• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Performa Pertambangan Indonesia

Seperti didiskripsikan pada bab pendahuluan bahwa komoditi pertambangan bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana sumberdaya terbarukan

(renewable resources). Untuk itu eksploitasi sumberdaya mineral harus dilakukan secara

hati-hati agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD ’45 ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar– besar kemakmuran rakyat”.

Industri pertambangan di Indonesia pada era Orde Baru dimulai sejak disyahkannya UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11/67) dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA 67). Melalui konsep Kontrak Karya Pertambangan (KKP) dan Perjanjian Karya

Gambar 11. Kerangka Berfikir Total Factor Productivity (TFP) Mengatasi salah urus dan

korupsi, Mengurangi distorsi yang mengutamakan K, Memperbaki Kegagalan Pasar yang merusak H, R dan S, Memperbaiki Institusi Pertumbuhan Kapital Fisik (K) Kesejahteraa n Masyarakat Kapital Alami (R) Kapital Social (S)

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sektor pertambangan Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tidak kurang dari 376 perusahaan telah mengantongi ijin untuk menambang emas, tembaga, batubara serta mineral logam lainnya. Seiring dengan munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang terus berkepanjangan menjadi krisis politik dan sosial, Indonesia hingga saat ini dianggap bukan lagi sebagai tempat untuk tujuan investasi pertambangan (Sigit, 2004).

Dalam empat dekade terakhir ini, industri pertambangan di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan nasional maupun bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua, Sumbawa Barat dan lain-lain. Munculnya ketidakpuasan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral tersebut, terutama sejak era reformasi 1998 karena pengelolaan pertambangan bersifat sentralistik dan sektoral. Ketidakpuasan itu bersumber karena adanya ketimpangan pendapatan bagi hasil sumberdaya mineral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selama masa orde baru. Berdasarkan studi Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006) alokasi pendapatan sektor pertambangan dari pembagian pajak dan royalty ke provinsi, kabupaten dan kota sebesar 57,1% masih jatuh ke pusat setelah estimasi bagi hasil melalui dana alokasi umum (DAU) disertakan, bila tidak pemerintah pusat masih memegang 76% dari dana tersebut (Gambar 12).

Euforia reformasi tahun 1998 secara emosional ikut memicu daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral untuk memisahkan diri dari NKRI dalam bentuk separatisme yang masih merebak hingga saat ini misalnya untuk kasus Papua dan Aceh. Disamping masalah bagi hasil pendapatan sumberdaya mineral dengan pemerintah pusat, kekecewaan daerah penghasil juga bersumber dari tidak adanya kepemilikan saham pemerintah daerah. Sebenarnya di dalam Kontrak Karya Pertambangan terdapat pasal yang mewajibkan penjualan saham asing pada pihak Indonesia. Namun ketidakmampuan kepemilikan saham daerah penghasil sangat terkait dengan besarnya dana yang harus disediakan untuk membeli saham perusahaan pertambangan yang tertuang dalam Kontrak Karya Pertambangan. Misalnya saat PT. Newmont Nusa Tenggara mendivestasikan sahamnya sebesar 3% tahun 2006 maka dana yang harus disiapkan oleh pembeli adalah Rp. 1,09 triliun. Anggaran sebesar itu setara dengan empat kali lipat APBD Kabupaten Sumbawa Barat 2007 yang hanya Rp. 260 milyar.

Gambar 12. Alokasi Pendapatan Sektor Pertambangan di Indonesia Sumber : Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 (IMA, 2006)

Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fraser Institute di Vancauver, Canada, tahun 2004 (IMA, 2006) terhadap 159 perusahaan tambang dan eksplorasi di seluruh dunia, ternyata ada beberapa hal yang dianggap sangat menghambat minat investasi dunia di Indonesia antara lain, faktor stabilitas politik 90 %, ketidakpastian peraturan 66 % dan tumpang tindih peraturan 53 % (Tabel 7). Studi tersebut juga menyebutkan berbagai ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia berkenaan dengan klaim tanah oleh penduduk asli, wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional dan minimnya infrastruktur (Tabel 8).

