• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai – Nilai Budaya Luhur Menurut Pandangan Masyarakat Jepang 33

BAB I. PENDAHULUAN

2.5   Nilai – Nilai Budaya Luhur Menurut Pandangan Masyarakat Jepang 33

inspirasi kedisiplinan dalam tatanan hidup umat manusia sebagai makhluk sosial secara menyeluruh. Misalnya saja nilai – nilai luhur yang terkandung di dalam budaya Jepang. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-nilai tradisional di tengah – tengah pola kehidupannya yang sudah modern. Hal tersebut membuat Jepang menjadi sebuah bangsa yang maju yang sangat disegani oleh bangsa – bangsa lainnya di dunia.

Di antara banyaknya nilai – nilai tradisional Jepang yang berakar dari budaya luhur mereka, terdapat beberapa nilai budaya yang dapat ditemukan dalam teks – teks novel “Saga no Gabai Baachan” ini. Nilai – nilai itu seperti on, gimu,

giri, ninjou dan haji. Berikut penjelasan dari nilai – nilai budaya tersebut.

a. On

Menurut Benedict (1982:105), di dalam semua pemakaiannya “on” mengandung arti suatu beban, suatu hutang, sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang yang menerima “on” dari atasannya, dan tindakan menerima “on” dari siapa saja yang belum tentu atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu lebih rendah daripada si pemberi “on”.

On” bila dilihat dari si pemberi, maka dapat di bagi menjadi lima (Benedict, 1982:125). “Ko on” adalah “on” yang diterima dari kaisar. “Oya on” adalah “on” yang diterima dari orang tua. “Nushi no on” adalah “on” yang diterima dari majikan atau tuan. “Shi no on” adalah “on” yang diterima dari guru. Dan “on” yang diterima dalam semua hubungan dengan orang lain selama masa hidup si penerima.

Seseorang yang telah menerima “on” wajib membayar kembali “on” yang ia terima tersebut. Pemenuhan “on” ini memiliki arti bahwa si penerima “on” membayar kembali utang – utangnya atau pemenuhan kembali kewajiban atas si pemberi “on” (Benedict, 1982:125). Pemenuhan kembali atas “on” seseorang bila dilihat dari sudut pemenuhannya ada dua macam, yaitu “gimu” dan “giri”.

b. Gimu

Bangsa Jepang membagi ke dalam kategori yang jelas tentang pembayaran kembali “on”, mana “on” yang jumlahnya dan jangka waktunya pembayarannya tanpa batas, dan mana “on” yang sama secara kuantitatif serta sudah harus dibayar pada kesempatan – kesempatan khusus. “Gimu” adalah pembayaran dan pengembalian tanpa batas utang “on” atau pembayaran kembali yang secara maksimal dari utang “on” yang dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas waktu pembayarannya (Benedict, 1982:122-125).

Gimu” dibagi menjadi dua kelompok kewajiban yang berbeda. “Gimu” yang merupakan pembayaran kembali “on” kepada orang tua sendiri dan nenek moyang disebut “ko”, sedangkan “gimu” yang merupakan pembayaran kembali “on” kepada Kaisar, hukum, dan negara disebut “chu” (Benedict, 1982:122). Selain itu ada juga “gimu” yang disebut “nimmu” yang merupakan kewajiban terhadap pekerjaan seseorang (Benedict, 1982:125).

c. Giri

Berdasarkan Encyclopedia Wikipedia (2013) “giri” adalah nilai – nilai budaya Jepang yang dalam bahasa Inggris kurang lebih diartikan sebagai tugas atau kewajiban, atau bahkan beban kewajiban, dengan penekanan pada pengaruh budaya dan kultur Jepang, daripada hanya sekedar arti dari kata tersebut.

Sedangkan menurut Benedict (1982:141), “giri” adalah suatu kewajiban untuk mengembalikan atau membalas semua pemberian yang telah diterima

dengan nilai yang sama harganya dari apa yang telah diterima sebelumnya. Hubungan antara kedua belah pihak tersebut pun tidak hanya berlaku di antara mereka yang memiliki hubungan khusus, tetapi juga antara teman ataupun kolega dan relasi.

Giri” memiliki dua pembagian yang jelas, yang oleh Benedict (1982:141) dinamakan “giri kepada dunia” dan “giri kepada nama sendiri”. “Giri kepada

dunia” adalah kewajiban seseorang untuk membayar “on” kepada sesamanya,

sedangkan “giri kepada nama sendiri” adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah (Benedict, 1982:141).

d. Ninjou

Menurut Befu dalam Setiawan (2009:2) “ninjou” terdiri dari dua karakter kanji, yaitu “nin” yang memiliki arti orang atau manusia, dan, “jou” yang memiliki arti emosi, perasaan hati, cinta kasih, simpati, ketulusan. Dalam penggunaannya kata ”ninjou” merujuk kepada kecenderungan perasaan peri kemanusiaan, kebaikan hati, dan keinginan – keinginan yang bersifat alamiah.

Sedangkan “ninjou” menurut kamus besar Kojien dalam Setiawan (2009:21) didefinisikan sebagai kebaikan hati, tenggang rasa, kasih sayang, getaran alami hati manusia. Pada awalnya istilah “ninjou” berasal dari kata

nasake” yang berarti kasih sayang. “Ninjou” adalah perasaan kasih sayang

manusia yang dicurahkan kepada sesamanya. Perasaan ini adalah perasaan yang murni dari hati yang paling dalam dan dipunyai oleh setiap umat manusia di dunia ini. “Ninjou” dilakukan oleh seseorang terutama bila ia

melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan, Doi dalam Setiawan (2009:21).

Ninjou” berhubungan erat dengan “giri”. Dalam kehidupan masyarakat

Jepang, “ninjou” bertugas sebagai rasa ikhlas dalam membalas “giri” yang telah diterima dari orang lain. “Giri” mewakili rasa terbeban atas kewajiban seorang untuk membalas kebaikan yang telah ia terima dari orang lain. Menurut Minamoto dalam Setiawan (2009:21) menyatakan “ninjou” adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosi yang bekerja secara alami, yang mempengaruhi kepribadian manusia di dunia.

e. Haji

Menurut Benedict (1982:333) “haji” adalah rasa mau yang sehubungan dengan kehormatan atau harga diri. Rasa malu ini muncul dikarenakan ketidakmampuan membalas “on” orang lain, yang terdiri dari “giri” dan “gimu”. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan.

Benedict (1989:338) juga menambahkan bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain. Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas mereka difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut.

Dan seseorang yang tahu malu di definisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang terhormat (Benedict, 1989:234).

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang bertindak pada suatu ukuran yang dijadikan dasar untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan akan menimbulkan perasaan malu atau tidak.

Dokumen terkait