• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Peran Penganggaran Untuk Memperbaiki Kinerja

5.3.1. Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah

Analisis variabel penciri faktor untuk konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah menggunakan principal component analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34. Tabel 34 menunjukkan hasil PCA untuk pola asosiasi variabel indikator penciri faktor kinerja pembangunan.

Tabel 34. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Pembangunan

Simbol Bidang Factor Factor Factor

1 2 3

X1 Pangsa Keluarga Miskin -0.655 -0.314 -0.142

X2 Laju PDRB 0.096 -0.072 0.943

X3 Produktifitas Penduduk 0.167 0.869 -0.283

X4 Produktifitas Wilayah 0.759 0.186 0.274

X5 Pangsa PAD 0.958 -0.009 -0.057

X7 PAD Perkapita 0.895 0.012 -0.124

X8 PAD Luas Wilayah 0.954 0.039 0.131

X9 Tingkat Pengangguran 0.029 0.888 0.129 Expl.Var 3.672 1.683 1.117 Prp.Totl 0.459 0.210 0.140 LnIdx_Kpem1 = Indeks Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan LnIdx_Kpem2 = Indeks Ketimpangan Partisipasi Ekonomi LnIdx_Kpem3 = Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi

Sumber : data diolah, 2009

Cat : Marked loadings are > .700000

Dari Tabel 34 diatas dapat dijelaskan bahwa :

1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34 menerangkan bahwa faktor 1 untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan

kesejahteraan (Kpem1) terdapat suatu pola bahwa jika pangsa keluarga miskin

menurun maka akan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kinerja pembangunan untuk produktifitas penduduk, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah. Terdapat pula suatu fenomena bahwa penurunan pangsa keluarga miskin juga disertai dengan peningkatan yang kecil dan tidak signifikan terhadap laju PDRB, produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran. Untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan

(Tabel 34) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis.

2. Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa jika produktifitas penduduk meningkat maka tingkat pengangguran juga meningkat. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas ekonomi pertambangan yang sifatnya terisolir (enclave)

menghasilkan nilai output yang luar biasa besar sehingga seolah-olah meningkatkan produktifitas penduduk (X3). Padahal sebenarnya sebagian besar masyarakat tidak terserap dalam aktifitas pertambangan. Untuk indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 2 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis.

3. Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa indeks laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) ternyata berdiri sendiri tidak punya kaitan dengan 8 variabel kinerja pembangunan yang lain. Bahkan berkorelasi negatif atau justru menyebabkan penurunan variabel pangsa keluarga miskin, produktifitas penduduk, pangsa PAD dan PAD Perkapita. Ini dapat terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya mineral yang bersifat massif bersifat terisolir secara ekonomi

(enclave), kecilnya penggunaan sumberdaya lokal sehingga menyebabkan

kebocoran regional bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam. Untuk indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 3 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. Gambar 28 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 29 menunjukkan kinerja pembangunan Kab/Kota di propinsi Bali, NTB dan NTT

Gambar 28. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Sumber : data diolah, 2009

Tabel 35. Kinerja Pembangunan Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT

Tipologi Daerah Penciri Karakteristik

Idx_Kpem1 Tinggi Idx_Kpem2 Sedang

Tipologi I Kabupaten Badung, Kota Denpasar

Idx_Kpem3 Sedang

Idx_Kpem1 Sedang

Idx_Kpem2 Sedang

Tipologi II Kabupaten Sumbawa Barat, Ngada

Idx_Kpem3 Sedang

Idx_Kpem1 Sedang

Idx_Kpem2 Tinggi

Tipologi III

Kabupaten Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur,

Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Rote Ndao, Manggarai Barat, Kota Mataram, Bima, dan Kupang

Idx_Kpem3 Rendah

Sumber : data diolah, 2009

Penciri Karakteristik

Idx_Kpem1 Kinerja pembangunan dimensi produktifitas wilayah, kapasitas

fiskal dan kesejahteraan masyarakat

Idx_Kpem2 Kinerja pembangunan dimensi ketimpangan partisipasi ekonomi

5.3.2. Konfigurasi Spasial Pola Penganggaran

Untuk konfigurasi spasial kinerja penganggaran dilakukan dengan menganalisis variabel penciri faktor masing-masing indikator seperti yang akan dibahas secara detil dibawah ini.

