• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola tanaman kemiri, dilakukan analisis dengan model regressi logistik. Adapun variabel bebas yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri adalah umur petani

(tahun), lama tinggal di desa (tahun), luas lahan yang dikelola (ha), pekerjaan sampingan (ada atau tidak ada), status kepemilikan lahan (belum bersertifikat/sudah bersertifikat), jumlah anak sekolah (orang), jumlah anggota keluarga produktif (orang), jumlah tanggungan dalam keluarga (orang), jumlah pendapatan per bulan (Rp/bulan), asal usul tanah (beli/warisan/garap sendiri), kondisi jalan atau aksesibilitas ke ladang (mudah atau sulit), pekerjaan utama (petani/non petani), pengalaman bertani (tahun), jarak dari rumah ke ladang (meter), status lahan yang dipakai (sewa/milik), tingkat pendidikan sekolah (tidak sekolah, SD/SR, SLTP, SMU, Sarjana) dan jumlah anak yang sekolah di luar daerah (orang).

Tabel 23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic

Peubah B Sig Exp (B)

Konstanta -7,815 0,015 0,000

Umur petani (X1) 0,087 0,027* 1,091

Luas lahan (X3) 0,955 0,001* 2,600

Pendapatan per bulan (X9(3)) -2,315 0,040* 0,099 Asal usul tanah (X10(2)) 3,213 0,038* 24,843 Aksesibilitas ke ladang (X11(1)) -1,411 0,054** 0,244

Keterangan : *= signifikan pada taraf nyata 5%, **=signifikan pada taraf nyata 10%

Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil keputusan untuk mengelola tanaman kemiri dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 17 faktor yang diduga mempengaruhi seorang untuk mengelola tanaman kemiri, hanya 4 faktor yang signifikan pada taraf nyata 5%, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan dan asal usul tanah serta 1 faktor yang signifikan pada taraf nyata 10%, yaitu aksesibilitas ke ladang. Adapun model regressi logistik yang diperoleh adalah

Ln(p/1-p) =-7,815+ 0,087 umur petani + 0,955 luas lahan - 2,315 pendapatan per bulan + 3,213 asal usul tanah – 1,411 aksesibilitas ke ladang

Untuk menilai kelayakan model dalam memprediksi, digunakan uji Chi Square Hosmer dan Lemshow. Adapun hipotesis yang digunakan adalah

57 H0 = Tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi

yang diamati

H1 = Ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang

diamati

Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai Chi Square sebesar 3,679 dan nilai Sig sebesar 0,885. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig lebih besar dari α sebesar 0,1 sehingga kesimpulannya adalah menerima H0, artinya tidak ada

perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati sehingga model regressi logistik bisa digunakan untuk analisis selanjutnya.

Untuk melihat keakuratan model regressi logistik, dapat dilihat dari count-R2, Nagelkerke-R2 dan Cox & Snell–R2. Untuk mengetahui count-R2 dapat dilihat pada clasification table (Bock 1:Metode = Enter), dimana banyaknya prediksi pengamatan yang benar sebanyak 101 dan jumlah pengamatan keseluruhan 126 sehingga count-R2 = 101/126 = 0,802. Hal ini menunjukkan bahwa keakuratan model regressi logistik dapat dikatakan tinggi sebesar 80,2% dan model tersebut dapat digunakan untuk mengalokasikan responden yang mengelola dan yang tidak mengelola kemiri. Nilai berdasarkan Nagelkerke-R2 mengindikasikan bahwa peluang mengelola kemiri dapat diterangkan oleh variabel umur, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul lahan dan aksesibilitas ke ladang sebesar 54.4% sedangkan menurut Cox & Snell-R2 sebesar 40.8%.

Berikut ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke ladang.

a. Faktor umur petani

Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Pada kondisi ini, seorang petani muda akan lebih memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan walaupun membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk mengelolanya. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber

tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi.

Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang cenderung menurun dan lebih berani mempraktekkan teknik bertani yang lama yang sudah pernah dialami sebelumnya. Akibatnya, petani yang berumur tua cenderung menanam tanaman yang tidak memerlukan intensitas tinggi ke ladang tetapi tetap dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa umur petani mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd ratio 1,091. Setiap penambahan 1 tahun umur responden, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 1,091 kalinya dibanding peluang seseorang tidak mengelola kemiri, ceteris paribus. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelompok umur petani kemiri lebih banyak di atas 50 tahun yaitu 41 responden (65,08%) dibandingkan kelompok umur petani non kemiri yaitu 20 responden (31,75%). Hal ini menunjukkan bahwa petani yang menanam serta mempertahankan mengelola kemiri adalah yang sudah memasuki usia tua atau sudah mulai tidak produktif.

Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang peluang masyarakat melakukan diversifikasi usaha, menyebutkan bahwa semakin tua umur KK kecenderungan melakukan diversifikasi usaha semakin berkurang. Hal ini disebutnya wajar karena mengingat dalam melakukan diversifikasi usaha membutuhkan dukungan kondisi jasmani yang sehat, sehingga diversifikasi usaha pada rumah tangga yang KK-nya masih produktif cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan KK yang sudah tidak produktif.

Jika hal ini dihubungkan dengan peluang menanam dan mengelola kemiri, seseorang yang semakin tua umurnya maka kemampuan fisiknya akan berkurang (sudah mulai tidak produktif) akan lebih berpeluang menanam dan mengelola kemiri, karena tidak memerlukan waktu dan tenaga yang besar dalam pengelolaannya.

59 b. Faktor luas lahan

Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden petani kemiri memiliki luas lahan yang cukup besar. Terdapat 41 responden (65,01%) petani kemiri memiliki luas lahan di atas 2 ha, sedangkan 41 responden (65,01%) petani non kemiri memiliki luas lahan rata-rata di bawah 2 ha. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani non kemiri adalah 1,54 ha, lebih kecil dibanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani kemiri yaitu 2,67 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilik lahan yang luas akan cenderung menanam jenis tanaman kemiri disamping jenis tanaman lain seperti pola agroforestry atau tanaman campuran. Alasan lain, mengapa pemilik lahan yang lebih luas menanam kemiri adalah karena sebagian besar responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan pada daerah yang curam sampai terjal dengan tingkat kelerengan di atas 250, dimana lahan ini umumnya tidak cocok untuk ditanami tanaman pertanian.

Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola kemiri dengan nilai koefisien positif dan dengan nilai odd ratio 2,600. Setiap peningkatan luas lahan 1 hektar, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 2,600 kalinya dibanding peluang seseorang tidak menanam kemiri, ceteris paribus. Sumaryanto (2006) dalam penelitiannya tentang faktor yang mempengaruhi keputusan melakukan diversifikasi, menyebutkan bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata dalam menjelaskan diversifikasi usahatani, artinya rata-rata luas kepemilikan lahan tidak menjadi kendala dalam melakukan diversifikasi usahatani. Hasil ini berbeda dengan hasil analisis di atas yang menyebutkan bahwa luas lahan signifikan dalam menjelaskan peluang untuk mengelola kemiri, ini terjadi karena masyarakat yang menanam dan mengelola kemiri pada lahan miliknya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada kondisi topografi yang curam dan terjal. Masyarakat mengatakan bahwa tidak memiliki pilihan lain selain menanam

kemiri karena hanya kemiri yang bisa ditanam dan dapat mendatangkan penghasilan bagi mereka. Apabila menanam tanaman pertanian, biaya usaha besar, bahaya erosi dan longsor serta resiko tanaman dimakan oleh hama (monyet dan babi hutan). Jika kondisi lapangan datar, ada kemungkinan masyarakat bisa beralih menanam tanaman lain yang dapat mendatangkan penghasilan besar.

c. Faktor pendapatan per bulan

Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan yang dimilikinya. Bila pendapatan petani cukup besar, kemungkinan petani tersebut akan memilih menanam tanaman yang mendatangkan hasil yang banyak walaupun dengan resiko harus mengeluarkan modal yang cukup besar. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang berlatar belakang sosial ekonominya cukup mampu akan memilih jenis usaha yang memiliki nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut.

Pada faktor ini, pendapatan petani per bulan dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu: pendapatan rendah, pendapatan sedang, pendapatan tinggi dan pendapatan sangat tinggi. Pengelompokkan data dilakukan untuk memudahkan analisis data yang akan diolah. Bila angka pendapatan digunakan secara langsung, akan menimbulkan kesenjangan (gap) pada hasil yang diperoleh karena angka yang digunakan sangat besar.

