• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Barton (1994), bahwa penilaian ekonomi ekosistem mangrove dapat menggunakan pendekatan Penilaian Ekonomi Total (Total Economi

Valuation), yaitu penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung,

manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan hutan mangrove mengadopsi dari nilai ekonomi total.

a. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value)

Saenger et al. (1983) dan Hamilton and Snedaker (1984), menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi dan manfaat baik langsung maupun tidak langsung yang besar seperti yang disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14.

Tabel 13. Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove

No Manfaat Langsung Produk

1 Energi Kayu bakar untuk pemanasan, pengasapan, dan pengeringan ikan

2 Bahan Bangunan Bahan bangunan kontruksi berat, bantalan rel kereta api, tiang/balok bangunan, lantai, kapal, bahan papan buatan

(cjipboard) dsb

3 Perikanan Gagang pancing, pelampung, tanin untuk pengawetan jaring, tempat bertelur, dan pembesaran ikan/udang/kepiting

4 Pertanian

Kompos/mulsa

5 Makanan dan Minuman Gula, alkohol, minyak makan, teh pengganti, buah dan dedaunan, pembungkus rokok, obat

6 Rumah Tangga Perabotan, perekat, mainan, dsb

7 Produksi Kulit dan Tekstil Serat buatan, bahan pencelup kain, tanin untuk pengawetan bahan kulit

8 Produksi Kertas Berbagai jenis kertas 9 Lain-lain Peti kemas

Sumber : Saenger et al. (1983) dan Hamilton and Snedaker (1984)

Tabel 14. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove

1 Berbagai Jenis Ikan Kecil Makanan, pupuk

2 Crustacea (Udang,

Kepiting, dll)

Makanan

3 Mollusca (Kerang dsb) Makanan

4 Lebah Madu, lilin 5 Burung Makanan, rekreasi 6 Mamalia Kulit, makanan, rekreasi 7 Reptil Makanan, rekreasi

Sumber: Saenger et al. (1983) dan Hamilton and Snedaker (1984)

Berdasarkan hal di atas maka hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Tongke-Tongke memiliki potensi besar yang tersebar pada areal seluas 34,78 ha dengan beberapa manfaat seperti pada Tabel 15.

Tabel 15. Jenis dan Manfaat Ekosistem Mangrove di Tongke-Tongke

No Jenis Manfaat Manfaat

1 Manfaat Langsung Perikanan, Kepiting, Kelelawar, dan Kayu bakar

2 Manfaat Tidak Langsung Penahan abrasi, dan penjaga siklus makanan

Sumber: Hasil Analisis Data Primer.

Manfaat langsung yang dapat diukur nilainya berdasarkan hasil identifikasi dari lokasi adalah tambak udang, ikan dan rumput laut, penangkapan kepiting, penangkapan kelelawar, dan kayu/ranting untuk bahan bakar. Metode yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah pendekatan langsung berdasarkan nilai pasar. Pendekatan ini menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari hutan mangrove dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produksi.

Nilai manfaat untuk usaha budidaya tambak udang dan bandeng diperlukan biaya tetap (pipa, jaring, kantong/poro, dan basket) dan biaya variabel (bibit, pupuk, racun, obat-obatan) sebesar rata-rata Rp. 3.332.038,-/ha/tahun dengan produksi rata Rp. 8.410.060,-/ha/th sehingga keuntungan yang diperoleh rata-rata Rp. 5.078.002,-/ha/th. Sedangkan untuk budidaya rumput laut diperoleh keuntungan rata-rata Rp. 19.465.500,-/ha/th dengan biaya tetap (tempat pengeringan, basket, pipa) dan biaya variabel (bibit, pupuk, dan racun) sebesar rata-rata Rp. 534.500,-/ha/th dengan produksi rata-rata 20.000.000,-/ha/th.

Nilai manfaat kepiting yang diperoleh dari keberadaan hutan mangrove di Tongke-Tongke yaitu produksinya rata-rata Rp. 14.000.000,-/ha/th dengan biaya

tetap (jaring, bubuh, kantong/poro) dan biaya variabel (minyak tanah, lampu teplok) rata Rp. 251.417,-/ha/th, sehingga diperoleh keuntungan sebesar rata-rata Rp. 13.748.583,-/ha/th.

Nilai manfaat kelelawar ini diperoleh keuntungan rata-rata Rp. 1.000.542,-/ha/th dengan produksi rata-rata Rp. 4.090.666,-1.000.542,-/ha/th dan biaya tetap (senter, kantong/poro) dan biaya variabel (jaring, bambu, baterei, tali dan upah untuk tenaga kerja) sebesar rata-rata Rp. 2.023.264,-/ha/th.

Penangkapan kelelawar di Tongke -Tongke diatur dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Sinjai untuk menjaga kelestarian hutan mangrove dan kelangsungan hidup kelelawar yang ada dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Peraturan pemerintah dalam hal ini diatur pertama kali dengan Surat Bupati No. 300/LNG/SET perihal Izin Penangkapan Kelelawar yang dikeluarkan pada tanggal 13 Januari 2003, dimana pada saat itu populasi kelelawar yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya telah berfungsi sebagai hama karena merusak mangrove yang ada. Dan pada tanggal 20 Oktober 2003 Surat Bupati No. 522/848/SET perihal Pemberhentian Penangkapan Kelelawar kembali dikeluarkan guna tetap menjaga kelestarian kelelawar.

Potensi kayu bakar, ranting-ranting/kayu mangrove masih merupakan salah satu sumber energi bagi sebagian masyarakat. Hasil wawancara dengan 84 responden menunjukkan 53,54 % memanfaatkan mangrove untuk kayu bakar dengan 30,95% untuk keperluan sendiri dan 22,62% untuk keperluan sendiri dan dijual. Namun setelah adanya kesepakatan pencanangan hutan kesepakatan desa pada tahun 1987 dan kebijakan pemerintah melalui Perda No. 8 tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan hutan Bakau, dimana pada pasal 13 disebutkan bahwa di luar kawasan terkendali merupakan kawasan larangan penebangan mangrove. Maka berdasarkan hal tersebut sebagian masyarakat hanya memanfaatkan ranting-ranting kayu mangrove dari hasil pemangkasan dan kayu mangrove yang sudah mati untuk digunakan sebagai kayu bakar secara terbatas.

Pemasaran kayu bakar juga terbatas pada lingkungan pemukiman penduduk, dan hanya dipasarkan apabila ada pesta perkawinan atau hajatan yang memerlukan kayu bakar lebih.

Potongan-potongan kayu bakar berdiameter 3-4 cm dan panjang 0,5 m dengan 12 – 15 batang/ikat dengan harga Rp. 1000,-/ikat. Pendapatan masyarakat dari hasil penjualan kayu bakar tidak menentu tergantung dari banyaknya ranting dan kayu mati yang ada pada mangrove miliknya. Dari hasil analisis diperkirakan volume produksi yang dimanfaatkan masyarakat untuk kayu bakar adalah berkisar 6443 ikat/ha/th yang bernilai rata-rata Rp. 143.178,-/ha/th.

Untuk lebih jelasnya, maka rekapitulasi manfaat dan biaya untuk masing-masing produk langsung hutan mangrove per hektar per tahun dari hasil analisis dapat dilihat pada lampiran 11 - 16.

b. Nilai Manfaat Tidak Langsung (Inderect Use Value)

Ekosistem mangrove di kawaan pesisir Tongke-Tongke memiliki 2 jenis manfaat tidak langsung, yaitu (a) manfaat langsung fisik/penahan abrasi air laut, dan (b) manfaat langsung biologis sebagai tempat pemijahan dan asuhan serta penyedia bahan pakan organik bagi udang dan ikan. Metode yang digunakan dengan pendekatan tidak langsung adalah metode penggantian.

Menurut PT. Diagram (1994) dalam Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (1995), bahwa biaya pembangunan break water diperkirakan Rp. 100.000,-/m3, dan ukuran break water yang dibangun dengan kedalaman 6 m dan lebar penampang 5 m dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Biaya pembangunan break water jika dihubungkan dengan tingkat inflasi nasional pada saat penelitian dilakukan diasumsikan rata-rata sebesar 4,25 dengan demikian maka biaya akan mengalami peningkatan sebesar Rp. 425.000,-/m3 (asumsi : penyebaran manfaat merata pada seluruh luasan mangrove), luas hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah 34,78 ha atau 3478 m2. Sehingga berdasarkan data tersebut dapat diperkirakan manfaat ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi air laut, yaitu sebesar Rp. 44.344.500.000,-/10 tahun atau Rp. 4.434.450.000,-/tahun.

Nilai manfaat tidak langsung biologis sebagai penyedia pakan organik bagi udang menggunakan pendekatan metode regresi luasan mangrove dan produksi udang (Naamin, 1990) sebagai berikut :

Dimana:

Y = Produksi udang (kg)

X = Luasan hutan mangrove (Ha)

Luas hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah 34,78 ha, dari luas tersebut dapat diperoleh produksi udang yang dihasilkan yaitu sebesar 16,298 kg/tahun. Apabila dikalikan dengan harga jual pakan udang dan kebutuhan pakan untuk 1 kg udang, maka diperoleh nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penyedia pakan. Apabila harga pakan udang di Sinjai rata-rata Rp. 1.500,-/kg, dimana kebutuhan pakan udang untuk setiap1 kg adalah 1,5 kg, maka nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penyedia pakan adalah Rp. 366.711/th. Sehingga dari kedua hasil analisis tersebut diperoleh nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove pesisir Tongke-Tongke adalah sebesar Rp. 4.434.816.711/th (Lampiran 17).

c. Nilai Manfaat Pilihan

Manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke menggunakan pendekatan nilai manfaat dari keanekaragaman

(Biodiversity). Manfaat pilihan ini adalah nilai dari keanekaragaman hayati

(biodiversity) dari ekosistem mangrove seperti yang dikemukakan oleh Ruitenbeek

(1991), bahwa nilai biodiversity hutan mangrove di Indonesia adalah US$ 1500/km2/tahun atau US $ 15/ha/tahun.

Nilai manfaat pilihan dihitung berdasarkan perubahan nilai tukar antara US$ dengan rupiah pada saat penelitian. Dengan nilai rata-rata Rp.8.500,-/US$ maka diperoleh nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove sebesar.Rp. 127.500,-/ha/tahun. Atas dasar perhitungan ini maka manfaat pilihan bersih dari ekosistem mangrove di kawasan pesisir TongkeTongke yaitu sebesar Rp. 4.434.450,-/tahun (Lampiran 18).

d. Nilai Manfaat Keberadaan (Existance Value)

Pendekatan yang digunakan dalam menghitung manfaat keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah menggunakan Contingent

Value Methode (CVM). Pemilihan responden dilakukan secara purposive

sampling (acak sengaja). Jumlah responden yang diambil adalah 84 orang yang

tambak, penjual ikan, pedagang, dan pegawai) dan lama pendidikan (12 – 17 tahun, 7 – 11 tahun, dan 0 – 6 tahun).

Secara umum teknik pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan tiga metode pertanyaan yang saling melengkapi, yaitu pertanyaan setuju atau tidak, pertanyaan terbuka dan pertanyaan pilihan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh lama pendidikan responden yang 7 tahun keatas cenderung akan memberikan nilai keberadaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang lama pendidikannya 7 tahun kebawah. Begitu juga mata pencaharian responden juga berpengaruh terhadap pemberian nilai keberadaan hutan mangrove, dimana responden yang bermata pencaharian sebagai petani tambak dan nelayan juga cenderung memberikan nilai keberadaan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang bermata pencaharian lain.