A. Pola Penganggaran Perbidang.

Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor kinerja penganggaran perbidang ditunjukkan pada Tabel 36.

Tabel 36. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Perbidang

Factor (F1) Factor (F2) Factor (F3)

Simbol Bidang

1 2 3

X80 Pendidikan dan Kebudayaan 0.913 -0.139 0.104

X83 Permukiman 0.110 0.894 0.200

X88 Olahraga -0.239 0.890 -0.107

X93 Pertambangan dan Energi -0.870 -0.031 0.254

X97 Penanaman Modal -0.089 0.067 0.971

Expl.Var 1.668 1.616 1.068

Proporsi

Total 0.334 0.323 0.214

LnIdx_KpS1 LnIdx_KpS2 LnIdx_KpS3

Sumber : data diolah, 2009 Cat :

- Marked loadings are > .700000

- Antar faktor tidak berkorelasi / ortogonalisasi

- Indeks diversitas tidak masuk karena dianggap homogen

Dari Tabel 1 menjelaskan bahwa :

1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 36 menerangkan bahwa faktor 1 untuk realisasi anggaran pembangunan per bidang di 34 kab/kota tiga Propinsi yang dianalisis yakni Bali, NTB dan NTT terdapat suatu pola pengalokasian penganggaran bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan berasosiasi dengan bidang pertambangan dan energi. Maknanya bahwa ketika APBD di fokuskan pada bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran untuk bidang pertambangan dan energi akan berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya. Alokasi anggaran bidang pertambangan secara umum di semua daerah yang dianalisis kecil karena investasi dibidang ini sifatnya padat modal, beresiko tinggi dan berada di daerah terpencil. Rasio keberhasilan eksplorasi umumnya dibawah 5%.

Dari hasil PCA juga diketahui bahwa pola penganggaran untuk bidang pertanian tidak muncul dalam analisis ini karena hampir homogen di setiap wilayah.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS1) untuk faktor 1 (Tabel 36) dengan karakteristik tinggi (Tabel 31). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran bidang pertambangan dan energi berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya, hal ini terjadi karena kedua bidang ini berasosiasi.

2. Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Namun peningkatan secara bersama pada kedua bidang tersebut menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan dan bidang olahraga dan bidang penanaman modal.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS2) untuk faktor 2 (Tabel 36) dengan karakteristik rendah (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pemukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Disebabkan anggaran kedua bidang tersebut meningkat secara bersamaan menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang olahraga serta bidang penanaman modal karena bidang-bidang tersebut berasosiasi.

3. Faktor 3 menerankan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang penanaman modal menyebabkan bidang ini berdiri sendiri, tidak berasosiasi dengan bidang-bidang lainnya bahkan berasosiasi negatif yang tinggi dengan bidang olah raga. Fokusing anggaran pada bidang penanaman modal juga mengakibatkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi. Dengan kata lain bidang penanaman modal melemahkan bidang lainnya.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja anggaran perbidang (KpS3) untuk faktor 3 (Tabel 36) dengan karakteristik sedang (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang penanaman modal maka berasosiasi negatif dengan bidang lainnya artinya ketika anggaran bidang penanaman modal ditingkatkan maka

terjadi penurunan anggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi karena bidang tersebut berasosiasi.

Gambar 29 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perbidang di propinsi Bali, NTB dan NTT dan kinerja penganggaran bidang persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 28).

