• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan sumber daya alam sebagai suatu sistem tidak terlepas dari satu faktor penting yaitu ruang tempat sistem sumber daya alam tersebut bekerja. Karena ruang merupakan sumber daya yang tak terbatas maka perbedaan kepentingan (conflict interests) akan banyak dijumpai dalam ruang tempat manusia hidup (Gunawan 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian konflik sendiri harus dipahami sebagai suatu kondisi negatif yang terjadi karena adanya paling tidak satu kepentingan yang tidak terpenuhi di dalam bentang ruang yang menjadi perhatian kita.

Pengertian konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam, biasanya dikaitkan dengan ketidak-setaraan distribusi akses terhadap sumber daya dari berbagai pengguna

(Gorre 1999). Terminologi konflik sendiri membawa pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak.

Gunawan (2002) menyatakan bahwa konflik adalah suatu hal yang terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama namun mereka melihat peristiwa/keadaan ini secara berbeda. Fisher et al.

(2000), menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik dapat terjadi pada semua bentuk hubungan manusia (sosial, ekonomi dan kekuasaan) dan mengalami pertumbuhan dan perubahan. Konflik dapat timbul berdasarkan perikatan ataupun di luar perikatan. Konflik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi/mengingkari isi perjanjian.

2.5.2 Faktor-faktor pendorong terjadinya konflik

Fisher et al. (2000) membagi faktor penyebab konflik kedalam enam faktor utama, sebagai berikut: 1) konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat; 2) konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik; 3) konflik yang disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi; 4) konflik disebabkan identitas terancam, yang sering

berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan; 5) konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara

berbagai budaya yang berbeda; dan 6) konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Moore (1990) yang diacu Firdaus (2005), membagi lima kategori yang menjadi faktor-faktor pendorong terjadinya konflik yaitu:

(1) Relationship problems, yang terdiri dari: 1) Strong emotions;

kecenderungan tingginya emosi yang dimiliki oleh masing-masing pihak; 2)

para pihak atau sudah adanya prasangka-prasangka berdasarkan stereotype;

3) Poor communication or miscommunication; hubungan komunikasi yang tidak komunikatif dalam arti tidak fokus dan tidak mudah dimengerti atau dipahami; 4) Repetitive negative behaviour; tingkah laku negatif yang dilakukan para pihak secara berulangkali.

(2) Data problems, yang terdiri atas: 1) Lack of information or misinformation;

sedikit atau bahkan tidak dimilikinya data atau informasi yang cukup dan akurat dari para pihak; 2) Different views on what is relevant; adanya perbedaan pemahaman dan pandangan atas suatu yang dianggap relevan atau tidak relevan untuk dikaitkan dalam suatu permasalahan; 3) Different interprestations of data;

adanya perbedaan dalam menafsirkan informasi yang dimiliki oleh para pihak; 4) Different assessment procedures; digunakannya prosedur atau tata cara yang berbeda didalam pemilihan atau pengambilan data/informasi.

(3) Interest conflict, dalam hal ini menurut Moore dapat juga digunakan pendekatan

triangle of satisfaction, terdiri dari: 1) Perceived or actual competition over substantive (content) interest; adanya perasaan atau persaingan diantara para pihak dalam kepentingan yang bersifat subtansi; 2) Procedure interest;

kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat prosedur atau tata cara; 3)

Psychological interest; kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat psikologis.

(4) Structural prablems, terdiri dari: 1) Destructive patterns of behaviour or

interaction; adanya pola-pola perilaku yang cenderung bersifat negatif atau bahkan bersifat destruktif; 2) Unequal control, ownership, or distribution of resources; ketidak seimbangan dalam kontrol, kepemilikan atau pembagian sumber daya yang ada; 3) Unequal power and authority; ketidak seimbangan kekuatan dan wewenang; 4) Geographical, physical or enveronmental factor that hinder cooperation; faktor-faktor yang menghambat kerjasama para pihak dalam mengefektifkan proses perundingan, seperti masalah geografis, fisik ataupun lingkungan; 5) Time constrain; adanya keterbatasan waktu.

(5) Value problems, yang terdiri atas; 1) Different criteria for evaluating ideas or

behaviour; adaya perbedaan kriteria dalam melakukan evaluasi ide-ide atau perilaku diantra para pihak; 2) Exlusive intrinsically valuable goals; adanya tujuan ekslusif/khusus yang hanya dipahami oleh pihak yang bersangkutan;

3) Different ways of life, ideology, or religion; adanya perbedaan pandangan hidup, idiologi ataupun agama/kepercayaan diantara para pihak.

2.5.3 Jenis-jenis konflik nelayan

Satria (2006) yang diacu oleh Satria (2009) mengidentifikasi paling tidak terdapat tujuh macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu : (1) Konflik kelas, yaitu konflik yangn terjadi akibat perbedaan kelas sosial

nelayan dalam memperebutkan wilayan penangkapan (fishing ground), yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya ikan akibat perbedaan teknologi penguasaan kapital, seperti konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional.

(2) Konflik kepemilikan sumber daya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu

“ikan milik siapa” atau “laut milik siapa”, terjadi antara kelas nelayan

ataupun interkelas nelayan. Bahkan, bisa juga terjadi antara nelayan dan pihak non-nelayan, seperti antara nelayan dan para pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata bahari, pertambangan dan dengan pemerintah sendiri. (3) Konflik pengelolaan sumber daya, merupakan konflik yang disebabkan oleh

pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah. Dalam konteks ini, isu yan mencuat adalah siapa yang berhak mengelola sumber daya ikan atau sumber daya laut. Misalnya, terjadinya pelanggaran penangkapan ikan di daerah yang mempunyai aturan lokal.

(4) Konflik cara produksi atau alat tangkap, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama alat tangkap tradisional maupun antara alat tangkap tradisional dengan alat tangkap modern yang merugikan salah satu pihak.

(5) Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan. Konflik ini terjadi antara nelayan yang ramah lingkungan dengan nelayan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan alat tangkap terlarang, trawl, bom/dinamit dan potasium.

(6) Konflik usaha¸ merupakan konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga atau sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. Konflik mekanisme harga terjadi antara nelayan dan pengolah ikan dan pedagang ikan, atau antar nelayan.

(7) Konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Akan tetapi, yang patut dicatat adalah konflik primordial tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama dalam suatu konflik, melainkan konflik pelengkap atau bahkan dikambinghitamkan.

2.5.4 Penahapan konflik

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah :

(1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidak sesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik terjadi dari pada pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain pada tahap ini.

(2) Konfrontasi : Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi ataupun perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung dimasing-masing pihak.

(3) Krisis : Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan

periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak(-pihak) lain.

(4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

(5) Pascakonflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.