• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

2.4 Sosiologis Dan Semiotik Dalam Kajian Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman dan logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra berasal dari akar kata sas yang berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk pada definisi diatas, keduanya memiliki objek kajian yang sama yaitu manusia dan masyarakat.

Ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Ratna dalam Asking (2012:19), menyatakan sebagai berikut :

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh pengarang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi pengarang dan pembaca. Maksudnya adalah karya sastra tersebut dilihat hubungannya dengan kenyataan, baik dari kenyataan yang dilihat oleh pengarang atau dari pembacanya. Menurut Siti Aida Azis dalam Asking (2012:20), Sastra menyajikan gambaran kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Tetapi, pendapat lain menyatakan bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya, Warren dan Wellek dalam Asking (2012:20). Seorang pengarang merupakan anggota masyarakat yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayati dan dialami si pengarang itu sendiri dalam kehidupannya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari

kekosongan sosial. Maksudnya adalah karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu serta menceritakan tentang kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra memiliki cakupan wilayah yang luas. Menurut Wellek dan Warren dalam Asking (2012:22), cakupan  karya sastra dengan pendekatan sosiologis dibagi atas 3 klasifikasi, yaitu:

1. Sosiologi pengarang.

Hal ini berkaitan dengan profesi pengarang, latar belakang sosial status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang.

2. Sosiologi karya sastra.

Hal ini berkaitan dengan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.

3. Sosiologi sastra.

Hal ini berkaitan dengan pembaca dan dampak sosial karya sastra, mempengaruhi masyarakat. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka modal analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman dalam Antoni (2010:30) meliputi tiga macam, yaitu:

1. Menganalisis masalah – masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya hal tersebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antara struktur, bukan aspek – aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra gejala kedua.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan model analisis yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Penelitian menurut Warren dan Wallek akan melihat sejauh mana karya sastra ini menggambarkan kebenaran kehidupan sosial dilihat dalam teks – teks yang ditulis oleh pengarang dalam novelnya dan juga kaitan antara unsur pembentuk karya sastra tersebut yakni pengarangnya dengan lingkungannya terutama lingkungan masa kecilnya.

Tujuan dari pendekatan sosiologi sastra ini adalah untuk mendapat gambaran yang lengkap, utuh serta menyeluruh tentang hubungan timbal balik sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Pada penelitian ini, karya sastra digunakan sebagai cerminan kehidupan masyarakat dengan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel “Saga no Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada khususnya tentang kehidupan masyarakat Jepang pada masa awal setelah Perang Dunia II.

2.4.2 Semiotik dalam Kajian Sastra

Media sastra adalah bahasa. Menurut Saussure dalam Pratiwi (2012:30), bahasa adalah sistem tanda. Tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yaitu yang ditangkap oleh indera kita yang disebut signifier (penanda) dan bentuk atau aspek lainnya yang disebut signified (petanda). Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Pradopo dalam Pratiwi (2011:1) menjelaskan, tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungannya antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai hewan kuda (petanda) sebagai

artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai adanya api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hugungan bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Misalnya kata “ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat pengguna bahasa (Indonesia). Inggris menyebutnya “mother”, Perancis menyebutnya “la mere”, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena- menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Dengan demikian, uraian tentang kajian semiotik yang berupa notasi simbol-simbol kemudian coba dijelaskan apa fungsi dan maknanya. Dalam hal ini, kajian semiotik ini akan dipergunakan oleh penulis untuk dapat menjelaskan makna yang terkandung dalam teks-teks pada novel “Saga no Gabai Baachan”.

2.5 Nilai – Nilai Budaya Luhur Menurut Pandangan Masyarakat Jepang

Dokumen terkait