Gambar 29. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perbidang di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Sumber : data diolah, 2009

Tabel 37. Kinerja Penganggaran Bidang Persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Tipologi Daerah Penciri Karakteristik

Idx_KpS1 Tinggi Idx_KpS2 Sedang Tipologi I

Kabupaten Sumbawa Barat, Alor, Lembata, Timor Tengah Utara, Rote Ndao dan Manggarai

Barat Idx_KpS3 Sedang

Idx_KpS1 Sedang Idx_KpS2 Tinggi Tipologi II Kabupaten Sumba Timur

Idx_KpS3 Sedang Idx_KpS1 Sedang Idx_KpS2 Sedang

Tipologi III

Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jemrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Denpasar, Bima, Dompu, Lombok barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Mataram, Bima, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan, dan Kota Kupang.

Idx_KpS3 Sedang

Keterangan

Penciri Karakteristik

Idx_KpS1 = Bidang pendidikan & kebudayaan (+),

Pertambangan & energi (-)

Idx_KpS1 = Bidang pendidikan & kebudayaan (+),

Pertambangan & energi (-)

Idx_KpS2 = Bidang Permukiman (+), olahraga (+)

Idx_KpS3 = Bidang Penanaman Modal (+)

B. Pola Penganggaran terhadap Luas Wilayah

Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor kinerja penganggaran terhadap luas wilayah ditunjukkan pada Tabel 38.

Tabel 38. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran terhadap Luas Wilayah

Factor Factor Factor Factor

Simbol Bidang 1 2 3 4

X22 Administrasi Pemerintahan 0.946

X23 Kesehatan 0.989

X24 Pendidikan dan Kebudayaan 0.975

X25 Sosial 0.897 X27 Permukiman 0.920 X28 Pekerjaan Umum 0.897 X29 Perhubungan 0.946 X30 Lingkungan Hidup 0.958 X31 Kependudukan 0.959 X33 Pertanian 0.986 X34 Kepariwisataan 0.849

X38 Kehutanan dan Perkebunan 0.763

X39 Perindustrian dan Perdagangan 0.978 X40 Perkoperasian 0.916 X41 Penanaman Modal -0.969 X42 Ketenagakerjaan 0.966 X56

Rataan Perluas Lahan Total

Anggaran Belanja Daerah 0.978

Expl.Var 11.708 1.723 1.508 1.124

Proporsi

Total 0.689 0.101 0.089 0.066

LnIdx_KpW1 LnIdx_KpW2 LnIdx_KpW3 LnIdx_KpW4n

Sumber : data diolah 2009

Cat : Marked loadings are > .700000

Dari Tabel 38 diatas dapat dijelaskan bahwa :

1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 38 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran terhadap luas wilayah, bidang-bidang yang berada di faktor 1 muncul secara bersamaan dari 34 kab/kota

yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Munculnya bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian dan rataan per luas lahan total APBD merupakan bidang-bidang yang menjadi fenomena perkotaan. Ini diakibatkan oleh akumulasi penduduk didaerah perkotaan dengan kompleksitas permasalahannya sehingga bidang tersebut berasosiasi dan muncul bersamaan.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW1) untuk faktor 1 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan meningkatkan anggaran bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, serta bidang perkoperasian maka akan terjadi penurunan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi.

2. Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola penganggaran di daerah yang dianalisis bahwa ketika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman atau ketika anggaran bidang permukiman meningkat maka anggaran bidang kehutanan dan perkebunan juga meningkat. Maknanya bahwa jika aktifitas permukiman meningkat maka ada kecenderungan untuk mengkonservasi kehutanan dan perkebunan kearah yang lebih baik dengan tujuan agar pasokan kebutuhan air tercukupi, pengendalian banjir dan kelestarian sumberdaya lahan.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW2) untuk faktor 2 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang permukiman maka ada kecenderungan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan akan meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi.

3. Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan berasosiasi negatif dengan bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan

hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian. Fokusing penganggaran pada bidang ketenagakerjaan justru menyebabkan penurunan pada bidang-bidang lainnya seperti bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, kepariwisataan, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, penanaman modal dan rataan per luas lahan.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW3) untuk faktor 3 (Tabel 38) mempunyai karakteristik sedang (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan akan terjadi penurunan penganggaran bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian karena bidang-bidang tersebut berasosiasi negatif.

