• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yoshichi Shimada No Sakuhin No Saga No Gabai Baachan Toiu Shousetsu No Shujinkou Ni Taishite No Shakaigaku Teki Bunseki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Yoshichi Shimada No Sakuhin No Saga No Gabai Baachan Toiu Shousetsu No Shujinkou Ni Taishite No Shakaigaku Teki Bunseki"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “SAGA NO GABAI BAACHAN” KARYA YOSHICHI SHIMADA

YOSHICHI SHIMADA NO SAKUHIN NO SAGA NO GABAI BAACHAN TOIU SHOUSETSU NO SHUJINKOU NI TAISHITE NO SHAKAIGAKU TEKI BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh :

AZA RAYVIZA FAUZIE NIM : 080708021

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “SAGA NO GABAI BAACHAN” KARYA YOSHICHI SHIMADA

YOSHICHI SHIMADA NO SAKUHIN NO SAGA NO GABAI BAACHAN TOIU SHOUSETSU NO SHUJINKOU NI TAISHITE NO SHAKAIGAKU TEKI BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

M. Pujiono, S.S., M.Hum Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. NIP : 19691011 2002 12 1001 NIP : 19600919 1988 03 1001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui oleh : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang

Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. NIP : 19600919 1988 03 1001

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas berkat, rahmat dan ridho – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Juga shalawat serta salam semoga selalu tercurah keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Sosiologis Terhadap Tokoh Utama Dalam Novel Saga No Gabai Baachan Karya Yoshichi Shimada”, merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Muhammad Pujiono, S.S., M. Hum, selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Eman Kusdiana, M.Hum, selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan waktu dan tenaga sedemikian besarnya untuk membimbing, memeriksa serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini hingga selesai.

(5)

 

5. Bapak dan Ibu dosen, serta Staf Pegawai di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kesabaran telah memberikan ilmu yang berguna bagi penulis serta dukungan dalam menyelesaian skripsi ini.

6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda Puji Astono dan ibunda Elizar Siregar yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materil dan selalu mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melindungi, memberikan kesehatan, rezeki, dan umur panjang yang bermanfaat, serta membalas kebaikan mereka. Juga kepada adikku tersayang Dinda Ayu Elisfa, yang telah mendukung dan senantiasa memberikan semangat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya. Semoga engkau juga dapat segera menyelesaikan studi di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Sumatera Utara.

7. Keluarga besar Sungep MS dan Keluarga besar Dahroem Siregar, yang selalu memberi dukungan dan selalu mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

(6)

9. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu – persatu, yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan anda semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca serta peneliti yang ingin melanjutkan studi mengenai Sosiologis Sastra, khususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera lainnya.

Medan, Desember 2013

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Permasalahan ... 5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori ... 7

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Metode Penelitian ... 12

  BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “SAGA NO GABAI BAACHAN”, SETTING CERITA, SOSIOLOGIS SASTRA DAN RIWAYAT HIDUP PENGARANG 2.1 Definisi Novel ... 15

2.2 Unsur Intrinsik Novel “Saga No Gabai Baachan” ... 18

2.2.1 Tema ... 18

2.2.2 Alur (Plot) ... 19

2.2.3 Latar (Setting) ... 21

(8)

2.3 Biografi Pengarang ... 26

2.4 Sosiologis Dan Semiotik Dalam Kajian Sastra ... 28

2.4.1 Sosiologis Dalam Kajian Sastra ... 28

2.4.2 Semiotik Dalam Kajian Sastra ... 32

2.5 Nilai – Nilai Budaya Luhur Menurut Pandangan Masyarakat Jepang ... 33  

         BAB III. ANALISIS SOSIOLOGI TERHADAP CERITA NOVEL “SAGA NO GABAI BAACHAN” KARYA YOSHICHI SHIMADA 3.1 Sinopsis Cerita Novel “Saga No Gabai Baachan ... 39

3.2 Analisis Sosiologis Tokoh Utama Dalam Novel “Saga No Gabai Baachan” Karya Yoshichi Shimada ... 43

3.2.1 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama Dengan Anggota Keluarga ... 43

3.2.2 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama Dengan Anggota Masyarakat ... 52

 

 

 

 

 

(9)

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 68

4.2 Saran ... 69

(10)

ABSTRAK

Karya sastra adalah suatu hasil yang diciptakan dan disampaikan oleh penulis dengan komunikatif untuk tujuan estetika. Pengungkapan diri yang dituangkan oleh pengarang melalui sebuah karya sastra bisa saja merupakan pengalaman yang benar-benar terjadi pada diri sastrawan tersebut, karena sastrawan menganggap pengalamannya tersebut dapat berguna kelak bagi pembaca karya sastra. Karya sastra sendiri terbagi atas tiga, yaitu drama, prosa dan puisi. Novel merupakan pembagian dari karya sastra prosa. Salah satu karya sastra yang berupa novel adalah novel “Saga no Gabai Bhaachan” karya Yoshichi Shimada yang bercerita tentang kisah perjuangan hidupnya semasa kecil.

(11)

maupun non ilmiah, serta melalui media internet yang membahas mengenai permasalahan, teori atau konsep yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Dalam menganalisis sebuah karya sastra digunakan beberapa pendekatan, salah satunya adalah pendekatan sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi pengarang dan pembaca. Maksudnya adalah karya sastra tersebut dilihat hubungannya dengan kenyataan, baik dari kenyataan yang dilihat oleh pengarang atau dari pembacanya. Sastra menyajikan gambaran kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Tetapi, pendapat lain menyatakan bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Seorang pengarang merupakan anggota masyarakat yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayati dan dialami si pengarang itu sendiri dalam kehidupannya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Maksudnya adalah karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu serta menceritakan tentang kebudayaan yang melatarbelakanginya.

(12)

melakukan tindakan kejahatan dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Banyak ide yang diajarkan oleh nenek Osano untuk bertahan hidup yang sangat bermanfaat bagi kita sebagai seorang manusia.

Berawal dari kisah bom atom yang jatuh ke Hiroshima saat Perang Dunia II yang telah memporak-porandakan kehidupan banyak keluarga. Akihiro yang saat itu berusia delapan tahun kehilangan ayahnya, sehingga ibunya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Takut perkembangan Akihiro terganggu, sang ibu memutuskan untuk menitipkan Akihiro pada sang nenek yang tinggal di perkampungan kecil bernama Saga.

Bukannya menjalani hidup yang lebih enak, justru keadaan neneknya di Saga lebih miskin daripada kehidupannya ketika tinggal di Hiroshima. Tetapi biarpun miskin, Nenek Osano hidup dengan optimis dan ceria. Banyak pelajaran hidup yang berharga yang dipelajari Akihiro ketika tinggal dengan sang nenek selama delapan tahun. Ide-ide yang diajarkan nenek dalam bertahan melawan kemiskinan sangat bermanfaat dalam menjalankan kehidupan Akihiro selanjutnya.

Kesimpulan dari analisis terhadap tokoh nenek Osano dalam novel “Saga

no Gabai Baachan” melalui pendekatan sosiologis sastra adalah

1. Nenek Osano adalah seseorang yang memiliki rasa kepedulian dan jiwa sosial terhadap sesama yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kesediannya membantu orang lain tanpa memikirkan untung dan rugi dari tindakan tersebut.

(13)

anaknya terhadap nenek Osano dan beliau di lingkungan kota Saga termasuk orang yang terkenal dan di tuakan oleh masyarakat setempat. 3. Walaupun kehidupan nenek Osano dan cucunya yaitu Akihiro berjalan

dalam keadaan serba kekurangan, tetapi mereka menjalaninya dengan penuh kesabaran dan hidup dengan terhormat. Hal ini dapat dilihat dari sikap nenek Osano yang tidak mau menerima kebaikan dari orang lain dengan begitu saja.

(14)

,

要旨

 

 

,

文学

,

作品

,

審美

,

目的

,

通信

,

作家

,

作成

,

伝え

,

結果

,

,

学者

,

,

経験

,

今後

,

文学

,

作品

,

,

,

,

,

考 え

,

文学

,

作品

,

作家

,

伝え

,

自己

,

実現

,

実際

,

自分

,

作家

,

,

経験

,

文学

,

作品

,

,

,

戯曲

,

散文

,

,

,

文学的

,

散文

,

分類

,

,

,

文学

,

作品

,

,

子供

う う

(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang adalah salah satu negara maju di Asia yang banyak memiliki sastrawan kelas dunia. Begitu banyak karya sastra Jepang yang telah di terjemahkan dalam berbagai bahasa yang ada di dunia. Kata “sastra” sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta (Sanskerta: shastra) yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Dalam Bahasa Indonesia kata “Sastra” biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna, Mukarovsky dalam Antoni (2010:1).

Sastra lahir dari dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan dan semesta. Karya sastra yang merupakan hasil dari sastra, merupakan pengungkapan diri si pengarang yang bisa saja merupakan pengalaman yang benar – benar pernah di alami oleh sastrawan tersebut. Karya sastra tercipta karena adanya luapan perasaan dari pengalaman hidup yang di sampaikan pengarang ketengah – tengah masyarakatnya, Siregar dalam Pratama (2011:3).

(23)

drama dan lagu. Dalam kajian penelitian ini penulis akan mengkaji sebuah novel. Menurut Nursisto (2000:168) mengatakan bahwa novel adalah media menuangkan pikiran, perasaan dan gagasan penulis dalam merespon kehidupan di sekitarnya. Ketika di dalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan suatu cerita. Sedangkan pengertian novel menurut H.B. Jassin dalam Antoni (2010:2) menyatakan bahwa “Novel sebagai karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang – orang”.

(24)

Pembahasan tentang sosiologis tokoh utama dalam suatu karya sastra, maka hal tidak lepas dari unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Sosiologi dalam karya sastra merupakan unsur yang tidak berada di dalam karya sastra tersebut tetapi mempengaruhi jalan cerita dari karya sastra tersebut. Sosiologis tokoh dalam suatu karya sastra berbentuk novel dapat kita lihat dalam karakter tokoh dalam cerita novel tersebut. Untuk mengungkapkan karya sastra ditinjau dari aspek sosiologinya, Wellek dan Wareen (1989:111) mengemukakan tiga jenis pendekatan, yaitu (1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain sebagainya yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, dan (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosiologi sastra terhadap masyarakat. Selanjutnya, Ian Watt dalam Antoni (2010:3) mengemukakan tiga macam pendekatan sosiologi sastra, yaitu: (1) konteks sosial pengarang, (2) sastra sebagai cermin masyarakat, dan (3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

(25)

ide-ide cemerlang yang dilakukan oleh nenek Osano untuk bertahan hidup. Tanpa pernah mengeluh serta menyerah pada keadaan dan dengan segala ide – ide cemerlang sang nenek, mereka selalu menjalani kehidupannya dengan tawa, senyuman dan penuh kesabaran. Novel ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akan apa yang kita miliki, karena kemiskinan bisa membuat seseorang merasa sedih, murung, putus asa dan pada akhirnya melakukan tindakan kejahatan seperti mencuri, merampok dan menipu dengan alasan ekonomi. Namun demikian, hal tersebut tidak pernah terpikirkan oleh nenek Osano. Kemiskinan membuatnya menjadi seorang pekerja keras bahkan di usianya yang sudah tua dan dengan ide – ide cemerlangnya ia membuat kehidupannya menjadi mudah namun tetap terhormat di mata orang – orang di sekitarnya.

(26)

Sosiologis Terhadap Tokoh Utama Dalam Novel “Saga no Gabai Baachan” Karya Yoshichi Shimada.

1.2 Rumusan Permasalahan

Sesuai dengan judul penelitian, yaitu “Analisis Sosiologis Terhadap Tokoh Utama Dalam Novel “Saga No Gabai Baachan” Karya “Yoshichi Shimada”, maka penelitian ini akan membahas mengenai sosiologis tokoh utama dalam melalui hari-harinya. Novel “Saga No Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada ini, merupakan sebuah novel yang bercerita tentang kehidupan neneknya sendiri yaitu nenek Osano sebagai tokoh utama.

(27)

kehidupannya menjadi mudah namun tetap terhormat di mata orang – orang di sekitarnya.

Berdasarkan alasan – alasan tersebut dan berkaitan dengan pendekatan sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam bentuk pertanyaan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana nenek Osano menjalani kehidupan sehari – harinya dengan kondisi yang serba kekurangan ?

2. Nilai luhur apa yang digambarkan tokoh nenek Osano dalam novel “Saga

no Gabai Baachan” ini ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasannya pada analisis terhadap kesederhanaan cara hidup nenek Osano dan nilai – nilai baik yang dapat di ambil dari hal tersebut. Dalam hal ini nenek Osano selaku tokoh utama dalam novel “Saga no Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada. Novel “Saga no Gabai Baachan” ini sendiri terdiri dari 264 halaman dan dicetak dalam edisi Bahasa Indonesia yang merupakan hasil terjemahan dari Bahasa Jepang oleh pihak penerbit di Indonesia. Dan untuk penelitian ini, peneliti mengambil 10 cuplikan dari novel “Saga no Gabai Baachan” untuk dianalisis.

Agar pembahasan skripsi ini lebih akurat, maka penulis sebelum bab pembahasan, akan menjelaskan juga tentang definisi novel, setting cerita “Saga no

Gabai Baachan”, riwayat hidup pengarang (Yoshichi Shimada) dan sosiologi

(28)

dirangkum dan kemudian akan didistribusikan ke dalam setiap bab dan sub bab dalam penelitian ini.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8). Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya, maka sastra tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori, atau pikiran manusia. Dewantara dalam Antoni (2010:8) mengungkapkan bahwa setiap manusia merupaka individu yang berbeda dengan individu lainnya. Manusia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Karya sastra sebagai hasil dari sastra itu sendiri, pada hakikatnya merupakan replika dari kehidupan nyata atau penggambaran dari kehidupan nyata itu sendiri. Hal ini dikarenakan obyek sastra adalah pengalaman hidup manusia menyangkut sosial budaya, kesenian dan sistem berfikir. Menurut Pradopo (1994:59), karya sastra adalah karya seni, suatu karya yang menghendaki kreativitas. Karya sastra digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam ralitas yang dihadapi ataupun yang pernah dihadapinya. Realitas itu merupakan faktor penyebab pengarang mencipakan sebuah karya, di samping unsur imajinasi.

(29)

dikarenakan persoalan yang diangkat dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian novel dalam pandangan H.B. Jassin dalam Antoni (2010:9) menyatakan bahwa “Novel sebagai karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang”. Sedangkan menurut Nursisto (2000:168) mengatakan bahwa novel adalah media menuangkan pikiran, perasaan dan gagasan penulis dalam merespon kehidupan di sekitarnya. Ketika di dalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan suatu cerita.

(30)

yang dianggap pokok persoalan sosiologi oleh paradigma ketiga adalah perilaku manusia sebagai subjek yang nyata.

