• Tidak ada hasil yang ditemukan

CENGKEH DENGAN PABRI K ROKOK KRETEK

6.3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Cengkeh

6.3.2. Analisis Dampak Kenaikan Harga Cengkeh

Sebagaimana yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa biaya cengkeh per kilogram ternyata jauh lebih tinggi dari harga di tingkat petani maupun harga penetapan pemerintah. Oleh karena itu, dilakukan simulasi dampak kenaikan harga cengkeh dengan mengikuti beberapa usulan yang pernah dikemukakan sebelumnya. Selain itu, simulasi terhadap harga cengkeh dianggap cukup beralasan karena hingga saat ini, belum ada perubahan yang signifikan dalam kegiatan usahatani cengkeh, baik dalam penggunaan input maupun pada teknologi budidaya, panen dan pascapanen. Juga berdasarkan

rekomendasi dari beberapa penelitian sebelumnya, seperti yang dikemukakan oleh Wachyutomo (1996), bahwa kebijakan yang paling efektif untuk diterapkan dalam mengatasi permasalahan percengkehan nasional adalah kebijakan harga output atau harga cengkeh.

Perhitungan untuk kondisi awal, berdasarkan harga cengkeh kering dengan kualitas asalan yang berlaku pada waktu penelitian ini dilaksanakan, yakni sebesar Rp. 26 000 per kilogram. Untuk itu, simulasi dilakukan menggunakan 3 alternatif kebijakan harga cengkeh, yaitu:

I. Harga minimum pembelian cengkeh hasil kesepakatan antara Gappri dan

asosiasi petani cengkeh yang difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Perekonomian RI , pada bulan Juni 2005, yakni sebesar Rp. 30 000 per kg II. Kenaikan harga cengkeh per kilogram sebesar 25 persen dari harga pasar

yaitu sebesar Rp. 32 500 per kg

III. Harga pembelian cengkeh sebesar Rp. 40 000 per kg.

Alternatif kedua dan ketiga adalah harga pembelian cengkeh yang diusulkan berbagai pihak yang terkait dan percengkehan di Sulawesi Utara, seperti pemerintah daerah dan asosiasi petani cengkeh.

Tabel 35 menunjukkan bahwa apabila diterapkannya kebijakan pada harga cengkeh (output) berdasarkan ketiga alternatif di atas, maka hanya ukuran-ukuran yang berhubungan dengan perubahan harga output (privat) yang mengalami perubahan. Tampak bahwa dengan meningkatnya harga cengkeh yang diterima petani, rasio biaya privat (PCR) mengalami penurunan. Sementara, keuntungan privat, transfer bersih, koefisien profitabilitas (PC) dan rasio subsidi bagi konsumen (SRP) meningkat. Hal tersebut terjadi karena transfer output, NPCO, dan EPC juga mengalami peningkatan. Sedangkan biaya sumberdaya

domestik (DRC), keuntungan sosial, transfer input, transfer faktor dan NPCI , tidak mengalami perubahan sama sekali, karena indikator-indikator tersebut berkaitan dengan input.

Alternatif I yaitu tingkat harga minimum pembelian cengkeh per kg sebesar Rp. 30 000 dan dengan standar kualitas yang tinggi yakni kadar air kurang dari 5 persen dan kadar kotor 0 persen, sebagaimana kesepakatan antara Gappri dan petani cengkeh. Pada dasarnya, kebijakan tersebut belum mampu mengatasi rendahnya harga cengkeh di tingkat petani, karena persyaratan kualitas yang diajukan, sangat sulit untuk dipenuhi karena tidak terdapatnya fasilitas pengeringan untuk mencapai kadar air 5 persen, apalagi dengan kadar kotor 0 persen. Selain itu, harga Rp. 30 000 per kg tersebut, berlaku di kota Manado, ini berarti petani memerlukan tambahan biaya yaitu biaya transportasi dari desa-desa sentra produksi cengkeh ke pusat kota. Namun demikian, seandainya petani mampu memenuhi persyaratan yang dianggap ketat tersebut, maka hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 16, menunjukkan bahwa pada tingkat harga cengkeh sebesar Rp. 30 000 per kilogram, belum memberikan keuntungan bagi petani karena rasio biaya privat (PCR) masih lebih besar dari 1 dan keuntungan privat masih bernilai negatif.

Hasil perhitungan untuk alternatif I I , menunjukkan bahwa dengan tingkat harga cengkeh per kg sebesar Rp. 32 500 maka nilai PCR sudah lebih kecil dari 1, sementara keuntungan privat sudah bernilai positif, artinya petani cengkeh sudah memperoleh keuntungan. Namun, tampaknya belum cukup memadai, mengingat keuntungan yang diperoleh dari usahatani cengkeh tersebut masih relatif kecil, meskipun hasilnya sudah lebih baik daripada pada tingkat harga pasar, karena tingkat harga tersebut hanya sedikit di atas biaya pokoknya.

Tabel 35. Dampak Peningkatan Harga Cengkeh Berdasarkan Tiga Alternatif Kebijakan Kondisi Awal Alternatif I Alternatif I I Alternatif I I I

Rasio Biaya Privat (PCR) 1.25 1.07 0.99 0.80

Rasio Biaya Sumberdaya

Domestik (DRC) 0.97 0.97 0.97 0.97 Keuntungan Privat (Rp) -9 910 266 -3 369 457 718 549 12 982 567 Keuntungan Sosial (Rp) 2 600 947 2 600 947 2 600 947 2 600 947 Transfer Output (Rp) -41 748 961 -35 208 151 -31 120 145 -18 856 128 Transfer I nput (Rp) -2 301 487 -2 301 487 -2 301 487 -2 301 487 Transfer Faktor (Rp) -18 447 562 -18 447 562 -18 447 562 -18 447 562 Transfer Bersih (Rp) -12 511 214 -5 970 404 -1 882 398 10 381 619 NPCO 0.51 0.58 0.63 0.78 NPCI 0.41 0.41 0.41 0.41 EPC 0.51 0.59 0.64 0.79 PC -3.81 -1.30 0.28 4.99 SRP -0.15 -0.07 -0.02 0.12 Keterangan :

Alternatif I = harga cengkeh Rp. 30 000 per kg Alternatif I I = harga cengkeh Rp. 32 500 per kg Alternatif I I I = harga cengkeh Rp. 40 000 per kg

Sementara, untuk alternatif I I I , yakni pada tingkat harga minimum pembelian cengkeh per kg sebesar Rp. 40 000 menunjukkan hasil yang lebih baik, bila dibandingkan dengan kedua alternatif kebijakan sebelumnya. Nilai koefisien PCR sebesar 0.80 dan keuntungan privat meningkat 18 kali lipat dibandingkan dengan keuntungan privat pada alternatif 2. I ni menunjukkan bahwa, pada tingkat harga Rp. 40 000 per kg, usahatani cengkeh dikatakan efisien secara finansial.

Berdasarkan hasil analisis dampak peningkatan harga cengkeh, tampak bahwa dengan meningkatnya harga cengkeh maka keuntungan petani semakin meningkat, hal ini sejalan dengan temuan Dumais, Ruaw dan Talumingan (2002), bahwa produksi cengkeh di kabupaten Minahasa sangat efisien, pada tingkat harga cengkeh per kg sebesar Rp. 70 000. Oleh karena itu, peran pemerintah sangatlah diperlukan dalam mengatasi masalah ini, karena apabila usahatani cengkeh menjadi semakin tidak menguntungkan, petani enggan

melakukan pemeliharaan tanamannya untuk menekan biaya produksi, dampaknya produksi secara nasional akan anjlok, dan defisit neraca cengkeh akan semakin besar jika produksi rokok kretek terus meningkat, sehingga I ndonesia akan kembali tergantung pada cengkeh impor.

6.3.3. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Perkembangan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara saat ini didominasi oleh pedagang cengkeh baik di tingkat manapun dengan kegiatan usahanya yang sudah berlangsung lama dan didukung oleh pabrik rokok kretek tertentu. 2. Petani cengkeh mengalami kesulitan untuk mencapai kualitas cengkeh sesuai

yang disyaratkan untuk mendapatkan harga minimum pembelian cengkeh yang ditetapkan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh, musim panen yang bersamaan dengan musim penghujan, juga petani tidak memiliki mesin alat pengering cengkeh.

3. Sistem produksi dan pemasaran cengkeh dalam usahatani cengkeh di Sulawesi Utara, secara finansial semakin tidak efisien, yang ditunjukkan oleh semakin rendah tingkat rentabilitasnya. Hal ini tampak pada biaya cengkeh per kilogramnya sebesar Rp. 32 000 per kilogram, sementara rata-rata tingkat harga cengkeh di tingkat petani hanya sebesar Rp. 26 000 per kilogram.

4. Usahatani cengkeh di Sulawesi Utara, secara ekonomi masih memiliki keunggulan komparatif, yang ditunjukkan oleh nilai rasio biaya sumberdaya domestik yang lebih kecil dari satu.