• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem

Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman ini sudah berlangsung turun temurun. Tanaman kemiri berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan tanaman kemiri rakyat yang yang ada di Kecamatan Tanah Pinem meliputi pola tanam, kondisi tanaman, teknik budidaya, pengelolaan hasil dan pemasarannya.

Pola penanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah sejenis (monokultur) dan agroforestry yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih, cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain (Tabel 20). Responden yang menanam kemiri saja sebanyak 35 responden (55,56%) sedangkan yang menanam dengan kombinasi tanaman lain sebanyak 28 responden (44,44%). Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah penghasilan petani, seperti sirih yang tumbuh secara alami maupun ditanam, tidak perlu ada perawatan dan pemeliharaan khusus tetapi dapat menghasilkan sebanyak 4 kali dalam setahun. Pola pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mirip dengan pola pengelolaan kemiri rakyat di Kabupaten Maros dengan pola monokultur dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan palawija, pisang dan coklat (Yusran 1999; Ichwandi 2001).

Tabel 20 Pola tanaman kemiri rakyat

No Pola tanaman Jumlah Responden Persentase

1 Kemiri 35 55,56

2 Kemiri + sirih 8 12,70

3 Kemiri + cokelat 4 6,35

4 Kemiri + cokelat + pinang + sirih + dll 16 25,40

Jumlah 63 100,00

Pada Gambar 3 dapat dilihat pola tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem.

(a) monokultur

(b) agroforestry

Gambar 3 Pola tanaman kemiri rakyat.

Rata-rata luas lahan yang ditanami tanaman kemiri cukup lebar yaitu 2,67 ha, yang paling kecil adalah 0,45 ha dan yang paling besar adalah 6 ha. Besar kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani yang ditanami kemiri mempengaruhi jumlah pohon yang tumbuh dan besaran produksi yang diperoleh yang tergantung pada jarak tanam yang ada.

47 Tanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat saat ini adalah tanaman yang diwariskan dari orang tua, ada juga yang ditanam sendiri dan ada yang dibeli dalam kondisi sudah ada tanaman kemirinya. Masyarakat yang menanam sendiri adalah masyarakat yang membuka lahan di dalam dan luar kawasan hutan. Pada saat awal penanaman, masyarakat mendapatkan bibit dari tanaman yang tumbuh secara alami di ladang dan hutan. Alasan masyarakat mempertahankan tanaman kemiri sampai saat ini, antara lain perawatan tidak susah atau tidak ada perawatan khusus, tidak perlu ada pemupukan, bisa mendatangkan hasil setiap hari, bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, cocok untuk lahan miring dan bersifat sebagai tabungan untuk masa depan.

Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan.

Pada saat awal penanaman, masyarakat sebagian besar sudah menggunakan jarak tanam. Tetapi, kondisi tanaman yang ada saat ini umumnya sudah tidak memiliki jarak tanam yang teratur karena sebagian besar sudah ada yang tumbang dan ada juga yang dibiarkan tumbuh secara alami (permudaan alami). Jumlah responden yang memiliki jarak tanam teratur sebanyak 29 responden (46,03%) yaitu antara 5m x 5m sampai 10m x 12m, sedangkan 34 responden (53,97) menyebutkan bahwa jarak tanam yang ada di lahan miliknya tidak teratur lagi.

(a) jarak tanam teratur (b) jarak tanam tidak teratur Gambar 5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat.

Kondisi umur tanaman yang ada saat ini adalah beragam. Secara umum, tanaman-tanaman yang ada sudah memasuki umur tidak produktif. Umur rata-rata tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Tanaman yang paling muda berumur 13 tahun sedangkan tanaman paling tua berumur 80 tahun. Dari semua responden, hanya 5 responden (7,94%) yang pernah melakukan peremajaan. Alasan peremajaan dilakukan karena memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang curam, pemeliharaannya tidak sulit dan merasakan bahwa kemiri masih mendatangkan hasil yang lumayan bagi hidupnya.

(a) tanaman produktif (b) tanaman tua (tidak produktif) Gambar 6 Kondisi tanaman kemiri rakyat.

