• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat

Untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri diketahui dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek yang digunakan dalam analisis ini merupakan kombinasi yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan analisis keberlanjutan pengelolaan untuk jenis tanaman hasil hutan bukan kayu berdasarkan pendekatan indikator LEI (2001), Davis et al. (2001) dan Dephut et al. (1997). Selanjutnya adalah hasil penilaian terhadap masing-masing indikator.

5.3.1 Aspek Ekologi

Hasil penilaian setiap indikator dari aspek ekologi adalah yang bernilai Baik sebanyak 3 (30%); yang bernilai Cukup sebanyak 7 (70%); dan yang bernilai Jelek tidak ada. Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut:

Tabel 24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri

No Indikator Penilaian Keterangan

1 Erosi B

2 Produksi lahan C

3 Karakteristik air B

4 Kualitas air C

5 Cara mengambil manfaat B

6 Pengendalian hama dan penyakit C

7 Adanya gangguan (kebakaran, hama & penyakit, banjir, tanah longsor, dll)

C

8 Struktur tegakan C

9 Penutupan lahan C

10 Konservasi tanah C

1 Erosi tanah

Erosi adalah peristiwa terangkutnya partikel tanah oleh air ke tempat yang lebih rendah. Peristiwa erosi merupakan hal alami yang tidak dapat dihindarkan dan erosi alami tidak akan menimbulkan kerusakan. Erosi yang menimbulkan kerusakan adalah erosi yang mengangkut partikel tanah dalam jumlah yang sangat besar dan menyebabkan terkikisnya lapisan solum tanah, yang pada akhirnya menimbulkan lahan kritis. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim (curah hujan), topografi, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan kegiatan/aktivitas manusia.

Hutan rakyat adalah salah satu pola yang dapat diadopsi untuk mengatasi erosi, seperti hutan rakyat pola agroforestry. Mahendra (2009) menyebutkan bahwa dengan sistem agroforestry memungkinkan terciptanya multi strata tajuk. Pohon yang dominan akan menempati tajuk paling atas dan tanaman pangan akan menempati strata paling bawah.Akar pohon akan berfungsi sebagai spon pengikat air, dapat mengurangi laju infiltrasi dan tajuk dapat mengurangi kerusakan akibat air hujan. Penerapan sistem agroforestry akan meningkatkan konservasi tanah dan air suatu lahan. Haryadi (2006) menyebutkan, hutan rakyat pola campuran berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena (1) kerapatan lapisan tajuk, (2) perakaran tanaman yang kuat dan (3) adanya kegiatan pengelolaan lahan.

Peran hutan rakyat sengon dengan sistem agroforestry telah membuat masyarakat Desa Pecekelan sadar akan keberadaan hutan rakyat yang dapat memberikan keamanan lingkungan seperti dari aspek konservasi tanah, yaitu berkurangnya tanah longsor oleh run off (Rahayu dan Awang 2003). Tentu hal ini berkaitan dengan tingkat erosi yang dihasilkan hutan rakyat adalah kecil.

Lapisan tanah yang ditumbuhi oleh tanaman keras akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Suripin (2004) menyatakan hutan yang terpelihara dengan baik yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah (rumput, perdu, semak dan belukar) merupakan pelindung tanah yang ideal dalam mencegah terjadinya erosi. Pengaruh vegetasi dalam memperkecil laju erosi adalah (1) vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; (2) tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga

71 mengurangi kecepatan aliran permukaan; (3) perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas; (4) aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah; dan (5) tanaman mendorong transpirasi air sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya.

Kecamatan Tanah Pinem adalah kecamatan yang berada di daerah yang cukup berbukit dengan kondisi topografi seperti pada Tabel 10, dengan curah hujan yang cukup tinggi serta kegiatan masyarakat yang umumnya bertani dengan pola penggunaan lahan seperti ladang/huma, kebun/tegalan dan perkebunan. Dengan kondisi di atas, maka segala bentuk aktifitas masyarakat dalam pengelolaan lahan akan berdampak terhadap terjadinya erosi.

