• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perburuhan

Setiap pertentangan atau ketidaksesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, atau keadaan perburuhan dapat dianggap sebagai suatu sengketa perburuhan atau perselisihan perburuhan atau lebih dikenal di Indonesia dengan perselisihan hubungan industrial. Hubungan industrial merupakan interaksi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja dalam membina hubungan kerja yang seimbang dan harmonis. Payaman J. Simanjuntak mengemukakan bahwa hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak

yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa di suatu perusahaan, sedangkan Yunus Shamad merumuskan bahwa hubungan industrial dapat diartikan sebagai suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa

yaitu pekerja, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.118

Istilah Hubungan Industrial yang sekarang digunakan di Indonesia

merupakan terjemahan dari Industrial Relations (Ing), dulu disebut dengan

Hubungan Perburuhan (Labour Reactions), kemudian berubah menjadi Hubungan

Perburuhan Pancasila, dan berubah lagi menjadi Hubungan Industrial Pancasila, dan berakhir dengan istilah Hubungan Industrial. Terlepas dari penggunaan istilah hubungan industrial atau hubungan perburuhan, namun tujuannya sama yaitu menciptakan hubungan yang seimbang dan harmonis. Akan tetapi dalam praktek hubungan kerja sehari-hari, terkadang timbul benturan atau perbedaan pendapat karena berbagai penyebab, terutama berkaitan dengan persepsi pelaksanaan hubungan kerja, seperti persoalan upah, jaminan sosial, jam kerja, upah lembur, kebebasan berserikat, fasilitas perusahaan, kesejahteraan buruh, dan lain-lain. Untuk mengatasi konflik tersebut maka dibuat perangkat hukum yang mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang disebut dengan hukum acara

peradilan.119

Undang-undang yang dihasilkan oleh Pemerintah Republik Indonesia berkenaan tentang penyelesaian perselisihan perburuhan diawali oleh Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan

118

Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Jakarta: Jala

Permata Aksara, 2009, hal. 3 119

Perburuhan, yang kemudian dicabut dan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang diundangkan pada 8 April 1957 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 42 Tahun 1957

dengan judul yang sama.120Beberapa tahun kemudian, masih dalam rangka

penyelesaian perselisihan perburuhan, dikeluarkan lagi Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, undang ini melengkapi Undang-Undang No. 22 Tahun 1957, mengingat undang-undang tersebut hanya mengatur penyelesaian perselisihan antara majikan dan serikat buruh dan tidak mengatur perselisihan antara majikan dan buruh

perseorangan.121 Puluhan tahun lamanya UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 12

Tahun 1964 ini berlaku, sampai akhirnya dicabut setelah pemerintah mensahkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 6) pada tanggal 14 Januari 2004. UU PPHI dinyatakan mulai berlaku tanggal 14 Januari

2006 oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2005.122

Secara historis, pengertian perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, dan/atau keadaan perburuhan (Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 tahun 1957), selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 5A/Men/1994, istilah perselisihan perburuhan diganti menjadi perselisihan hubungan industrial. Menurut ketentuan pasal 1

120

Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori...Op.Cit, hal.160.

121

Supomo Suparman, Op.Cit., hal.12

122

angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.123

a. Pengusaha

Berdasarkan pengertian perselisihan hubungan industrial tersebut, terkandung unsur subjektif dan objektif.

Unsur subjektif perselisihan adalah:

b. Gabungan pengusaha

c. Pekerja

d. Serikat pekerja

Sedangkan unsur objektif perselisihan adalah:

a. Perselisihan hak

Merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 UU PPHI).

b. Perselisihan kepentingan

123

Merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 UU PPHI).

c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja

Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 UU PPHI).

d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Merupakan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 UU PPHI). UU PPHI memberikan cara atau upaya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik di luar pengadilan maupun melalui pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial yang berada dalam Pengadilan Negeri). Terdapat beberapa tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar

pengadilan, yaitu:124

a. Perundingan Bipartit

124

Pasal 1 angka 10 UU PPHI menyatakan bahwa perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh denga pengusaha untuk menyelesaikan hubungan industrial.

Ketentuan mengenai upaya bipartit diatur dengan tegas di dalam UU No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pada pasal 136 ayat (1), bahwa “Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat”. Dalam pasal tersebut memang tidak ada disebutkan istilah bipartit, namun kata-kata “antara pengusaha dan pekerja/buruh” bisa diartikan sebagai dua pihak, yang dalam peraturan lama

disebut bipartide. Dalam UU PPHI dengan tegas disebutkan bahwa suatu

perselisihan tidak dapat diajukan kepada lembaga mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau pengadilan sebelum upaya bipartit dilaksanakan, artinya upaya bipartit merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum menempuh upaya yang lebih tinggi.