Tabel 7. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertambangan di Indonesia

No. Faktor % responden yang

mempertimbangkan faktor sebagai hambatan utama investasi di Indonesia

Komentar

1. Stabilitas Politik 90%

Hanya Zimbabwe (97%) yang mendapat nilai lebih buruk

2. Ketidakpastian hukum 66% Nilai terburuk

3. Duplikasi (tumpang tindih

peraturan)

53%

Hanya India (66%) dan Filipina (69%) yang mendapat nilai lebih buruk

Tabel 8. Berbagai Ketidakpastian Investasi Pertambangan di Indonesia

No. Faktor % responden yang

mempertimbangkan faktor yang merupakan

ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia

Komentar

1. Ketidakpastian berkenaan dengan klaim tanah oleh penduduk asli

22% peringkat terendah ke-5

2. Ketidakpastian berkenaan dengan wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional

13% peringkat terendah ke-2

3. Infrastruktur 24% peringkat terendah ke-4

Sumber : Fraser Institute, 2004

Demikian juga dengan hasil laporan Word Bank (IMA, 2006) tentang indeks kepercayaan investor menyebutkan bahwa Indonesia relatif memiliki tingkat kepercayaan investor yang lebih rendah dari Thailand dan Vietnam (Gambar 13). Rendahnya tingkat kepercayaan investor ini mengakibatkan munculnya disentif yang sangat besar bagi investor untuk ikut serta dalam kegiatan investasi di Indonesia, termasuk investasi pada sektor pertambangan yang relatif memakan waktu yang lama serta risiko yang besar (IMA, 2006).

Faktor lain yang menjadi kendala melemahnya investasi pertambangan di Indonesia adalah besarnya korupsi pada sektor pemerintahan di Indonesia. Gambar 14 memperlihatkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia relatif sangat parah dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memiliki tingkat korupsi yang lebih buruk dibandingkan dengan India dan Thailand serta sangat jauh jika dibandingkan dengan Malaysia. Tingkat korupsi yang parah ini jelas menimbulkan disentif yang sangat besar bagi investasi pertambangan, mengingat kegiatan pertambangan melibatkan sejumlah peraturan yang diatur oleh pemerintah sehingga tingkat korupsi yang besar akan mengurangi kepastian berusaha karena adanya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Gambar 13. Index Kepercayaan Investor (FDI Confidence Index Among Global Investors)

Gambar 14. Indeks Persepsi korupsi 2003 Sumber : Transperancy International, 2003

Jika dilihat dari perspektif daerah penghasil, sektor pertambangan sering menimbulkan kondisi kantong (enclave) pada masa operasi, terjadinya efek pengurasan

(backwash effect) oleh daerah-daerah yang lebih maju yang justru menghambat

perkembangan wilayah-wilayah perdesaan/hinterland yang kaya sumberdaya mineral

(Anwar 2001). Sebagai akibatnya investasi pertambangan menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah (regional leakage) bagi daerah penghasil pada masa operasi karena kecilnya penggunaan dan pembelian barang dan jasa di daerah setempat yang mana

sebagian besar barang dan jasa tersebut harus di import.

Menurut Agenda 21 sektor Pertambangan (2001) menyatakan bahwa industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsi-fungsi

lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam prespektif lingkungan, kehadiran industri pertambangan pada suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya depresiasi (degradation dan depletion) lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati flora dan fauna, hutan, lahan, sungai dan laut. Potensi-potensi

positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasi potensi-potensi negatif itu, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan kepentingan masyarakat.

Pertambangan juga berdampak pada kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam. Aksessibilitas masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam sebagai mata pencaharian tradisionalnya dapat hilang jika

wilayah Kontrak Karya Pertambangan tertutup bagi mereka, hal ini dapat menjadi masalah serius bagi penduduk setempat. Munculnya berbagai masalah sosial budaya, pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya kearifan-kearifan lokal masyarakat asli

(indegenous people) turut mewarnai perjalanan industri pertambangan di Indonesia

selama empat dekade terakhir ini.