Dari hasil perhitungan prediksi erosi tanah di Kecamatan Tanah Pinem dengan menggunakan pendekatan dari Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu memprediksi laju erosi rata-rata lahan pada suatu kemiringan lahan dengan pola hujan tertentu untuk setiap jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan, diperoleh data seperti Tabel 25. Tingkat bahaya erosi pada lokasi penelitian berada pada kategori ringan sampai sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari keberadaan hutan yang ada di daerah bertopografi bergelombang sampai terjal, sehingga ada pelindung tanah yang bersifat mencegah terjadinya erosi tanah. Data ini menunjukkan bahwa kondisi lahan masih cukup baik.

Tabel 25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem No Tingkat bahaya erosi aktual

(ton/ha/tahun)

Luas (ha)

Persentase (%) 1 Bahaya erosi I (< 15 ton/ha/tahun) 10.050,65 22,87 2 Bahaya erosi II (16 – 60 ton/ha/tahun) 32.061,46 72,97 3 Bahaya erosi III (60 – 180 ton/ha/tahun) 57,38 0,13 4 Bahaya erosi IV (180-480 ton/ha/tahun) - -

5 Bahaya erosi V (>480 ton/ha/tahun) - -

6 Tidak ada data 1.770,51 4,03

Jumlah 43.940,00 100

Sumber : BPKH Wilayah 1 Medan (2001)

Keberadaan tanaman kemiri, pada lahan-lahan yang bertopografi bergelombang sampai terjal di Kecamatan Tanah Pinem akan berperan dalam menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan tanah longsor. Pada lahan-lahan yang

ditanami tanaman kemiri, tampak bahwa lapisan permukaan tanah dalam kondisi ditumbuhi tumbuhan bawah yang berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Pada lahan-lahan yang ditanami tanaman kemiri tidak ada dijumpai penipisan lapisan tanah karena tajuk yang lebat dan lebar serta tumbuhan bawah yang tumbuh rapat berperan melindungi tanah dari pengaruh tumbukan air hujan sehingga tidak menimbulkan erosi. Lain halnya pada lahan-lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pertanian berdaur pendek seperti tanaman jagung, tampak adanya erosi alur yang membentuk parit-parit kecil tempat berlalunya air yang mengangkut partikel tanah. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah pada saat hujan turun.

Gambar 11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah terjadinya erosi.

2 Produktivitas lahan

Produktivitas lahan untuk jenis tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tanah Pinem selama 10 (sepuluh) tahun terakhir disajikan pada Gambar 12. Tampak pada gambar bahwa produktivitas kemiri naik turun seiring dengan naik turunnya luas tanaman kemiri. Produksi kemiri dipengaruhi oleh umur tanaman, yang rata-rata tanaman sudah termasuk pada kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman.

73

Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (2001-2010)

Gambar 12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir.

Untuk perbandingan, pada Tabel 26 dapat dilihat produktivitas empat jenis komoditi utama di Kecamatan Tanah Pinem seperti jagung, padi ladang, cokelat dan kemiri sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Produktivitas untuk ke-4 komoditas setiap tahunnya adalah meningkat, walaupun pada tahun tertentu ada yang menurun. Informasi dari kecamatan, rata-rata produktivitas jagung masih sangat rendah yaitu berkisar 6-7 ton/ha. Bila dilakukan pengelolaan lahan yang intensif, maka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi yaitu 8–10 ton/ha. Produktivitas kemiri masih cukup besar yaitu antara 0,50 sampai 0,77 ton/ha jika dibandingkan dengan produktivitas kemiri untuk tingkat Indonesia pada tahun 2007 adalah 0,797 ton/ha. Produktivitas tanaman kemiri dari sampel yang diambil rata-ratanya adalah 583,33 kg/ha/tahun, mendekati rata-rata produksi kemiri di Indonesia sebesar 0,5 ton/ha/tahun (Paimin 1994).