Berdasarkan penjelasan di atas, dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologis untuk menelaah novel “Saga no Gabai

Baachan”. Di dalam novel “Saga no Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada

dapat dilihat bagaimana nenek Osano sebagai tokoh utama menjalani kehidupannya yang miskin namun tetap bahagia dan ceria bersama cucunya.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam menganalisis suatu karya sastra, diperlukan suatu teori pendekatan yang berfungsi sebagai acuan dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren, serta semiotika sebagai landasan teori dalam menganalisis novel “Saga no Gabai Baachan” ini.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra memiliki cakupan wilayah yang luas. Menurut Wellek  dan  Warren  dalam  Asking  (2012: 22), 

cakupan karya sastra dengan pendekatan sosiologis dibagi atas 3 klasifikasi, yaitu:

1. Sosiologi pengarang.

(31)

masyarakat, dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang.

2. Sosiologi karya sastra.

Hal ini berkaitan dengan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.

3. Sosiologi sastra.

Hal ini berkaitan dengan pembaca dan dampak sosial karya sastra, mempengaruhi masyarakat. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Penelitian menurut Warren dan Wallek akan melihat sejauh mana karya sastra ini menggambarkan kebenaran kehidupan sosial dilihat dalam teks–teks yang ditulis oleh pengarang dalam novelnya dan juga kaitan antara unsur pembentuk karya sastra tersebut yakni pengarangnya dengan lingkungannya terutama lingkungan masa kecilnya.

(32)

Menurut Pradopo, dkk (2001:270) semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa sosial masyarakat dan kebudayaan itu mempelajari system – sistem, aturan – aturan dan konvensi – konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Penggunaan metode semiotika sebagai pendekatan yang digunakan dalam penelitian karya sastra didasarkan pada pengertian tentang tanda, cara kerjanya dan pengunaannya. Menurut Peirce dalam Antoni (2010:12) tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas – batas tertentu. Tanda memungkin kita berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Melalui pendekatan semiotik ini, penulis berusaha untuk menginterpretasikan setiap tanda – tanda dan bahasa – bahasa yang ada dalam novel ini agar dapat diketahui gambaran jelas tentang bagaimana kehidupan nenek Osano yang selalu hidup dalam kesederhanaan dan dapat menjadi panutan bagi pembaca novel

“Saga no Gabai Baachan” ini.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Alasan – alasan yang telah dikemukakan dalam bagian latar belakang merupaka faktor utama dilakukannya penelitian ini. Secara ringkas dapat di jabarkan tujuan penelitian ini sebagai berikut :

(33)

2. Untuk mengetahui nilai – nilai luhur yang digambarkan oleh tokoh nenek Osano dalam novel “Saga no Gabai Baachan” ini.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai sosiologis tokoh dalam suatu karya sastra.

2. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang kesederhanaan hidup seorang manusia yang dalam hal ini di wakili oleh tokoh nenek Osano yang rela bekerja keras demi memenuhi kehidupannya dan seorang cucu yang tinggal bersamanya.

3. Bagi peneliti dan penulis lain, agar menjadi sumber masukkan dan referensi untuk menganalisis karya sastra novel lainnya yang menggunakan pendekatan sosiologis sastra dimasa yang akan datang.

1.6 Metode Penelitian

(34)

secara sistematis (urutannya logis). Berdasarkan permasalahan yang dianalisis dalam novel “Saga no Gabai Baachan” ini, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif. Berbagai macam defenisi tentang penelitian deskriptif, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain menurut Sugiyono dalam Antoni (2010:14). Pendapat lain mengatakan bahwa, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan menurut Arikunto dalam Antoni (2010:15). Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam arti ini, pada penelitian deskriptif sebenarnya tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan atau komparasi, sehingga juga tidak memerlukan hipotesis. Namun demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga dirancang untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan atas satu variabel kepada variabel lain.

Dalam penulisan ini peneliti menguraikan dan menjelaskan secermat mungkin masalah – masalah sosiologis tokoh utama yang terdapat dalam novel

Saga no Gabai Baachan” karangan Yoshichi Shimada dengan teori – teori yang

(35)
(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “SAGA NO GABAI BAACHAN”, SETTING CERITA, SOSIOLOGIS SASTRA DAN RIWAYAT HIDUP

PENGARANG

2.1 Definisi Novel

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk karya sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel sendiri berasal dari bahasa Italia, yaitu novella yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Istilah novella sendiri mengandung pengertian yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek, Abrams dalam Pratama (2011:15).

Novel sebagai sebuah karya sastra fiksi memiliki pengertian sebagai suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh – sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata, Nurgiantoro dalam Keliat (2012:13). Sedangkan menurut H.B. Jassin dalam Antoni (2010:17) menyatakan bahwa “Novel sebagai karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian luar biasa dari kehidupan orang – orang.

(37)

orang tokoh, Kosasih dalam Pratiwi (2012:14). Kisah novel berawal dari kemunculan suatu persoalan yang dialami tokoh hingga tahap penyelesaiannya. Novel memberi gambaran tentang tokoh, peristiwa dan latarnya secara fisik, seolah dapat dilihat, diraba serta didengar. Selain itu, novel juga menghadirkan pengetahuan tentang hal – hal yang mendalam, yang tidak dapat dilihat, dipegang serta didengar namun dapat dirasakan oleh batin yang kesemuanya diperoleh secara tersirat dari gambaran tokoh, peristiwa dan tempat yang diceritakan dalam novel tersebut.

Walaupun novel bersifat imajiner, namun ada juga novel yang berdasarkan pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Pratiwi (2012:15) digolongkan sebagai karya non fiksi yang terbagi atas (1) fiksi historis atau novel historis, jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta sejarah, (2) fiksi biografis atau novel biografis, jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta biografi seseorang dan (3) fiksi sains atau novel sains, jika yang yang menjadi dasar penulisan adalah fakta ilmu pengetahuan.

(38)

biasanya cepat dilupakan orang, apalagi dengan banyaknya muncul novel – novel baru yang lebih popular dan lebih mengikuti perkembangan zaman.

Sedangkan golongan berikutnya adalah novel serius, novel serius adalah novel yang isi ceritanya serba berkemungkinan serta dituntut konsentrasi untuk dapat memahami jalan cerita yang dipaparkan dalam novel tersebut. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang disajikan dalam novel ini disoroti dan diungkap sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius selain memberikan hiburan juga memberi pengalaman yang berharga kepada pembacanya, selain itu juga mengajak sang pembaca untuk meresapi permasalahan yang ditampilkan dalam novel tersebut. Hal ini lah yang merupakan kelebihan novel serius dibandingkan novel popular, sehingga tetap dapat bertahan dan tetap menarik di baca sepanjang masa.

(39)

permasalahan yang timbul di sekelillingnya baik dari cucunya Akihiro Tokunaga maupun dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan kecerdikan dan segala ide – ide cemerlangnya. Kemiskinan membuat nenek Osano menjadi seorang pekerja keras, bahkan di usianya yang sudah tua dan dengan ide – ide cemerlangnya ia membuat kehidupannya menjadi mudah namun tetap terhormat di mata orang – orang di sekitarnya.

2.2 Unsur Intrinsik Novel “Saga No Gabai Baachan”

Sebuah karya sastra seperti novel, pada dasarnya dibagun atas unsur – unsur berupa tema, alur (plot), setting (latar), penokohan (perwatakan) dan sudut pandang (pusat pengisahan). Struktur formal novel ini dapat di sebut sebagai element atau unsur – unsur yang dapat menentukan situasi umum dalam sebuah novel. Unsur – unsur struktur formal novel ini lah yang menjadi fokus untuk di telaah dalam bagian ini, berikut adalah telaah umum terhadap unsur – unsur struktur formal dalam novel “Saga No Gabai Baachan”.

2.2.1 Tema

(40)

Sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangatlah beragam. Tema dapat berupa segala hal berkaitan dengan permasalahan kehidupan, seperti moral, etika, agama, sosial budaya, tradisi dan teknologi. Namun, tema juga bisa berupa pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyikapi persoalan yang muncul.

