• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

3.5 Metode Analisis

3.5.2 Analisis SWOT

Analisis SWOT sangat membantu untuk memetakan kondisi dan potensi pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta dari segi internal maupun

eksternal, sehingga tindakan pengembangan dapat dilakukan dengan baik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi pengelolaan perikanan tangkap yang sesuai dengan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang bisa terjadi dalam bidang perikanan tangkap di perairan Jakarta. Dalam analisis ini dicoba menggali informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan perikanan tangkap di perairan Jakarta, sehingga ditemukan berbagai kesimpulan dalam suatu matriks mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tersebut. Proses analisis selanjutnya kemudian dilakukan dengan tahapan :

(1) Pengembangan tabel Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS), yaitu kegiatan menentukan faktor-faktor strategis internal, memuat tentang kekuatan dan kelemahan lengkap dengan hasil analisis bobot, rating dan skornya;

(2) Pengembangan tabel External Strategic Factor Anaysis Summary (EFAS), yaitu kegiatan menentukan faktor-faktor strategis external, memuat tentang peluang dan ancaman lengkap dengan hasil analisis bobot, rating dan skornya; (3) Pengembangan matriks internal-eksternal (IE), yaitu untuk menentukan

tingkat keberlanjutan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta;

(4) Perumusan alternatif keputusan yang akan dipilih untuk pengelolaan

perikanan tangkap yang lebih baik. Rumusan alternatif ini menjadi bahan dalam pengembangan analisis AHP

Untuk memudahkan analisis, dalam penggunaan SWOT ini dikenal istilah bobot, rating, dan skor. Bobot menunjukkan tingkat kepentingan pengelolaan perikanan tangkap terhadap faktor tersebut dengan nilai berkisar 0 - 1, dimana 0 menunjukkan tidak penting dan 1 menunjukkan sangat penting. Rating menunjukkan tingkat pengaruh yang secara riil dapat diberikan oleh faktor tersebut terhadap pengelolaan perikanan tangkap dengan nilai berkisar 1 – 4, dimana 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut rendah, biasa, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai rating untuk faktor kelemahan dan ancaman diberi secara terbalik, yaitu bila

pengaruh rendah diberi nilai 4 dan pengaruh sangat tinggi diberi nilai 1. Nilai skor menyatakan tingkat/skor pengaruh positif (spp) sesuai kepentingan pengelolaan perikanan tangkap terhadap faktor yang dimaksud.

Pengembangan matriks internal-eksternal (IE) dilakukan dengan mengidentifikasi kesesuaian kondisi pengelolaan dengan sembilan sel strategi pengelolaan yang digunakan dalam analisis SWOT. Sel tersebut adalah sel I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dan IX yang berturut-turut menyatakan strategi pengelolaan, yaitu sel I (strategi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi vertikal), II (strategi konsentrasi pada integrasi horizontal), III (strategi penciutan atau turnaround), IV (strategi stabilitas), V (strategi konsentrasi pada integrasi horizontal atau stabilitas), VI (strategi divestasi atau pengurangan), VII (strategi diversifikasi konsentrik), VIII (strategi konsentrasi konglomerasi), dan IX (strategi likuidasi). Setiap sel memiliki kisaran nilai faktor internal dan faktor eksternal tertentu. Posisi dan arah pengelolaan dipilih dengan mencocokkan total skor faktor internal (matriks IFAS) dan faktor eksternal (matriks EFAS) dengan kisaran nilai pada sel.

3.5.3 Analisis Linear Goal Programming(LGP)

Analisis linear goal programming (LGP) digunakan untuk menganalisis

dinamika pengelolaan perikanan yang tangkap yang difokuskan pada alokasi optimum kebutuhan unit penangkapan yang ada. Dalam analisis ini, aspek biologi/potensi sumberdaya ikan, aspek manajemen dan kelembagaan serta aspek sosial ekonomi dari keberadaan perikanan tangkap akan menjadi perhatian penting dalam penentuan alokasi optimum dari alat tangkap yang digunakan dalam melakukan penangkapan ikan di lokasi. Terkait dengan ini, maka dari beberapa unit penangkapan yang ada, mungkin perlu dikurangi, tetap, dan mungkin perlu ditambah sesuai dengan daya dukung biologi/potensi sumberdaya ikan, aspek manajemen dan kelembagaan serta aspek sosial ekonomi.

