V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA
5.1 Perkembangan Produksi Teh Indonesia
Perkembangan produksi teh Indonesia selama 1996 - 2005 cenderung tidak mengalami perubahan yang begitu besar, dimana rata-rata laju pertumbuhan selama kurun waktu tersebut hanya sebesar 0,71 persen. Dan rata-rata produksi selama tahun tersebut hanya 163 984 ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Produksi Teh Indonesia Periode 1996 - 2005
Tahun Produksi (Ton) Laju Pertumbuhan (%)
1996 166 256 - 1997 153 619 -7,60 1998 166 825 8,60 1999 161 003 -3,49 2000 162 586 0,98 2001 166 868 2,63 2002 162 194 -2,80 2003 169 819 4,70 2004 164 817 -2,94 2005 165 854 0,63 Rata-rata 163 984 0,71 Sumber : ITC, 2006
Peningkatan produksi teh terbesar selama periode 1996-2005 adalah pada tahun 1998 dengan jumlah 166 825 ton atau mengalami peningkatan laju pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 8,60 persen. Peningkatan produksi tersebut karena jumlah luas areal perkebunan teh yang meningkat pada tahun tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan terendah selama kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 1997 sebesar 153 619 ton dimana penurunan produksinya mencapai 7,60 persen. Penurunan yang cukup besar ini disebabkan perubahan musim yang terlalu mencolok. Pada tahun 1997 terjadi peristiwa kemarau yang cukup panjang diakibatkan pengaruh EL NINO. Adanya
kejadian tersebut menyebabkan banyak tanaman teh yang mengalami kekeringan sehingga produksinya kurang maksimal.
Selain keterangan diatas, produksi teh Indonesia selama periode tahun 1996-2005 juga mengalami flkutuasi yang beragam tiap tahunnya. Laju pertumbuhan yang menurun terjadi pada tahun 1999 sebesar -3,49 persen dimana jumlah produksinya 161 003 ton. Pada tahun 2002 dimana jumlah produksinya sebesar 162 194 ton juga mengalami penurunan produksi sebesar 2,80 persen. Pada tahun 2003 produksi teh mengalami peningkatan produksi sebesar 4,70 persen. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun 2004 laju pertumbuhan produksi teh mengalami penurunan sebesar 2,94 persen dimana jumlah produksinya 164 817 ton. Pada tahun 2005 produksi teh kembali meningkat walaupun pertumbuhannya hanya sebesar 0,63 persen dengan jumlah produksi 165 854 ton.
Perkembangan luas areal selama periode 1996 – 2005 mengalami penurunan (tabel 13). Hal ini sejalan dengan rata-rata laju pertumbuhan luas areal periode 1996 - 2005 yang mengalami penurunan sebesar 1,12 persen per tahun. Penurunan luas areal yang paling curam terjadi pada tahun 2003 dengan luas arealnya yaitu 143 620 Hektar atau laju penurunan luas areal sebesar 4,71 persen.
Rata-rata laju pertumbuhan luas areal teh yang negatif tidak selalu tiap tahun mengalami pertumbuhan yang negatif. Laju pertumbuhan luas areal yang positif terjadi pada tahun 1998 dimana luas perkebunan teh seluas 157 040 hektar atau mengalami peningkatan luas areal sebesar 2,1 persen. Peningkatan luas areal pada tahun 1998 disebabkan harga jual teh yang diekspor menggunakan mata uang asing, sementara kurs rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi sehingga
nilai US$ 1 sama dengan Rp.10 000. Oleh karena itu, keuntungan dari menjual komoditi teh pada masa krisis ekonomi menjadi sangat besar, sehingga para pengusaha teh berusaha meraih kuantitas produksi teh sebesar-besarnya salah satu caranya dengan memperluas luas areal perkebunan teh.
Tabel 13. Perkembangan Luas Areal Teh Indonesia Periode 1996 - 2005
Tahun Luas Areal (Hektar) Laju Pertumbuhan (%)
1996 154 185 - 1997 153 812 -0,24 1998 157 040 2,1 1999 156 840 -0,13 2000 153 667 -2,02 2001 150 938 -1,78 2002 150 723 -0,14 2003 143 620 -4,71 2004 142 782 -0,58 2005 139 121 -2,56 Rata-rata 146 939.6 -1,12 Sumber : ITC, 2006
Penurunan luas areal yang rata-rata terjadi tiap tahunnya umumnya disebabkan oleh alih fungsi lahan perkebunan teh menjadi fungsi lain yang lebih menguntungkan. Bagi para petani teh umumnya disebabkan oleh harga pucuk teh yang anjlok di pasaran hingga mencapai Rp 500 per kilogram, sehingga tidak mampu menutupi ongkos produksi. Akibatnya, para petani teh mulai beralih bercocok tanam sayuran. Bahkan, sebagian petani teh telah menjual tanah mereka karena dinilai tidak lagi mendatangkan keuntungan9. Begitu juga dengan para pengusaha swasta, akibat harga teh Indonesia yang semakin menurun di pasar dunia menjadi US$ 1,2 per kg jika dibandingkan dengan teh dari Sri Lanka dan India yang dihargai US$ 1,8 per kg maka semakin menyurutkan minat para investor untuk berinvestasi dalam komoditi teh, bila dibandingkan dengan investasi di bidang lainnya yang lebih menguntungkan.