Berdasarkan pengertian tema yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tema dari novel “Saga no Gabai Baachan” adalah tentang perjuangan seorang nenek dalam membesarkan seorang cucu yang dititipkan kepadanya dalam kondisi ekonomi mereka yang serba kekurangan namun dengan kerja keras dan ide cemerlang sang nenek, mereka dapat menjalani kehidupan dengan penuh kegembiraan tanpa mengharap belas kasihan dari orang lain.

2.2.2 Alur (Plot)

Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain, Stanton dalam Pratama (2011:20). Alur atau plot adalah suatu struktur yang merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai penghubung antar bagian – bagian dalam keseluruhan pada sebuah karya sastra fiksi.

(41)

dengan suatu peristiwa puncak serta penyelesaian di akhir cerita. Sedangkan alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari suatu peristiwa dimana peristiwa tersebut merupakan bagian dari peristiwa puncak atau peristiwa di akhir cerita yang kemudian jalan cerita tersebut kembali ke suatu peristiwa yang menyebabkan terjadinya peristiwa puncak atau akhir cerita tersebut.

Sedangkan menurut Aminuddin dalam Pratama (2011:21), alur cerita prosa fiksi pada umunya disusun berdasarkan urutan berikut:

1. Perkenalan

Pada bagian ini pengarang menggambarkan sitauasi dan memperkenalkan tokoh – tokohnya.

2. Pertikaian

Pada bagian ini pengarang mulai memunculkan pertikaian yang dialami para tokoh.

3. Perumitan

Pada bagian ini pertikaian para tokoh semakin menghebat. 4. Klimaks

Pada bagian ini puncak perumitan mulai muncul. 5. Peleraian

Pada bagian ini persoalan demi persoalan mulai terpecahkan.

(42)

dahulu semasa ia tinggal dengan sang nenek di sebuah desa bernama Saga dan membandingkan masa itu dengan masa sekarang ini. Kemudian dilanjutkan dengan mencerikan tentang awal bagaimana ia bisa sampai dititipkan kepada sang nenek oleh ibunya pada usia 8 tahun, cerita terus berlanjut sampai si pengarang menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada usia 16 tahun dan akhirnya kembali tinggal bersama sang ibu di kota Hiroshima.

2.2.3 Latar (Setting)

Dalam karya sastra fiksi, latar (setting) merupakan salah satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting. Karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya, Abrams dalam Pratama (2011:22). Kemudian menurut Abrams dalam Pratiwi (2012:21), menyatakan bahwa secara garis besar, latar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu:

1. Latar Tempat

Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat dengan nama, inisial atau lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

(43)

2. Latar Waktu

Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa atau waktu ketika peristiwa dalam cerita dalam novel tersebut terjadi. Latar waktu meliputi hari, tanggal, bulan, tahun dan bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut.

Dalam novel “Saga no Gabai Baachan” ini, latar waktu berlangsungnya cerita adalah tahun 1958 atau tahun ke 33 era Showa sampai dengan tahun 1966 atau tahun ke 41 era Showa.

3. Latar Sosial

Latar sosial mengacu kepada hal – hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat atau tokoh yang pada satu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun non fiksi. Latar sosial di sini dapat berupa kebiasaan hidup, cara berfikir, pandangan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan dan cara bersikap. Latar sosial ini juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau tinggi.

(44)

termasuk tokoh yang dituakan dan dihormati di lingkungan tempat tinggalnya.

2.2.4 Penokohan (Perwatakan)

Jones dalam Pratama (2011:22), menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang di tampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dalam karya sastra merujuk pada pelaku atau tokoh ceritanya. Menurut Abrams dalam Pratama (2011:22), menyatakan bahwa tokoh cerita adalah orang – orang yang ditampilkan dalam karya naratif yang ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Jadi, tokoh cerita memiliki peran penting sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau segala sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

Adapun tokoh – tokoh dalam novel “Saga on Gabai Baachan” adalah sebagai berikut :

1. Nenek Osano

Nenek Osano adalah merupakan tokoh utama dalam novel “Saga no

Gabai Baachan”. Ia adalah seorang nenek yang mandiri, pekerja keras,

(45)

2. Akihiro Tokunaga

Akihiro Tokunaga adalah merupakan cucu dari nenek Osano. Ia seorang anak yang periang, baik, mudah memaafkan orang lain, menghargai orang tua, penyayang dan memiliki semangat yang tinggi dalam menggapai cita-citanya. Namun terkadang Akihiro memiliki sikap yang usil dan nakal yang tidak jarang membuat nenek Osano kesal, walau demikian Akihiro merupakan cucu yang sangat disayangi oleh nenek Osano.

3. Yoshiko

Yoshiko adalah seorang wanita dewasa yang merupakan ibu dari Akihiro Tokunaga yang memiliki sifat penyayang, baik, bertanggung jawab, perhatian dan pekerja keras. Karena kesibukkannya bekerja mencari uang membuat ia tidak memiliki waktu untuk membesarkan anaknya, maka Akihiro dititipkan pada ibunya untuk dididik dan dibesarkan di kota Saga.

4. Kisako

(46)

5. Tanaka Sensei

Tanaka Sensei adalah seorang guru yang merupakan penasehat klub baseball di sekolah menengah pertama tempat Akihiro Tokunaga bersekolah. Ia sangat akrab dan baik kepada Akhiro karena pada saat itu Akihiro adalah kapten tim baseball di sekolahnya. Walau demikian Tanaka sensei memilki sifat penolong, perhatian, baik hati dan bijaksana.

2.2.5 Sudut Pandang (Pusat Pengisahan)

Sudut pandang atau point of view merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Aminudin dalam Pratama (2011:24) menyatakan bahwa sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita. Selain itu, pendapat lain menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca, Abrams dalam Pratama (2011:24).

Sudut pandang merupakan strategi, teknik dan siasat, dari pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya, selain itu posisi pengarang dalam cerita tersebut pula lah yang menjadi sudut pandang pembaca dalam mengikuti dan memahami jalannya cerita tersebut. Terdapat beberapa jenis sudut pandang (point

(47)

1. Pengarang sebagai tokoh utama.

Sering juga posisi yang demikian disebut sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang menuturkan dirinya sendiri.

2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan.

Disini pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita. Akan tetapi ia menceritakan sang tokoh utama. Dalam posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandang orang pertama pasif.

3. Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Disini pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal.

Dalam novel “Saga no Gabai Baachan”, Yoshichi Shimada bertindak sebagai tokoh sampingan. Ia bertindak sebagai tokoh Akihiro Tokunaga yang tidak lain merupakan dirinya sendiri semasa kecil dan menceritkan tentang kisah neneknya yaitu nenek Osano sebagai tokoh utama dalam novel tersebut.

2.3 Biografi Pengarang

(48)

Namun di kota kecil bernama Saga ini, bukan kehidupan yang lebih enak yang didapatinya. Tetapi kehidupan yang lebih miskin daripada kehidupannya ketika tinggal di Hiroshima. Walau hidup dalam kemiskinan, di bawah asuhan dan kasih sayang sang nenek ia menjalani kehidupannya dengan ceria dan selalu optimis akan segala tantangan hidup. Baginya, delapan tahun di Saga tinggal bersama sang nenek membuatnya banyak belajar tentang nilai – nilai kebahagian sejati manusia. Karena walau mereka berdua hidup miskin, tetapi tetap bahagia dan ceria dalam menghadapi kesehariannya.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertamanya di Saga, ia kembali ke Hiroshima untuk tinggal bersama sang ibu dan melanjutkan sekolahnya. Meski tadinya ia bermimpi menjadi pemain baseball profesional, entah bagaimana ia malah melakukan debut sebagai kelompok lawak manzai “B&B”, kemudian menjadi salah satu yang terkenal saat manzai booming di tahun 1980.