4. Faktor 4 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran bidang penanaman modal mengalami penurunan maka bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan secara tajam. Dengan kata lain bidang penanaman modal dan bidang yang disebutkan diatas ada kecenderungan saling melemahkan.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW4) untuk faktor 4 (Tabel 38) dengan karakteristik rendah (Tabel 39). Maknanya apabila penganggaran tidak difokuskan pada bidang penanaman modal oleh Pemda. Kab. Sumbawa Barat menyebabkan penganggaran bidang tersebut mengalami penurunan juga menyebabkan penurunan penganggaran secara tajam untuk bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi.

Gambar 30 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja anggaran perluas wilayah di propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 39 kinerja penganggaran perluas wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT.

Gambar 30. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Sumber : data diolah, 2009

Tabel 39. Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT.

Tipologi Daerah Penciri Karakteristik

Idx_Kpw1 Sedang

Idx_Kpw2 Sedang Idx_Kpw3 Sedang

Tipologi I Kabupaten Lombok Barat, Lombok

Tengah, Kota Kupang, dan Rote

Ndao Idx_Kpw4n Tinggi

Idx_Kpw1 Sedang Idx_Kpw2 Sedang Idx_Kpw3 Sedang

Tipologi II Kota Denpasar, Mataram dan Bima

Idx_Kpw4n Sedang Idx_Kpw1 Tinggi Idx_Kpw2 Tinggi Idx_Kpw3 Sedang Tipologi III

Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Bima, Dompu, Lombok Timur,

Sumbawa, Sumbawa Barat, Alor,

Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Manggarai Barat.

Idx_Kpw4n Rendah

Penciri Karakteristik

Idx_Kpw1 =

Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan pendidikan & kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan, Perkoperasian, dan Rataan perluas Lahan Total Anggaran Belanja Daerah (+)

Idx_Kpw2 = Bidang Permukiman, Kehutanan dan perkebunan.

pendidikan & kebudayaan (+)

Idx_Kpw3 = Bidang Ketenagakerjaan (+),

Idx_Kpw4 = Bidang Penanaman Modal (+)

C. Pola Penganggaran Bidang Perkapita

Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor kinerja penganggaran bidang perkapita ditunjukkan pada Tabel 40.

Tabel 40. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita

Factor Factor Factor Factor Simbol Bidang 1 2 3 4 X1 Administrasi Pemerintahan 0.744 X2 Kesehatan 0.707 X7 Pekerjaan Umum 0.911 X9 Lingkungan Hidup 0.975 X12 Pertanian 0.877 X13 Kepariwisataan* 0.845 X15 Perikanan 0.879

X16 Pertambangan dan energi 0.779

X18 Perindustrian dan Perdagangan 0.858

X19 Perkoperasian 0.951

X20 Penanaman Modal 0.871

X21 Ketenagakerjaan 0.806

Expl.Var 6.133 1.830 1.859 1.211

Prp.Totl 0.472 0.141 0.143 0.093

LnIdx_Kp1 LnIdx_Kp2 LnIdx_Kp3 LnIdx_Kp4

Sumber : data diolah 2009 Marked loadings are > .700000

Dari Tabel 40 diatas dapat dijelaskan bahwa :

1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 40 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran bidang perkapita, terdapat suatu pola bahwa bidang-bidang yang berada di faktor 1 pada 34 kab/kota yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Fokusing penganggaran mengalami peningkatan dan muncul secara bersamaan untuk bidang

bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan dan ketenagakerjaan muncul secara bersamaan yang merupakan bidang yang menjadi fenomena daerah urban (perkotaan). Sebaliknya penganggaran mengalami penurunan untuk bidang lingkungan hidup dan perkoperasian.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp1) untuk faktor 1 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan serta ketenagakerjaan maka penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal akan mengalami penurunan hal ini disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi.

2. Faktor 2 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang perkoperasian maka bidang tersebut berdiri sendiri disertai dengan peningkatan penganggaran. Namun disisi lain anggaran untuk bidang bidang pekerjaan umum, kepariwisataan, pertambangan dan energi, penanaman modal dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan.

