• Tidak ada hasil yang ditemukan

SI SI PENAWARAN SI SI PERMI NTAAN

CENGKEH ROKOK KRETEK I NDUSTRI ROKOK KRETEK Tanaman Cengkeh Petani Cengkeh KEBI JAKAN PEMERI NTAH PRK - Kelangsungan Usaha * Pasokan bahan baku

Dalam industri cengkeh nasional saat ini, terdapat banyak petani cengkeh (produsen) dengan rata-rata kepemilikan kebun berkisar 0.5–1.5 ha dan tingkat kesejahteraan yang relatif stagnan, sementara industri rokok kretek (konsumen) didominasi oleh tiga pabrik rokok besar yaitu PT. Gudang Garam, PT. Djarum dan PT. HM Sampoerna (PT. Phillip Morris)4, yang menyerap sekitar 80 hingga 90 persen produksi cengkeh nasional dengan tingkat produksi dan ekspor rokok kretek yang semakin meningkat serta penggunaan cukai yang semakin signifikan terhadap penerimaan negara (Gappri, 2003; Puslitbun, 2004; Husodo, 2006). Dengan demikian, struktur pasar cengkeh di I ndonesia cenderung bersifat oligopsoni (Bird, 1999; Tjahjaprijadi dan I ndarto, 2003). Kondisi tersebut mengakibatkan posisi rebut- tawar (

bargaining position

) petani cengkeh menjadi lebih lemah dibandingkan pabrik rokok kretek, terutama pada saat panen raya.

Adanya distorsi pasar akibat ketidaksempurnaan pasar ini menyebabkan harga cengkeh di tingkat petani sangat fluktuatif. Secara historis, permasalahan tersebut sudah mendapat perhatian dari pemerintah. Pada masa Orde Baru, percengkehan nasional sarat dengan intervensi pemerintah baik di bidang produksi maupun di bidang tataniaga cengkeh. Di bidang tataniaga, beberapa paket kebijakan pernah diterapkan pemerintah, yang antara lain bertujuan untuk stabilisasi harga cengkeh di pasar domestik. Fluktuasi harga cengkeh di pasar domestik terjadi karena adanya fluktuasi pasokan.

Gambar di bawah ini, menjelaskan mekanisme kebijakan stabilisasi harga cengkeh akibat adanya fluktuasi pasokan.

4

Gambar 10. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Fluktuasi Pasokan Cengkeh

Apabila diasumsikan bahwa kurva permintaan cengkeh (DF) konstan; kurva

pasokan cengkeh berubah dari SF1 pasokan kecil (panen kecil) ke SF2 pasokan besar

(panen raya), maka tingkat harga PFS adalah tingkat harga dasar cengkeh yang

ditentukan pemerintah, dimana jumlah yang dibeli pada keadaan pasokan berlebih (saat panen raya) sama dengan jumlah yang dijual pada keadaan permintaan berlebih (saat panen kecil), dan biaya untuk menyangga adalah nol, dalam arti kegiatan ini tidak mendatangkan laba atau rugi. Pada Gambar di atas tampak juga bahwa pada kondisi pasokan kecil SF1, tingkat harga yang terjadi adalah PF1 (panen

kecil) dan surplus produsen (

producers’ surplus

) adalah daerah (a+ c+ g), serta surplus konsumen (

consumers’ surplus

) adalah daerah f. Sementara apabila kondisi

0

g e b 2 F

P

1 F

P

S F

P

Q

R

T

Q

P

F

D

2 F

S

1 F

S

a c d f

pasokan besar SF2 (panen raya), tingkat harga yang terjadi adalah PF2, dan surplus

produsen adalah daerah (g+ h), sedang surplus konsumen adalah daerah (a+ b+ c+ d+ f). Dan dengan adanya penetapan harga dasar PFS dimana melalui

kegiatan penyanggaan suplai berlebih (RT) akan dibeli pada saat panen raya, untuk kemudian dijual kembali pada waktu terjadi permintaan berlebih (QR), pada saat paceklik. Pada saat terjadi panen raya (SF2), dengan diberlakukannya harga dasar

maka surplus produsen meningkat sebesar daerah (c+ d+ e), sementara surplus konsumen berkurang sebesar daerah (c+ d), serta surplus neto sebesar daerah (e). Pada saat paceklik (SF1), surplus produsen berkurang sebesar daerah (a), sementara

surplus konsumen bertambah sebesar (a+ b), dan surplus neto sebesar daerah (b) (Just, Hueth and Schmitz, 1982).