Dalam kehidupannya dewasa ini, Akihiro menikah dan memiliki dua orang anak. Namun walau demikian, ia tetap memegang teguh prinsip – prinsip hidup yang diajarkan nenek Osano semasa ia kecil dulu di Saga. Ia tidak mengenal kata – kata barang bermerek, interior canggih ataupun sajian mewah. Ia tetap hidup dalam kesederhanaan sesuai dengan ajaran sang nenek.

(49)

diundang sebagai bintang tamu dan diperkenankan memperkenalkan novel “Saga

no Gabai Baachan” ini. Kisah nenek hebat dari Saga ini begitu terkenal di Jepang

dan telah diadaptasi menjadi film layar lebar, game dan manga. Dan hingga saat ini Akhiro masih berkarya di dunia pertelevisian, panggung dan sebagainya.

2.4 Sosiologis dan Semiotik dalam Kajian Sastra

2.4.1 Sosiologis dalam Kajian Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman dan logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra berasal dari akar kata sas yang berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk pada definisi diatas, keduanya memiliki objek kajian yang sama yaitu manusia dan masyarakat.

Ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Ratna dalam Asking (2012:19), menyatakan sebagai berikut :

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh pengarang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

(50)

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

(51)

kekosongan sosial. Maksudnya adalah karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu serta menceritakan tentang kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra memiliki cakupan wilayah yang luas. Menurut Wellek dan Warren dalam Asking (2012:22), cakupan 

karya sastra dengan pendekatan sosiologis dibagi atas 3 klasifikasi, yaitu:

1. Sosiologi pengarang.

Hal ini berkaitan dengan profesi pengarang, latar belakang sosial status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang.

2. Sosiologi karya sastra.

(52)

3. Sosiologi sastra.

Hal ini berkaitan dengan pembaca dan dampak sosial karya sastra, mempengaruhi masyarakat. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka modal analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman dalam Antoni (2010:30) meliputi tiga macam, yaitu:

1. Menganalisis masalah – masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya hal tersebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antara struktur, bukan aspek – aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra gejala kedua.

(53)

Tujuan dari pendekatan sosiologi sastra ini adalah untuk mendapat gambaran yang lengkap, utuh serta menyeluruh tentang hubungan timbal balik sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Pada penelitian ini, karya sastra digunakan sebagai cerminan kehidupan masyarakat dengan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel “Saga no Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada khususnya tentang kehidupan masyarakat Jepang pada masa awal setelah Perang Dunia II.

2.4.2 Semiotik dalam Kajian Sastra

Media sastra adalah bahasa. Menurut Saussure dalam Pratiwi (2012:30), bahasa adalah sistem tanda. Tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yaitu yang ditangkap oleh indera kita yang disebut signifier (penanda) dan bentuk atau aspek lainnya yang disebut signified (petanda). Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

(54)

artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai adanya api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hugungan bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Misalnya kata “ibu” adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat pengguna bahasa (Indonesia). Inggris menyebutnya “mother”, Perancis menyebutnya “la mere”, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Dengan demikian, uraian tentang kajian semiotik yang berupa notasi simbol-simbol kemudian coba dijelaskan apa fungsi dan maknanya. Dalam hal ini, kajian semiotik ini akan dipergunakan oleh penulis untuk dapat menjelaskan makna yang terkandung dalam teks-teks pada novel “Saga no Gabai Baachan”.

(55)

Di antara banyaknya nilai – nilai tradisional Jepang yang berakar dari budaya luhur mereka, terdapat beberapa nilai budaya yang dapat ditemukan dalam teks – teks novel “Saga no Gabai Baachan” ini. Nilai – nilai itu seperti on, gimu,

giri, ninjou dan haji. Berikut penjelasan dari nilai – nilai budaya tersebut.

a. On

Menurut Benedict (1982:105), di dalam semua pemakaiannya “on” mengandung arti suatu beban, suatu hutang, sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang yang menerima “on” dari atasannya, dan tindakan menerima “on” dari siapa saja yang belum tentu atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu lebih rendah daripada si pemberi “on”.

On” bila dilihat dari si pemberi, maka dapat di bagi menjadi lima (Benedict, 1982:125). “Ko on” adalah “on” yang diterima dari kaisar. “Oya on” adalah “on” yang diterima dari orang tua. “Nushi no on” adalah “on” yang diterima dari majikan atau tuan. “Shi no on” adalah “on” yang diterima dari guru. Dan “on” yang diterima dalam semua hubungan dengan orang lain selama masa hidup si penerima.

(56)

b. Gimu

Bangsa Jepang membagi ke dalam kategori yang jelas tentang pembayaran kembali “on”, mana “on” yang jumlahnya dan jangka waktunya pembayarannya tanpa batas, dan mana “on” yang sama secara kuantitatif serta sudah harus dibayar pada kesempatan – kesempatan khusus. “Gimu” adalah pembayaran dan pengembalian tanpa batas utang “on” atau pembayaran kembali yang secara maksimal dari utang “on” yang dianggap masih belum cukup dan tidak ada batas waktu pembayarannya (Benedict, 1982:122-125).

Gimu” dibagi menjadi dua kelompok kewajiban yang berbeda. “Gimu” yang merupakan pembayaran kembali “on” kepada orang tua sendiri dan nenek moyang disebut “ko”, sedangkan “gimu” yang merupakan pembayaran kembali “on” kepada Kaisar, hukum, dan negara disebut “chu” (Benedict, 1982:122). Selain itu ada juga “gimu” yang disebut “nimmu” yang merupakan kewajiban terhadap pekerjaan seseorang (Benedict, 1982:125).

c. Giri

Berdasarkan Encyclopedia Wikipedia (2013) “giri” adalah nilai – nilai budaya Jepang yang dalam bahasa Inggris kurang lebih diartikan sebagai tugas atau kewajiban, atau bahkan beban kewajiban, dengan penekanan pada pengaruh budaya dan kultur Jepang, daripada hanya sekedar arti dari kata tersebut.

(57)

dengan nilai yang sama harganya dari apa yang telah diterima sebelumnya. Hubungan antara kedua belah pihak tersebut pun tidak hanya berlaku di antara mereka yang memiliki hubungan khusus, tetapi juga antara teman ataupun kolega dan relasi.

Giri” memiliki dua pembagian yang jelas, yang oleh Benedict (1982:141) dinamakan “giri kepada dunia” dan “giri kepada nama sendiri”. “Giri kepada

dunia” adalah kewajiban seseorang untuk membayar “on” kepada sesamanya,

sedangkan “giri kepada nama sendiri” adalah kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah (Benedict, 1982:141).

d. Ninjou

Menurut Befu dalam Setiawan (2009:2) “ninjou” terdiri dari dua karakter kanji, yaitu “nin” yang memiliki arti orang atau manusia, dan, “jou” yang memiliki arti emosi, perasaan hati, cinta kasih, simpati, ketulusan. Dalam penggunaannya kata ”ninjou” merujuk kepada kecenderungan perasaan peri kemanusiaan, kebaikan hati, dan keinginan – keinginan yang bersifat alamiah.

Sedangkan “ninjou” menurut kamus besar Kojien dalam Setiawan (2009:21) didefinisikan sebagai kebaikan hati, tenggang rasa, kasih sayang, getaran alami hati manusia. Pada awalnya istilah “ninjou” berasal dari kata

nasake” yang berarti kasih sayang. “Ninjou” adalah perasaan kasih sayang

(58)

melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan, Doi dalam Setiawan (2009:21).