Dari hasil pengolahan data diperoleh, petani dengan pendapatan per bulan sangat tinggi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk menanam kemiri dengan nilai odd ratio 0,099, tetapi memiliki nilai koefisien yang negatif. Peluang seseorang yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk mengelola kemiri adalah 0,099 kalinya dibanding dari seseorang yang pendapatannya rendah, atau peluang seseorang yang berpendapatan rendah untuk mengelola kemiri adalah 10,10 (1/0,099) kalinya dibanding dari seseorang yang berpendapatan sangat tinggi, ceteris paribus. Hasil akhir ini menunjukkan bahwa petani dengan penghasilan yang rendah akan cenderung lebih memilih menanam kemiri, ini terjadi karena berhubungan dengan

61 modal usaha yang tidak besar dalam mengelolanya, khususnya dalam kegiatan penanaman dan pemeliharannya. Hal ini didukung oleh Andayani (2002) yang menyebutkan bahwa pemilihan jenis usaha pada sebidang lahan akan terkendala oleh faktor ekonomi. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito (2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obat- obatan) dan pengelolaannya kurang intensif.

Hasil dari analisis yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Hardono dan Saliem (2006) dan penelitian Fatmawati (2011). Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang diversifikasi pendapatan rumah tangga menyebutkan bahwa peluang diversifikasi usaha lebih tinggi pada rumah tangga yang sumber pendapatannya terbatas, akibatnya diversifikasi usaha menjadi suatu kebutuhan atau suatu strategi mempertahankan kesejahteraan (livelihood strategy) hidupnya.

Fatmawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor pendapatan yang semakin tinggi akan memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk memiliki (menanam) cendana. Hal ini disebabkan karena pendapatan dari cendana sangat besar dan berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang intensif dan modal usaha untuk menanam cendana.

Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil yang diperoleh dari pengolahan data, karena peluang menanam kemiri lebih besar pada seseorang yang berpenghasilan lebih rendah. Seseorang yang berpenghasilan rendah akan berjuang mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan menanam tanaman yang lebih mudah dikelola, lebih cepat mendatangkan penghasilan dan tidak memerlukan modal yang tinggi. Tetapi, dalam hal ini masyarakat dengan penghasilan lebih rendah lebih memilih menanam kemiri karena petani berpenghasilan rendah sudah merasakan manfaat dari tanaman kemiri

sehingga cenderung lebih memilih untuk tetap mempertahankannya daripada mengganti tanaman lain yang belum tentu mendapatkan keuntungan yang besar dan lebih berpeluang untuk mencari penghasilan sampingan dari sumber lain karena tanaman kemiri tidak memerlukan pengelolaan yang intensif. Sehingga alasan mengapa masyarakat yang berpendapatan rendah menanam kemiri adalah karena biaya usaha yang tidak besar.

d. Faktor asal usul tanah

Ichwandi (2001) menyebutkan hak kepemilikan lahan di Kabupaten Maros diperoleh melalui jalur warisan, pembelian dan membuka lahan sendiri. Hal ini juga berlangsung di Kecamatan Tanah Pinem. Asal usul kepemilikan lahan biasanya berhubungan dengan jenis tanaman apa yang sebelumnya dikelola pada lahan tersebut. Seseorang yang membeli lahan, akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan tanaman yang ada diatasnya atau mengganti dengan jenis tanaman baru. Bila warisan, maka biasanya akan mempertahankan jenis tanaman yang ada. Suharjito (2002) menyebutkan bahwa salah satu alasan masyarakat Desa Buniwangi- Sukabumi memilih jenis tanaman yang diusahakan pada kebun talun adalah warisan dari orang tua. Hal yang sama juga terjadi pada pewarisan repong damar di Pesisir Krui-Lampung (Wijayanto 2002).

Sedangkan bila tanah tersebut berasal dari hasil garapan, apalagi lahan tersebut adalah kawasan hutan, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang mendatangkan manfaat bagi petani yang bersangkutan dan jenis yang dipilih berdasarkan jenis tanaman yang ada disekitarnya. Jenis tanaman yang dipilih biasanya adalah jenis tanaman keras yang menghasilkan, memiliki daya tahan yang cukup tinggi, tidak dimakan hama seperti monyet ataupun babi hutan. Beberapa responden yang membuka hutan menyatakan bahwa mereka lebih memilih jenis tanaman kayu-kayuan karena bisa ditinggal dalam waktu lama.