3. Faktor 3 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang pertanian dan penanaman modal maka anggaran untuk kedua bidang tersebut akan meningkat secara bersamaan karena berasosiasi. Sebaliknya penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan, perikanan mengalami penurunan.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp3) untuk faktor 3 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran pada bidang pertanian dan bidang penanaman modal maka penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan dan perikanan mengalami penurunan disebabkan bidang-bidang tersebut berasosiasi.

4. Faktor 4 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri. Namun disisi lain anggaran untuk bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum,

pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan.

Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp4) untuk faktor 4 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri, namun disertai penurunan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan ini disebabkan karena bidang tersebut berasosiasi.

Gambar 31. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Sumber : data diolah, 2009

Gambar 31 diatas menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 41 menunjukkan kinerja penganggaran perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT.

Tabel 41. Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Tipologi Daerah Penciri Karakteristik

Idx_Kp1 Sedang

Idx_Kp3 Sedang

Tipologi I

Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan,

Kota Denpasar, dan Kota Mataram Idx_Kp4 Tinggi

Idx_Kp1 Sedang

Idx_Kp3 Sedang

Tipologi II Kabupaten Sumbawa Barat, Lembata,

Timor Tengah Utara, dan Rote Ndao

Idx_Kp4 Sedang

Idx_Kp1 Tinggi

Idx_Kp3 Tinggi

Tipologi III

Kabupaten Jemrana, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan Kota Bima, dan Kota Kupang

Idx_Kp4 Sedang

Sumber : data dioalah, 2009

Penciri Karakteristik

Idx_Kp1 =

Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Kepariwisataan, Perikanan, Pertambangan dan Energi, Perindustrian dan Perdagangan, Ketenagakerjaan dan Rataan Perkapita Total Anggaran Belanja Daerah (+)

Idx_Kp3 = Bidang Pertanian, Penanaman modal (+),

Idx_Kp4 = Bidang Lingkungan Hidup (+)

5.3.3. Hubungan Fungsional antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah

A. Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat

Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan dilakukan dengan menganalisis aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah (Tabel 42) menggunakan analisis spatial durbin model.

Tabel 42. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat (Kpem1)

Kelompok Simbol Keterangan Parameter

Arah Pengaruh terhadap Kpem1

LnIdx_Kpw1

Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan

Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian,

Kepariwisataan, Perindustrian Dan Perdagangan, Perkoperasian (+) Nyata tidak elastis Meningkat (+) LnIdx_Kpw3 Bidang Ketenagakerjaan/wilayah (+) Nyata tidak elastis Meningkat (+)

LnIdx_Kpw4N Bidang Kehutanan dan

Perkebunan/wilayah (-)

Nyata tidak

elastis Menurun (-)

LnIdx_KpS3

Bidang Penanaman Modal (+)

Nyata tidak

elastis Meningkat (+)

LnIdx_KpS2 Bidang Permukiman dan

Olahraga/penduduk (+)

Nyata tidak

elastis Meningkat (+)

LnIdx_Kp3 Bidang Pertanian, Penanaman

Modal/kapita (+) Nyata tidak elastis Meningkat (+) Instrumen daerah sendiri LnIdx_Kp4 Bidang Lingkungan/penduduk (+) Nyata tidak elastis Menurun (-)

Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model, 2009 Keterangan :

ƒ Di duga dengan regresi berganda

ƒ Nyata P-Level kurang dari 0,01 R= .96729249 R²= .93565476 Adjusted R²= .90767857

ƒ Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0

Kpem 1 = 0.167472 + 0.948104 LnIdx_Kpw1 + 0.394375 LnIdx_Kpw3 - 0.547514 LnIdx_Kpw4N + 0.275889 LnIdx_KpS3 + 0.304150 LnIdx_Kp3 - 0.295638 LnIdx_Kp4 -

0.152587 LnIdx_Kpem3 + 0.115022 LnIdx_Kp1 - 0.108080 LnIdx_Kp2 + 0.110524 LnIdx_KpS2

Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah, secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut :