• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil analisis PCA (Lampiran 24), maka dilakukan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui besarnya kepentingan faktor-faktor pendorong (pendidikan, jumlah anggota keluarga, independen ratio, dan jenis pekerjaan) terhadap indeks kesejahteraan masyarakat Tongke-tongke (pendapatan dan pengeluaran).

Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata (

α

= 0,05) terhadap pendapatan adalah jumlah anggota keluarga (0,014), independen ratio (0,018), dan jenis pekerjaan (0,026). Sedangkan variabel yang berpengaruh nyata terhadap pengeluaran adalah jumlah anggota keluarga dan independen ratio.

Tabel 18. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

Kebijakan, Peraturan dan Kelembagaan

Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sinjai terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Tongke-tongke tertuang dalam Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Keefektifan kebijakan pemerintah ini menurut berbagai instansi sebagai berikut:

Bappeda

Menurut Bappeda Kabupaten Sinjai (2003), bentuk penetapan kebijakan berupa larangan penebangan hutan mangrove pada lahan mangrove milik masyarakat yang telah dikembangkan dan dilestarikannya. Dan pemerintah daerah tetap memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dalam pelestarian hutan mangrove tersebut.

Parameter Terikat (Y) Parameter Bebas (X) Probability (α)

Pendidikan 0,364

Jumlah Anggota Keluarga 0,014

Independen Rasio 0,018

Jenis Pekerjaan 1 0,026

Pendapatan

Jenis Pekerjaan 2 0,247

Pendidikan 0,457

Jumlah Anggota Keluarga 0,000

Independen Rasio 0,071

Jenis Pekerjaan 1 0,289

Pengeluaran

Bapedalda dan Pertambangan

Menurut Bapedalda dan Pertambangan Kabupaten Sinjai (2003), bentuk penetapan kebijakan adalah ditetapkannya Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove.

Alasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove adalah : (1) agar tetap terjaganya fungsi perlindungan terhadap abrasi pantai dan rembesan air laut, (2) apabila dibiarkan melakukan penebangan, maka yang merasakan dampaknya adalah masyarakat di kawasan hutan mangrove itu sendiri.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan

Menurut Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai (2003), bentuk penetapan kebijakan adalah pada prinsipnya bukan larangan penebangan, namun hanya pengendalian dan pengaturan.

Alasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan hutan mangrove adalah : (1) agar tetap dipertahankan ekosistem hutan bakau yang dapat dibagi atas dua zonasi yaitu zonasi konservasi dan zonasi budidaya, (2) zonasi budidaya dapat dikembangkan empang parit.

Dinas Kelautan dan Perikanan

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai ditetapkannya Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove.

Alasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove adalah : (1) untuk perbaikan ekosistem pesisir melalui konservasi hutan mangrove, (2) agar tetap terjaga kelestarian hutan mangrove melalui pengaturan mangrove yang dikelola secara swadaya.

Yayasan Tumbuh Mandiri Indonesia (YTMI) Makassar

Menurut YTMI 2003, bentuk kebijakan pemerintah daerah adalah ditetapkannya Perda No. 8 Tahun 1999 Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove.

Alasan pemerintah daerah menetapkan pelarangan penebangan hutan mangrove adalah hutan mangrove yang ada saat ini dijaga keberadaannya agar tetap lestari guna kepentingan masyarakat nelayan dan kepentingan ilmu pengetahuan.

Sebelum pemerintah daerah menetapkan pelarangan penebangan hutan mangrove swadaya masyarakat di Tongke-Tongke, terlebih dahulu telah diterapkan aturan lokal melalui penetapan sebagian lahan mangrove masyarakat sebagai Hutan Kesepakatan Desa yang tidak boleh diganggu dan dijamah oleh siapapun.

Masyarakat setempat sudah tidak lagi memanfaatkan mangrovenya secara bebas, kemudian tahun 1999, pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan mangrove yang diatur dalam Perda No. 8 tahun 1999. Hal ini nampak bahwa masyarakat telah menerima kebijakan pemerintah tersebut. Indikasi keefektifan kebijakan pemerintah berjalan dengan baik adalah : (1) masyarakat tidak lagi mengganggu ekosistem hutan mangrove, walaupun hutan mangrove tersebut adalah miliknya, namun masyarakat hanya memanfaatkan ranting-ranting kayu dan kayu bakau yang sudah mati alami, (2) masyarakat setempat menyadari sepenuhnya manfaat hutan mangrove sebagai bagian dari hidupnya, (3) masyarakat mempertahankan ekosistem hutan mangrove dari gangguan luar yang mengancam kepunahan hutan mangrove sejak adanya kesepakatan hutan desa hingga dikeluarkannya kebijakan pemerintah.