Hasil analisis menunjukkan bahwa asal usul lahan mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd rasio 24,843. Peluang seseorang yang memiliki lahan hasil garapan sendiri dari lahan hutan untuk mengelola kemiri adalah 24,843 kalinya dari seseorang yang memiliki lahan dari hasil

63 membeli, ceteris paribus. Kecenderungan orang yang membuka hutan untuk digarap sendiri akan memilih menanam dan mengelola kemiri dibanding dengan orang yang membeli lahan ataupun yang memperolehnya dari warisan.

Yusran (2005) menyebutkan bahwa status lahan kemiri yang dikelola masyarakat di Kawasan Pegunungan Bulusaruang terdiri dari tanah milik, tanah negara dan hutan negara, yang akan berpengaruh pada performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola maka semakin intensif pengelolaannya dan menjamin kelestariannya. Sementara di Kecamatan Tanah Pinem, pengelolaan lahan kemiri belum secara intensif, khususnya pada lahan hutan karena berhubungan dengan status lahan yang berhubungan dengan tingkat resiko kerugian yang akan dihadapi bila sewaktu-waktu ada larangan memasuki kawasan hutan.

e. Faktor aksesibilitas ke ladang

Tingkat kesulitan ataupun kemudahan menjangkau suatu ladang, akan mempengaruhi jenis tanaman apa yang akan ditanam. Semakin dekat ladang dan semakin mudah menjangkaunya dengan sarana transportasi seperti sepeda motor, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang cepat mendatangkan hasil, sedangkan semakin jauh ladangnya dan semakin sulit menjangkaunya dengan sarana transportasi maka akan lebih memilih menanam jenis tanaman tahunan. Keputusan menanam jenis tanaman pertanian atau tanaman tahunan sangat berhubungan dengan jarak tempuh dan tingkat kesulitan menjangkaunya. Hal ini berhubungan dengan intensitas seseorang pergi ke ladang dan tingkat kemudahan dalam pengangkutan sarana dan prasarana produksi serta hasil.

Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas ke ladang mempunyai nilai koefisien negatif dengan nilai odd ratio 0,244. Peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang lebih mudah adalah sebesar 0,244 kalinya dibanding dari seseorang yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit, atau peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit adalah 4,09 (1/0,244) kali daripada yang memiliki aksesibilitas ke ladang mudah, ceteris paribus.

Dari kelima faktor yang signifikan mempengaruhi petani mengelola kemiri, faktor yang paling besar memberi pengaruh adalah asal usul tanah khususnya tanah yang berasal dari lahan garapan karena memiliki nilai koefisien yang besar (3,213) yang menyebabkan nilai odd ratio juga besar (24,843). Semua masyarakat yang memiliki lahan hasil garapan dari hutan memilih jenis kemiri sebagai tanaman yang ditanam karena dapat memberikan pendapatan bagi petani. Hiola (2011) menyebutkan bahwa status penguasaan lahan akan mempengaruhi masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahan miliknya. Jenis kemiri merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat pada kawasan hutan (tanah negara) karena menanam kemiri pada tanah negara tidak menjadi ancaman bagi petani. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam pada lahan milik akan dipengaruhi oleh adanya rasa aman untuk menanam dan mendapatkan hasil dari tanaman tersebut tanpa ada rasa takut atau ancaman jika sewaktu-waktu ada peraturan dari pemerintah yang berhubungan dengan status lahan yang belum jelas (khususnya pada kawasan hutan).

Faktor yang berpengaruh kepada petani untuk mengelola kemiri pada urutan kedua adalah pendapatan petani perbulan khususnya petani yang memiliki pendapatan perbulan yang rendah (<1,5 juta per bulan). Hal ini terjadi karena petani dengan pendapatan yang rendah akan memiliki keterbatasan modal dalam mengembangkan usaha yang akan dilakukannya. Faktor ketiga yang berpengaruh adalah faktor aksesibilitas ke ladang yang sulit dijangkau, intensitas kunjungan dan ancaman bahaya serangan hama (monyet dan babi hutan) akan berkurang bila menanam jenis tanaman keras seperti jenis kayu-kayuan.

Faktor keempat yang berpengaruh adalah luas kepemilikan lahan yang masih cukup lebar. Umumnya masyarakat yang mengelola kemiri adalah masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan-lahan miring dengan luas lahan yang cukup lebar. Pilihan menanam kemiri menjadi pilihan yang utama karena cocok ditanam pada lahan miring, hasilnya dapat dijual secara berkelanjutan dan menjadi sumber pendapatan bagi petani. Bila beralih menanam tanaman lain (pertanian), akan memerlukan biaya usaha yang besar dan adanya resiko yang terjadi seperti erosi dan tanah longsor.