Apabila upaya bipartit berhasil mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang mengikat kedua belah pihak, kemudian PB tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setempat untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran yang dapat menjadi dasar mengajukan eksekusi jika salah satu pihak mengingkari kesepakatan. Jika upaya bipartit mengalami kegagalan, maka risalah atas kegagalan harus dibuat untuk selanjutnya diserahkan kepada mediator untuk ditindaklanjuti.

Pasal 1 angka 11 UU PPHI menyatakan bahwa mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam UU PPHI disebutkan bahwa mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Lembaga mediasi merupakan bentuk baru dari pegawai perantara, yang peran dan fungsinya wajib mengeluarkan anjuran bilamana upaya penyelesaian melalui musyawarah tidak tercapai. Jika proses mediasi mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan maka wajib dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani kedua belah pihak dan disaksikan oleh mediator, kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Apabila musyawarah tidak tercapai maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis, apabila kedua pihak menerima isi anjuran tersebut maka dibuatlah Perjanjian Bersama (PB) dan mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, apabila kedua belah pihak menolak isi anjuran tersebut maka perselisihan tersebut bisa digugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

c. Konsiliasi

Pasal 1 angka 13 UU PPHI menyebutkan bahwa konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui

musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Dalam konsiliasi terdapat pengecualian dalam jenis perselisihan yang akan diselesaikan yaitu perselisihan hak, perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, mediasi, atau Pengadilan Hubungan Industrial.

Sebagai lembaga pilihan, konsiliasi dan arbitrase hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari penyelesaian melalui lembaga tersebut. Jika upaya perundingan bipartit gagal maka para pihak diberi kesempatan untuk memilih upaya penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, jika tidak memilih antara kedua upaya tersebut maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilakukan melalui mediasi.

Apabila musyawarah dalam konsiliasi tidak tercapai maka konsiliator wajib mengeluarkan anjuran dan pihak yang merasa dirugikan dapat menolak anjuran tersebut dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila upaya konsiliasi berhasil dilakukan maka konsiliator membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama (PB) yang kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapat Akta Bukti Pendaftaran.

d. Arbitrase

Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk

menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Berdasarkan pengertian tersebut, telah ditetapkan bahwa syarat awal agar suatu perselisihan dapat ditangani arbiter adalah adanya kesepakatan tertulis para pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut secara tertulis. Kesepakatan tertulis tersebut penting karena berkaitan dengan masalah yuridiksi, apabila arbitrase telah dipilih sebagai alternatif penyelesaian perselisihan maka pengadilan tidak memiliki yuridiksi (wewenang) untuk memeriksa serta mengadili perkara.

Apabila terjadi kesepakatan atau penyelesaian damai maka arbiter akan membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama (PB) dan mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Perjanjian Bersama. Namun apabila tidak tercapai penyelesaian secara damai, arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final. Atas putusan arbiter tidak bisa lagi diajukan gugatan ke pengadilan, karena putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat semua pihak dan merupakan putusan akhir yang berkekuatan tetap.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa UU PPHI tidak hanya memberikan upaya penyelesaian perselisihan perburuhan melalui upaya di luar pengadilan tetapi juga upaya melalui pengadilan (litigasi) yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.

Dalam hal tidak tercapai penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui

pengadilan ditempuh sebagai alternatif terakhir dan secara hukum bukan merupakan kewajiban bagi para pihak yang berselisih, melainkan merupakan

hak.125

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan

memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.126

125

Abdul Khakim, Op.Cit., hal.155. Pernyataan tersebut diperkuat dengan Pasal 5, Pasal

14 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (1) UU PPHI.

Pasal 5 UU PPHI menyatakan bahwa, “Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial”.

Pasal 14 ayat (1) UU PPHI menyatakan bahwa, “Dalam hal anjuran tertulis mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapay melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”. Pasal 24 ayat (1) UU PPHi menyatakan bahwa, “Dalam hal anjuran tertulis konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”.