Pemerintah daerah menetapkan kebijakan lebih bersifat strategi dalam penyelamatan lingkungan pantai dari amukan ombak dan hembasan badai serta abrasi pantai. Pemerintah daerah sangat memahami kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove yang telah berhasil dilestarikan, yang saat ini telah berfungsi secara ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi seperti pelindung dari abrasi pantai, penghasil sejumlah besar detritus, dan sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan, dan daerah pemijahan bermacam biota yang hidup di kawasan hutan mangrove tersebut. Sedangkan fungsi ekonomi seperti pemasaran kayu bakar dari hasil pemangkasan secara terbatas.

Pemerintah juga memahami jerih payah mereka melestarikan mangrove secara swadaya, namun apabila kepentingan dan keinginan masyarakat dibiarkan

memanfaatkan hutan mangrove tanpa perencanaan yang akurat, maka tidak menutup kemungkinan ekosistem hutan mangrove kembali terdegradasi.

Salah satu pertimbangan pemerintah daerah yang lain dalam menetapkan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove ini adalah mengacu kepada Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pada pasal 26 disebutkan bahwa perlindungan pantai berhutan dilakukan untuk melestarikan hutan mangrove sebagai ekosistem mangrove dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut, disamping sebagai perlindungan pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya dibelakangnya.

Pada umumnya masyarakat Tongke-Tongke menerima kebijakan pemerintah daerah atas larangan penebangan mangrove di lahan mangrove yang mereka lestarikan. Pada sisi lain masyarakat juga merasa diintervensi dalam hal kepentingan, mereka ingin memanfaatkan mangrove miliknya namun terbentur pada aturan pemerintah yang telah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan mangrove, kemudian masyarakat merasa kehilangan kebutuhan yang sangat esensial bagi kehidupannya, dimana selama ini masyarakat telah bersusah payah membangun dan melestarikan mangrove secara swadaya tanpa bantuan pemerintah namun tidak dapat dipetik hasilnya. Masyarakat akhirnya menyadari bahwa kebijakan pemerintah daerah yang telah menetapkan larangan penebangan mangrove tersebut juga ada manfaatnya. Apabila masyarakat dibiarkan melakukan penebangan, maka hutan mangrove akan kembali rusak dan akibatnya akan mengancam kembali kehidupan masyarakat itu sendiri.

Masyarakat juga menyadari dan memahami bahwa bukan karena adanya kebijakan pemerintah tersebut sehingga masyarakat tidak memanfaatkan mangrovenya, namun lebih menyadari betapa pentingnya keberadaan ekosistem mangrove sebagai penyangga (buffer zone) terhadap ancaman abrasi pantai, gelombang tzunami, dan hempasan badai pada suatu waktu akan terjadi lagi pada masa datang. Mengingat hal tersebut, maka nampak masyarakat Tongke- Tongke mengelola hutan mangrove secara swadaya masyarakat dengan sistem kesepakatan pengelolaan, dimana masyarakat tetap memanfaatkan kayu bakar dari hasil pangkasan pemeliharaan, pengelolaan hutan mangrove sebagai wana wisata bahari, dan pemerintah daerah sebagai unsur pengawas.

Indikator efektifnya suatu kebijakan yang diterapkan terletak pada unsur pengelola yang menjalankan fungsi dan perannya, hal ini terlihat berjalan efektif sejak diberlakukannya hutan kesepakatan desa tahun 1987, dimana masyarakat tidak diperkenankan memanfaatkan mangrovenya dalam skala luas, namun dalam bentuk pemanfaatan terbatas. Aturan adat dalam suatu tatanan masyarakat sangat dijunjung tinggi termasuk aturan pemanfaatan mangrove secara tradisional adalah sangat terjaga pemanfaatannya dimasa lampau dibandingkan aturan pemerintah. Sejak diberlakukannya kesepakatan hutan desa 1987 dan kebijakan pemerintah daerah melalui Perda Nomor 8 tahun 1999, penebangan hutan mangrove swadaya masyarakat umumnya tidak terjadi.

Kelembagaan

Keberadaan mangrove telah menghasilkan berbagai kelompok sosial yang menjadi salah satu modal dalam pengembangan mangrove. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang ada di Tongke-tongke dan berhubungan dengan keberadaan mangrove terdiri dari KSM Aku Cinta Indonesia (ACI) berada di tingkat desa yang mempunyai kegiatan di bidang lingkungan khususnya pengelolaan hutan bakau; Kerukunan Keluarga Tiga Nenek (semacam ikatan kekerabatan keluarga) yang terdiri dari kelompok nelayan, kelompok petani tambak, dan kelompok Akar Laut.