Dalam analisis LGP terdapat dua jenis fungsi matematis penting, yaitu fungsi tujuan dan fungsi pembatas. Siswanto (1990) dan Muslich (1993) menyatakan bahwa analisis linear goal programming mempunyai variabel deviasional dalam fungsi pembatasnya. Variabel deviasional tersebut berfungsi

untuk menampung penyimpangan (deviasi) hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai. Harapan akhir dari analisis ini adalah akumulasi variabel

deviasional menjadi minimum pada fungsi tujuan. Model linear goal

programming untuk analisis dinamika perikanan dalam rangka penentuan alokasi optimal dari berbagai unit penangkapan ikan yang digunakan di lokasi adalah : Fungsi tujuan : ... (3.1) Fungsi pembatas : DB1 – DA1 + a11x1 + a12x2 + a13x3 + .... + a1nxn = b1 DB2 – DA2 + a21x1 + a22x2 + a23x3 + .... + a2xxx = b2 , . DBm – DAm + am1x1 + am2x2 + am3x3+ .... + amnxxn= bm dimana :

Z = Total deviasi yang akan diminimumkan. Total deviasi merupakan penjumlahan dari deviasi fungsi pembatas ke- 1 sampai ke-m. Bila total deviasi rendah, berarti deviasi atau simpangan fungsi pembatas dari yang diinginkan juga rendah, dan hal ini yang diharapkan.

DBi = Deviasi bawah pembatas ke-i DAi = Deviasi atas pembatas ke-i

Cj = Parameter fungsi tujuan ke-j

b1 = Kapasitas /ketersediaan pembatas ke-i

aij = Parameter fungsi pembatas ke-i pada variabel keputusan

ke-j

pembatas ke-i = hasil tangkapan, jumlah hari operasi, jumlah nelayan, penggunaan BBM, penggunaan alat pendukung khusus, penggunaan es, penggunaan air tawar, keuntungan, frekuensi penyuluhan konsevasi dan pengurangan pencemaran oleh umpan ke perairan.

Xj = variabel putusan ke-j (jumlah dan alat tangkap)

Xj, DAi dan DBi > 0, untuk i = 1, 2,…., m dan j = 1, 2…., n

3.5.4 Analisis Location Quotients (LQ)

Location Quotients (LQ) merupakan suatu indeks yang digunakan untuk

membandingkan rasio intensitas aktivitas tertentu di suatu sub wilayah dengan rasio intensitas aktivitas yang sama di keseluruhan wilayah (Budiharsono 2001). Dalam penelitian ini analisis Location Quotients (LQ) digunakan untuk melihat wilayah mana yang dapat dijadikan basis pengembangan alat tangkap potensial di perairan Jakarta sehingga dapat memacu ekonomi wilayah tersebut dalam skala kecamatan di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu.

Penentuan wilayah basis ini guna mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut sehingga kebijakan yang mendukung pengembangan usaha serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan menjadi tepat sasaran. Di perairan Jakarta, kebijakan pengembangan ini dilakukan berdasarkan kecamatan baik yang terdapat di Kota Jakarta Utara maupun di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Hal ini dipilih karena kegiatan perikanan di perairan Jakarta selama ini berkembang dalam skala kecamatan. Namun pada perkembangan selanjutnya, tentu tidak menutup kemungkinan ada kecamatan lain yang sektor perikanannya juga berkembang dan juga sekaligus sebagai sektor basis penggerak ekonomi di kecamatan. Adapun persamaan LQ terkait dengan maksud penelitian ini dirumuskan :

= i i ij ij ir E E e e LQ ... (3.2) dimana : ij

eij= total output (tenaga kerja) sektor perikanan di daerah

(kecamatan) j

i

E = output (tenaga kerja) sektor i (perikanan) di Kabupaten/Kota

Ei= total output (tenaga kerja) sektor perikanan di Kabupaten/Kota

Untuk mengetahui apakah di lokasi/kecamatan tersebut merupakan wilayah basis yang mendukung pengembangan kegiatan perikanan bagi

pertumbuhan wilayah maka dilakukan pengecekan ulang nilai LQ. Adapun

ketentuannya adalah :

(1) Jika nilai LQij > 1, maka sektor perikanan di lokasi/kecamatan tersebut merupakan sektor basis, sehingga sesuai untuk pengembangan kegiatan perikanan yang mendukung pertumbuhan wilayah.

(2) Jika nilai LQij = 1, maka aktivitas sektor perikanan di lokasi/kecamatan sama dengan aktivitas sektor perikanan tingkat Kabupaten/Kota, menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor perikanan.

(3) Jika nilai LQij < 1, maka sektor perikanan di lokasi/kecamatan tersebut merupakan sektor non basis, sehingga tidak sesuai untuk pengembangan kegiatan perikanan yang mendukung pertumbuhan wilayah.

Pada analisis ekonomi basis dijumpai permasalahan berupa time lag yang tidak berlangsung secara tepat, karena membutuhkan antara respon dari sektor basis terhadap permintaan luar wilayah dan respon dari sektor non basis terhadap perubahan sektor basis. Untuk mengatasi hal ini, maka dilakukan modifikasi rumus penggandaan basis. Rumus penggandaan basis dapat dinyatakan sebagai berikut : Pb = ... (3.3) dimana : Pb = pengganda basis N NB

N = total tenaga kerja

NB = tenaga kerja sektor basis

Setelah dimodifikasi, rumus penggandaan basis menjadi :

Pb = ... (3.4)

dimana :

Pb = pengganda basis

∆N = perubahan total tenaga kerja

∆NB = perubahan tenaga kerja sektor basis

Dengan menggunakan rumus (Glasson 1978), dapat diketahui nilai pengganda tenaga kerja, yaitu menggunakan rumus :

K = ………. (3.5)

dimana :

K = pengganda tenaga kerja

N = jumlah tenaga kerja di seluruh sektor

NB = jumlah tenaga kerja di sektor basis

Dengan menggunakan nilai pengganda tenaga kerja yang telah diperoleh kemudian dikalikan dengan pertumbuhan tenaga kerja di sektor basis didapat angka pertumbuhan tenaga kerja di dalam wilayah. Adapun rumus perhitungannya, adalah :

N = ∆NB x K ……… (3.6)

∆N = pertumbuhan tenaga kerja di dalam wilayah

∆NB = pertumbuhan tenaga kerja di sektor basis

N NB ∆N ∆NB

3.5.5 Analisis kesesuaian ruang dengan SIG

Analisis kesesuaian ruang dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) ini dilakukan untuk mengetahui area/lokasi dan luasannya yang digunakan untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan lainnya yang bersinergi seperti perikanan budidaya baik itu budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA) maupun budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang ditentukan berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Sjafi’i (2000), Hardjowigeno et al. (2001) dan Sunarto et al. (1997) yang kemudian disesuaikan dengan kondisi lapang.

Setiap kriteria pemanfaatan ruang yang ada dibuat matriks kesesuaiannya dengan memberikan nilai skor dan bobot. Pemberian nilai skor ditujukan untuk menilai beberapa kriteria/faktor pembatas terhadap satu evaluasi kesesuaian. Pemberian nilai skor adalah pemberian nilai pada masing-masing kelas, dengan kisaran nilai 1 - 3. Bobot untuk setiap kriteria ditentukan berdasarkan dominansi kriteria tersebut untuk suatu peruntukkan. Pemberian nilai bobot merupakan pemberian bobot pada masing-masing peta tematik atau parameter, yang didasarkan pada dominansi tiap parameter terhadap peruntukkan masing-masing pemanfaatan ruang, dengan kisaran nilai 1 - 4. Dari matriks kesesuaian tersebut, maka akan diketahui parameter atau peta tematik yang berguna bagi penelitian. Peta tematik yang diperoleh kemudian dianalisis lanjut untuk disesuaikan dengan kriteria fisik yang ada pada setiap parameter dan diberi skor sesuai dengan kriteria fisiknya. Selanjutnya setiap peta tematik diberi bobot sesuai dengan tingkat pengaruhnya terhadap kriteria kesesuaian untuk suatu pemanfaatan ruang. Peta- peta tematik yang sudah disesuaikan dengan kriteria fisiknya kemudian dianalisis lagi dengan cara padu serasi (overlay) untuk mendapatkan peta kesesuaian setiap pemanfaatan ruang.