Meskipun berbagai persoalan yang menghambat investasi pertambangan di Indonesia namun sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya mineral yang

cukup kaya dan beragam. Menurut Hamilton dan Katili (Sigit, 1996) secara geologi posisi Indonesia diuntungkan karena berada pada konvergensi tiga lempengan raksasa dunia yakni lempengan Australia-Hindia yang bergerak ke Utara, lempengan Pasifik bergerak ke Barat dan lempengan Eurasia (Eropa Asia) yang relatif diam. Konvergensi

ke tiga lempengan tersebut membawa dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Dampak negatifnya ; struktur kepulauan Indonesia di penuhi oleh deretan gunung berapi yang berpotensi mendatangkan bencana. Dampak positifnya; pola penyebaran mineralisasi hampir merata pada gugus kepulauan Indonesia yang mengandung potensi

Tabel 9. Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia

No Jenis Mineral Deposit (cadangan) Lokasi Keterangan 1. Bauksit 1,3 milyar ton Pulau Bintan Propinsi

Riau. Kalimantan Barat

PT. Aneka Tambang memiliki izin

penambangan tunggal seluas 10.000 ha 2. Batubara 36,5 milyar ton Sumatera Barat,

Sumatera Selatan, Irian Jaya dan Pulau Jawa 3. Kobalt Nomor 3 terbesar di

dunia setelah Kanada dan Uganda

Pulau Wageo (antara pulau Halmahera dan Irian Jaya)

4. Tembaga 32 juta ton Grasberg, Irian Jaya, Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi

PT. Freeport Inc

5. Intan Tidak ada data Kalimantan Selatan Kandungan mineral yang penting di Kalsel

6. Emas 3120 ton Grasberg Irian Jaya.

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Wetar Irian Jaya

PT. Freeport Inc

7. Kaolin tidak ada data Sulawesi Timur Laut, Kepulauan Bangka dan Belitung

Di Belitung terdapat 14 pertambangan

8. Mangan tidak ada data Jawa Barat, Jawa Tengah

9. Mika tidak ada data Wasior, Irian Jaya 10. Pasir Besi tidak ada data Cilacap, Bali, Ende

(NTT), Sumatera 11. Pasir Chroom tidak ada data Pulau Halmahera 12. Nikel + 27.000 ton nikel

kasar (nikel matte) tahun 1990. 1000 juta ton nikel laterit dengan kandungan logam 13 juta ton

Soroako Sulawesi Selatan, Kalimantan, Halmahera dan Irian Jaya

PT. INCO

13. Timah 24.000 ton Kepulauan Riau, lepas pantai timur Sumatera. Pulau Bangka Sumatera Selatan

PT. Tambang Timah (BUMN)

14. Uranium tidak ada data Sungai Riang Kalbar, sungai Mahakam, Sibolga SUMUT, Kelian KALTIM, Sungai Momi Monokwari Irian Jaya

Di survey oleh PT.Anggi Chemaloy

15. Seng tidak ada data Irian Jaya

Sumber : diolah dari berbagai sumber, 2006

Tentang potensi sumberdaya mineral (Bachriadi, 1998) menambahkan Indonesia menyimpan kandungan minyak terbesar di dunia, juga dikenal sebagai penghasil timah nomor 2 di dunia dan bersama Thailand sebagai kontributor 58% dari produksi timah dunia. Indonesia juga tercatat sebagai pengekspor batubara uap nomor 3, penghasil nikel

nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Jika mengacu pada program perluasan tambang PT. Freeport Indonesia (PTFI) di Papua sejak tahun 1997 maka perusahaan ini akan menjadi penghasil tembaga nomor 2 terbesar di dunia. Potensi sumberdaya mineral yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang menyangkut jenis, deposit dan penyebarannya merupakan kekayaan nasional disajikan pada Tabel 9 diatas.

Sedangkan persebaran potensi sumberdaya mineral dan pelaku utama sektor pertambangan di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini.

Gambar 15. Persebaran Pelaku Utama Sektor Pertambagan di Indonesia Sumber : DESDM (IMA, 2006)

Hasil annual survey of mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute (lembaga penelitian ekonomi, sosial dan pendidikan di Kanada) tentang kekayaan sumberdaya mineral di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia dari sisi mineral potential index berada pada urutan 16 dari 47 negara yang di survey seperti terlihat pada Gambar 16.