126

Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Pengadilan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 ditempatkan dan berada pada pengadilan negeri di setiap kabupaten kota. Ketua pengadilan hubungan industrial adalah ketua pengadilan negeri setempat, dengan majelis hakim terdiri dari ketua majelis dari hakim karier, anggota hakim ad-hoc masing-masing dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang diangkat oleh Presiden atas usul ketua Mahkamah Agung. Pengadilan hubungan industrial berwenang menangani ke-4 jenis perselisihan, dengan ketentuan bahwa pada tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Sedangkan tingkat pertama untuk jenis perselisihan hak dan perselisihan PHK dan terhadap putusan kedua perselisihan tersebut dapat

diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam UU PPHI tidak mengenal upaya

hukum banding.127

Proses pemeriksaan perkara dalam Pengadilan Hubungan Industrial terdiri atas beberapa tahap, yang tidak berbeda jauh dengan proses pemeriksaan dalam

sistem peradilan pidana, yaitu:128

a. Pendaftaran Gugatan dan Pemanggilan Para Pihak

Pendaftaran gugatan dilakukan dengan melampirkan berita acara rapat penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi. Penyertaan lampiran tersebut merupakan suatu keharusan, karena apabila tidak dilampirkan maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan tersebut kepada penggugat untuk dilengkapi. Setelah surat gugatan didaftarkan maka hakim wajib memeriksa isi gugatan dan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah pendaftaran, Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan majelis hakim. Sebelum hari sidang, para pihak harus dipanggil dengan cara yang sah. Pemanggilan dianggap sah apabila dilakukan dengan surat panggilan yang dilakukan di alamat tempat tinggal para pihak. Jika tempat tinggal tidak diketahui, maka dilakukan di tempat tinggal terakhir. Jika tempat tinggal terakhir juga tidak diketahui maka surat panggilan sidang ditempelkan di tempat pengumuman Pengadilan Hubungan Industrial setempat.

b. Pembacaan Gugatan

127

Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori...Op.Cit, 2010, hal.181.

128

Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum maka Majelis Hakim terlebih dahulu menganjurkan agar kedua belah pihak melakukan perdamaian. Apabila para pihak tetap pada pendiriannya untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan melalui Majelis Hakim, maka pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan. Dalam prakteknya pembacaan gugatan tidak selalu dilakukan, melainkan bisa juga tidak dibacakan tetapi dianggap telah dibacakan. Namun apabila salah satu pihak meminta untuk dibacakan, maka gugatan tersebut harus dibacakan.

c. Penyampaian Jawaban

Jawaban merupakan bantahan-bantahan atau perlawanan-perlawanan atas hal-hal yang digugat atau dituduhkan terhadap tergugat, yang bertujuan untuk meyakinkan hakim bahwa penggugat adalah penggugat yang tidak benar sehingga gugatannya harus ditolak.

d. Putusan Sela

Putusan sela bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan. Putusan sela tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya dituliskan dalam berita acara persidangan saja. Ketentuan mengenai putusan sela terdapat dalam Pasal 96 UU PPHI, apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh

yang bersangkutan. Adapun isi Pasal 155 ayat (3) diatas adalah tentang tidak dilaksanakannya kewajiban pengusaha (membayar upah) terhadap pekerja yang sedang diskorsing. Karena tindakan pengusaha tersebut bisa berbahaya bagi kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya, maka diperlukan putusan sela untuk memerintahkan pihak pengusaha melaksanakan kewajibannya terhadap hak-hak pekerja. Dengan adanya putusan sela maka kewajiban tersebut harus sudah dilaksanakan sekalipun pemeriksaan terhadap pokok perkara belum dilakukan.

e. Replik dan Duplik

Replik dan duplik dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang akan dibantah, kemudian diikuti bantahan-bantahan atas pernyataan itu, dan berdasarkan bantahan tersebut, hakim dimohonkan memberikan putusan yang sesuai dengan kepentingan pihak yang mengajukan bantahan. Baik replik maupun duplik bukanlah sesuatu yang wajib disampaikan oleh para pihak dan mengingat waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial sangat singkat (majelis hakim wajib memberikan putusan selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari terhitung sejak sidang pertama) maka penyampaian replik dan duplik sulit untuk dilakukan.

f. Pembuktian

Mengingat dalam UU No. 2 Tahun 2004 tidak dengan tegas diatur tentang pembuktian, maka Hukum Acara Pembuktian dalam Perkara Hubungan Industrial harus mengacu pada ketentuan yang ada dalam KUH Acara

Perdata, KUH Perdata, KUH Pidana, dan KUH Acara Pidana. Ada beberapa alat bukti yang sah menurut Pasal 284 RBg/164 HIR, Pasal 181 RBg/154 HIR dan 1886 KUH Perdata, yaitu bukti surat, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, dan keterangan ahli.

g. Kesimpulan

Kesimpulan dibuat oleh masing-masing pihak (penggugat dan tergugat) berdasarkan sudut pandang serta kepentingannya masing-masing. Dalam prakteknya pembuatan kesimpulan bertujuan untuk membantu Majelis Hakim dalam menilai dan memutus suatu perkara. Karena sifatnya hanya sebagai pelengkap maka tanpa pembuatan kesimpulan, Majelis Hakim harus tetap menilai dan memutus perkara.