Dengan demikian, secara teoritis, dengan diberlakukannya kebijakan harga dasar sekaligus kegiatan penyanggaan maka produsen cengkeh diuntungkan karena surplusnya meningkat sebesar daerah (c+ d+ e-a), sementara konsumen dirugikan karena surplusnya berkurang sebesar (c+ d-a-b) dan masyarakat secara keseluruhan diuntungkan rata-rata sebesar ½ (b+ e). Namun, patut untuk ditekankan disini bahwa memperhitungkan “kompensasi” yang diterimanya dalam bentuk terjaminnya pasokan cengkeh dan penghematan biaya penyimpanan serta modal kerja, maka konsumen PRK sebetulnya, tidak dirugikan dengan diberlakukannya harga dasar cengkeh tersebut.

Selanjutnya, salah satu paket kebijakan tataniaga yang menetapkan harga dasar sekaligus kegiatan penyanggaan adalah kebijakan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 306/ KP/ XI I / 1990 tentang

Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, dimana dalam pelaksanaannya membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang menangani tataniaga cengkeh secara keseluruhan. Menurut Gonarsyah (1998), secara konseptual, fungsi BPPC untuk stabilisasi harga cengkeh sangat baik, namun kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa dampak penerapan kebijakan tersebut, ternyata tidak sesuai dengan konsepnya, karena hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sangat tidak berpihak kepada petani.

Prinsip penyanggaan yang dilakukan oleh BPPC berdasarkan kebijakan tersebut, diilustrasikan dalam Gambar 11. Secara substansial, dasar pemikiran yang melandasi kebijakan stabilisasi harga dengan menetapkan harga dasar adalah sebagai berikut, apabila diasumsikan bahwa kurva permintaan cengkeh (DF)

konstan; kurva pasokan cengkeh berubah dari SF1 pasokan kecil (panen kecil) ke SF2

pasokan besar (panen raya), maka tingkat harga PFS adalah tingkat harga dasar

cengkeh yang ditentukan pemerintah, dimana jumlah yang dibeli pada keadaan pasokan berlebih (saat panen raya) sama dengan jumlah yang dijual pada keadaan permintaan berlebih (saat panen kecil).

Tampak pada Gambar 11, pada saat harga dasar PFS, dan pasokan SF2 ,

jumlah pasokan (PFST) melebihi jumlah permintaan (PFSR) sebanyak RT, yaitu jumlah

yang harus dijual manakala terjadi permintaan sebanyak QR karena pasokan berkurang menjadi SF1. Untuk kegiatan penyanggaan, diperlukan dana sebanyak

RTT’R’. Sementara itu, sejak beroperasinya BPPC, jumlah yang disangga tidak hanya RT tapi juga PFSR, jumlah yang secara teoritis dibeli oleh pabrik rokok kretek (PRK)

cengkeh yang tadinya dilakukan oleh PRK selama sekian tahun. Konsekuensinya, biaya penyanggaan membengkak dari RTT’R’ menjadi PFSTT’0. Dengan demikian,

dalam waktu singkat dana pengadaan cengkeh membengkak dengan cepat.

Gambar 11. Prinsip Penyanggaan Cengkeh oleh BPPC

Untuk mengatasi hal tersebut dan sekaligus menekan Gappri, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan terpadu dari beberapa departemen teknis terkait yakni melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI Nomor 221/ kpb/ I X/ 1994 dan Menteri Keuangan RI Nomor 475/ KMK.05/ 1994 yang mengaitkan penyerahan cengkeh dengan pemesanan pita cukai. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah dapat “memaksa” pihak PRK untuk bekerjasama dengan petani cengkeh.