Penilaian potensi ruang merupakan penelitian terakhir dalam analisis kesesuaian ruang dengan SIG. Terkait penilaian potensi ini, maka kesesuaian ruang dibagi dalam empat kelas, yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), kurang sesuai (S3), dan tidak sesuai (N). Adapun makna dari keempat kelas tersebut adalah :

(1) Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable), yaitu ruang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap pemanfaatan ruang tersebut dan tidak akan menambah masukan (input) dari yang biasa dilakukan dalam pengusahaan ruang tersebut.

(2) Kelas S2 : sesuai (suitable), yaitu ruang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas penggunaan ruang, keuntungan, dan menambah masukan (input) untuk mengusahakan ruang tersebut.

(3) Kelas S3 : sesuai bersyarat, yaitu ruang yang mempunyai pembatas sangat berat, namun masih bisa diatasi. Artinya masih dapat dilakukan perbaikan dengan tingkat pengetahuan/teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan secara rasional.

(4) Kelas N : tidak sesuai (not suitable), yaitu ruang yang mempunyai pembatas sangat berat dan permanen, sehingga tidak mungkin untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari.

Selanjutnya dengan menggunakan SIG, hasil kombinasi analisis kesesuaian tersebut akan diperoleh peta tematik yang menggambarkan kesesuaian ruang mendeskripsikan pola penggunaan ruang yang sesuai peruntukkannya. Dalam peta tersebut, akan dideskripsikan ruang-ruang untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan lainnya yang bersinergi seperti perikanan budidaya baik itu budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA) maupun budidaya rumput laut.

Arahan pemanfaatan potensi sumberdaya yang disinergikan dengan kesesuaian ruang, perlu memperhatikan kriteria pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria yang diperlukan untuk zonasi kegiatan perikanan tangkap dan budidaya laut

Kegiatan Kriteria

Perikanan Tangkap

1. Jauh dari zona budidaya

2. Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya, yang

didasarkan atas tipe pasut dan kecepatan arus yang ditentukan

3. Keberadaan font, yaitu pertemuan dua massa air yang

berbeda karakteristiknya

4. Kondisi geografis yang sesuai dengan peruntukkannya

5. Karakteristik fisik perairan yang sesuai dengan

peruntukkannya

6. Pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang

kegiatan perikanan di pantai dilaksanakan dengan tidak mengubah kondisi pantai untuk menghindari proses erosi maupun sedimentasi

7. Jauh dari daerah pemijahan (spawning ground dan daerah pembesaran (nursery ground)

Budidaya Laut

1. Terlindung dari gelombang dan angin, artinya tidak boleh dilakukan pada perairan yang gelombangnya besar dan anginnya kencang

2. Kualitas air baik, yang mengindikasikan kelayakan kondisi perairan yang dapat dijadikan lokasi budidaya laut. Kelayakan kondisi perairan ini dapat diukur dari parameter fisika (kecerahan), kimia (DO, COD, BOD, kandungan organik, kandungan klorofil) dan biologi (plankton)

3. Keamanan, merupakan faktor yang mendukung keberhasilan budidaya laut. Masalah yang dihadapi pembudidaya adalah pencurian yang merugikan nelayan dan pengusaha

Sumber : Bengen (2002), diacu dalam Soebagio (2004)

3.5.6 Analisis hierarki

Analisis ini dimaksud untuk menentukan prioritas kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta. Prioritas tersebut sangat dibutuhkan supaya rekomendasi kebijakan yang dikembangkan penelitian dapat diaplikasi secara nyata dengan memperhatikan keterbatasan yang ada, namun tetap mengakomodir kriteria dan pembatas pengelolaan yang ada. AHP merupakan suatu analisis dengan pendekatan organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Untuk maksud ini, maka pertimbangan

terhadap kriteria pengelolaan berkelanjutan, pembatas/kendala pengelolaan yang

dihadapi stakeholders terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap

berkelanjutan di perairan Jakarta menjadi input utama dalam analisis ini.

Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis menggunakan AHP ini adalah mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang ingin dicapai. Hal ini penting untuk memastikan bahwa komponen terkait baik yang menjadi kriteria maupun pembatas yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan dapat diakomodir dengan baik. Setelah pendefinisian, dilakukan penyusunan struktur hierarki yang terdiri dari tujuan/fokus (level 1), kriteria/sub tujuan (level 2), faktor pembatas (level 3) dan pada level paling bawah memuat opsi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta. Struktur hierarki kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta disajikan pada Gambar 6.

Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

- - Peningkatan Pengawasan - Penyuluhan kepada - Standarisasi terhadap

melekat perikanan ukuran kecil

- - -

- Peningkatan Kemampuan nelayan sendiri

Pengaturan hari operasi Pemberdayaan SDM di bidang perikanan Peningkatan Kualitas nelayan Manajemen Terpadu Produk Teknologi STRATEGI PENGELOLAAN

PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI PERAIRAN JAKARTA

Kondisi Perairan

Ekologi Biologi Ekonomi Sosial

Status Pemanfaatan SDI

Sarana dan Prasarana Produksi

Ketersediaan Tenaga Kerja

Teknologi Mandiri dan Ramah

Strategi WO : Strategi ST Strategi WI Strategi SO :

Gambar 6 Struktur hierarki penentuan kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan di perairan Jakarta.

Langkah selanjutnya adalah membuat skala perbandingan, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada dengan beberapa sub kriteria pada tingkatan yang sama, selanjutnya setiap sub kriteria tersebut menjadi pertimbangan bagi sub kriteria di bawahnya yang sebelumnya sudah perbandingkan satu sama lain pada tingkatan yang sama. Perbandingan tersebut dilakukan terus hingga setiap alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang ditawarkan mendapat pertimbangan dari setiap sub kriteria yang ada pada semua level/tingkatan. Skala perbandingan ini dibuat berdasarkan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar beberapa alternatif.

Dalam pembuatan skala ini, setiap sub kriteria mempunyai skala penilaian yang sama dengan sub kriteria yang lainnya sehingga antar satu sub kriteria dengan sub kriteria yang lain dapat dibandingkan. Lebar dan jumlah skala yang dibuat disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap level, yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Skala penilaian yang digunakan disajikan pada Tabel 6.

Analisis perbandingan secara menyeluruh merupakan analisis perbandingan dari dua kriteria utama yang digunakan dalam analisis ini (Saaty 1991). Analisis seperti ini sangat membantu untuk menghasilkan pilihan/prioritas kebijakan yang tepat yang mempertimbangkan semua koomponen terkait, sehingga tidak terjadi kesenjangan di kemudian hari. Dalam analisis perbandingan ini digunakan sistem perbandingan berganda dengan analisis matrik. Sistem pembobotan pada skala perbandingan pada analisis antar kriteria menggunakan tabel panduan skala perbandingan.

Tabel 6 Skala perbandingan berpasangan

Intensitas Definisi Penjelasan

Pentingnya

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangnya

sama besar pada sifat itu

3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan

penting ketimbang yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu esensial atau Pengalaman dan pertimbangan

sangat penting dibanding elemen dengan kuat menyokong satu

yang lainnya elemen atas elemen lainnya

7 Suatu elemen jelas lebih penting Suatu elemen dengan kuat di

dari elemen lainnya sokong, dan dominannya telah

terlihat dalam praktik

9 Suatu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen

ketimbang elemen yang lain yang satu atas yang lain memiliki

tingkat penegasan tertinggi yang

mungkin menguatkan

2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan Kompromi diperlukan antara dua

yang berdekatan pertimbangan

Kebalikan Jika satu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan

aktivitas j, maka j mempunyai

nilai kebalikannya bila dibanding

kan dengan i