ke guru.

“Saat sarapan, aku makan sup miso isi lobster.”

“Saat makan malam, aku makan lobster panggang.”

Demikianlah jawabanku terus – menerus selama beberapa hari. Melihat jawaban di buku catatanku ini, sang wali kelas datang ke rumah bobrok kami seusai jam sekolah dengan wajah muram.

Mungkin dia berpikir, dengan rumah seperti ini, bukannya aneh kami makan lobster dua kali sehari, sudah begitu setiap hari pula.

“Berikut ini adalah jawaban Tokunaga – Kun. Apa memang benar begitu?” wali kelasku bertanya sambil menunjukkan buku cacatanku ke nenek.

Karena merasa tidak bersalah, aku langsung bangkit dan membela diri dengan keras.

“Tapi aku tidak bohong! Ya kan, nek? Kita setiap hari memang makan lobster untuk sarapan dan makan malam, kan?”

Mendengar ini, kontan nenek langsung tertawa terbahak – bahak.

“Sensei, maaf. Yang kami makan memang bukan lobster, melainkan udang karang. Akulah yang bilang kepada anak ini bahwa kami makan lobster...”

“Jadi begitu ya?”

“Lagi pula, bukankah tampilan mereka kurang lebih sama?”

“Memang ya...,” kata wali kelasku sambil ikut tertawa keras, sepertinya merasa lega.

Ternyata nenek memberiku udang karang, meski memberitahuku lobsterlah yang kami santap. Berhubung karena aku satu kali pun belum pernah makan lobster, kata – kata nenek aku percaya begitu saja.

Omong – omong, udang karang itu pun hasil belanja di supermarket pribadi kami (sungai depan rumah).

Analisis :

Dari cuplikan di atas, sekali lagi dapat dilihat keramahan dan hubungan baik nenek Osano kepada siapa saja walaupun orang tersebut jarang ia temui. Padahal wali kelas Akihiro datang untuk menanyakan perihal tentang kejanggalan dalam buku catatan makanan milik Akihiro, tapi nenek tetap menyambutnya dengan baik dan meminta maaf karena telah berkata bohong kepada Akihiro tentang makanan yang mereka makan setiap hari.

Nenek Osano mengatakan kepada Akihiro bahwa yang mereka makan tiap hari adalah lobster, akan tetapi kenyataannya adalah udang karang yang pada dasarnya memiliki kemiripan fisik yang sangat besar. Namun walau demikian, nenek Osano tidak bermaksud buruk mengatakan kebohongan itu karena pada dasarnya kebohongan yang ia lakukan tidak merugikan siapa pun kecuali sang wali kelas yang menjadi penasaran akan hal tersebut. Dari hal ini, dapat diketahui nenek Osano termasuk orang yang berhati besar. Karena ia dengan tegas meminta maaf kepada wali kelas Akihiro karena sudah berbohong dan mengatakan hal yang salah tentang menu apa yang mereka makan tersebut. Permintaan maaf nenek Osano kepada wali kelas Akhiro itu merupakan salah satu tindakan untuk menghindarkan nenek Osano dari suatu aib atau “haji” yang menyangkut namanya. Membersihkan “haji” yang menyangkut nama merupakan suatu bentuk “giri” terhadap nama sendiri, serta merupakan suatu kewajiban dan merupakn suatu kebajikan bagi orang Jepang untuk membersihkan namanya dari segala bentuk “haji”.

Cuplikan 2 : Nenek Osano dan Pedagang Tahu Hal : 191 - 193

Totett, totett…

Hari itu, seperti biasa suara terompet tukang tahu terdengar.

“Akihiro, beli sana,” kata nenek yang sedang memberi makan ayam, sambil mengulurkan uang logam lima yen kepadaku.

“Baik. Paman, mau beli!”

Sambil menggenggam uang lima yen tadi, aku berlari mendekati paman penjual tahu. Saat itu, paman tepat sedang menerima uang dari pelanggan yang dating duluan.