Jawaban responden terhadap nilai manfaat hutan mangrove berkisar antara Rp. 500.000,-/ha – Rp.10.000.000,-/ha. Masyarakat yang lama pendidikannya 7 tahun ke atas dan bermata pencaharian nelayan dan petani tambak memberikan nilai rata-rata Rp. 3.000.000,-/ha – Rp. 10.000.000,-/ha. Sedangkan 5 orang responden tidak bersedia membayar atas keberadaan hutan mangrove, karena mereka berpendapat bahwa hutan mangrove di Tongke-Tongke mempunyai manfaat dan fungsi yang sangat penting sehingga tidak bisa dinilai dengan uang.

Berdasarkan Lampiran 19 dapat diambil kesimpulan bahwa nilai keberadaan ekosistem mangrove rata-rata sebesar Rp. 2.917.722,-/ha/tahun, sehingga nilai eksistensi hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke dengan luas 34,78 ha adalah Rp. 101.478.371/th.

e. Nilai Manfaat Total Hutan mangrove

Nilai Ekonomi Total ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah sebesar Rp. 4.587.373.436,-/tahun yang merupakan hasil penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan.

Tabel 16. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Tongke-Tongke Berdasarkan Masing-Masing Manfaat

No Jenis Manfaat Nilai Total

(Rp/Tahun) Persentase

1 Manfaat langsung 46.643.904 1.02%

2 Manfaat tidak langsung 4.434.816.711 96.67%

3 Manfaat pilihan 4.434.450 0.10%

4 Manfaat keberadaan 101.478.371 2.21%

Nilai Manfaat Total 4.587.373.436 100 %

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2004

Berdasarkan Tabel 16 di atas, maka yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem mangrove tersebut adalah manfaat tidak langsung dengan nilai sebesar Rp. 4.434.816.711,-/tahun atau 96,67%, kemudian manfaat keberadaan sebesar Rp.101.478.371,-/tahun atau 2,21% dan manfaat langsung sebesar Rp. 46.643.904,-/tahun atau 1,02%, sedangkan manfaat pilihan memberikan nilai sebesar Rp.4.434.450,-/tahun atau hanya 0,10 % dari total nilai manfaat.

A

AlltteerrnnaattiiffSSkkeennaarriiooPPeennggeelloollaaaann((CCoossttBBeenneeffiittAAnnaallyyssiis)s)

Data nilai manfaat ekonomi hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai digunakan sebagai dasar aplikasi alternatif pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan, sehingga disusun 4 skenario yang dianalisa dengan menggunakan teknik analisa manfaat untuk memperoleh nilai Net Present Value (NPV), sebagaimana disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Hasil Analisis Skenario 1 sampai dengan Skenario 4

Skenario NPV (Rp) BCR

1 10.334.248.482,- 4,83

2 1.669.055.999,- 3,04

3 556.989.148,- 1,68

a. Skenario 1

Skenario 1 diasumsikan bahwa kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian masih utuh atau belum ada konversi menjadi tambak dengan luas 88,78 ha. Hal ini bertujuan untuk mempermudah perhitungan konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak atau sebaliknya.

Hasil analisis ekonomi pada skenario ini diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 10.334.248.482,- dengan BC Ratio sebesar 4,83 (Lampiran 20). Artinya kondisi ini sangat hemat biaya namun memperoleh manfaat bersih yang besar.

b. Skenario 2

Skenario 2 adalah kondisi existing yang menggambarkan kondisi pada saat ini, dimana luas mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak adalah 54 ha (60,8 % dari total mangrove pada kondisi alami).

Hasil analisis Cost Benefit Analysis (CBA) dengan jangka waktu 10 tahun menghasilkan NPV sebesar Rp. 1.669.055.999,- dengan BC Ratio sebesar 3,04 (Lampiran 21).

Dibandingkan dengan skenario 1, maka terjadi penurunan nilai manfaat langsung, tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat eksistensi pada skenario 2 ini yang setara dengan luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak, tetapi memperoleh manfaat langsung dari tambak.

Nilai NPV dan BCR yang lebih kecil dibandingkan skenario 1, berarti skenario 1 lebih menguntungkan dibandingkan skenario 2.

c. Skenario 3

Skenario 3 merupakan alternatif pemanfaatan luas lahan yang diasumsikan sangat sesuai untuk lahan tambak (32,74 ha) dan kondisi hutan mangrove pada saat penelitian (34,78 ha). Komponen jenis manfaat dan biaya lainnya sama seperti pada skenario 2.

