• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan

2.7.1. Analisis Isi (Content Analysis) Peraturan Perundangan

Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis

dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk- bentuk tertulis lainnya (Henderson, 1991 dan Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel et al. 1996).

Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel et al, 1996).

Tahapan/prosedur dalam melakukan content analysis dimulai dari identifikasi permasalahan penelitian, review teori dan penelitian sebelumnya, menentukan fokus penelitian, mendefinisikan isi dokumen yang relevan, membuat desain yang lebih spesifik, membuat tabel contoh, membangun protokol untuk pengkodean, spesifikasi populasi, spesifikasi kerangka sample, melakukan analisis percobaan, memproses data dan melaporkan hasil (Borg et al., 1989; Riffe et al., 1998; Fraenkel et al., 1996, dan Krippendorff, 1980). Secara ringkas tahapan content analysis ini disajikan pada Gambar 20.

Konseptualisasi (Conceptualization) Rancangan (Design) Analisis (Analysis)

Identifikasi Problem Penelitian

Review Theory

dan Penelitian Sebelumnya

Assert Research Questions

Penentuan Konteks yang relevan

Spesifikasi Desain Formal

Pembuatan Dummy Tables

Pretest

Proses pengolahan data : Analisis kualitatif, Analisis Kuantitatif

atau gabungan keduanya Tetapkan Reliability

HASIL

Pembangunan Protokol Pengkodean

Spesifikasikan Populasi

Spesifikasi Sampling Frame

Gambar 20. Prosedur Analysis Isi (content analysis)

Sumber : Rosylin, 2008

Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan tentang mineral dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial.

2.7.2. Proses Perubahan Kebijakan

Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah; tetapi juga melibatkan proses

”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama.

Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model liner. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton, 1999) :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Sedangkan menurut (IDS, 200) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.

2. Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran-ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.

3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.

4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama.

5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).

6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.

7. Co-Produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.

8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan.

Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan (Gambar 21) (IDS, 2006), yaitu :

1. pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’? Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya ?);

2. para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung ?); dan

3. politik dan kepentingan ( apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan ?)

Diskursus & Naratif Politik & Kepentingan Pelaku & Jaringan Kerja

Gambar 21. Kerangka Hubungan Antar Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan (Sumber : Institute of Development Studies, 2006)

Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan. Mereka sering menetapkan keyakinan- keyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh.