• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Candlenut Tree Management in Tanah Pinem District, Dairi Regency, North Sumatera Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Candlenut Tree Management in Tanah Pinem District, Dairi Regency, North Sumatera Province"

Copied!
329
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT

DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI

PROPINSI SUMATERA UTARA

TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

(3)
(4)

ABSTRACT

TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING. Analysis of Candlenut Tree Management in Tanah Pinem District, Dairi Regency, North Sumatera Province. Under Direction of HARDJANTO and NURHENI WIJAYANTO

One orientation in the long-term development of forest by the Indonesian government is the resulted welfare and active role of the people in forest

management by expanding the people’s forest acreage. The type of plants selected for the community’s forest that will be developed must be suited to the local

environmental conditions in terms of technical, economic, ecological, social and

cultural aspects so that economically the activities of community’s forest can become the people’s choice of productive and sustainable business activities.

Candlenut is one of the trees growing in the community environment. Economically the plants are very beneficial as their income sources and ecologically can serve to improve the functions of environment. The objectives of this study were (1) to determine the influential factors in the management candlenut trees and (2) to examine the sustainability of the people’s candlenut tree management for the ecological, economic and social aspects. The data was analyzed with a binary logistic regression and the sustainability analysis includes ecological, economic and social aspects. The factors that affect the candlenut management are age, land size, income, land origin, and land accessibility. The

sustainability of candlenut management falls into the category of “sustainable with some considerations” based on “Lembaga Ekolabel Indonesia” standard because the community’s management of candlenut has not indicated a

continuous or sustainable management.

(5)
(6)

RINGKASAN

TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING. Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARDJANTO dan NURHENI WIJAYANTO.

Salah satu arah Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun 2006-2025 adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang adil dan bertanggung jawab. Strategi yang dilakukan dengan meningkatkan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Target luas hutan rakyat yang akan dibangun sampai tahun 2025 adalah 8 juta ha.

Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan rakyat harus memperhatikan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan setempat dengan tujuan agar lebih produktif dan lestari. Salah satu potensi tanaman hutan rakyat yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat adalah tanaman kemiri. Kemiri merupakan salah satu jenis tanaman hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak manfaat dari buah, kayu, kulit biji, ampas minyak kemiri dan pohon kemiri. Tanaman kemiri memiliki banyak keunggulan karena dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani dan berperan dalam fungsi ekologis.

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Tanah Pinem yang terdapat di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem adalah tanaman yang sudah ada sejak dahulu yang tetap diusahakan sampai sekarang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat dan menganalisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan metode evaluasi. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan lapang, diskusi, studi literatur dan pengumpulan data serta laporan dari instansi terkait. Analisis data untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat digunakan regressi logistik biner sedangkan penilaian untuk analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial menggunakan pendekatan dari Lembaga Ekolabel Indonesia.

(7)

kemiri rakyat, diduga ada 17 variabel yang mempengaruhinya. Setelah dilakukan analisis regressi logistik biner, hanya 5 variabel yang signifikan menjelaskan alasan masyarakat memilih mengelola kemiri pada lahan miliknya, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke ladang.

Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dilakukan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Penilaian pengelolaan tanaman kemiri rakyat di

Kecamatan Tanah Pinem menunjukkan pengelolaan yang “berkelanjutan dengan catatan”. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kemiri rakyat yang ada belum

menunjukkan pengelolaan yang menuju ke arah yang berkelanjutan. Untuk itu, dalam mencapai pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang berkelanjutan, perlu dilakukan perbaikan pada setiap indikator yang bernilai cukup dan jelek melalui program dan kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan yang melibatkan instansi terkait.

(8)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT

DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI

PROPINSI SUMATERA UTARA

TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara Nama : Tetty Pryska Herawaty Sihombing

NRP : E151090101

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengelolaan Hutan

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini

berjudul “Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Juga kepada seluruh instansi dan pihak terkait di tingkat pusat (Kementerian Kehutanan dan Pusat Diklat Kehutanan), tingkat propinsi dan kabupaten atas bantuan fasilitas, data dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian. Serta kepada semua masyarakat di Kecamatan Tanah Pinem yang telah memberikan bantuan kepada saya pada saat pengumpulan data di lapangan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah dan ibu serta semua keluarga atas bantuan, dukungan serta doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

(13)
(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Huta Bangun, 27 Mei 1977 dari Bapak T. E Sihombing dan Ibu R. Silaban. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD ST Yosef Sidikalang, Sekolah Menengah Pertama di SMP ST Paulus Sidikalang dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara dan lulus tahun 1996. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …...……….……….. xii

DAFTAR GAMBAR …....……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……...……… xvi

1 PENDAHULUAN …………....……… 1

1.1 Latar Belakang ………...………. 1

1.2 Perumusan Masalah ………...……….………. 7

1.3 Tujuan Penelitian ………...….………. 8

1.4 Manfaat Penelitian ………...………. 9

1.5 Kerangka Pemikiran …….………...……… 9

2 TINJAUAN PUSTAKA ..………...……...………… 11

2.1Hutan Rakyat ………...……… 11

2.2Pengelolaan Hutan Rakyat ……….………….…...………… 14

2.2.1 Aspek Sosial ……….………...……… 14

2.2.2 Aspek Ekonomi ………..….………...…… 15

2.2.3 Aspek Ekologi ………...…………..……… 18

2.3Pengelolaan Hutan Lestari ………...…….……… 19

2.4Tanaman Kemiri ……….….…...……… 24

2.5Beberapa Studi Terdahulu...……...……….……… 27

3 METODE PENELITIAN ….………...……… 29

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ….………...……… 29

3.2 Metode Pengumpulan Data …….………...………….……… 29

3.3 Penentuan Responden ……….………....…… 30

3.4 Metode Pengolahan dan Analisa Data ……..………...… 31

3.5 Definisi Operasional ...……...……….……… 35

4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN ………...….…… 37

4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian ………...………...…… 37

4.1.1 Letak Administrasi ………...………...…..… 37

4.1.2 Letak Geografis ………...………...…...… 37

4.1.3 Iklim………...………...…...… 37

4.1.4 Topografi ……...…………...………....…...…..… 37

4.1.5 Penduduk ……...…………...………....…...…..… 38

4.1.6 Penggunaan Lahan ……...…………...………..….... 38

4.2 Karakteristik Responden ……...…………...………..…... 39

4.2.1 Umur Responden ……...…………...……….……..…... 39

4.2.2 Pendidikan……...…………...………..…...…... 40

4.2.3 Jumlah Anggota Keluarga……...…………....…….……… 40

(16)

4.2.5 Status Kepemilikan Lahan dan Asal Usul Lahan .……...…... 42

4.2.6 Luas Kepemilikan Lahan ...…………...…….……… 43

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ……...…………...………... 45

5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem .………….…. 45

5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri... 55

5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat ……...… 69

5.3.1 Aspek Ekologi……...…………...………..…... 69

5.3.2 Aspek Ekonomi……...…………...………..…... 81

5.3.3 Aspek Sosial……...…………...………..…...….. 97

5.3.4 Analisis keberlanjutan ...…………...………..…... 107

6 KESIMPULAN DAN SARAN ……...…………...………….….. 121

6.1 Kesimpulan ……...…………...………..…...…...… 121

6.2 Saran ……...…………...………..…...…...… 122

DAFTAR PUSTAKA………...……….. 123

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia tahun 2004 ...………. 2

2 Potensi luas hutan rakyat di Jawa-Madura...………...….... 2

3 Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara ...……….. ... 3

4 Luas dan produksi kebun kemiri di Indonesia sejak tahun 1984-2009 ... 4

5 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri di Indonesia tahun 2004-2009 5 6 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri tahun 2007 di Sumatera Utara 5 7 Sebaran kemiri rakyat di Kabupaten Dairi pada tahun 2008 ...……… 6

8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian ...…. 21

9 Kriteria dan indikator PHBML ...………...………. 23

10 Kondisi topografi di Kecamatan Tanah Pinem ...………... 38

11 Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem tahun 2008 ...……... 39

12 Sebaran umur responden ...………...………... 40

13 Tingkat pendidikan responden ...………...……….. 40

14 Jumlah anggota keluarga responden ...………...…………. 41

15 Mata pencaharian responden ...………...……….... 42

16 Status kepemilikan lahan responden ...………...…………. 42

17 Asal usul lahan yang dimiliki oleh responden ...………... 42

18 Status lahan yang digunakan oleh responden ...………... 42

19 Luas kepemilikan lahan ...………...………... 43

20 Pola tanaman kemiri rakyat...………...………... 45

21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010 ...………... 49

22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri ...……….... 52

23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic...………... 56

24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri …….. 69

25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem ... 71

26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009 ... 73

27 Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri …… 81

(18)

dan Pasir Tengah tahun 2009-2010 ....………...………...… 87

30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri ...………...…….. 89

31 Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri …….… 97

32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009 ...……...… 101

33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009 ...… 103

34 Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem ...………...………. 111

35 Prioritas perbaikan dan kegiatan yang perlu dilakukan …...………. 116

36 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi ...………..…... 117

37 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekonomi...………..…... 118

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran ...………...………...……...………... 10

2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun 1975-2007 ...………...…. 26

3 Pola tanaman kemiri rakyat ……...………...……...……….... 46

4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan ….. 47

5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat ...………...……...……….... 48

6 Kondisi umur tanaman kemiri rakyat ..………...……...……….... 48

7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena penyakit gugur buah …...………...……...……...………... 51

8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah …...……...………... 53

9 Proses pengupasan kemiri ...………...……...……...………... 54

10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan ………... 55

11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah terjadinya erosi ………...………...……...……...………... 72

12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir ...………... 73

13 Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal ….. 74

14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah 80 15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal ...………...…...…. 96

16 Batas kepemilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang ada (seperti pinang) ………...………...……...……...……... 105

(20)
(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap pengelolaan

kemiri rakyat dan penjelasan dari setiap variabel bebas... 129

2 Aspek analisis sustainability (keberlanjutan) pengelolaan kemiri ... 131

3 Kriteria setiap indikator keberlanjutan ………...……… 135

4 Karakteristik responden petani kemiri ……… 138

5 Analisis pendapatan dari tanaman kemiri, persentase pendapatan dari kemiri terhadap pendapatan total petani dan pengeluaran per kapita per bulan ... 139

6 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri pada lahan milik, pada lahan sewa dan pada lahan yang di beli ... 140

7 Hasil pengolahan data dengan Logistic Regression... 146

(22)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membagi hutan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan hak selanjutnya dikenal dengan hutan rakyat yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah milik yang dibuktikan dengan alas titel atau sertifikat.

Hutan rakyat sudah berkembang di lingkungan masyarakat sejak dahulu yang dilakukan atas inisiatif masyarakat di lahan-lahan milik. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan secara swadaya berupa tanaman sejenis maupun pola tanaman campuran, yang dilatarbelakangi oleh asal mula sistem perladangan berpindah dan kemudian berkembang menjadi pertanian menetap. Pada saat pertanian menetap, masyarakat menanam tanaman pertanian karena memberi hasil jangka pendek dan menanam tanaman kayu-kayuan untuk hasil jangka menengah dan jangka panjang.

Pemerintah sejak tahun 1960-an telah mengembangkan hutan rakyat sebagai kegiatan penghijauan untuk mengatasi lahan kritis pada lahan milik masyarakat (Awang et al. 2007). Kegiatan penghijauan adalah upaya memulihkan atau memperbaiki keadaan lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan penanaman dan bangunan konservasi tanah agar dapat berfungsi sebagai media produksi dan sebagai media pengatur tata air yang baik serta upaya mempertahankan dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukkannya. Kegiatan penghijauan yang dilaksanakan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penyediaan bahan baku industri dan peningkatan mutu lingkungan. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman keras, MPTS (Multi Purpose Trees Species) dan buah-buahan (Kemenhut 2010).

(23)

luas adalah hutan rakyat yang dilakukan secara swadaya yang mencapai 966.722,3 ha dengan potensi kayu sebesar 33.650.443,1 m3 (Tabel 1). Pemerintah telah melakukan penghijauan di luar kawasan hutan termasuk hutan rakyat seluas 1.785.149 ha sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 (Dephut 2006) dan pembuatan hutan rakyat seluas 1.810.601 ha sejak tahun 2004 sampai 2008 (Dephut 2009).

Tabel 1 Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia tahun 2004

No Jenis Sumber Dana Luas (ha) Perkiraan Potensi (m3)

1 Hutan rakyat swadaya 966.722,3 33.650.443,1

2 Hutan rakyat subsidi 131.090,5 4.935.417,5

3 Hutan rakyat melalui KUHR 41.785,9 744.129,9

4 Hutan rakyat DAK DR 18.917,9 86.567,0

5 Hutan rakyat kegiatan GNRHL 409.899,0 0,0

Jumlah 1.568.415,6 39.416.557,5

Sumber : Hindra (2006)

Perkembangan hutan rakyat di Pulau Jawa setiap tahunnya cenderung meningkat. Walaupun ketersediaan lahan mulai menyempit akibat tekanan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sehingga permintaan lahan untuk perumahan dan lahan pertanian juga semakin tinggi, tetapi kegiatan pengusahaan hutan rakyat masih tetap berkembang.

Tabel 2 Potensi luas hutan rakyat di Jawa-Madura No Klasifikasi penutupan

kering/primer*) 107.706,97 65.961,24 45.572,19 136,34 2 Hutan tanaman*) 374.057,31 384.869,50 304.461,12 22,86 3 Perkebunan 153.441,62 166.553,30 80.322,79 91,03 4 Pertanian lahan kering*) 935.069,26 1.098.215,20 837.379,82 11,67 5 Pertanian lahan kering

campur semak 977.796,44 984.066,80 601.042,74 62,68 6 Semak belukar 36.942,46 30.946,00 32.018,48 15,38 Total 2.585.014,06 2.730.612,04 1.900.797,14 35,99

Keterangan : *) Klasifikasi lahan yang tergolong hutan rakyat Sumber : BPKH Wilayah XI Jawa Madura (2009)

(24)

lahan kering sekunder/primer, hutan tanaman dan pertanian lahan kering. Adapun luas masing-masing setiap kriteria dapat dilihat pada Tabel 2.

Hutan rakyat di luar Pulau Jawa masih belum berkembang, sementara ketersediaan lahan cukup luas. Kegiatan hutan rakyat berlangsung secara tradisional dengan jenis tanaman yang ada merupakan tanaman-tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan milik rakyat yang dikombinasikan dengan tanaman lain seperti buah-buahan dan tanaman pertanian.

Perkembangan hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara tidak secepat yang ada di Jawa. Ada yang dilakukan secara swadaya pada lahan milik, tanah marga dan pekarangan, kegiatan pemerintah dan kerjasama kemitraan. Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara (Hindra 2006) dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan luas hutan rakyat yang dikembangkan oleh pemerintah sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 mencapai 40.155 ha (Dephut 2009). Jenis tanaman pada lahan milik rakyat antara lain kopi, aren, pinang, kayu manis, kemiri, cengkeh, durian, mangga, kemenyan, pinus, suren, eukaliptus, pinus, jati putih dan karet.

Tabel 3 Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara

No Jenis Sumber Dana Luas (ha)

1 Hutan rakyat swadaya 45.692,10

2 Hutan rakyat subsidi 1.075,00

3 Hutan rakyat melalui KUHR 677,00

4 Hutan rakyat DAK DR 280,00

5 Hutan rakyat kegiatan GNRHL 8.480,00

Jumlah 56.204,10

Sumber : Hindra (2006)

(25)

dan arang (Paimin 1994; Wibowo 2007). Ampas pengelolaan minyak dapat digunakan untuk pakan ternak dan pupuk tanaman karena mengandung unsur NPK yang cukup tinggi, sementara kayu kemiri berguna sebagai kayu bakar, bahan baku korek api, sumpit, perabot rumah tangga, papan pengepak, pulp, vinir/kayu lapis (Paimin 1994; Winarbowo dan Manoko 2006). Pohon kemiri juga bermanfaat sebagai tanaman rehabilitasi. Perum Perhutani di Jawa dan Nusa Tenggara Timur menggunakan kemiri sebagai tanaman untuk menghutankan kembali tanah kosong (Djajapertjunda 2003; Koji 2002) dan berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah dan air terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) serta daerah bertopografi miring dan curam (Wibowo 2007).

Tabel 4 Luas dan produksi kebun kemiri di Indonesia sejak tahun 1984-2009 Tahun Luas (ha) Produksi (ton) Tahun Luas (ha) Produksi (ton)

1984 74.736 29.246 1997 179.621 69.776 1985 68.444 56.819 1998 174.798 66.302 1986 84.668 28.852 1999 193.805 65.394 1987 69.632 27.778 2000 205.532 74.319 1988 70.621 24.274 2001 205.322 77.375 1989 85.177 28.497 2002 212.487 88.481 1990 109.806 35.576 2003 212.677 95.870 1991 130.122 36.819 2004 206.321 94.005 1992 135.486 37.926 2005 196.407 92.667 1993 148.024 56.929 2006 205.454 102.308 1994 170.098 64.182 2007 209.375 102.609 1995 178.378 71.240 2008*) 209.734 107.116 1996 182.587 78.613 2009**) 210.198 111.058

Keterangan : *) Angka sementara, **) angka estimasi Sumber : Deptan (2009)

(26)

Tabel 5 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri di Indonesia tahun 2004-2009

Tahun Luas (ha) Produksi (ton) Rerata Produksi (kg/ha)

Jumlah Petani

Keterangan : *) Angka sementara, **) angka estimasi Sumber : Deptan (2009)

Tanaman kemiri di Propinsi Sumatera Utara hampir tersebar di semua kabupaten, seperti terlihat pada Tabel 6. Deptan (2009) menyebutkan bahwa luas tanaman kemiri di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 mencapai 11.636 ha dengan produksi buah mencapai 13.761 ton, yang melibatkan 15.691 petani. Rerata produktivitas hasil kemiri rakyat adalah 1.498 kg/ha dan rerata kepemilikan luas lahan kemiri sekitar 0,74 ha.

Tabel 6 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri tahun 2007 di Sumatera Utara

(27)

beberapa kecamatan, paling banyak di Kecamatan Tanah Pinem dengan luas 3.846 ha dan produksi buah sampai 6.446 ton. Pada Tabel 7 dapat dilihat sebaran tanaman kemiri rakyat dan produksinya di Kabupaten Dairi pada tahun 2008. Rerata produksi hasil kemiri di Kabupaten Dairi adalah 2.074 kg/ha dan jumlah petani yang mengelolanya mencapai 4.637 KK.

Tabel 7 Sebaran kemiri rakyat di Kabupaten Dairi pada tahun 2008

No Kecamatan Luas (ha) Produksi Buah (ton)

1 Sidikalang 9,50 11,70

2 Sitinjo 0 0

3 Berampu 0 0

4 Parbuluan 23,00 38,00

5 Sumbul 30.00 31,20

6 Silahisabungan 25,50 39,50

7 Silima Pungga-pungga 47.00 828,00

8 Lae Parira 39,00 64,80

9 Siempat Nempu 25,00 19,80

10 Siempat Nempu Hulu 82,00 147,60

11 Siempat Nempu Hilir 71,00 141,00

12 Tigalingga 138,00 260,00

13 Gunung Sitember 97,00 191,00

14 Pegagan Hilir 30,00 55,00

15 Tanah Pinem 3.846,00 6.446,00

Jumlah 4.463,00 8.273,60

Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2009)

Pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem sudah berlangsung sangat lama, turun temurun dan merupakan salah satu usaha yang dikembangkan menjadi mata pencaharian penduduk sebagai sumber penghasilan. Perkembangan pengelolaan tanaman kemiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal dalam pengambilan keputusan untuk mengelola atau tidak mengelola.

Seorang petani kemiri akan menjual kemirinya dengan kondisi dikupas dan tidak dikupas. Kemiri yang dikupas dijual lebih mahal dari kemiri yang belum dikupas. Untuk kemiri yang tidak dikupas, biasanya dibeli oleh pihak lain untuk kemudian dikupas agar harga jualnya lebih tinggi dari harga belinya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pihak lain.

(28)

meningkatkan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Target luas hutan rakyat yang akan dibangun sampai tahun 2025 adalah 8 juta ha (Dephut 2006).

Widiarti dan Mindawati (2007) menyebutkan bahwa pemilihan jenis pohon yang tepat dalam pengembangan hutan rakyat harus berorientasi pada kecukupan pangan keluarga, kelangsungan hasil dan kelestarian sumberdaya. Sehingga, pemilihan jenis tanaman untuk program pemerintah untuk kepentingan masyarakat pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi lingkungan wilayah tersebut atau bersifat site spesifik dengan pertimbangan faktor teknis, ekonomis, ekologis dan sosial budaya, agar kegiatan hutan rakyat dapat menjadi pilihan usaha yang produktif dan lestari. Dari penjelasan ini, maka salah satu sasaran pengembangan kegiatan hutan rakyat sebaiknya adalah potensi-potensi tanaman yang sudah ada di daerah yang bisa menjadi pertimbangan untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan petani, pendapatan daerah dan mendukung dalam pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi ekologi.

Sehubungan dengan berbagai latar belakang kondisi perkembangan hutan rakyat yang ada dan dengan adanya rencana pemerintah mengembangkan hutan rakyat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka dilakukan suatu penelitian tentang pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi.

1.2Perumusan Masalah

Pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem merupakan kegiatan yang sudah turun temurun dan sudah berlangsung sejak dahulu. Keberadaannya yang tetap bertahan sampai sekarang menunjukkan bahwa kemiri telah menjadi komoditi andalan masyarakat sebagai sumber penghasilan. Perkembangan pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal dari masyarakat, dimana faktor-faktor tersebut bersifat mendukung dan menghambat dalam perkembangan pengelolaannya.

(29)

hanya didasarkan pada suatu sisi saja, tetapi harus menyeluruh (integratif) sehingga akan tercapai keberlanjutannya dalam pelaksanaan dan pengembangannya.

Kajian tentang keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem belum ada, sehingga belum diketahui bagaimana kondisi keberlanjutan pengelolaannya saat ini. Informasi-informasi mengenai kondisi sosial masyarakat, sistem produksi buah dan kayu, pemasaran, analisis finansial, tingkat kesejahteraan penduduk, penyerapan tenaga kerja, kondisi bio-fisik dan lain-lain diperlukan untuk mengetahui kondisi pengelolaan tanaman kemiri yang ada. Data-data ini diperlukan untuk mengetahui keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat. Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat ini akan menjadi masukan dalam upaya pengembangan kegiatan yang sama untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan hutan rakyat.

Jika pengelolaannya dapat dilakukan secara berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial, maka kegiatan ini dapat berperan dalam meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.

Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dan dijadikan sebagai permasalahan dalam penelitian adalah

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat?

2. Bagaimana keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang ada sekarang?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat.

(30)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengembangkan potensi tanaman rakyat melalui kegiatan hutan rakyat dan sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha tanaman kemiri.

1.5 Kerangka Pemikiran

Salah satu jenis tanaman yang ditanam pada hutan rakyat adalah kemiri. Pohon kemiri adalah salah satu tanaman yang memiliki prospek untuk dikembangkan karena bermanfaat dari segi ekologi, ekonomi dan sosial. Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di alam tetapi dalam perkembangannya menjadi tanaman yang ditanam oleh masyarakat di lahan miliknya karena menghasilkan buah dan kayu. Salah satu daerah yang menghasilkan kemiri adalah Kecamatan Tanah Pinem. Pada tahun 2008, luas tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mencapai 3.846 ha dengan produksi 6.446 ton (BPS 2009).

Pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem sudah berlangsung sangat lama, turun temurun dan merupakan salah satu kegiatan yang bertahan menjadi mata pencaharian penduduk sebagai salah satu sumber penghasilan. Pengembangan pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal dari masyarakat, dimana faktor-faktor tersebut ada yang bersifat mendukung maupun menghambat dalam pengembangan pengelolaan kemiri rakyat yang ada. Sementara dalam perkembangan keberlanjutan pengelolaannya, terkait dengan aspek ekologi, ekonomi dan sosial (Davis et al. 2001; LEI 2001; Dephut et al. 1997)

(31)

Gambar 1 Kerangka pemikiran.

Pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem

Identifikasi faktor-faktor eksternal Identifikasi faktor-faktor internal

Hutan Rakyat di Prop. Sumut Hutan Rakyat

Hutan Rakyat di Kab. Dairi

Analisis faktor-faktor pengelolaan kemiri rakyat

Dapat menjadi alternatif pilihan

pengembangan kegiatan RHL di luar kawasan hutan

khususnya untuk hutan rakyat

Aspek Ekonomi Aspek Ekologi Aspek Sosial

Tercapainya tujuan pengelolaan hutan rakyat yang dapat meningkatkan

pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara

berkesinambungan

(32)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Hutan rakyat merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang khususnya di daerah pedesaan. Hutan rakyat memiliki ciri yang berbeda di setiap tempat, seperti jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam, luas lahan, pola atau sistem penanaman, pola pengelolaan dan tujuan pelaksanaan. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa pola pemanfaatan dan interaksi masyarakat desa dengan hutan rakyat cukup beragam dan berbeda-beda satu dengan yang lain, tergantung kondisi kesuburan tanah, kultur masyarakat secara umum dan kebijakan lokal yang terkait dengan pembangunan hutan rakyat. Secara umum teridentifikasi bahwa hutan rakyat memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat desa.

Proses pengelolaan lahan pertanian menjadi lahan yang lebih intensif berlangsung dari pengalaman petani. Menurut Awang et al. (2007), pada suatu hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman keras yang ditanam hanya terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohon-pohon yang sudah terdomestifikasi (sudah dibudidayakan oleh masyarakat).

Pepohonan yang ditanam oleh masyarakat dalam lahan miliknya beraneka ragam. Hutan rakyat yang hasil utamanya kayu, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia mahagoni), surian/suren (Toona sureni) dan lain-lain. Hutan rakyat yang hasil utamanya getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan damar (Shorea javanica). Sementara yang hasil utamanya berupa buah, antara lain kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa

(33)

pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya (Awang et al. 2007).