h. Putusan Hakim

isi suatu putusan hakim terdiri dari kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, identitas para pihak yang berperkara, pertimbangan atau alasan hakim dalam memberikan putusan, dan amar putusan. Bunyi suatu putusan bisa menerima seluruh gugatan penggugat, menolak sebagian, atau menolak seluruh gugatan penggugat.

i. Upaya Hukum

Terdapat 2 (dua) upaya hukum yang dapat ditempuh dalam perselisihan hubungan industrial yaitu kasasi dan peninjauan kembali. Upaya hukum kasasi hanya dapat dilakukan terhadap perselisihan hak dan perselisihan PHK, sedangkan terhadap upaya hukum peninjauan kembali hanya

berlaku terhadap perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam satu perusahaan, yang diputus oleh lembaga arbitrase.

Masalah yang berkaitan dengan pekerja/buruh tidak hanya dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial tetapi juga dapat diselesaikan melalui Sistem Peradilan Pidana (diproses melalui Pengadilan Negeri), apabila terjadi kasus pidana perburuhan. Pengadilan Negeri berupaya untuk membuktikan suatu tindak pidana yang terjadi dalam hubungan kerja. Buruh atau pengusaha harus membuat laporan atau pengaduan kepada pegawai pengawas, menguraikan kejahatan yang terjadi dan bila memungkinkan juga menunjukkan pasal-pasal yang dilanggar, melampirkan bukti-bukti pelanggaran

dan hal-hal berkaitan lainnya.129

Proses penanganannya dimulai dengan pengaduan/pelaporan atas suatu tindak pidana kepada bagian pengawasan Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat, yang berfungsi sebagai Penyidik Pegawai Negeri sipil. Atas pengaduan tersebut penyidik akan melakukan penyidikan guna mencari dan menemukan sejumlah bukti sehingga dengan bukti-bukti tersebut tindak pidana yang dilaporkan menjadi terang. Setelah penyidikan dianggap cukup dan terdapat bukti-bukti yang kuat maka penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Setelah berkas dianggap sempurna dan mempunyai dasar untuk dituntut, maka JPU segera membuat surat dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan agar perkara tersebut segera diselidiki. Setelah majelis hakim menentukan hari

129

persidangan maka JPU menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa. Proses

persidangan terdiri dari:130

a. Pembacaan Dakwaan

Pembacaan dakwaan oleh JPU yang memuat keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa beserta ketentuan/pasal yang dilanggar akibat perbuatan tersebut.

b. Pemeriksaan Saksi

Yang diperiksa sebagai saksi adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau yang mengalami sendiri peristiwa pidana.

c. Pengajuan Tuntutan Pidana, Pembelaan, dan Jawaban

Apabila majelis hakim menganggap pemeriksaan saksi telah selesai, maka JPU diberikan kesempatan untuk mengajukan tuntutan yang berisi tentang jumlah hukuman yang dimintakan oleh JPU kepada Majelis Hakim atas perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Atas tuntutan yang diajukan JPU, terdakwa maupun kuasa hukumnya diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan yang berisi hal-hal yang menunjukkan ketidakbersalahan atau yang meringankan terdakwa. Terhadap pembelaan yang dilakukan terdakwa maupun kuasa hukumnya, maka JPU diberi kesempatan untuk memberi jawaban yang bertujuan memperkuat tuntutannya.

d. Pembacaan Putusan

130

Putusan yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, baik terdakwa maupun JPU berhak untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi apabila merasa tidak puas terhadap putusan.

Terkait penjelasan mengenai penyelesaian sengketa perburuhan, terhadap sengketa perburuhan yang diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial merupakan sengketa perburuhan dalam lingkup perdata, artinya bahwa terdapat perbuatan wanprestasi (cedera janji) dan perbuatan melawan terhadap perjanjian kerja (perjanjian kerja tersebut sebagai undang-undang yang wajib ditaati oleh kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh) yang dilakukan pengusaha kepada pekerja/buruh, dimana perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan dan kewajiban. Terhadap barang siapa yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maka wajib mengganti kerugian tersebut (Pasal 1365 KUHPerdata). Artinya terdapat perbuatan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang dibuat, sehingga terhadap perselisihan perburuhan tersebut diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Sedangkan melalui Sistem Peradilan Pidana, mencakup sengketa perburuhan dalam lingkup pidana, artinya adalah terdapat perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum dan merugikan hak asasi orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa mengenai perbuatan yang melarang pekerja/buruh untuk berserikat merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi atau hak dasar pekerja/buruh yang seharusnya diselesaikan melalui Sistem Peradilan Pidana. Hal ini dikarenakan tindak pidana kebebasan berserikat

pekerja/buruh termasuk sebagai kejahatan atau “rechtsdelikten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai

perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang

Dokumen terkait