Bertambahnya kelompok sosial juga secara terus menerus membuat gesekan antara kelompok dan antar individu di dalam kelompok, hal ini digunakan untuk membuat kestabilan sosial. Berbagai konflik terhadap kelompok ACI muncul dari masyarakat terutama dari Dusun Babana dan Dusun Cempae terhadap kepemimpinan Pak Tayyeb, karena dianggap tidak melakukan transparansi dalam pengelolaan dana. Selain itu, sejak berdirinya ACI, belum pernah dilakukan pembaharuan (tidak ada kaderisasi). Akibatnya pada tahun 2001, ACI melakukan perubahan dengan ketua baru Bapak H.Alimuddin. Namun masih ada ketidakpuasan masyarakat terhadap ACI baru karena prosesnya yang dianggap tidak demokratis.

Kondisi ACI baru ternyata sampai saat ini juga tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat karena diketahui bahwa selama terbentuk, sama

sekali tidak ada kegiatan yang dilakukan ACI. Sehingga muncul kecenderungan adanya upaya untuk membuat kelompok mangrove lain di dusun Cempae.

Kondisi sosial dipengaruhi oleh pola kekerabatan, kedekatan lokasi,

patront-client ekonomi, dan kinerja kelembagaan. Pola ini mengakibatkan

terjadinya konflik tersembunyi antara ACI Pak Tayyeb dan ACI Pak Alimuddin. Namun posisi Pak Alimuddin sebagai orang terkaya di Tongke-tongke yang menimbulkan ketergantungan ekonomi menjadi patront-client

menyebabkan masyarakat tidak berani bersuara secara langsung. Padahal anggota menganggap bahwa selama menjabat sebagai ketua tidak ada kegiatan yang dilakukan ACI.

Bahasan Komprehensif

Secara ekologis, potensi lahan di wilayah pesisir Tongke-tongke diperoleh tingkat kesesuaian yang tinggi bagi peruntukan tambak berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan analisis faktorial diskriminan. Kesesuaian lahan yang tinggi untuk tambak ini jika dikelola secara bijaksana, akan memberikan manfaat yang optimal baik secara ekologi maupun ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis ekonomi yang dilakukan diperoleh nilai manfaat langsung untuk budidaya tambak diperoleh BC Ratio sebesar 3,97 (Lampiran 12), artinya keberadaan budidaya tambak yang ada di Tongke-tongke sangat menguntungkan. Namun demikian pengelolaan hutan mangrove yang ada harus mempertimbangkan karakteristik kawasan pesisir Tongke-tongke, baik secara ekologi, ekonomi, maupun kondisi sosial masyarakat setempat.

Secara ekonomi dan sosial budaya, maka masyarakat setempat adalah masyarakat pesisir yang langsung terkait dengan berbagai aktifitas pemanfaatan hutan mangrove Tongke-tongke dengan pemahaman yang baik, dimana masyarakat lokasi penelitian umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petambak, yang menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara masyarakat dengan lingkungannya. Pemahaman yang tinggi dari masyarakat terhadap hubungan antara mata pencaharian mereka dengan keberadaan

mangrove di Pesisir Tongke-tongke merupakan suatu hal yang sangat mendukung dalam upaya pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.

Dari aspek sosial ekonomi yang perlu dicermati adalah keterbatasan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini tentunya menjadi faktor pembatas bagi pengelolaan sumberdaya hutan mangrove secara berkelanjutan. Kondisi ini dikhawatirkan memberikan dampak negatif terhadap upaya-upaya pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan, yang diakibatkan keterpaksaan. Berdasarkan hasil Cost Benefit

Analysis menunjukkan bahwa skenario 1 (kondisi hutan mangrove di lokasi

penelitian masih utuh atau belum ada yang dikonversi menjadi tambak) paling menguntungkan dibandingkan skenario yang lain, dimana nilai BC Rationya sebesar 4,83 (Lampiran 21). Artinya kondisi ini sangat hemat biaya namun memperoleh manfaat bersih yang besar. Hal ini sejalan dengan analisis manfaat hutan mangrove yang menggunakan pendekatan Penilaian Ekonomi Total diperoleh hasil bahwa yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem mangrove tersebut adalah manfaat tidak langsung sebesar 96,67%.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemanfaatan ekosistem mangrove harus melalui pelibatan aktif stakeholders, dan penyediaan mekanisme partisipasi yang transparan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap berdasar pada karakteristik dan daya dukung kawasan hutan mangrove tersebut, sehingga diperlukan alokasi yang proporsional apabila akan dikonversi jadi tambak mengingat fungsi ekologi dari hutan mangrove di Tongke-tongke sangat tinggi.

Dokumen terkait