49 Paimin (1994); Koji (2002); Deptan (2006a) menyebutkan bahwa batas produksi kemiri sampai umur 35 tahun. Tanaman kemiri di atas umur 35 tahun tetap berproduksi, tetapi cenderung menurun sampai umur 50 tahun. Bila tanaman kemiri produktif sampai umur 35 tahun, maka terdapat 32 responden (50,79%) memiliki tanaman kemiri yang masih produktif dan 31 responden (49,21%) memiliki tanaman kemiri yang tidak produktif. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa kriteria kelas umur muda untuk kemiri adalah dibawah 10 tahun, produktif pada umur 11-35 tahun dan umur tua di atas 35 tahun. Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa hampir 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati umur produktif, yang menunjukkan bahwa proses regenerasi kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem tidak berlangsung secara berkelanjutan (Yusran 1999). Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur produktif, tanaman kemiri akan tetap menghasilkan buah, tetapi hasilnya akan menurun seiring dengan pertambahan umur karena tanaman sudah lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan lebih mudah tumbang.

Tabel 21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010 No Umur (tahun) Luas (ha) Produksi (kg) Jumlah pohon (batang) Produksi per ha (kg/ha)

Produksi per pohon (kg/pohon)

1 13 – 35 83 55.686 10.209 670,92 5,45

2 > 35 84,95 42.284 9.071 497,75 4,66

Total 167,95 97.970 19.280 - -

Rata-rata 583,33 5,08

Pada tabel di atas dapat dilihat produksi buah kemiri rakyat yang sudah dikupas pada tahun 2010. Jika dilihat dari luas tanaman, maka tanaman kemiri yang masuk kategori menghasilkan adalah 83 ha dengan rata-rata produksi biji kupasan 670,92 kg/ha, sedangkan 84,95 ha lainnya termasuk pada kategori tanaman tua menghasilkan dengan rata-rata produksi biji kupasan 497,75 kg/ha. Produksi buah per ha secara keseluruhan adalah rata-rata 583,33 kg/ha. PPL (2010) menyebutkan produktivitas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah 520 kg/ha. Hasil ini lebih kecil dengan produksi kemiri di Indonesia tahun 2007 yaitu 797 kg/ha (Deptan 2009). Produksi kemiri yang dihasilkan di Kecamatan Tanah Pinem hampir sama dengan rata-rata produksi kemiri di Indonesia sekitar 0,5 ton/ha/tahun biji kupasan (Paimin 1994).

Produksi buah per pohon adalah berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi umur pohon dan kondisi kesehatan tanaman. Pada Tabel 21, produksi kemiri pada kategori umur menghasilkan (umur 5 sampai 35 tahun) adalah 5,45 kg biji kupasan/pohon sedangkan produksi kemiri pada kategori tanaman tua menghasilkan (di atas 35 tahun) menurun menjadi 4,66 kg biji kupasan/pohon. Rata-rata produksi buah kemiri untuk keseluruhan sampel adalah 5,08 kg biji kupasan/pohon. Produksi kemiri per pohon di atas masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Dephut (2006a) dan Paimin (1994) yang menyebutkan produksi pohon kemiri pada saat panen pertamanya adalah 10 kg biji kupasan/pohon (umur 5 tahun), 25 kg biji kupasan (umur 6 sampai 10 tahun) dan akan menghasilkan produksi yang stabil berkisar 35 sampai 50 kg/pohon/tahun (umur 11 sampai 20 tahun).

Perbedaan produktivitas kemiri ini sangat dipengaruhi oleh jumlah tanaman per satuan luas, kondisi kesehatan tanaman, kondisi tempat tumbuh dan intensitas pemeliharaan. Jumlah pohon pada suatu lahan dipengaruhi oleh jarak tanam yang ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada saat awal penanaman terdapat jarak tanam seperti 8m x 8m, 8m x 10m dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah busuk sehingga dapat tumbang pada saat angin kencang maupun pada musim penghujan. Ada juga penambahan tanaman yang tumbuh secara alami yang dibiarkan berkembang menjadi tanaman besar. Akibatnya adalah jarak tanam menjadi tidak beraturan. Rata-rata jumlah pohon per ha untuk keseluruhan responden adalah 115 pohon.