Ninjou” berhubungan erat dengan “giri”. Dalam kehidupan masyarakat

Jepang, “ninjou” bertugas sebagai rasa ikhlas dalam membalas “giri” yang telah diterima dari orang lain. “Giri” mewakili rasa terbeban atas kewajiban seorang untuk membalas kebaikan yang telah ia terima dari orang lain. Menurut Minamoto dalam Setiawan (2009:21) menyatakan “ninjou” adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosi yang bekerja secara alami, yang mempengaruhi kepribadian manusia di dunia.

e. Haji

Menurut Benedict (1982:333) “haji” adalah rasa mau yang sehubungan dengan kehormatan atau harga diri. Rasa malu ini muncul dikarenakan ketidakmampuan membalas “on” orang lain, yang terdiri dari “giri” dan “gimu”. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan.

(59)

Dan seseorang yang tahu malu di definisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang terhormat (Benedict, 1989:234).

(60)

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGI TERHADAP CERITA NOVEL “SAGA NO GABAI BAACHAN” KARYA YOSHICHI SHIMADA

3.1 Sinopsis Cerita Novel “Saga no Gabai Baachan”

Pasca pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki, perekonomian Jepang hancur, sehingga dampaknya secara langsung juga dirasakan oleh sebagian besar rakyatnya. Hal ini juga dirasakan oleh keluarga Akihiro Tokunaga, apalagi tak lama setelah Akihiro lahir ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga meninggal dunia akibat terpapar radiasi bom atom di Hiroshima. Ibunya terpaksa bekerja sendiri membuka usaha bar kecil untuk menghidupi dirinya, Akihiro dan abangnya. Kesibukan di bar membuat ibunya tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk membesarkan Akihiro dan abangnya. Ditambah pula bar tersebut berada di wilayah kumuh, membuat ibu merasa cemas akan perkembangan Akihiro yang saat itu usianya masih sangat kecil. Karena merasa tak sanggup untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya di Hiroshima, maka oleh ibunya Akihiro dititipkan pada neneknya di kota Saga. 

(61)

neneknya yang bersahaja ternyata membuat hidupnya menjadi kaya akan berbagai pengalaman hidup yang kelak akan membuatnya kaya dan bahagia secara batiniah.

Kehidupan Akihiro bersama neneknya memang sangat-sangat sederhana bahkan bisa dikatakan sangat miskin. Neneknya hanyalah seorang petugas kebersihan di sebuah universitas di Saga. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya nenek Osano hanya mengandalkan gajinya yang kecil dan uang bulanan kiriman ibu Akihiro yang pas – pasan. Namun walau hidup miskin bukan berarti nenek Osano menyerah pada keadaan dan menjadi nenek yang murung. Bersama Akihiro ia menjalani hidupnya secara optimis, wajahnya selalu berseri karena bagi dia kebahagiaan bukan ditentukan oleh uang, melainkan dari hati. Nenek Osano menerima kenyataan bahwa ia hidup dalam kemiskinan, tapi ia tak mau bersedih dengan keadaannya. Dalam sebuah kesempatan, nenek Osano mengatakan pada Akihiro bahwa ada dua jenis orang miskin yaitu miskin muram dan miskin ceria dan miskin yang mereka jalani ini adalah miskin ceria dan kemiskinan ini juga sudah turun temurun jadi sudah terbiasa.

(62)

menggelutinya hingga mengantarnya menjadi juara lomba lari dan pemain andalan bisbol karena kecepatan larinya.

Untuk menyiasati hidupnya yang serba kekurangan nenek Osano memanfaatkan semua yang ada di sekitarnya. Ketika berangkat kerja nenek Osano tanpa malu sengaja mengikatkan sebuah tali di pinggangnya dimana di ujungnya terdapat sebuah magnet yang menyapu tiap jalan yang dilaluinya. Dengan cara itu ia mendapat paku atau sampah logam yang berserakan di jalan untuk dikumpulkan dan dijual kembali. Ketika Akihiro menanyakan hal ini pada neneknya, neneknya menjawab dengan lugas bahwa sungguh sayang kalau kita hanya sekedar berjalan tanpa memperhatikan jalan sekitar. Padahal banyak hal-hal yang sangat menguntungkan yang dapat kita temukan. 

Persoalan utama menjadi miskin adalah makan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, setiap harinya nenek memanfaatkan sungai yang mengalir di depan rumahnya. Setiap hari ia mengumpulkan ranting-ranting yang terseret arus sungai, ranting-ranting itu kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Selain itu sungai itu pula selalu membawa sayur-sayuran dan buah-buahan yang dibuang penjualnya karena tidak laku dan rusak secara fisik. Sayur-sayuran dan buah-buahan itu diambil oleh nenek Osano, dicuci dan dimasak. Dengan begitu sebagaian besar makanan yang ada di rumah nenek merupakan hasil perolehan dari sungai. 

(63)

Walau hidup miskin nenek Osano juga selalu berusaha berbuat kebaikan tanpa harus digembar-gemborkan atau diketahui oleh si penerima kebaikan karena baginya kebaikan sejati dan tulus adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.

Hal-hal seperti inilah yang dilihat dan dialami oleh Akihiro selama ia tinggal bersama neneknya. Bagi Akihiro ini adalah kesempatan berharga dimana dia bisa memiliki pengalaman yang luar biasa untuk menjalani hari-hari bersama neneknya yang sangat menyenangkan walau kemiskinan membelit hidup mereka.

(64)

3.2 Analisis Sosiologis Tokoh Utama dalam Novel “Saga no Gabai Baachan” Karya Yoshichi Shimada

3.2.1 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama dengan Anggota Keluarga Berikut adalah interaksi sosial yang terjadi antara nenek Osano dengan anggota keluarga. Dalam hal ini melibatkan anak, cucu dan sepupu.

Cuplikan 1 : Nenek Osano dan Akhiro Tokunaga (Cucu)

Hal : 59 – 60

Segera saja seusai sekolah aku mencoba ikut latihan. Meski olahraga yang ini tidaklah semenarik kendo bagiku, berbeda dengan kendo, judo hanya membutuhkan pakaian khusus.

Aku pun buru – buru pulang, kemudian masih dengan napas terengah – engah memohon kepada nenek.

“Aku ikutan judo ya, nek? Dibandingkan kendo, judo tidak butuh banyak uang kok.”

“Gratis?”

“Yah, tidak gratis juga sih...”

“Lupakan saja.”

(65)

Saat aku sekuat tenaga menjelaskan soal ini kepada nenek, nenek mendengarkan dengan seksama lalu mengangguk keras.

“Baiklah. Kalau begitu, aku punya ide bagus.”

“Apa?”

“Mulai besok, kau lari saja.”

“Lari?”

“Ya. Tidak perlu peralatan dan tempat berlarinya juga gratis. Lari saja.”

Meski merasa ada sesuatu yang aneh, karena masih kanak – kanak, aku pun setuju dan memutuskan untuk mulai olahraga lari.

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat diketahui interaksi yang terjadi antara nenek Osano dengan Akihiro Tokunaga yang tidak lain adalah cucunya sendiri. Dalam cuplikan di atas, dapat dilihat adanya hubungan saling pengertian antara keduanya. Di mana Akihiro meminta izin dan dukungan dari nenek Osano untuk mengikuti latihan Judo. Namun tentunya hal ini di tolak oleh nenek Osano, dikarenakan olahraga Judo memerlukan biaya untuk latihan.

(66)

kondisi keuangan keluarganya yang tidak bisa dikatakan berlebih. Selain itu, dari cuplikan di atas dapat dilihat kecerdikan nenek Osano dalam menyikapi permintaan Akihiro yang mendesak untuk mengikuti latihan Judo.

Cuplikan di atas juga mengandung nilai “ninjou” yang diperlihatkan oleh sikap nenek Osano kepada Akihiro. Karena nenek Osano mau mendengarkan permintaan Akhiro dan penjelasannya tentang olahraga Judo yang ingin dikutinya. Walau permintaan itu di tolak, tetapi nenek Osano mau meluangkan pemikirannya untuk membantu Akihiro mencari olahraga lain sebagai kegiatannya.

Cuplikan 2 : Nenek Osano dan Bibi Kisako (Anak Nenek Osano) Hal : 32 – 33

Rumah itu secara luar biasa tampak menyatu dengan rumpun pampas. Rumah yang paling menyedihkan. Rumah yang sungguh merupakan penggambaran tepat gubuk bobrok beratap jerami dalam kisah rakyat Jepang. Sudah begitu, separuhnya, di bagian yang jeraminya terlepas tampak ditempeli lempengan timah.

“Akihiro – Chan, kita sudah sampai,” begitulah kata bibi.

Langkahnya berhenti di depan rumah tersebut.

Saat itu kepalaku langsung kosong.

(67)

“Ibu, kami sudah tiba.”

Ketika bibi membuka pintu depan rumah lebar – lebar, dari dalam muncullah sosok nenek yang di luar dugaan bertubuh tinggi dan langsing, berkulit putih bersih, dan memiliki aura anggun.

Melihat ini, kalau boleh jujur, aku agak kecewa.

“Akihiro – Chan, ini nenekmu,” Bibi berucap sambil berdiri di antara aku dan nenek.

Kemudian seolah ingin menyadarkan diriku yang cuma diam terpaku, dia menambahkan sambil tersenyum, “Waktu kau masih kecil, kalian pernah bertemu. Ingat, tidak?”

Aku rasa bibi sedang berusaha keras mencari kata – kata yang tepat untuk saat itu. Meski sudah tentu, saat nenek dan aku bertemu untuk pertama kali, aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya.

“Nah, sekarang Bibi pulang ya... Ibu, selanjutnya kuserahkan kepadamu.”

(68)

Analisis :

Dari analisis cuplikan di atas dapat dilihat bahwa hubungan nenek Osano dengan bibi Kisako berjalan dengan baik. Walaupun bibi Kisako jarang datang berkunjung ke rumah nenek Osano, tetapi hubungan di antara keduanya baik – baik saja. Bibi Kisako pada hari itu datang hanya untuk menitipkan Akihiro, tetapi nenek Osano tetap bersikap biasa – biasa saja seperti tidak ada masalah. Padahal Akihiro di titipkan kepada nenek Osano untuk tinggal bersama nya di kota Saga karena ibunya sibuk bekerja di kota Hiroshima.

(69)

Cuplikan 3 : Nenek Osano dan Yoshiko Tokunaga (Anak Nenek Osano dan Ibu Akhiro)

Hal : 132 – 134

Nah, karena hanya bisa bertemu setahun sekali, aku dan ibuku berkomunikasi lewat surat – menyurat. Kalau aku menulis, “Aku butuh barang ini, jadi tolong kirim ya,” sudah pasti hanya separuh surat yang dikabulkan, sedangkan separuhnya lagi tidak.

Dari kenyataan ini, aku dapat merasakan kasih sayang sekaligus kesusahan ibu.

Saat surat dari ibu datang, pasti ada dua surat yang datang bersamaan. Yang satu, khusus ditujukan kepadaku sedangkan yang satu lagi, khusus untuk nenek.

Di hari itu pun, dua surat datang dari Ibu. Aku dan nenek sedang berada di ruang duduk sambil membaca surat.

“Permisi!”

“Ya, sebentar. Siapa ya?”

Karena ada suara yang menyapa di pintu masuk, nenek pun keluar untuk melihat siapa yang datang. Pada saat itu, surat untuk nenek tergeletak begitu saja dalam keadaan terbuka.

(70)

Surat tersebut dibuka dengan tulisan, “Ibu yang tersayang. Apakah Akihiro sehat – sehat saja?”

Karena namaku sudah muncul di awal surat, saking bahagianya aku pun melanjutkan membaca. Sayangnya setelah itu, surat tersebut hanya dapat mengisahkan kesulitan Ibu.

“... Meski setiap bulan biasanya aku dapat mengirimkan lima ribu yen, sayangnya untuk bulan ini, aku hanya dapat mengirim dua ribu yen. Untuk sisanya, aku harap Ibu dapat membantu,” begitu isinya.

Waktu Nenek kembali ke ruang duduk, aku langsung duduk dengan memasang wajah tak tahu apa – apa. Meski sebenarnya hatiku bergemuruh karena tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Analisis :

(71)

Dari isi surat yang di tujukan kepada nenek Osano pada cuplikan di atas dapat lihat juga rasa sayang yang mendalam dari Yoshiko kepada Akhiro dan juga rasa hormatnya kepada nenek Osano karena sudah merawat serta menjaga Akhiro untuk dirinya yang sibuk bekerja di Hiroshima. Rasa hormat dari Yashiko kepada nenek Osano di sini merupakan suatu bentuk “gimu”, karena nenek Osano adalah ibunya Yoshiko dan juga karena pada saat itu nenek Osano menggantikan posisi Yashiko dalam merawat serta mendidik Akihiro.

Cuplikan 4 : Nenek Osano dan Sanrou – San (Sepupu Nenek)

Hal : 198 – 199

Kalau ditulis seperti ini, seolah nenek hanya bisa bergantung pada kebaikan orang lain. Tapi sebenarnyanenek sendiri juga orang yang gemar membantu orang lain.

“Permisi.”

Ketika datang kerumah, sepupu nenek, Sanrou – san, selalu membawa serta bungkusan kain besar. Lalu sambil melebarkan bungkusan kain tersebut untuk memperlihatkannya kepada kami, dia akan berkata, “Hari ini, begitu kain ini selesai dijahit, aku akan membawanya dan mendapatkan uang sepuluh ribu yen di akhir bulan.”

(72)

“Tolong pinjami aku lima ribu yen, akan ku kembalikan di akhir bulan.”

Pertama kali mendengar permintaanya, aku tak dapat memepercayai telingaku sendiri. Tak kusangka ada orang yang bakal datang ke rumah ini untuk meminjam uang!

Bila dipikir – pikir, sebenarnya siapa yang berhati besar dan siapa yang lebih membutuhkan bantuan di sini? Sanrou-san mungkin yang kedua, karena nenek tidak pernah sekalipun menolak permintaannya.

Nenek akan membuka nagamochi beremblemnya, lalu seolah tidak ada masalah apa – apa, memberi uang lima ribu yen kepada Sanrou-san. “Kapan saja, tidak apa – apa.”

Bila dipikir – pikir, kehidupan kami sehari – hari tidaklah selalu mudah, namun jika melihat kejadian ini, aku benar – benar tidak tahu apakah nenek memang pelit atau malah royal. Sungguh nenek yang aneh.

Analisis :

(73)

Dari peristiwa ini dapat dilihat kebaikan hati nenek Osano yang merupakan penerapan dari “ninjou” dalam masyarakat Jepang, walaupun ia miskin tetapi tetap ingin menyenangkan hati orang dengan meminjamkan uangnya kepada orang yang membutuhkan. Selain itu, dari peristiwa di atas dapat dilihat bahwa nenek Osano menanamkan “giri” kepada Sanrou – San yang kelak suatu hari bila nenek Osano memerlukan bantuan, maka Sanrou – San wajib membantunya.

3.2.2 Analisis Interaksi Sosial Tokoh Utama dengan Anggota Masyarakat Berikut adalah interaksi sosial yang terjadi antara nenek Osano dengan anggota masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.

Cuplikan 1 : Nenek Osano dan Wali Kelas Akihiro di Sekolah Dasar

Hal : 67 – 69

Kami harus menjawab berbagai pertanyaan sepeti “pagi ini kaumakan apa?” atau “malam kemarin kau menyantap apa?” dan sebagainya, menuliskannya di buku catatan, kemudian mengumpulkannya ke guru.