Pola pengembangan hutan rakyat di Indonesia dibagi menjadi tiga (Supriadi 2004), yaitu (1) Pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri; (2) Pola subsidi yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya; dan (3) Pola kemitraan yaitu hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Pola hutan rakyat yang akan diteliti adalah pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik dengan modal dan tenaga kerja sendiri. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis tanaman penghasil buah dan termasuk pada tumbuhan berguna yaitu kemiri. Deptan (2009), menyebutkan bahwa hampir 100% tanaman kemiri yang ada di Indonesia adalah tanaman yang dihasilkan oleh rakyat dalam kebun-kebun rakyat.

Hutan rakyat yang dikembangkan secara swakelola masih memiliki banyak kendala dalam pengelolaannya. Hal ini dijelaskan oleh Awang et al. (2007) yang menyebutkan bahwa konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Dalam perkembangannya masyarakat mulai melakukan teknik-teknik budidaya, dengan menanam beragam jenis dan beragam lapisan tanaman (multi layer) serta cara pemanenan yang tidak merusak pohon. Namun, perkembangan ini tidak bersamaan dengan peningkatan kapasitas manajerial yang memadai yang berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil yang hampir dapat dikatakan tidak ada karena keberadaan hutan rakyat di masyarakat selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan mendadak.Pemenuhan kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat sebagai produsen (hasil hutan rakyat) selalu menjadi pihak lemah dalam posisi tawar-menawar harga produk.

(34)

mengelompok dan tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan; (3) Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah; (4) Pemanenan hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil, yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman; (5) Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat; (6) Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri; dan (7) Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutan.

(35)

Kondisi hutan rakyat tidak berbeda dengan kondisi hutan yang terdiri atas berbagai jenis pepohonan sebagai tanaman utama, maka peranan hutan rakyat tidak banyak berbeda dalam hal (1) ekonomi karena hutan rakyat memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat, (2) sosial karena membuka kesempatan kerja, (3) ekologi karena berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan memelihara kualitas lingkungan (penyerap CO2 dan penghasil O2), (4)

estetika berupa keindahan alam dan (5) sumber ilmu pengetahuan.

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

2.2.1 Aspek Sosial

Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Pengembangan hutan rakyat melibatkan banyak pihak, selain petani sebagai pelaku utama juga didukung adanya kelembagaan yang berperan dalam pengembangannya. Beberapa lembaga yang berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll (Diniyati et al. 2008). Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga.

Aspek kelembagaan dapat berupa lembaga pemerintah dan non pemerintah. Dari aspek kelembagaan dapat diketahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah berkembang. Menurut Mosher dalam Soekartawi (2002), ada tiga unsur yang dikategorikan sebagai aspek kelembagaan dalam struktur pedesaan, yaitu adanya pasar, adanya pelayan penyuluh dan adanya lembaga perkreditan. Pasar sebagai tempat jual beli barang dan jasa. Penyuluh berfungsi untuk pengembangan usaha rakyat dengan teknologi baru dan perkreditan berfungsi untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi.

(36)

rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.

Hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat (Djajapertjunda 2003). Kepemilikan lahan (land tenure) merupakan hal yang paling penting dalam pelaksanaan hutan rakyat, karena kepemilikan lahan merupakan jaminan bagi petani untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya.

Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung adalah terbukanya lapangan pekerjaan (Djajapertjunda 2003). Hal ini dapat diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Pada beberapa propinsi, pengembangan budidaya kemiri di daerah pedesaan akan mendorong agribisnis dan agroindustri yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menciptakan lapangan kerja. Deptan (2006b) memperkirakan bahwa pengusahaan kemiri melibatkan sekitar 352.000 KK dan mampu mendorong berkembangnya ekonomi wilayah.

2.2.2 Aspek Ekonomi

(37)

hidupnya (basic needs) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Jadi, perekonomian rakyat berarti perekonomian yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas dalam menjalankan roda perekonomian mereka sendiri, sehingga ekonomi rakyat adalah ekonomi pribumi (people’s economy is indigenous economy). Ekonomi rakyat biasanya berkembang relatif lambat sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian rakyat adalah dengan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kelembagaan. Permasalahan dalam pengembangan hasil rakyat adalah kualitas produk yang masih rendah, lemahnya posisi tawar petani dalam perdagangan, informasi harga yang tidak ada, pengaruh harga pasar dan sarana aksesibilitas dalam pengangkutan yang terbatas sehingga yang berperan dalam pemasaran hasil hutan rakyat umumnya adalah tengkulak.

Hutan rakyat dikembangkan petani apabila memberikan kenaikan pendapatan. Manfaat ekonomi akan sangat dirasakan oleh petani khususnya pada pola agroforestry karena pendapatan yang diperoleh dapat berkelanjutan dari hasil pertanian dan tanaman kayu-kayuan. Sedangkan pola monokultur hanya memberikan penghasilan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan mendesak. Pada berbagai hasil penelitian di beberapa tempat di Pulau Jawa, hutan rakyat berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian daerah (Hayono 1996; Romansyah 2007; Dirgantara 2008).

(38)

Untuk pendapatan dari berbagai jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK), Wijayanto (2001) menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan petani dari getah damar sebelum krisis ekonomi di Pesisir Krui adalah sebesar 51,37%, pada saat krisis ekonomi sebesar 65% dan setelah krisis ekonomi sebesar 47,37%. Nurrochmat (2001) menyebutkan bahwa pendapatan dari getah kemenyan memberikan kontribusi yang dominan yaitu lebih dari 50% terhadap pendapatan masyarakat, sedangkan menurut Sitompul (2011) sebesar 60,69%. Pendapatan yang cukup besar dari HHBK menunjukkan bahwa HHBK berperan besar menjadi sumber pendapatan andalan masyarakat karena pendapatan dari HHBK seperti getah damar dan getah kemenyan dapat diperoleh hampir setiap tahun, sedangkan pendapatan dari kayu hanya dapat diperoleh pada akhir masa daur tanam atau pada saat usia panen sudah tiba.

Pemasaran merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran ini terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung pada sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Saluran pamasaran dapat berbentuk sederhana dan kompleks, tergantung dari jenis komoditi, lembaga pemasaran dan sistem pasar. Dalam sistem saluran pemasaran, ada produsen, pedagang pengumpul, pengecer, tengkulak, pedagang besar, eksportir dan konsumen. Semua yang terlibat memiliki peranan dan fungsi berbeda dicirikan oleh aktivitas yang dilakukan dan skala usaha (Soekartawi 2002).

(39)

Untuk mengetahui sejauh mana suatu usaha hutan rakyat dapat memberikan keuntungan maka dapat dilakukan analisis yang berbasis finansial. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Kelayakan finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan.

Untuk menilai kelayakan finansial suatu kegiatan/proyek, ada tiga kriteria yang umum digunakan (Kadariah, Karlina dan Gray 1999; Nurmalina, Sarianti dan Karyadi 2010) yaitu net benefit cost ratio (Net B/C), net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR), dengan kriteria suatu usaha tani dikatakan layak jika NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i. BCR diperoleh dengan cara membagi jumlah pendapatan dengan jumlah biaya dari suatu proyek, dengan kriteria kelayakan proyek bila BCR lebih besar dari satu. Dalam menghitung nilai sekarang digunakan faktor diskonto, sedangkan nilai absolut dari rasio pendapatan bervariasi tergantung dari suku bunga yang digunakan. Semakin tinggi suku bunga, maka nilai BCR mungkin akan lebih dari satu. NPV adalah nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap tahun atau aliran keluar masuknya uang yang juga berarti pendapatan bersih. Sedangkan IRR adalah suatu tingkat bunga (discounte rate) yang menunjukkan NPV sama dengan jumlah seluruh biaya investasi proyek. IRR bermanfaat untuk mengukur keuntungan proyek. Cara yang digunakan untuk menentukan tingkat suku bunga yang ideal adalah melakukan percobaan-percobaan dengan interpolasi diantara suku bunga yang lebih rendah (menghasilkan NPV positif) ataupun dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi (menghasilkan NPV negatif). IRR adalah suku bunga yang menyebabkan NPV adalah nol. Usaha dipandang baik dari sudut peminjaman modal bila IRR-nya paling tinggi dan diatas suku bunga yang berlaku.

2.2.3 Aspek Ekologi

Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model agroforestry. Mahendra (2009), pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap

(40)

terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal. Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi, seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan, dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif, kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan.

Haryadi (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat sangat berperan dalam pelestarian lingkungan. Pola hutan rakyat campuran memberikan banyak keuntungan seperti keanekaragaman hayati, habitat satwa liar, mempertahankan kesuburan tanah, menjaga stabilitas suhu tanah dan organisme yang terkandung didalamnya, mengurangi CO2 dan pemanasan global dan penahan erosi.

2.3 Pengelolaan Hutan Lestari

(41)

berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan

mereka”. Pembangunan berkelanjutan untuk sumberdaya alam yang terbarukan

adalah apabila laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari). Haris (2000) dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa konsep keberlanjutan dapat dirinci dalam tiga aspek yaitu (1) keberlanjutan ekonomi yaitu pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. (2) Keberlanjutan lingkungan yaitu sistem yang harus mampu memelihara sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep lingkungan menyangkut keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem, di dalamnya tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3) Keberlanjutan sosial yaitu sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.

Davis et al. (2001) menyatakan, kelestarian secara umum terdiri dari elemen yang saling ketergantungan antara elemen ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam konteks visi, kelestarian berarti memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Perspektif ekologi, ekonomi dan sosial dalam pengelolaan hutan meliputi prinsip dan indikator.

Prinsip ekologi. Ekologi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang konservasi keragaman hayati dan produktivitas ekologi. Hal-hal yang menjadi perhatian adalah pola dan proses gangguan alami dan bagaimana mengatasi gangguan tersebut dan dampaknya dan keragaman jenis sebagai panduan dalam pengelolaan.

(42)

bruto. Mikro ekonomi menganalisis manfaat dari sudut pandang individu perusahaan dan fokus pada akumulasi kesejahteraan.

Prinsip sosial. Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang kelestarian kesejahteraan manusia, komunitas dan masyarakat. Konsep dasarnya dalam prinsip ini adalah bahwa sumberdaya hutan harus memberikan manfaat langsung pada kesejahteraan manusia dan komunitas. Elemen-elemen dari manfaat sosial ini adalah distribusi manfaat hutan, kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan, aksesibilitas sosial dan demokrasi partisipatif.

Indikator yang banyak digunakan untuk mengukur kelestarian kondisi dan outcame hutan dalam rencana pengelolaan hutan adalah (1) pertumbuhan pohon; (2) hasil kayu; (3) daya dukung masyarakat; (4) komposisi hutan, struktur hutan dan proses yang terjadi dalam hutan; dan (5) habitat untuk spesies tertentu. Indikator 1 sampai 3 digunakan untuk mengukur kelestarian ekonomi dan sosial sedangkan indikator 4 dan 5 digunakan untuk membantu mengukur kelestarian ekologi. Adapun beberapa penilaian yang dilakukan untuk menganalisis kelestarian pengelolaan hutan menurut dimensi ekologi, ekonomi dan sosial berdasarkan Davis et al. (2001) dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian

Dimensi Jenis data Penjelasn Ekologi 1. Adanya gangguan (kebakaran, hama penyakit,

banjir, tanah longsor dll)

Selang waktu terjadinya suatu gangguan, intensitas terjadinya gangguan, pola penyebaran 2. Pemilihan sistem silvikultur

3. Pemilihan rotasi (umur) dan distribusi kelas umur 4. Pemilihan pola spasial pemanenan

Ekonomi Maksimasi manfaat bagi manusia dari sudut pandang 1. Mikroekonomi

2. Makro ekonomi

Usaha individu, kesejahteraan

Ukuran agregat ekonomi (tenaga kerja, income, GNP, dll)

Sosial 1. Distribusi manfaat hutan Tingkat kemiskinan, pengangguran dan migrasi populasi

2. Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan

Tingkat pendidikan, kohesif dan kepemimpinan masyarakat, jumlah dan tipe infrastruktur (jalan, sistem sekolah, dll)

3. Akseptabilitas sosial Keputusan pengelolaan hutan yang diambil harus diterima secara ekonomi, ekologi dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat 4. Demokrasi partisipatif Keterlibatan publik dalam pengambilan

keputusan pengelolaan hutan (misalnya perlindungan, monitoring dan implementasi rencana)

Sumber : Davis et al. (2001)

(43)

pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management) adalah hutan yang dikelola sebagai hutan rakyat (hutan milik) atau hutan adat. Standar untuk kegiatan pengelolaan ini disebut dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kecil sampai sedang yang dilakukan secara lestari. Untuk mendapatkan sertifikat PHBML, maka ada prosedur yang harus dipenuhi yang dinilai sesuai dengan standar dan kriteria yang ditentukan yang mencakup pada aspek sosial, produksi dan ekologi yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan.

(44)

Tabel 9 Kriteria dan Indikator PHBML

No Prinsip Kriteria Indikator 1 Kelestarian

fungsi produksi

1.Kelestarian sumberdaya

P.1.1. Lokasi HBM sesuai dengan peruntukan lahan P.1.2. Status dan batas lahan jelas

P.1.3. Perubahan luas penutupan lahan P.1.4. Managemen pemeliharaan hutan

P.1.5. Sistem silvikultur sesuai daya dukung hutan 2. Kelestarian hasil P.2.1. Penataan areal pengelolaan hutan

P.2.2. Kepastian Adanya Potensi Produksi untuk Dipanen Lestari P.2.3. Pengaturan hasil

P.2.4. Efisiensi pemanfaatan hutan

P.2.5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan P.2.6. Prasarana pengelolaan hutan

P.2.7. Pengaturan manfaat hasil 3. Kelestarian usaha P.3.1. Kesehatan usaha

P.3.2. Kemampuan akses pasar

P.3.3. Sistem Informasi Managemen (SIM) P.3.4. Tersedia tenaga trampil

P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan

P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat kelestarian

E1.1 Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas lingkungan

E1.2 Proporsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap keseluruhan kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan

E1.3 Dampak kegiatan kelola produksi terhadap stabilitas ekosistem (tanah, air, struktur dan komposisi hutan) dan intensitasnya terdokumentasi

E1.4 Adanya rencana kelola lingkungan dan efektifitas kegiatannya 2. Sintasan spesies

langka/endemik/ dilindungi

E2.1 Tersedianya informasi mengenai spesies langka/endemik/dilindungi dan agihan habitatnya yang penting dalam kawasan

E2.2 Adanya upaya minimasi dampak kelola produksi terhadap spesies langka/ endemik/dilindungi

S1.2. Kejelasan batas-batas areal dengan pihak lain;

S1.3. Fungsi kawasan menurut kepentingan komunitas/publik secara jelas

diakui sebagai kawasan hutan tetap;

S1.4. Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang demokratis dan adil terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama;

S1.5. Pelaku pengelolaan PHBM benar-benar warga komunitas, baik dijalankan sendiri atau bermitra.

2.Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas

S2.1. Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi; S2.2. Penerapan teknik-teknik produksi minimal tetap mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja yang ada, baik laki-laki maupun perempuan;

S2.3. Kegiatan pengelolaan hutan maupun paska panen sejauh mungkin dikembangkan di dalam wilayah komunitas dan menggunakan

S3.1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar. S3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis dalam organisasi penyelenggaraan PHBM

4. Keadilan manfaat menurut

kepentingan komunitas

S4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan disepakati

seluruh warga komunitas;

S4.2. Seluruh warga komunitas dan publik terbuka untuk terlibat dalam penyelenggaraan PHBM

S4.3. Ada mekanisme pertanggungjawaban publik dari kelompok pengelola terhadap komunitas dan/atau publik

(45)

2.4 Tanaman Kemiri

Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menyebutkan bahwa kemiri termasuk pada kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan dengan produk minyak kemiri dan kelompok tumbuhan obat dengan produk ekstrak pepagan. Permenhut No. P.03/Menhut-V/2004 tentang pedoman pembuatan tanaman hutan rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menyebutkan bahwa kemiri adalah tanaman MPTS yaitu jenis tanaman serba guna yang dapat diambil buah, bunga, kulit dan daunnya. Tanaman kemiri merupakan tanaman yang dapat memberikan manfaat sosial kepada masyarakat, manfaat ekonomi untuk meningkatkan devisa negara dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kemiri termasuk jenis tanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air.

Pohon kemiri (Aleurites moluccana) merupakan family Euphorbiaceae dapat tumbuh pada ketinggian 0-800 (bisa juga sampai 1200) m diatas permukaan laut. Tanaman kemiri tidak memerlukan persyaratan khusus karena kemiri dapat tumbuh pada lapangan yang berkonfigurasi datar sampai pada tempat-tempat bergelombang dan curam, pada tanah yang subur sampai kurang subur dan pada daerah yang beriklim kering sampai daerah beriklim basah (Djajapertjunda 2003;

Sunanto 1994; Paimin 1994). Kemiri dapat tumbuh pada daerah dengan jumlah

curah hujan 1.500-2.400 mm/tahun dan suhu 200-270C (Deptan 2006a). Dalam Warta litbang Deptan tahun 2006 disebutkan bahwa tanaman kemiri dapat tumbuh pada suhu 210-280C, kelembaban udara rata-rata 75%, curah hujan 1.100-2.400 mm/tahun dan dengan jumlah hari hujan antara 80-100 hari.

(46)

Permintaan buah kemiri akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan bahan baku industri. Menurut Paimin (1994) peningkatan permintaan kemiri diperkirakan akan mencapai 10-20% setiap tahunnya. Peningkatan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan ekonomi melalui perkembangan industri dan dapat meningkatkan lapangan kerja.

Tanaman kemiri menyebar di beberapa daerah di Indonesia dengan sebaran terbanyak terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Aceh dan Sumatera Utara (Koji 2002). Sunanto (1994) menyebutkan bahwa awalnya tanaman kemiri merupakan tanaman yang tumbuh secara alami, namun kemudian ditanam masyarakat di daerah-daerah yang penduduknya telah tinggal secara menetap karena buahnya dapat dimanfaatkan penduduk.

Tanaman kemiri dapat menghasilkan buah 2-3 kali dalam setahun (musim berbuah setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada iklim. Musim berbunga terjadi pada awal musim hujan dan buah terbentuk setelah 3-4 bulan atau pada akhir musim penghujan). Jumlah panen buah tergantung pada umur tanaman dan pertumbuhan pohon. Pohon kemiri yang tumbuh pada daerah subur, panen pertamanya dapat mencapai 10 kg biji kupasan/pohon. Pada umur 6 tahun menghasilkan 25 kg biji kupasan. Pada usia 11-20 tahun produksinya akan stabil sekitar 35-50 kg/pohon/tahun. Produksi pohon kemiri dewasa yang tumbuh dengan baik dapat mencapai 200 kg biji kupasan per pohon. Setelah berumur di atas 50 tahun produksinya mulai menurun. Produksi kemiri per hektar dapat mencapai 2 ton biji atau 0,5 ton biji kupasan (Deptan 2006a; Paimin 1994).

Koji (2002) menyebutkan bahwa budidaya kemiri sangat mudah. Setelah menanam kemiri di kebun, petani hanya melakukan pembersihan gulma sekali setahun dan menunggu sampai waktu panen tiba. Secara konvensional, pohon kemiri ditanam dengan jarak yang cukup besar atau lebih, karena dapat memberikan kesempatan kepada petani untuk membudidayakan berbagai tanaman dalam ruang terbuka. Panen buah dapat dilakukan mulai tahun ketiga dan produksi buah biasanya mulai menurun pada usia 35 tahun ke atas.

(47)

-200

1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

V

mempertahankan kehidupan masyarakat sehari-hari (Koji 2002). Peran tanaman kemiri dalam rehabilitasi hutan di Indonesia, dibagi menjadi dua periode yaitu Jaman Kolonial dan Jaman Orde Baru. Pada tahun 1920 dan 1930-an, di Sulawesi Selatan, Lembaga Kehutanan Belanda menganjurkan menanam kemiri untuk merehabilitasi lahan perladangan berpindah yang telah ditinggalkan. Pada rezim Orde Baru, untuk mengatasi masalah perambahan lahan, dilakukan kebijakan kegiatan pertanian yang diakui di dalam kawasan hutan jika dikombinasikan dengan tumbuhan berguna seperti kemiri.

Kemiri dari Indonesia sudah pernah di ekspor dengan tujuan Amerika, Arab Saudi, Hongkong, Singapura dan Australia. Sementara kemiri dari Sumatera Utara telah diekspor ke Malaysia dan Singapura (Sunanto 1994). Namun, untuk volume ekspor kemiri ke luar negeri menunjukkan kondisi yang naik turun.

Sumber : Deptan (2009)

Gambar 2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun 1975-2007.

(48)

2.5 Beberapa Studi Terdahulu

Penelitian tentang kemiri sudah cukup berkembang. Adapun beberapa hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan sehubungan dengan pengelolaan kemiri rakyat sebagai berikut:

1) Pada tahun 1999, Yusran melakukan penelitian tentang analisis model pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Hasilnya adalah (1) Keadaan sosial ekonomi masyarakat mendukung pengembangan hutan kemiri rakyat; (2) Potensi tanaman kemiri rakyat cukup tinggi tetapi umur tegakan tidak produktif sehingga tidak menjamin kelestarian hasil; (3) Kontribusi kemiri hanya 7,6% tetapi mempunyai nilai strategis dalam ekonomi petani; (4) Usaha kemiri rakyat secara finansial menguntungkan dan layak untuk dikembangkan; (5) Sistem pasar kemiri di Kabupaten Maros mendekati sistem pasar persaingan sempurna; dan (6) Sistem kelembagaan pengelolaan hutan kemiri rakyat lebih bersifat non formal dan lembaga formal yang ada belum berperan dalam pengembangan kemiri rakyat.

2) Pada tahun 2005, Yusran melakukan penelitian tentang analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaruang. Hasilnya adalah (1) Perbedaan status penggunaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat; (2) Semakin kuat status lahan yang dikelola, semakin intensif pengelolaan, semakin besar nilai ekonominya dan terjamin kelestarian sistem kelembagaan lokal yang memiliki nilai-nilai sosial. Tetapi, cenderung semakin menurunkan nilai keanekaragaman jenis tanaman; (3) Penguatan status lahan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian hutan kemiri yang mempertimbangkan aspek ekologi, nilai-nilai sosial dan ancaman fragmentasi lahan; dan (4) Ketidakpastian status pengusahaan hutan merupakan kelemahan yang menjadi sumber ancaman dalam pengelolaan hutan kemiri yang juga mempengaruhi kelestarian tanaman.

(49)

menghasilkan 48% kernel utuh dan sisanya adalah pecah. Hal ini mempengaruhi nilai jual kemiri di pasar. Pengusahaan kemiri belum dilaksanakan secara intensif dan masih bersifat usaha sampingan.

(50)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penyusunan proposal sampai penyelesaian pembuatan laporan akhir dilakukan dari bulan September 2010 sampai September 2011. Penelitian lapangan dilakukan bulan Maret sampai bulan Mei 2011 di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan bahwa desa yang dipilih adalah desa yang memiliki tanaman kemiri yang paling luas, yaitu Desa Pasir Tengah, Desa Pamah dan Desa Kuta Buluh.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan metode evaluasi. Metode survey adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir 2005). Metode evaluasi digunakan untuk mengetahui kualitas hal-hal, program, dan sebagainya yang sudah terjadi, biasanya dengan membandingkan suatu standar (Irawan 2007).

(51)

dengan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat panduan wawancara (Nazir 2005).

Untuk data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi literatur dan studi data-data laporan hasil kegiatan pada instansi terkait. Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer. Data sekunder berasal dari hasil-hasil penelitian, stakeholder dan instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta instansi-instansi pemerintahan lainnya.

3.3 Penentuan Responden

Responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan milik yang menanam kemiri dan yang tidak menanam kemiri. Petani yang tidak menanam kemiri bisa saja adalah petani yang pernah menanam kemiri tetapi dalam perkembangannya kemudian beralih ke tanaman lain ataupun petani yang tidak pernah menanam kemiri. Sedangkan petani yang menanam kemiri adalah petani yang memiliki tanaman kemiri pada lahan miliknya pada saat dilakukan penelitian. Jumlah responden yang diwawancarai ditentukan dengan rumus Slovin (Umar 2000) yaitu :

n = 1 + � ��2

dimana :

N : Populasi (petani menanam kemiri dan petani tidak menanam kemiri) n : Jumlah sampel (responden)

e : Tingkat kesalahan yang masih ditolerir

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Tabel 8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian
Tabel 9 Kriteria dan Indikator PHBML
Gambar 2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun 1975-2007.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Electrolarynx yang bebas genggam ( hands-free ) dengan kontrol on/off otomatis menjadikan EL lebih praktis dan akan membuat pasien lebih fleksibel. Beberapa penelitian

Randugunting Kota Tegal Tahun Anggaran 2015 dalam waktu 3 (tiga) hari kerja.. setelah pengumuman pemenang, terhitung mulai hari Sabtu tanggal 15 Agustus

Maksud pelabuhan perikanan yang belum diusahakan adalah bahwa seluruh kegiatan pengelolaan di pelabuhan dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis UPT Pelabuhan Perikanan, sedangkan

Berdasarkan tingkat efisiensi pemasaran dari tiap lembaga dan berdasarkan ukuran ikan, maka dapat disimpulkan bahwa rantai pemasaran ikan betutu ini termasuk dalam kategori

Konsep dari acara screening ini bertemakan unsur budaya, dengan nama acara “PESONA” yang memiliki tema pesona budaya Indonesia dikarenakan dari masing-masing karya film

Sebagai salah satu inovasi teknologi pada arus globalisasi, sekarang ini televisi mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat dan telah menyentuh kepentingan masyarakat

Selain itu pengaruh kebijakan dan strategi organisasi adalah faktor – faktor lingkungan baik didalam maupun diluar organisasi mengakibatkan ketidakpastian lingkungan

Amandemen kedua UUD 1945 sebagaimana dipaparkan di atas, merupakan perubahan yang progresif, dimana dimensi kebebasan beragama semakin luas, tidak hanya