65 Faktor yang mempengaruhi petani mengelola kemiri dengan nilai yang lebih kecil adalah faktor umur petani. Walaupun faktor umur petani memiliki nilai odd ratio yang kecil tetapi faktor ini menjadi alasan beberapa petani yang sudah mulai kurang produktif untuk memilih menanam serta mempertahankan tanaman kemiri pada lahan miliknya karena kekuatan petani dalam mengelola lahan sudah mulai berkurang sehingga pengelolaannyapun nantinya akan menjadi tidak intensif dan disisi lain ada jaminan pendapatan yang masih dapat diperoleh dari tanaman tersebut secara berkelanjutan.

Faktor-faktor yang tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang masyarakat menanam kemiri adalah lama tinggal di desa, pekerjaan utama dan sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah di desa dan di luar daerah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga, pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai dan tingkat pendidikan. Berikut ini adalah penjelasan mengapa faktor-faktor tersebut di atas tidak berpengaruh.

a. Lama tinggal di desa

Faktor lama tinggal di desa akan berpengaruh pada pengalaman seseorang dalam menganalisa berbagai jenis tanaman yang berkembang dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola perubahan penggunaan lahan dan besar kecilnya produktivitas yang diperoleh akan mempengaruhi seseorang untuk memilih menanam jenis tanaman tertentu. Pada masa kejayaan kemiri, kemiri merupakan sumber penghasilan utama masyarakat dan tanaman kemiri hampir ditanam semua masyarakat. Tetapi, pada saat hasil dan produksi menurun, maka ada keinginan beralih pada jenis tanaman lain yang bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peralihan ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah pengalaman masyarakat lain disekitarnya yang sudah menanam cokelat dan jagung. Sekitar tahun 2005, masyarakat pelahan-lahan mulai menebang kemiri dan beralih menanam tanaman cokelat dan jagung.

b. Pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan

Faktor ini berhubungan dengan kesempatan melakukan kegiatan pada lahan miliknya. Seseorang yang memiliki pekerjaan utama bukan petani akan

berpeluang lebih besar menanam kemiri karena waktu yang dimilikinya akan lebih banyak dalam pekerjaan utamanya. Responden yang memiliki pekerjaan utama bukan petani, akan cenderung mempekerjaan orang lain untuk mengelola lahan miliknya. Sementara seseorang petani yang memiliki pekerjaan sampingan, kemungkinan memberi peluang menanam kemiri juga semakin besar, seperti pedagang, sopir dan buruh bangunan. Ternyata, hasil pengolahan data menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan ada atau tidaknya pekerjaan sampingan tidak berpengaruh nyata dalam menentukan keputusan untuk menanam kemiri. c. Status kepemilikan lahan

Status lahan bersertifikat dan belum bersertifikat tidak berpengaruh dalam mendorong masyarakat untuk menanam kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat tidak akan mempengaruhi seseorang untuk menanam atau tidak menanam kemiri. Petani kemiri yang tidak memiliki sertifikat 85,71% dan petani non kemiri yang tidak bersertifikat 66,67%. Ini menunjukkan bahwa apapun status lahan, masyarakat bebas menentukan untuk menanam kemiri dan non kemiri. Faktor status lahan milik atau lahan sewa juga tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang menanam kemiri. Adanya masyarakat yang menyewakan lahan yang ditanami kemiri menunjukkan bahwa jenis tanaman apapun yang ada pada sebidang lahan tidak mempengaruhi seseorang untuk menyewa lahan sepanjang usaha tersebut memberikan pendapatan bagi penyewa. Masyarakat yang menyewa kemiri hanya bersifat memungut hasil, menjaga dan tidak untuk mengganti tanaman kemiri. Hal ini didukung dengan penelitian Sumaryanto (2006) bahwa sikap petani pemilik dan penyewa tidak berbeda dalam menentukan pola tanaman pada lahan miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan tidak mempengaruhi masyarakat untuk menanam kemiri.

d. Jumlah anggota keluarga

Hal ini berhubungan dengan jumlah anak sekolah, jumlah anggota keluarga produktif dan jumlah anak sekolah di luar daerah. Dalam melakukan usaha tani, idealnya semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak

67 tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan usaha taninya. Ternyata pada hasil pengolahan data menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota

Dokumen terkait