Indonesia urutan ke 16 dari 47

Gambar 16. Indeks Potensi Mineral dari 47 negara

Namun betapapun kayanya potensi sumberdaya mineral di sebuah negara, harus pula ditopang oleh kebijakan pemerintah dan iklim investasi yang kondusif. Sebagaimana dikatakan oleh Sigit (1996) :

“Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara, bukannya ditentukan terutama oleh potensi sumberdaya mineralnya betapapun juga kayanya, tetapi lebih banyak bergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa dalam menetapkan iklim usaha yang diperlukan”

Menurut Sigit (2004), sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi pertambangan di Indonesia, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Sebagai konsekuensi dari situasi demikian berdasarkan hasil annual survey of

mining companies 2002/2003 yang dilakukan oleh Fraser Institute, Indonesia berada

pada urutan ke 47 dari 47 negara dalam Policy Potential Index sebagai negara tujuan investasi pertambangan, seperti terlihat pada Gambar17.

Indonesia urutan ke 47 dari 47

Gambar 17. Indeks Potensi Kebijakan

Sumber : Fraser Institute 2002/2003 survey of mining companies

Selanjutnya Sigit (2004) menyatakan pertambangan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat selama kurun waktu 1970-1996, namun dewasa ini mengalami kesulitan yang berkepanjangan. Sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan PMA. Puluhan investor berbondong-bondong meninggalkan Indonesia dan mengalihkan investasinya ke negara lain (terutama China, India, Vietnam,

Chili, dsbnya) karena negara-negara tersebut dapat memberikan fasilitas dan kondisi lingkungan kerja yang lebih baik. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian BCI (Bussiness

Competitiveness Index) (IMA, 2006) tentang kondisi persaingan usaha di Indonesia yang

relative buruk dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam, Brazil maupun Thailand (Gambar 18). Kinerja yang buruk ini tentunya akan mengurangi tingkat kepastian investor untuk melakukan tindakan investasi di Indonesia. Karenanya, peran pemerintah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif menjadi mutlak untuk dilakukan.

Gambar 18. Indeks Persaingan Usaha

Sumber : BCI (Bussiness Competitiveness Index) dalam IMA, 2006

Selain itu, serangkaian kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundangan di bidang perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanahan, ketenagakerjaan dan pelaksanaan otonomi daerah, telah menimbulkan berbagai permasalahan yang membuat iklim investasi tidak kondusif lagi. Dengan demikian sejak tahun 1996 penanaman modal dalam pertambangan di Indonesia telah mengalami

Stagnasi atau mati suri.

Setelah beroperasi selama lebih dari empat dekade menurut data BPS 2003, secara nasional kontribusi sektor pertambangan pada perekonomian nasional (Produk Domestik Nasional Bruto) berturut-turut tahun 1997 sebesar Rp. 7.645,6 triliun (1,76%), 1998 sebesar Rp. 9.678,0 triliun (2,57%), 1999 sebesar Rp. 10.357,7 triliun (2,73%), 2000 sebesar Rp. 11.619,2 triliun (2,92%), 2001 sebesar Rp. 12.502,5 triliun (3,04%), 2002 sebesar Rp. 13.082,2 triliun (3,07%). Nilai sebesar itu belum dapat dikatakan

signifikan jika dibandingkan dengan besarnya deposit sumberdaya mineral yang terdapat dalam perut bumi Indonesia.

Menurut LPEM UI dalam studi pembuatan road map sektor pertambangan (2004) bahwa proporsi sektor pertambangan terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2002 hanya mencapai lebih dari 2,5% dari total PDB. Proporsi ini relatif menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 3% dari total PDB secara keseluruhan (Gambar 19). Kecilnya proporsi nilai tambah sektor pertambangan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk dapat terus meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan sehingga peranannya pada masa yang akan datang dapat terus ditingkatkan, mengingat besarnya sumberdaya dan cadangan bahan tambang di Indonesia.