“Nah, dua potong tahu, jadinya dua puluh yen ya?”

“Benar, terima kasih banyak”.

Sambil mendengar proses jual – beli itu, aku mengintip ke dalam kotak di atas palet sepeda dan mendapati tahu hari ini masih dalam keadaan bagus. Semuanya masih berbentuk segi empat rapi.

“Nenek, tidak bisa! Hari ini tidak ada tahu yang rusak!” sambil berkata begitu, aku mulai berjalan kembali ke rumah.

Namun, paman penjual tahu memanggil untuk menghentikanku, “Tidak, tidak, ada kok yang rusak!”

Aku membalikkan tubuh nyaris pada saat yang sama dengan ketika paman penjual tahu merusak tahu di dalam kotak dengan tangannya sendiri.

“Nah, kan ada. Ini, lima yen,” kata paman sambil memberi kode dengan matanya dan mengangguk.

Melihat ini aku pun tersadarbahwa di hari tidak ada tahu rusak, pasti si paman selalu melakukan itu untuk kami. Aku sempat bingung antara mengambil kebaikan ini atau tidak, tetapi begitu melihat senyuman lebar dan anggukan kepala paman penjual tahu, aku hanya bisa diam dan menerimanya.

Aku baru menceritakan hal ini pada nenek lama setelahnya.

Analisis :

Dilihat dari cuplikan di atas, antara paman pedagang tahu dan keluarga Tokunaga terutama dalam hal ini nenek Osano berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari situasi di mana paman pedagang tahu merusakkan tahu dagangannya sendiri di hari ketika tidak ada tahu yang rusak untuk dapat dijual dengan setengah harga kepada keluarga Tokunaga.

Bila dilihat lagi, perbuatan si paman pedagang tahu kepada nenek Osano didasari oleh suatu perasaan belas kasihan kepada sesama umat manusia yang merupakan penerapan dari nilai budaya “ninjou” dalam masyarakat Jepang. Selain itu pada masa itu nenek Osano merupakan orang yang di tuakan dan dihormati di lingkungannya sehingga banyak orang yang merasa memiliki “giri” kepada beliau dan merasa harus membayar kembali kepada beliau dalam bentuk tindakan –

tindakan tertentu yang memudahkan kehidupan nenek Osano dan cucunya Akhiro Tokunaga.

Cuplikan 3 : Nenek Osano dan Petugas Air Hal : 193 – 194

Saat itu, paman petugas penagih tagihan air datang. Kemudian dengan santai dia menanyakan sesuatu yang isinya sungguh berlawanan dengan sikapnya, “Tokunaga – san, tagihan air anda sudah nunggak tiga bulan loh.”

Nenek yang menjadi lawan bicaranya, sejenak menampilkan wajah kesulitan. Namun kemudian dia melihat diriku yang mondar – mandir situ, sehingga dengan segera mendapatkan ide berdalih, “Akihiro, akhir – akhir ini, sekitar dua – tiga bulan, kita tidak minum air, kan?”

“Um,” jawabku hanya bisa mengangguk, padahal di dalam hati aku berkata, itu jelas – jelas bohong.

Tapi paman petugas hanya tertawa terbahak – bahak mendengar jawaban nenek tadi. “Oh, begitu ya. Kalau begitu, bulan depan saya kesini lagi,” katanya, kemudian dia berlalu pergi begitu saja.

Begitu paman sudah tidak ada, aku berkata kepada nenek, “Memangnya aku kadal?”

Mendengar ini, sambil meneteskan air mata, nenek terus – menerus tertawa.

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara nenek Osano dengan Petugas Air berjalan dengan baik. Hal ini dapat di diketahui dari sikap petugas air yang percaya saja pada alasan nenek Osano yang dibuat – buat untuk menunda pembayaran tagihan air pada bulan tersebut. Petugas air itu hanya tertawa mendengar alasan tersebut dan mengatakan ia akan kembali bulan depan untuk menagih tagihan air rumah nenek Osano.