Tabel 26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009

No Tahun Produktivitas (ton/ha)

Jagung Padi Ladang Cokelat Kemiri

1 2005 5,63 2,63 38,85 0,50

2 2006 6,33 1,87 0,70 0,65

3 2007 6,16 2,30 0,75 0,50

4 2008 6,23 2,30 0,93 0,75

5 2009 6,63 2,32 1,01 0,77

Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)

Luas (Ha)Produksi (Ton) 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500

Salah satu alasan masyarakat memilih untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahannya adalah sesuai dengan kondisi tanahnya, yang mengarah pada produktivitas lahan dengan harapan hasilnya banyak (Suharjito 2002). Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat pada lokasi penelitian, menanam kemiri merupakan tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat (khususnya pemilik lahan pada lahan miring) dan produksinya masih ada walaupun produktivitas lahan cenderung menurun.

3 Karakteristik air

Kondisi sungai-sungai di lokasi penelitian umumnya mengalir sepanjang tahun. Sungai-sungai di Kecamatan Tanah Pinem umumnya sulit dimanfaatkan oleh masyarakat karena keberadaannya yang berada pada daerah jurang yang dalam dan diantara bebatuan yang curam dan terjal. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang mengalir di dekat perkampungan yang bersumber dari kawasan hutan. Mata-mata air mengalir dari bebatuan yang dibagian hulunya terdapat pepohonan, termasuk tanaman kemiri. Hal ini sesuai dengan BPKH (2009) yang menyebutkan bahwa dengan keberadaan hutan rakyat berperan dalam menjamin ketersediaan air lokal. Wijayanto (2002) juga menyebutkan bahwa ada keterpaduan repong damar dengan agro-ekosistem dalam sistem tata air yang akan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. Masyarakat Desa Pecekelan menyatakan bahwa hutan rakyat berperan dalam menjaga keberadaan mata air dan menjamin tidak pernah kering pada musim kemarau (Rahayu dan Awang 2003).

75 4 Kualitas air

Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua mahluk hidup. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan air adalah kualitas air. Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri dan sebagainya. Mengetahui kualitas air berarti mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat dilihat dari parameter kemasaman (pH) air, Biological Oxygen demand (BOD), Chemichal Oxygen Demand (COD), residu terlarut dan temperatur air.

Kecamatan Tanah Pinem secara keseluruhan berada di daerah DAS Singkil. Berdasarkan data dari BPDAS Wampu Sei Ular (2009), pH air berkisar antara nilai 6 sampai di bawah 7,5, BOD berkisar kurang dari 0,7 mg/l, COD berkisar pada nilai 3,19 sampai 22,31 mg/l dan residu terlarut (sedimen) bernilai antara 20,75 sampai 444,5 mg/l. Dari hasil tersebut di atas dinyatakan bahwa sungai- sungai yang termasuk dalam DAS Singkil secara keseluruhan masih dalam kondisi yang baik sesuai kriteria PP No.82 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Syarat kelas mutu air menurut PP No.82 tahun 2001 adalah pH berkisar 6-9, BOD berkisar 2-12 mg/l, COD berkisar 10-100 mg/l dan residu terlarut berkisar 1000-2000 mg/l.

Bila dilihat dari tingkat kejernihan air, maka air yang mengalir pada sungai- sungai pada musim kemarau umumnya bersih dan keruh pada musim penghujan. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan sumber mata air dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

5 Cara-cara mengambil manfaat (kayu dan buah)

Manfaat yang diambil masyarakat dari tanaman kemiri secara umum adalah buahnya. Cara-cara mengambil manfaat buah yang dilakukan oleh masyarakat masih sederhana, tidak merusak dan ramah lingkungan. Buah yang diambil adalah buah yang jatuh secara alami yang ada di bawah tegakan tanaman kemiri. Pada saat pengambilan manfaat dilakukan pembabatan tanaman bawah untuk pembersihan lahan. Pembabatan dilakukan sebanyak dua kali setahun yaitu sebanyak musim berbuah banyak. Selain dilakukan pembabatan, juga dilakukan

dengan cara kimia seperti penggunaan round-up. Bahan kimia ini merupakan sejenis racun tanaman yang dapat mematikan tanaman bawah seperti rumput dan alang-alang. Penggunaan round-up sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat karena lebih mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar.

