• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Tinjauan Kepustakaan

2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kriminal”43

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris)

atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering

42

Adami Chazawi, Op.Cit., hal.81.

43

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy; Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal.50.

dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.44

Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat

diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by

society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels

yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social

reaction to crime. Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu

usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.45

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.46

Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna.47

44

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep

KUHP Baru, Jakarta: Kencana Media Grup, 2008, hal.22. 45

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.13. 46

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.22.

47

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi

dasardari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jespen), ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma

sentral dari masyarakat.48

Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.49

Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula

dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan pada

uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.Usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga

48

Ibid, hal.1 49

merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

penanggulan kejahatan dengan hukum pidana”50

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan

nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana).51

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application),

Pada dasarnya penal policy lebih

menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana,

sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum

terjadinya suatu tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan

c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).52

Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui

sarana nonpenal karena bersifat lebih preventif53

50

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 23

51

Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal.51

52

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.40

53

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007, hal.78

, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat

pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Pernyataan

diatas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB tentang The

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.54

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal

berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.55

Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi indentik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB

(mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders).56

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana

hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”

atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan

54

Mahmud Mulyadi, Op.Cit., hal 55

55

Ibid, hal.57 56

untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang

menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.57

Terhadap kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang

merupakan bagian integral dari politik sosial.58

a. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif;

Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat

difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap yaitu:

b. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif;

c. Tahap eksekutif atau kebijakan administratif.

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas

perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.59

Dokumen terkait