Dari kejadian ini, dapat dilihat kecerdikan nenek Osano dalam membaca situasi, dimana pada saat itu ia melihat Akhihiro yang sedang mondar – mandir dan hal tersebut memberinya ide untuk membuat alasan kepada petugas air untuk dapat menunda pembayaran air sampai bulan depan. Tindakan nenek Osano mencari alasan untuk menunda pembayaran air tersebut merupakan usahanya untuk menghindarkannya dari suatu aib atas namanya atau menghindarkan suatu “giri” atas namanya yang merupakan suatu bentuk “haji”. Aib atas nama dan kehormatan atau yang di sebut “haji” merupakan sesuatu yang memalukan menurut penilaian masyarakat Jepang, maka sebisa mungkin mereka akan menghindarkannya dengan berbagai cara.

Cuplikan 4 : Nenek Osano dan Dokter Hal : 194 – 198

Pernah satu kali, aku melukai mataku saat naik sepeda.

Mata kiriku terbentur sangat keras pada setang sepeda. Karena kukira tidak masalah, aku biarkan saja. Namun di keesokan harinya, lalu di hari berikutnya pun, bukannya makin mereda, rasa sakitnya malah makin bertambah parah.

Di hari ketiga, karena sudah tidak tahan, aku pergi kerumah sakit sepulang sekolah. Aku tidak membawa uang saat itu, tapi kupikir entah bagaimana aku akan kembali lagi untuk membayar pengobatannya. Yang aku tahu pasti, rasa sakit sudah benar – benar tidak tertahankan.

“Kapan terbenturnya?” tanya sang dokter dengan wajah galak saat memeriksa keadaan mataku.

“Tiga hari yang lalu.”

“Kenapa tidak segera datang untuk diperiksa?”

“Saya pikir tidak ada masalah…”

“Terlambat tiga hari lagi dan kau bisa saja buta.”

“Apa?”

Aku sanggat shock mendengar kata “buta.”

Karena mata sanggat sensitive, mulai sekarang bila ada apa – apa, sebaiknya langsung datang berobat, sang dokter kembali menasehati dengan tegas sambil merawat mataku.

Ketika perawatan sudah selesai, aku memperoleh obat pereda sakit, dan melapor ke meja pendaftaran pasien. “Maaf, tadi saya langsung ke sini sepulang dari sekolah sehingga belum membawa uang. Saya akan membawanya setelah ini.”

Sang suster menatapku dengan wajah agak kebingungan, tapi kemudian berkata, “Tunggu sebentar ya,” kemudian masuk ke ruang dokter.

Gawat, pikirku sambil menunggu. Setelah beberapa saat, dokter yang tadi merawat mataku keluar.

“Maaf… saya akan pulang dan segera kembali dengan membawa uang…,” kataku tergagap – gagap.

Namun dengan ringan, sang dokter berkata, “Sudahlah, kau tidak perlu bayar biaya pengobatan.”

“Hah?”

“Ibumu dan nenekmu sudah bersusah payah bekerja, bukan?”

“Tapi…”

“Daripada memikirkan itu, perjalanaamu ke sini jauh, bukan? Pulangnya naik bus saja.”

Kemudian secara mengejutkan, sang dokter memberi uang ongkos bus.

“Nanti aku yang akan meminta ganti pada nenekmu. Sudah, tidak apa – apa.”

Aku bolak – balik berfikir apakah tidak masalah bila aku terima saja kebaikannya. Tapi karena mata kiriku masih berdenyut – denyut sakit, akhirnya aku mengucapkan terima kasih dan menerima pinjaman ongkos bus itu. Aku lalu keluar dari ruang praktek sang dokter mata dan pulang.

“Dokter tidak hanya membebaskan biaya perawatan, nek. Dia bahkan juga

Dokumen terkait