9 Evy, “Harga teh Rakyat Anjlok Petani Teh Jual Tanah”, http:// www.kompas.com/, 10 Juni 2007
Perkembangan produktivitas komoditi teh Indonesia periode 1996-2005 menunjukkan perkembangan yang positif dimana rata-rata laju pertumbuhan produktivitas komoditi teh Indonesia sebesar 11,3 persen dengan rata-rata produktivitas 1093,4 kg per hektar. Selama periode tersebut laju pertumbuhan produktivitas tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan produktivitas sebesar 1182 kg per hektar atau meningkat sebesar 9,85 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan produktivitas ini disebabkan produksi teh pada tahun 2003 mengalami peningkatan produksi sebesar 4,70 persen.
Perkembangan produktivitas yang terendah terjadi pada tahun 1999 dimana jumlah produktivitasnya hanya sebesar 999 kg per hektar atau laju pertumbuhan produktivitasnya menurun sebesar 7,33 persen. Penurunan produktivitas ini disebabkan oleh produksi teh yang menurun sebesar 7,60 persen dengan jumlah produksi teh pada waktu itu sebesar 153 619 ton, sedangkan luas arealnya juga mengalami penurunan sebesar 0,24 persen dengan luas areal perkebunan teh sebesar 153 812 hektar.
Tabel 14. Perkembangan Produktivitas Teh Indonesia Tahun 1996 - 2005
Tahun Produktivitas (Kg) Laju Pertumbuhan (%)
1996 1078 - 1997 999 -7,33 1998 1062 6,31 1999 1027 -3,3 2000 1058 3,02 2001 1106 4,54 2002 1076 -2,71 2003 1182 9,85 2004 1154 -2,37 2005 1192 3,29 Rata-rata 1093.4 11,3
Perkembangan produktivitas teh nasional periode 1996-2005 memang menunjukkan laju pertumbuhan yang positif. Namun, perkembangannya berfluktuasi setiap tahun dengan jumlah produktivitas teh yang cenderung rendah jika dibandingkan dengan rataan produktivitas negara pesaing kuat teh seperti Kenya sebesar 2264 kg per hektar untuk periode 2001-2005, sedangkan rataan produktivitas Indonesia untuk periode yang sama sebesar 1142 kg per hektar.
Rendahnya produktivitas teh di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu produksi teh dan luas areal perkebunan teh. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir laju pertumbuhan produksi teh positif akan tetapi tidak sejalan dengan jumlah luas areal perkebunan teh yang menunjukkan laju pertumbuhan yang negatif. Kendala lainnya yang dihadapi adalah banyak mutu teh yang belum memenuhi standar internasional (ISO 3720). Selain itu peremajaan tanaman teh yang lambat dan mesin-mesin pengolahan yang kurang mengarah kebutuhan dan permintaan pasar yang berubah secara dinamis dan cepat10.
Di sisi lain kondisi perdagangan teh internasional mengalami over supply. Menurut ITC (2006), pada tahun 2005 produksi teh dunia sebesar 3 419 579 ton, sedangkan konsumsi teh dunia sebesar 1 445 600 ton. Kondisi perdagangan pasar teh internasional yang mengalami over supply tersebut menuntut suatu negara produsen seperti Indonesia supaya memiliki daya saing terhadap negara produsen lainnya untuk dapat mempertahankan atau meningkatkan pasar yang dimilikinya.
Menurut Ketua Asosiasi Teh Indonesia (ATI) Insyaf Malik (2005), pada saat pasar teh dunia mengalami over supply, yang dibeli pasar adalah teh yang
10“Produktivitas Teh Indonesia Menurun”, http://www.antara.co.id/arc/2007/4/19/produktivitas-teh-indonesia-menurun/, 14 Juni 2007
berkualitas tinggi saja. Terjadinya over supply ini, menyebabkan harga teh turun dan menyulitkan negara produsen. Sementara Indonesia mengalami kendala kualitas sejak awal, sehingga rata-rata harga yang diterima juga rendah. Oleh karena itu untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar komoditi teh Indonesia harus meningkatkan kualitas tehnya. Selain itu perlunya diversifikasi dari produk hilir teh agar Indonesia mendapatkan nilai tambah (value added) dari komoditi teh nasional.