Rendahnya hasil produksi yang diperoleh petani berhubungan dengan tingkat intensitas kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap tanaman dan adanya pengaruh penyakit yang selama ini sudah sering terjadi tetapi belum ditemukan cara mengatasinya yaitu terjadinya gugur buah pada saat buah sudah hampir mencapai kondisi panen. Buah yang gugur tidak bisa dipanen karena belum menghasilkan biji kupasan (kernel). Untuk kegiatan pemeliharaan tanaman, sebagian besar responden menyebutkan bahwa tidak ada kegiatan pemupukan yang dilakukan karena jika dipupuk, buah akan banyak dan pada saat buah mulai besar, cabang atau ranting pohon banyak yang patah sehingga menyebabkan kerugian bagi petani.

51

Gambar 7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena penyakit gugur buah.

Jika dibandingkan dengan produksi kemiri dari tempat lain, maka produksi kemiri di beberapa tempat di Indonesia adalah berbeda-beda. Yusran (1999) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri rakyat di Kabupaten Maros adalah 72,1 kg/ha. Darmawan dan Kurniadi (2007) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ngada (2001) berkisar 3,67–5 kg/pohon/tahun, di Kecamatan Soa dan Bajawa rata-rata 13,02 kg/pohon/tahun, di Kabupaten Ende rata-rata 7,25 kg/pohon/tahun dan di Kecamatan Ende Selatan dan Kecamatan Ndona rata-rata 15,09 kg/pohon/tahun. Wibowo (2007) menyebutkan produksi kemiri di Desa Kuala adalah 62,5 kg per pohon. Besar kecilnya produktivitas kemiri di berbagai tempat menunjukkan bahwa produksi kemiri berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dapat disebabkan oleh faktor tempat tumbuh, umur tegakan, kondisi tanaman (sehat atau sakit) dan faktor lingkungan (perubahan musim).

Umumnya masyarakat menyatakan bahwa menanam kemiri tidak sulit karena hanya melakukan penanaman, pembersihan tumbuhan bawah dan tinggal menunggu hasil, tidak perlu penggunaan pupuk dan dapat ditinggalkan dalam

Buah matang yang jatuh secara alami Buah yang jatuh karena penyakit gugur buah

waktu yang lama, yang berhubungan dengan intensitas masyarakat melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat sederhana dan tidak intensif (Koji 2002; Wibowo 2007; Awang et al. 2007). Dari keseluruhan responden, hanya 3 responden yang rutin pergi ke ladang, 21 responden hanya pergi pada saat-saat tertentu, 37 responden melakukan pemeliharaan kemiri pada saat panen dan 2 responden hampir tidak pernah melakukan pemeliharaan.

Tabel 22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri

No Intensitas pemeliharaan Jumlah

Responden

Persentase

1 Rutin ke ladang 3 4,76

2 Jarang pergi (pada saat tertentu saja) 21 33,33

3 Pada saat panen 37 58,73

4 Tidak pernah melakukan pemeliharaan 2 3,17

Jumlah 63 100,00

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat pada tanaman kemiri adalah pembersihan tumbuhan bawah karena mengganggu pada saat dilakukan pengumpulan buah. Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dua kali setahun yaitu pada saat musim berbuah besar yang dilakukan dengan cara membabat ataupun dengan menggunakan round-up untuk mematikan tumbuhan bawah. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan dengan membabat akan membutuhkan waktu yang agak lama sedangkan bila menggunakan zat kimia, akan lebih cepat dan praktis.

Tanaman kemiri pada dasarnya bisa berbuah sepanjang tahun, tetapi (Deptan 2006a) menyebutkan bahwa panen buah dapat dilakukan 2-3 kali setahun. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sekarang dengan musim berbuah dulu (tahun 1980-an) sudah jauh berbeda. Pada waktu dulu, masyarakat dapat memperoleh hasil sepanjang tahun, tetapi sekarang hampir tidak menentu. Deptan (2006a) menyebutkan untuk merangsang pembentukan bunga tanaman kemiri, maka dibutuhkan musim kemarau yang tegas, bila setelah penyerbukan hujan turun, maka bunga akan gugur dan persentase bunga menjadi buah akan semakin kecil. Perubahan musim berbuah dan besar kecilnya jumlah buah yang dihasilkan di lokasi penelitian, diduga

53 terjadi karena perubahan musim penghujan dan musim kering yang tidak menentu akhir-akhir ini.

Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa musim berbuah paling besar terjadi 1 kali setahun dan ada juga yang menyebutkan 2 kali setahun. Perbedaannya hanya pada besaran produksi yang dihasilkan. Musim berbuah besar adalah musim berbuah paling banyak dibandingkan dengan musim berbuah lainnya sedangkan musim kedua adalah musim berbuah besar tetapi hasilnya tidak seperti pada musim berbuah besar yang pertama. Adapun kisaran bulan musim berbuah kemiri adalah antara bulan Mei sampai Juli dan bulan Nopember sampai Januari. Tetapi ada juga yang menyebutkan bulan lainnya selain bulan di atas. Hal ini terjadi karena memang tidak semua tanaman kemiri memiliki musim berbuah yang sama secara keseluruhan, ada yang berbuah di luar musim berbuah biasanya.

(a) berbunga (b) berbuah Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah.

Pemanenan buah dilakukan dengan cara menunggu buah jatuh ke tanah. Tidak ada kegiatan pengambilan buah secara sengaja, karena hal ini berhubungan dengan tingkat kematangan buah yang akan diperoleh. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah jatuh ke tanah, kemudian dikumpulkan, dikupas dari daging buah dan diangkut ke rumah. Pengangkutan kemiri sangat sulit dilakukan karena berat dan jarak tempuh dari ladang ke rumah. Masyarakat mengatakan bahwa jika membawa kemiri dengan cara menjujung di atas kepala seperti membawa batu. Sehingga, saat ini dilakukan dengan menggunakan sepeda motor yang disebut

tidak ada masalah, tetapi bagi petani yang tidak memiliki sepeda motor, hal ini menjadi biaya pengeluaran.

Sebelum kemiri dikupas, dilakukan penjemuran selama 3-4 hari bila cuaca cerah atau 5-6 hari bila cuaca tidak cerah. Masyarakat umumnya menjual kemiri yang dimilikinya dengan mengupas terlebih dahulu (biji kupasan) karena berhubungan dengan harga jual yang lebih tinggi. Ada juga yang menjual kemiri tanpa dikupas dengan alasan memenuhi kebutuhan mendesak seperti membeli beras. Harga jual kemiri kupasan pada saat penelitian berkisar antara Rp22.000 sampai Rp25.200 per kg, sedangkan harga biji kemiri yang tidak dikupas adalah Rp6.000 sampai Rp8.000 per tumba (1 tumba=2 liter).

(a) Kemiri di jemur (b) kemiri kering

(c) Pengupasan kemiri (d) Kemiri setelah dikupas Gambar 9 Proses pengupasan kemiri.

Untuk melakukan pemasaran hasil, masyarakat tidak mengalami kesulitan karena hampir di semua desa ada pembeli lokal (toke) dan ada juga pedagang pengumpul yang datang dari luar desa. Harga di pasar dengan harga di rumah

55 adalah sama. Karena itu, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran dan tidak ada biaya yang keluar. Selain buah, kulit biji kemiri juga sudah laku dijual dengan harga Rp10.000 sampai Rp13.000 per karung (ukuran karung urea). Kulit biji kemiri mulai laku dijual sejak tahun 2009 yang digunakan untuk industri-industri yang menggunakan pengering (dryer) dalam bentuk tungku yang membutuhkan bahan baku kayu bakar. Sejak kesulitan dalam menemukan bahan bakar kayu, banyak industri-industri yang beralih menggunakan kulit kemiri karena bara api yang lebih tahan lama.

(a) Kulit kemiri (cangkang) (b) Pengangkutan kulit kemiri Gambar 10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan.

Setelah melakukan rangkaian pengumpulan data primer, data sekunder dan juga melakukan kunjungan lapangan, wawancara dan diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat dan pihak terkait, adapun hasil penelitian yang diperoleh untuk menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.

Dokumen terkait