Gambar 19. Proporsi Nilai Tambah Sektor Pertambangan terhadap PDB Indonesia

Sumber : CEIC (LPEM UI, 2004)

Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) juga berdampak signifikan bagi pendapatan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral. Daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang signifikan akan memiliki alokasi yang besar dari penerimaan negara yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 104/2000 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari sumberdaya alam. Untuk sektor pertambangan umum di bagi dengan imbangan 20% Pemerintah Pusat, 16% Propinsi, 32%

Kabupaten/Kota Penghasil dan 32% Kabupaten/Kota dalam Propinsi. Bagi hasil penerimaan negara dari sumberdaya alam secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumberdaya Alam

No. PENERIMAAN PUSAT PROVINSI KAB./KOTA

PENGHASIL KAB./KOTA LAINNYA KAB./KOTA SELURUH INDONESIA

A. SDA Non Migas 1. Kehutanan - PSDH 20 16 32 32 0 - IHPH 20 16 64 0 0 - Dana Reboisasa 60 0 40 0 0 2. Pertambangan - Land Rent 20 16 32 32 0 - Royalty 20 16 32 32 0 3. Perikanan 20 0 0 0 80 B SDA Migas 1. Penerimaan Negara Setelah dikurangi komponen pajak yang berasal dari minyak bumi

85 3 6 6 0

2. Penerimaan Negara Setelah dikurangi komponen pajak yan berasal dari gas alam

70 6 12 12 0

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004 dirangkum

Bagi hasil pajak dan sumberdaya alam serta dana perimbangan terlihat pada tabel 10 dan tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Bagian Pusat–Daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam

No Jenis Bagi Hasil & Perincian Bagian Daerah Pusat Daerah

1. Pajak Bumi da Bangunan (PBB) 10% 90%

2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan 20% 80%

3. Pajak Penghasil Perorangan** 80% 20%

4. SDA Kehutanan

Iuran Hak Penguasaan Hutan (HPH)

(Provinsi 16%, Kabupaten/Kota Penghasilan 6%)

20% 80% Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)

(Provinsi 16% Kabupaten/Kota Penghasil 32%, Kabupaten/Kota Lainnya 32%)

20% 80%

5. SDA Pertambangan Umum :

Iuran Tetap (Land Rent)

(Provinsin 16%, Kabupaten/Kota Penghasil 64%)

20% 80% Iuran Eksplorasi & Eksploitasi (Royalty)

(Provinsi 16 %, Kabupaten/Kota Penghasil 32%, Kabupaten/Kota Lainnya 32%)

20% 80%

Tabel 12. Dana Perimbangan menurut Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000

No Jenis Penerimaan Pusat Provinsi Kab/Kota

Penghasil Kabupaten Lainnya 1. PBB 10% + (90%x9%, sebagai biaya pungut) 90%x16.2% 90%x64.8% 2. BPHTB 20% 80%x16% 80%x64% 32 3. IHPH 20% 16% 64%x50% 64%x50% 4. Propisi SDH 20% 16% 64% 5. Iuran Tetap 20% 16% 64% 6. Royalty 20% 16% 64%x50% 64%x50% 7. Perikanan 20% 80% 8. Minyak Bumi (Penerimaan Bersih) 85% 3% 6% 6% 9. Gasa Alam (Penerimaan Bersih) 70% 6% 12% 12%

10. Alokasi Umum Minus 25%

dari APBN

10% 90%

11. Alokasi Khusus

12. Dana Reboisasi 60% 40%***

Sumber : Peraturan Pemerintah No. 104 tahun 2000, dirangkum

Di beberapa daerah yang memiliki sumberdaya mineral sektor pertambangan mampu menyumbangkan persentase yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Kabupaten Kutai Timur sebesar 74,7 persen, Kabupaten Mimika Papua 97,4 persen dan Kabupaten Luwu Utara, Sulsel 80 persen, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB sebesar 92,70 persen (2003), 95,24 persen (2004) dan 95,26 persen (2005). Namum tingginya PDRB di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral belum dapat dijadikan indikator kesejahteraan masyarakat karena penilaian tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa PDRB konvensional belum dikurangi dengan depresiasi lingkungan yakni penyusutan (depletion) dan kerusakan (degradation) lingkungan.

Selama empat dekade perjalanan industri pertambangan di Indonesia dari prespektif sosial budaya dipenuhi konflik dengan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dan ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Sumberdaya mineral yang selama ini menjadi simbol kekayaaan di daerah menjadi sumber tuntutan untuk mendapatkan hak otonomi. Pertambangan yang perizinannya dikelola secara sentralistik dan sektoral dirasakan telah menciptakan ketidakadilan, pencemaran lingkungan serta kecilnya manfaat bagi masyarakat telah menjadi sasaran tuntutan lahirnya paradigma baru pertambangan.