Hasil analisis CBA dengan discount rate sebesar 12 % dan jangka waktu 10 tahun menunjukkan bahwa skenario 1 dan skenario 2 lebih menguntungkan, dimana pada skenario 3 ini nilai NPVnya hanya sebesar Rp. 556.989.148,- dengan BC Ratio sebesar 1,68 (Lampiran 22).

d. Skenario 4

Skenario ini juga merupakan alternatif pemanfaatan luas lahan namun diasumsikan sesuai untuk lahan tambak (29,17 ha) dan kondisi hutan mangrove di lokasi pada saat penelitian (34,78 ha).

Hasil analisis CBA dengan discount rate sebesar 12 % dan jangka waktu 10 tahun diperoleh nilai NPV pada skenario ini sebesar Rp. 405.414.978,- dengan BC Ratio sebesar 1,50 (Lampiran 23) Ini berarti bahwa skenario 1, skenario 2, dan skenario 3 lebih menguntungkan dibandingkan skenario 4.

Berdasarkan hasil analisis keempat skenario tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa skenario 1 merupakan skenario paling optimal. Namun demikian, pemilihan salah satu skenario alternatif pengelolaan dalam aplikasinya di lapangan tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, tetapi masih harus memperhatikan aspek terkait lainnya secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu beberapa skenario yang memiliki keunggulan dari aspek ekonomi masih perlu dianalisis kelemahan dan kelebihannya dari aspek teknis, sosial, dan kelestarian ekosistem mangrove.

Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi

Analisis Komponen Utama /Principal Components Analysis (PCA)

Analisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir Tongke-Tongke dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA) ini didasarkan atas 9 variabel, yaitu umur, lama pendidikan formal (PDDK), jumlah anggota keluarga (JAK), jumlah tenaga kerja (JTK), jenis pekerjaan (JPK), pendapatan (PDPT), pengeluaran rumah tangga (PENG), kondisi tempat tinggal (KTT), dan fasilitas tempat tinggal (FTT). Analisis ini dilakukan dengan pengambilan data terhadap 84 reseponden di empat dusun, yaitu dusun Babana, Maroangin, Cempae, dan Bentenge dengan hanya mengambil empat (4) sumbu utama berdasarkan hasil analisis pada Gambar 6.

Hubungan antara % Variance dengan Komponen 31.16 18.32 13.56 9.3 8.59 6.83 5.25 4 2.99 0 5 10 15 20 25 30 35 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Komponen % Variance

Gambar 6. Grafik Hubungan antara % Variance dengan Komponen

Bengen (2000 b), menyatakan bahwa salah satu fase terpenting untuk dapat menginterpretasi hasil yang diperoleh adalah menentukan sumbu yang digunakan dengan cara : (a) eigenvalue lebih besar dari satu (1), (b) menetapkan suatu dasar persentase informasi untuk dipresentasikan (lebih dari 70 %), (c) atau dengan hanya mengambil sumbu-sumbu pertama sebelum adanya penurunan inersi secara drastis.

Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) memperlihatkan bahwa ragam pada sumbu utama pertama hingga keempat mencapai 72,3 %. Hal ini berarti 72,3 % dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama keempat. Komponen utama pertama hingga keempat secara berurutan memiliki akar ciri: 2,5562: 1,5324: 1.2674: 0,8276 yang menjelaskan masing-masing 28,40 %, 17,03 %, 14,08 %, dan 9,20 % keragaman dari gugus data (Lampiran 24).

Korelasi antara variabel dengan sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau representasi variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh dekatnya variabel tersebut dengan sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan sumbu utama semakin besar pula korelasi. Sementara interpretasi dari setiap variabel tersebut dapat dilihat dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama.

Gambar 7. Korelasi Variabel pada Sumbu Utama Pertama (F1) dan

Dokumen terkait