Pengambilan manfaat kayu belum banyak dilakukan masyarakat. Pada umumnya masyarakat belum memikirkan untuk menjual kayu kemiri yang sudah tidak produktif. Dari 63 responden petani kemiri yang di wawancarai, hanya 7 responden (11,11%) yang pernah menjual kayu kemiri yang dimilikinya. Tidak semua responden dapat menjual kayu kemiri yang dimilikinya karena tidak mengetahui informasi tentang penjualan kayu kemiri, kondisi tanaman kemiri yang tidak bagus (percabangannya banyak), jumlah kayu yang berdiameter besar dan bulat sangat jarang dan pengaruh jarak lokasi tanaman kemiri dari jalan angkutan. Semakin jauh jarak dari jalan, harga kayu kemiri akan sangat murah dan bahkan tidak laku.

Responden yang menjual kayu menyebutkan bahwa kayunya laku dijual karena dekat dengan jalan, sudah berdiameter besar dan kondisi batang lurus dan bulat cukup banyak. Penentuan harga kayu kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah dengan sistem taksir. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon yang dapat diangkut sesuai kriteria yang diperlukan pembeli, jarak lokasi ke jalan dan semua biaya tebang sampai angkut ditanggung oleh pembeli, sehingga posisi tawar pemilik kayu adalah lemah. Umumnya masyarakat menerima setiap harga yang ditentukan dengan alasan daripada tidak laku. Dalam hal pemasaran kayu kemiri, posisi tawar masyarakat sangat lemah dalam penentuan harga (Sumodiningrat 1999; Hardjanto 2000; Awang et al 2007).

Hardjanto (2000) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lebih rendah dibanding tengkulak, industri kecil dan industri besar. Hal ini terjadi karena tengkulak, industri kecil dan besar sudah memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan dan pengangkutan kayu dari lahan masyarakat dilakukan oleh pembeli kayu, akibatnya berdampak pada kekuatan pembeli untuk menentukan harga. Hal ini berdampak pada pendapatan petani yang kecil dan tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usaha yang sama.

77 Masyarakat yang memiliki pohon kemiri yang tidak laku dijual, akan menebangnya dan hanya membiarkan kayunya begitu saja sampai membusuk dan menjadi pupuk bagi tanaman lain yang ditanaminya. Masyarakat kurang tertarik menggunakan kayu kemiri menjadi kayu bakar, karena kurang bagus dalam proses pembakaran, terutama kalau kayunya pernah basah.

6 Pengendalian hama dan penyakit

Permasalahan yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah adanya hama dan penyakit. Hama yang pernah terjadi adalah serangan ulat yang memakan daun sehingga meninggalkan kayu kemiri dengan kondisi tidak berdaun (hanya meninggalkan kayu dan ranting). Hal ini terjadi sekitar tahun 1987 sampai tahun 1990-an. Hama ulat ini menyerang semua tanaman kemiri masyarakat hampir di semua desa yang ada di Kecamatan Tanah Pinem. Semua responden yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak dapat melakukan upaya pencegahan, mengingat ulat yang ada sangat banyak dan cukup sulit untuk mengatasinya.

Sementara untuk jenis penyakit yang dihadapi oleh masyarakat secara umum adalah gugur buah. Hampir semua responden menyatakan menghadapi permasalahan gugur buah. Buah kemiri akan gugur ketika buah hampir mencapai kondisi setengah tua (hampir masak pohon). Buah yang gugur ini tidak bisa dipanen karena belum membentuk buah kemiri yang bagus (belum menjadi kernel). Permasalahan ini belum bisa diatasi oleh masyarakat dan beberapa hasil penelitian belum mampu menjelaskan penyebab terjadinya gugur buah ini. Permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya benalu yang tumbuh pada pohon kemiri yang lama kelamaan makin banyak yang akhirnya mengganggu pertumbuhan tanaman kemiri.