Gonarsyah

et al

. (1995) mengemukakan bahwa tidak berjalannya mekanisme penyanggaan cengkeh, seperti yang dijelaskan di atas juga disebabkan oleh

S F

P

T’ R’ Q’ T R Q Q P F

D

2 F

S

1 F

S

0

berlakunya semacam gejala Cobweb dalam hubungan antara harga dan jumlah yang diminta. Secara skematik, hubungan kausal komoditas cengkeh adalah:

Q1 Q6 Q11 ……..

P1 P6 Q11

Pada dasarnya gejala Cobweb dapat mengarah pada siklus harga dan jumlah yang mengumpul (

convergent

) bila suplai lebih inelastik daripada demand, konstan (

constant

) bila elatisitas demand sama dengan elastisitas suplai, atau menyebar (

divergent

) bila suplai lebih elastis daripada demand (Tomek and Robinson, 1990).

Tampaknya, hubungan harga dan jumlah pada cengkeh, pada tahun tujuhpuluhan hingga pertengahan delapanpuluhan, mengarah pada siklus menyebar (

divergent

), karena elastisitas permintaan cengkeh bersifat inelastis, sementara elastisitas pasokan cenderung elastis. Kemudian, hingga pertengahan tahun sembilanpuluhan, memburuknya harga cengkeh belum diikuti oleh menurunnya produksi cengkeh nasional. Namun perkembangan terakhir menunjukkan produksi cengkeh ada kecenderungan meningkat yang diikuti dengan penurunan harga di tingkat petani, terlebih di saat panen raya, dan tampaknya hubungan antara harga dan jumlah pada cengkeh mengarah pada siklus mengumpul (

convergent

), mengingat konsumsi cengkeh cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya produksi rokok kretek, sedangkan produksi cengkeh meskipun cenderung meningkat namun belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku cengkeh pabrik rokok kretek yang didominasi oleh tiga pabrik besar.

Meskipun, struktur pasar cengkeh bersifat oligopsoni, sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, namun karena sulit untuk mengidentifikasi dan memperoleh informasi yang akurat mengenai berapa besar konsumsi cengkeh masing-masing PRK besar tersebut dalam pasar cengkeh domestik maka asumsi pasar persaingan sempurna digunakan sebagai aproksimasi dari kondisi pasar cengkeh yang bersifat oligopsoni, karena pada dasarnya ketiga PRK tersebut tetap memiliki persaingan dalam pasar cengkeh maupun pasar rokok kretek. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Murniningtyas (1989), bahwa meskipun Jepang memiliki kekuatan monopoli sekaligus monopsoni di pasar gandum dunia, namun pasar diasumsikan bersaing sempurna apabila kekuatan monopoli sama dengan kekuatan monopsoni.

Dengan demikian, perkembangan penawaran dan permintaan cengkeh yang menunjukkan keterkaitan antara industri cengkeh di satu sisi dengan industri rokok kretek di sisi lain menjadi penting untuk dianalisis, sehingga dapat diketahui faktor- faktor apa saja yang paling berpengaruh didalamnya dan untuk itu digunakan pendekatan ekonometrik yang dapat menggambarkan hubungan timbal balik antara peubah-peubah utama dari kedua industri tersebut.

Selanjutnya, komponen tataniaga cengkeh berfungsi untuk menyelaraskan komponen penawaran dan permintaan yaitu mendistribusikan atau menyalurkan cengkeh dari petani cengkeh (produsen) ke PRK (konsumen). Diperlukan adanya sistem distribusi ini karena adanya perbedaan spasial (letak geografis) antara petani cengkeh yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa dengan PRK yang berlokasi di pulau Jawa. Di Provinsi Sulawesi Utara, tataniaga cengkeh di lakukan oleh

lembaga-lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul desa, kabupaten dan/ atau pedagang antar pulau (yang sebagian besar merupakan perwakilan PRK) serta koperasi yang akhir-akhir ini perannya makin berkurang. Jadi yang memegang peran utama dalam tataniaga cengkeh di daerah sentra produksi cengkeh tersebut (juga di daerah lainnya di Sulawesi Utara) adalah para pedagang cengkeh. Hal ini mengakibatkan harga cengkeh di tingkat petani cenderung rendah, terlebih pada saat berlangsungnya panen raya. Pada umumnya, petani mengeluhkan bahwa tingkat harga cengkeh yang diterimanya sudah tidak sesuai atau tidak layak, dalam arti tidak mampu menutupi biaya produksinya. Namun, hingga kini, belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis biaya produksi cengkeh per kilogram dengan memperhitungkan keseluruhan biayanya. Oleh karena itu, perlu dianalisis berapa sebenarnya harga cengkeh per kilogram? Dan perhitungan dengan matriks analisis kebijakan (PAM)

multi-period

, menjadi sangat relevan untuk digunakan.

Sementara itu, di sisi industri rokok kretek, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa “kelangsungan usaha” PRK sebenarnya sangat tergantung pada pasokan bahan baku cengkeh domestik karena total produksi cengkeh dari dua negara produsen utama di luar I ndonesia yakni Madagaskar, Tanzania (Zanzibar) serta enam negara produsen kecil seperti, Komoro, Srilanka, Malaysia, Grenada, Kenya dan Togo, hanya berkisar antara 25 000 hingga 30 000 ton atau hanya 20 sampai 30 persen dari kebutuhan cengkeh pabrik rokok kretek (FAO, 2004 dan Husodo, 2006).

Hal ini menunjukkan bahwa tampak adanya saling ketergantungan antara petani cengkeh dan PRK, untuk menjamin kelangsungan usahanya masing-masing.

Petani cengkeh adalah pemasok cengkeh utama bagi PRK, sebaliknya PRK adalah konsumen utama cengkeh produksi petani. Salah satu pihak sangat membutuhkan keberadaan pihak yang lain. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang sinergis antara kedua pihak ini melalui koordinasi dalam produksi dan pemasaran ataupun sebaliknya. Untuk itu, diperlukan analisis teori permainan (

game theory

), yang diharapkan mampu menggambarkan keterkaitan antara kedua pihak tersebut secara interaktif. Juga sebagai upaya untuk menjajagi kemungkinan yang dapat mengarah pada kerjasama yang saling menguntungkan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hobbs and Young (2001) bahwa sektor pertanian khususnya komoditas pangan di Canada dan Amerika Serikat cenderung mengarah ke koordinasi vertikal antara tahapan produksi dan pemasaran. Koordinasi vertikal didefinisikan oleh Mighell dan Jones sebagai: cara-cara yang digunakan untuk menyelaraskan tahapan-tahapan vertikal dalam produksi dan pemasaran. Sementara dalam Hobbs (1997) dinyatakan bahwa sistem harga pasar, integrasi vertikal, perjanjian kontrak dan kerjasama, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama adalah bentuk dari koordinasi. Dalam koordinasi vertikal, sinkronisasi urutan tahap-tahap dari produksi dan pemasaran dalam kaitannya dengan kuantitas, kualitas dan waktu dari aliran produk (Perry, 1989; Martinez, 2002; Wysocky, Peterson and Harsch, 2003).

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk membantu memecahkan permasalahan percengkehan nasional secara komprehensif dan dengan ditopang oleh ketiga metode analisis seperti yang dijelaskan di atas maka diharapkan temuan dan kesimpulan yang diperoleh akan lebih memuaskan.

4.1.2. Kerangka Teoritis

4.1.2.1. Kerangka Teoritis Model Keterkaitan I ndustri Cengkeh dan

I ndustri Rokok Kretek Nasional

a. Penaw aran Cengkeh