“Saat sarapan, aku makan sup miso isi lobster.”

“Saat makan malam, aku makan lobster panggang.”

(74)

Mungkin dia berpikir, dengan rumah seperti ini, bukannya aneh kami makan lobster dua kali sehari, sudah begitu setiap hari pula.

“Berikut ini adalah jawaban Tokunaga – Kun. Apa memang benar begitu?” wali kelasku bertanya sambil menunjukkan buku cacatanku ke nenek.

Karena merasa tidak bersalah, aku langsung bangkit dan membela diri dengan keras.

“Tapi aku tidak bohong! Ya kan, nek? Kita setiap hari memang makan lobster untuk sarapan dan makan malam, kan?”

Mendengar ini, kontan nenek langsung tertawa terbahak – bahak.

“Sensei, maaf. Yang kami makan memang bukan lobster, melainkan udang karang. Akulah yang bilang kepada anak ini bahwa kami makan lobster...”

“Jadi begitu ya?”

“Lagi pula, bukankah tampilan mereka kurang lebih sama?”

“Memang ya...,” kata wali kelasku sambil ikut tertawa keras, sepertinya merasa lega.

Ternyata nenek memberiku udang karang, meski memberitahuku lobsterlah yang kami santap. Berhubung karena aku satu kali pun belum pernah makan lobster, kata – kata nenek aku percaya begitu saja.

(75)

Analisis :

Dari cuplikan di atas, sekali lagi dapat dilihat keramahan dan hubungan baik nenek Osano kepada siapa saja walaupun orang tersebut jarang ia temui. Padahal wali kelas Akihiro datang untuk menanyakan perihal tentang kejanggalan dalam buku catatan makanan milik Akihiro, tapi nenek tetap menyambutnya dengan baik dan meminta maaf karena telah berkata bohong kepada Akihiro tentang makanan yang mereka makan setiap hari.

(76)

Cuplikan 2 : Nenek Osano dan Pedagang Tahu Hal : 191 - 193

Totett, totett…

Hari itu, seperti biasa suara terompet tukang tahu terdengar.

“Akihiro, beli sana,” kata nenek yang sedang memberi makan ayam, sambil mengulurkan uang logam lima yen kepadaku.

“Baik. Paman, mau beli!”

Sambil menggenggam uang lima yen tadi, aku berlari mendekati paman penjual tahu. Saat itu, paman tepat sedang menerima uang dari pelanggan yang dating duluan.

“Nah, dua potong tahu, jadinya dua puluh yen ya?”

“Benar, terima kasih banyak”.

Sambil mendengar proses jual – beli itu, aku mengintip ke dalam kotak di atas palet sepeda dan mendapati tahu hari ini masih dalam keadaan bagus. Semuanya masih berbentuk segi empat rapi.

“Nenek, tidak bisa! Hari ini tidak ada tahu yang rusak!” sambil berkata begitu, aku mulai berjalan kembali ke rumah.

Namun, paman penjual tahu memanggil untuk menghentikanku, “Tidak, tidak, ada kok yang rusak!”

(77)

Aku membalikkan tubuh nyaris pada saat yang sama dengan ketika paman penjual tahu merusak tahu di dalam kotak dengan tangannya sendiri.

“Nah, kan ada. Ini, lima yen,” kata paman sambil memberi kode dengan matanya dan mengangguk.

Melihat ini aku pun tersadarbahwa di hari tidak ada tahu rusak, pasti si paman selalu melakukan itu untuk kami. Aku sempat bingung antara mengambil kebaikan ini atau tidak, tetapi begitu melihat senyuman lebar dan anggukan kepala paman penjual tahu, aku hanya bisa diam dan menerimanya.

Aku baru menceritakan hal ini pada nenek lama setelahnya.

Analisis :

Dilihat dari cuplikan di atas, antara paman pedagang tahu dan keluarga Tokunaga terutama dalam hal ini nenek Osano berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari situasi di mana paman pedagang tahu merusakkan tahu dagangannya sendiri di hari ketika tidak ada tahu yang rusak untuk dapat dijual dengan setengah harga kepada keluarga Tokunaga.

(78)

tindakan tertentu yang memudahkan kehidupan nenek Osano dan cucunya Akhiro Tokunaga.

Cuplikan 3 : Nenek Osano dan Petugas Air

Hal : 193 – 194

Saat itu, paman petugas penagih tagihan air datang. Kemudian dengan santai dia menanyakan sesuatu yang isinya sungguh berlawanan dengan sikapnya, “Tokunaga – san, tagihan air anda sudah nunggak tiga bulan loh.”

Nenek yang menjadi lawan bicaranya, sejenak menampilkan wajah kesulitan. Namun kemudian dia melihat diriku yang mondar – mandir situ, sehingga dengan segera mendapatkan ide berdalih, “Akihiro, akhir – akhir ini, sekitar dua – tiga bulan, kita tidak minum air, kan?”

“Um,” jawabku hanya bisa mengangguk, padahal di dalam hati aku berkata, itu jelas – jelas bohong.

Tapi paman petugas hanya tertawa terbahak – bahak mendengar jawaban nenek tadi. “Oh, begitu ya. Kalau begitu, bulan depan saya kesini lagi,” katanya, kemudian dia berlalu pergi begitu saja.

Begitu paman sudah tidak ada, aku berkata kepada nenek, “Memangnya aku kadal?”

(79)

Analisis :

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara nenek Osano dengan Petugas Air berjalan dengan baik. Hal ini dapat di diketahui dari sikap petugas air yang percaya saja pada alasan nenek Osano yang dibuat – buat untuk menunda pembayaran tagihan air pada bulan tersebut. Petugas air itu hanya tertawa mendengar alasan tersebut dan mengatakan ia akan kembali bulan depan untuk menagih tagihan air rumah nenek Osano.

(80)

Cuplikan 4 : Nenek Osano dan Dokter Hal : 194 – 198

Pernah satu kali, aku melukai mataku saat naik sepeda.

Mata kiriku terbentur sangat keras pada setang sepeda. Karena kukira tidak masalah, aku biarkan saja. Namun di keesokan harinya, lalu di hari berikutnya pun, bukannya makin mereda, rasa sakitnya malah makin bertambah parah.

Di hari ketiga, karena sudah tidak tahan, aku pergi kerumah sakit sepulang sekolah. Aku tidak

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, penulis menganalisis kondisi psikologis tokoh utama dari Novel Skandal yang kemudian dihubungkan dengan pemdekatan semiotik yang digunakan untuk menjabarkan

Di dalam novel dapat dilihat hubungan Musashi dengan orang lain dalam masyarakat dan bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain, di mana pada saat itu ada empat lapisan

Mencari, mengumpulkan, menganalisis, dan mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat dalam novel “Saga no Gabai Baachan” karya Yoshichi Shimada yang diprediksi

Moral pada sebuah karya sastra biasanya dilihat dari segi etika dan kenyakinan,. sehingga teori ini cenderung menjerumus kepada segi-segi

Salah satu karya sastra yang penulis anggap banyak mengandung pesan moral, yang akan ditelaah teksnya adalah terdapat dalam novel dengan judul Saga.. No

Bushido merupakan kode etik yang digunakan oleh samurai namun seiring dengan berjalannya waktu meluas hingga menjadi tradisi pada masyarakat Jepang. Nilai-nilai

Bushido merupakan kode etik yang digunakan oleh samurai namun seiring dengan berjalannya waktu meluas hingga menjadi tradisi pada masyarakat Jepang. Nilai-nilai

dilakukan dihasilkan Hiroshima sebagai karya sastra nonfiksi yang ditulis dengan..