Berbagai hama dan penyakit di atas adalah masalah-masalah yang umumnya banyak ditemui pada tanaman kemiri (Sunanto 1994, Paimin 1994 dan Deptan 2006a). Untuk upaya pencegahan dan pengobatan, akan menemui kesulitan karena ukuran tanaman yang tinggi dan membutuhkan biaya untuk membeli obat-obatan. Informasi yang diperoleh dari masyarakat dan penyuluh menyebutkan bahwa beberapa upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit yang umum terjadi pada tanaman kemiri adalah dengan melakukan pengasapan

dari bawah tegakan dengan membakar kayu ataupun belerang dan menebas batang bagian bawah pohon tetapi tidak sampai merusak kayu (hanya sebatas kulit luar saja). Sementara itu, ada juga masyarakat yang mengambil keputusan membiarkan saja atau menebang tanamannya dan beralih ke tanaman lain.

7 Adanya gangguan (kebakaran, hama dan penyakit, banjir, tanah longsor, dan lain-lain)

Gangguan terhadap tanaman kemiri dan dampaknya bagi lingkungan sekitar pernah terjadi tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dan korban materi. Gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Tetapi gangguan hama dan penyakit pernah terjadi seperti pada poin 6 di atas. Gangguan seperti banjir bandang pernah terjadi di Pamah sekitar tahun 2006. Banjir bandang terjadi di daerah alur perlaluan air yang diangkut dari daerah yang tinggi (dataran tinggi) yang melewati Pamah (daerah yang ada di dataran rendah). Sementara tanah longsor terjadi pada lahan-lahan yang bertopografi curam, khususnya di daerah pinggir jalan, pinggir sungai dan pinggir lahan-lahan terjal yang sudah gundul. Tanah longsor yang terjadi masih cukup ringan dan tidak menimbulkan bahaya. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, dengan kondisi topografi yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, pola peralihan penggunaan lahan dari tanaman keras menjadi tanaman semusim, bila tidak diantisipasi dengan baik, bisa menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor yang lebih besar di tahun-tahun yang akan datang.

Deptan (2006b) menyebutkan bahwa pengembangan kemiri dapat memperbaiki kondisi hidro-orologis setempat seperti mengurangi erosi dan banjir, kebakaran, ketersediaan oksigen dan penyerapan CO2. Gangguan banjir bandang

yang terjadi di Pamah dan longsor di beberapa tempat dapat disebabkan karena struktur tegakan kemiri yang sudah mulai rusak oleh peralihatan dari tanaman kemiri menjadi tanaman berumur pendek pada lahan-lahan yang bertopografi curam dan terjal.

8 Struktur tegakan hutan

Struktur tegakan kemiri pada lokasi tanaman kemiri yang diamati menunjukkan kondisi yang sangat rapat, masih baik dan utuh serta bermanfaat dalam melindungi lapisan tanah dari erosi dan tanah longsor. Tetapi, dari

79 pengamatan dan pemantauan di lapangan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa struktur tegakan hutan umumnya sudah mulai terganggu dengan adanya peralihan lahan-lahan yang ditanami tanaman keras menjadi tanaman semusim, baik di lahan datar maupun lahan miring yang menyebabkan keterbukaan sebagian permukaan lahan. Tetapi, beberapa kawasan hutan keberadaannya tetap terjaga. Seperti di daerah Pasir Tengah, ada kawasan hutan yang tidak boleh diganggu (tidak boleh dirusak dan ditebang) karena dipercayai sebagai kawasan hutan keramat. Kawasan ini dikeramatkan karena masyarakat percaya ada roh-roh yang menjaga hutan tersebut, jika ada yang merusak hutan maka akan diganggu oleh roh penjaga. Kawasan hutan yang dikeramatkan akan berperan dalam menjaga kawasan hutan sehingga tidak ada kegiatan perusakan oleh masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Kasepuhan di Banten. Suharjito dan Saputro (2008) menyebutkan bahwa Leuweung titipan pada lingkungan masyarakat Kasepuhan adalah hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya atau kawasannya tidak dapat dimanfaatkan karena dianggap keramat. Leuweung titipan bagi warga Kasepuhan merupakan titipan dari Karuhun yang harus dijaga kelestarian dan keasliannya.

