• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

D. Analisis Kasus

Pada kedua kasus tersebut, para pengusaha melakukan pelanggaran terhadap Pasal 28 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu menghalang-halangi pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dan menghalang-halangi dijalankannya kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaannya dengan cara yang hampir sama yaitu melakukan mutasi terhadap pengurus serikat pekerja/serikat buruh, melakukan intimidasi, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pengurus dan anggota serikat pekerja/serikat buruh tanpa didahului dengan surat peringatan. Pelanggaran terhadap Pasal 28 merupakan suatu tindak pidana kejahatan.

Pada kasus PT. Sri Rejeki Mebelindo, dengan Terdakwa Hariyanto Utomo Hidayat, awalnya Hakim Pengadilan Negeri Bangil menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 1 (satu) tahun pidana penjara dan pidana denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), namun terhadap upaya hukum kasasi di Pengadilan Tinggi Surabaya, hakim menguatkan amar putusan Pengadilan Negeri Bangil menjadi “Telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menghalang-halangi pekerja untuk menjadi pengurus serikat pekerja dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara dan melakukan mutasi” dan “Membayar upah lebih rendah dari upah minimum”. Pengadilan Tinggi Surabaya dapat membuktikan bahwa Terdakwa tidak hanya melakukan tindak pidana menghalangi pekerja/buruh membentuk serikat pekerja/serikat buruh tetapi juga terbukti melakukan tindak pidana membayar upah pekerja/buruh dibawah UMK. Sehingga terhadap amar putusan yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut, hakim mengeluarkan putusan menjadikan sanksi pidana penjara kepada Terdakwa menjadi 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan pidana penjara.

Terhadap tindakannya tersebut, Terdakwa dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya sebagai pemimpin perusahaan untuk melakukan mutasi dan PHK tanpa adanya surat peringatan terlebih dahulu kepada pekerja/buruh akibat merasa tersinggung kepada para pekerja/buruh yang membentuk serikat pekerja/serikat buruh tanpa memberitahu kepada Terdakwa

terlebih dahulu dan seperti yang tertulis dalam Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh bahwa serikat pekerja/serikat buruh

dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa campur tangan pengusaha.132

Pada terdakwa kasus kedua, sanksi pidana yang dikenakan kepada Terdakwa Pathoni Prawata hanya berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan terhadap dakwaan yang sama seperti pada kasus pertama, sanksi Artinya bahwa pekerja/buruh memiliki kebebasan untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh tanpa campur tangan atau intervensi pengusaha, karena membentuk serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak dasar dari pekerja/buruh yang tidak bisa dihalang-halangi oleh siapapun.Dalam hal ini Terdakwa dipidana bukan atas nama korporasi atau mewakili korporasi melainkan dipidana murni akibat perbuatannya yang menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya.

Pada kasus ini, Terdakwa dipidana karena menyalahgunakan

kewenangannya terhadap pekerja/buruh dan bukan dipidana mewakili korporasi. Mengenai sanksi pidana denda yang dibebankan kepada Terdakwa tampaknya tidak memenuhi rasa keadilan hukum, karena kurang lebih sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) pekerja/buruh masih mendapat upah dibawah UMK, sedangkan denda sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut bukan dialokasikan kepada pekerja/buruh sebagai pengganti upah yang belum terpenuhi melainkan diberikan kepada negara. Terhadap putusan hakim tersebut dirasa kurang adil dan tidak memberikan efek jera kepada terdakwa.

132

Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa “Serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun”.

pidana penjara tersebut lebih rendah dibandingkan tuntuan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.Putusan hakim tersebut dinilai tidak adil dan tidak menimbulkan efek jera seperti yang diharapkan apabila hakim memberikan pidana penjara beserta dengan pidana denda, karena perbuatan terdakwa selaku pimpinan PT King Jim Indonesia yang melarang pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan melakukan intimidasi atau ancaman dan pemutusan hubungan kerja tanpa didahului surat peringatan, telah merugikan para pekerja/buruh baik secara spriritual maupun materiil.Perbuatan terdakwa dianggap sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang karena terdakwa tidak memiliki wewenang untuk melarang para pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh, sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa membentuk serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi dan kehendak bebas pekerja/buruh (Pasal 9 dan Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh). Para pekerja/buruh diintimidasi/diancam kelangsungan pekerjaan dan upahnya yang kerugiaannya baik secara spiritual maupun materil tidak hanya berpengaruh terhadap pribadi pekerja/buruh saja melainkan terhadap nasib atau kelangsungan hidup keluarganya juga. Perbuatan terdakwa merupakan suatu tindakan yang merugikan para pekerja/buruh yang hanya menjalankan haknya membentuk serikat pekerja/serikat buruh.

Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kedua terdakwa selaku pimpinan perusahaan adalah melarang adanya mogok kerja, sedangkan mogok

kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh.133

Pada kedua kasus tersebut, hakim dapat membuktikan bahwa kedua terdakwa melanggar Pasal 28 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Frasa “siapapun” pada Pasal 28 sama dengan “barang siapa” dalam Pasal 43 yang menunjukkan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini unsur barang siapa bisa dilihat dari pengertian setiap orang dalam Ketentuan Umum dari undang-undang tersebut, namun dalam UU No. 21 Tahun 2000 tidak ada diberikan pengertian “setiap orang” dalam ketentuan umum, tetapi jika diperhatikan Pasal 1 angka (1) sampai angka (8) maka yang dapat dikatakan “barang siapa” atau “pelaku tindak pidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) yaitu selain orang perorangan pada umumnya, termasuk serikat pekerja/serikat buruh, serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan, federasi serikat pekerja/serikat buruh, konferensi serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh, pengusaha, dan/atau perusahaan.

Hak mogok sebagai alat penyeimbang merupakan hak kolektif buruh untuk menghentikan pekerjaan dengan maksud agar tuntutannya dipenuhi. Dalam hal ini, pengusaha selaku pimpinan perusahaan tidak memiliki hak untuk melarang adanya mogok kerja apabila dilakukan dengan aman dan tertib oleh pekerja/buruh.

134

133

Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa “Mogok kerja adalah hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Terkait kedua kasus diatas, perundingan bukan mengalami jalan buntu melainkan pengusaha tidak mau melakukan perundingan. Pengusaha tidak menanggapi permintaan para pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh yang dalam hal ini pekerja/buruh melakukan hak dasarnya.

Dalam

134

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, (Medan: 21 November 2010,

hal ini, yang dimaksud dengan “siapapun” dan “barang siapa” adalah pengusaha. Terdakwa dipidana bukan atas nama korporasi atau mewakili korporasi melainkan dipidana murni akibat perbuatannya yang menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangannya.

Unsur keduaadalah “menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serikat pekerja/buruh, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh, dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruh”. Dalam hal ini, pengusaha terbukti menghalang-halangi pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/buruh. pengertian menghalang-halangi yaitu suatu tindakan untuk merintangi atau menjadikan tidak berlangsungnya sesuatu atau tidak tercapainya sesuatu tujuan atau suatu hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana atau maksud keinginan, pada kasus ini menjadikan tidak berlangsungnya suatu serikat pekerja/serikat buruh.

Unsur ketiga yang terbukti adalah “dengan cara: melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh”. Dalam hal ini pengusaha terbukti menghalangi terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh dengan cara pemutusan hubungan kerja, melakukan mutasi, melakukan intimidasi, dan membayar upah buruh tidak sesuai UMK.

Unsur keempat adalah “dengan sengaja”. Dalam hal ini pengusaha secara sengaja atau secara sadar melakukan suatu perbuatan untuk menghalang-halangi terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh. Hal ini termasuk dalam “kesengajaan sebagai maksud”, artinya pembuat menghendaki akibat perbuatannya, ia tidak akan pernah melakukan perbuatannya apabila akibat perbuatan itu tidak akan terjadi”. Pada kedua kasus tersebut, pengusaha terbukti dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang berakibat pada tidak terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh. Maka dari kedua kasus diatas, hakim dapat membukti bahwa kedua terdakwa secara sah dan terbukti melanggar Pasal 28 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Secara keseluruhan, hakim telah tepat dalam menjatuhkan putusannya karena hakim telah menjalankan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undag yaitu terhadap terdakwa dikenakan sanksi pidana baik pidana penjara maupun pidana denda. Akibat perbuatan kedua terdakwa, para pekerja/buruh tidak hanya menderita kerugian secara spiritual tetapi juga secara materil, dan kerugian yang diderita pekerja/buruh berdampak langsung terhadap kesejahteraan hidup keluarga pekerja/buruh.

Berdasarkan aspek kebijakan hukum pidana, bahwa penerapan hukum pidana terhadap kasus kebebasan berserikat pekerja/buruh tidak ada pengembalian kerugian secara materil kepada pihak korban, karena sesuai dengan kebijakan hukum pidana bahwa sanksi yang diterapkan hanya berupa “pidana penjara dan/atau pidana denda” kepada terdakwa. Tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengembalian kerugian atau memberikan ganti rugi yang telah di derita

korban. Melalui sistem peradilan pidana, korban harus terpuaskan dengan dihukumnya terdakwa, baik melalui pidana penjara dan/atau denda, karena dalam sistem peradilan pidana lebih menekankan kepada pemidanaan pelaku terhadap perbuatan yang telah dilakukan, tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa pelaku juga harus membayar ataupun mengganti kerugian yang telah di derita korban. Pidana penjara dan pidana denda yang secara pribadi dibebankan kepada terdakwa hanya mewujudkan keadilan di mata hukum semata, namun tidak mengembalikan kesejahteraan sosial ratusanpekerja/buruh karena nilai keadilan tidak difasilitasi melalui pidana denda. Melalui sistem peradilan pidana, uang pada pidana denda bukan sebagai pengganti kerugian materil pekerja/buruh yang disebabkan terdakwa, melainkan diberikan kepada negara dan menjadi pendapat negara.

Dokumen terkait