9 Jaminan penutupan lahan

Penanaman tanaman kemiri yang dilakukan oleh masyarakat secara umum menjamin penutupan lahan. Penutupan lahan ini terlihat dari besarnya tajuk tanaman kemiri yang menutupi lahan sehingga berperan dalam melindungi permukaan tanah. Penanaman kemiri dengan jarak tanam tertentu akan menjamin luas lahan yang akan ditutupi oleh tajuk pohon. Penanaman yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan untuk mendapatkan buah, maka jarak tanam kemiri yang digunakan masyarakat adalah berkisar antara 8m x 8m, 8m x 10m, 10m x 10m, 10m x 12m. Tetapi ada juga beberapa penduduk yang menanam dengan jarak tanaman yang lebih sempit yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m sampai 6m x 6m. Tujuan penanaman dengan jarak tanaman yang lebar adalah agar tajuk tanaman kemiri lebar dan besar sehingga buah yang akan dihasilkan lebih banyak. Penanaman kemiri untuk tujuan menghasilkan buah dapat menjamin penutupan lahan sehingga berperan menjaga tanah tidak rusak, menjaga kesuburan tanah dan mencegah erosi. Berapapun jarak tanam yang dibuat, secara umum struktur

tegakan kemiri pada suatu bentang lahan akan menjamin penutupan lahan, yang kemudian akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor (Haryadi 2006; Mahendra 2009).

Gambar 14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah

10 Adanya upaya konservasi tanah

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang diamati, tidak ada upaya konservasi tanah yang sengaja dilakukan. Tetapi, untuk beberapa tempat, seperti daerah terjal, pinggir-pinggir sungai, lembah curam dan alur-alur sungai, masyarakat masih mempertahankan keberadaan tanaman kemiri. Apalagi untuk beberapa responden menyebutkan bahwa mereka masih mau menanami tanaman kemiri pada lahan milik mereka khususnya pada lahan miring karena tidak bisa dikelola menjadi tanaman pertanian. Jika masyarakat beralih menanam tanaman lain pada lahan miliknya yang miring, maka akan membutuhkan biaya yang besar. Suripin (2004) menyebutkan untuk kondisi lapangan yang curam dan terjal dan untuk menjamin produktivitas lahan sebaiknya menerapkan kaidah konservasi tanah dengan cara pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan menerapkan kaidah konservasi pada lahan miring, maka masyarakat dapat memperoleh penghasilan dan bermanfaat bagi lingkungan.

Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekologi masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan yaitu harus ada pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan agar pengelolaannya sampai pada tahap berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari

81 hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya dilakukan kearah pengelolaan yang keberlajutan seperti belum adanya upaya penanganan hama dan penyakit yang berdampak pada menurunnya produktivitas, luas tanaman kemiri yang terus menurun yang berdampak pada jaminan penutupan lahan khususnya pada lahan miring, belum adanya kegiatan yang aktif dalam konservasi tanah seperti penanaman pada lahan miring dan lain-lain. Adanya gangguan hama dan penyakit menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri belum intensif dan adanya bencana banjir bandang akibat dari perubahan penggunaan lahan pada lahan miring menunjukkan terjadinya pola penggunaan lahan yang tidak tepat pada lahan-lahan miring. Jika pengelolaan tanaman kemiri rakyat berkelanjutan, maka peran tanaman kemiri dari aspek ekologi (lingkungan) akan tercapai seperti menyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa,

Dokumen terkait