• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Model Integrasi di PTKIN

KONSEP INTEGRASI ILMU

C. Analisis Model Integrasi di PTKIN

Sebelum melakukan analisis sederhana terhadap konsep integrasi yang dikembangkan oleh PTKIN, penulis ingin menyampaikan semacam pengakuan kekurangan. Pembaca melihat penjelasan penulis tentang konsep integrasi ilmu yang dikembangkan di UIN tidak sama panjang, luas dan dalamnya.

Terdapat penjelasan integrasi ilmu bagi UIN tertentu yang relative lebih luas dan tidak bagi UIN lainnya. Sesungguhnya hal ini disebabkan dengan akses terhadap informasi. Seberapa jauh informasi konsep integrasi itu bisa diakses dan seberapa banyak pula buku dan artikel yang membahas isu itu telah terpublikasi.

Dalam pandangan penulis, beberapa UIN­UIN sebenarnya telah berupaya untuk menerapkan dan mengimplementasikan konsep integrasi Ilmu dilingkungannya masing­masing baik dalam konteks pendidikan dan pembelajaran dan terlebih pada penelitian. Beberapa UIN yang artikulatif misalnya sebut saja UIN Sunan Kalijaga dan UIN Maliki tanpaknya lebih progresif dan massif mensosialisasikan konsepnya baik dengan menggelar forum­forum ilmiah untuk mendiskusikan dan mematangkan

32 Eka Putra Wirman, Paradigma Gerakan Keilmuan Universitas Islam Negeri

konsep integrasi­interkoneksi ataupun melalui kompetisi riset­

riset. Tidaklah mengherankan jika kita bisa menemukan banyak buku, artikel, bahkan penelitian tesis dan disertasi yang mencoba mengimplementasikan pendekatan integrasi dan interkoneksi tersebut. Untuk menyebut di antaranya adalah; Buku dengan judul Implementasi Paradigma Integrasi dan Interkoneksi dalam Penelitian tiga Disertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga (Mardjoko Idris: LEMLIT UIN SUKA, 2012). Pasca Sarjana UIN Jogja telah menerbitkan buku……demikian pula halnya dengan buku Antologi yang meramaikan wacana integrasi­interkoneksi.

Berbeda dengan UIN Sunan Kalijaga, UIN Maliki Malang lebih pada upaya mendorong dosen­dosen melakukan riset dan percobaan­percobaan ilmiah untuk menerapkan integrasi ilmu universal. Hasilnya dapat terlihat pada banyaknya karya­karya dosen dalam bentuk buku yang telah terbit. Hal ini semakin mungkin karena UIN Maliki juga memiliki penerbitan yang relative matang, Maliki Pers seperti UIN SUKA yang juga memiliki Suka Pers.

Uraian di atas menunjukkan dengan sangat terang bahwa integrasi yang dikembangkan di UIN­UIN pada hakikatnya sama. Sama dalam hal adanya kesadaran yang sama bahwa dikotomi Ilmu antara ilmu agama dan ilmu­ilmu sekuler sesungguhnya tidak sesuai dengan semangat Al­Qur’an dan Hadis dan bertentangan dengan doktrin tauhid. Oleh karena itu, kelahiran UIN­UIN atau tepatnya alih status dari IAIN menjadi UIN sesungguhnya momentum kebangkitan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Tentu tidak tepat jika dikatakan bahwa kelahiran UIN adalah perlawanan terhadap hegemoni ilmu yang dikembangkan Barat dan menempatkannya sebagai ilmu yang valid. Karena hakikatnya, kelahiran UIN tidak menolak ilmu­ilmu yang dikembangkan Barat hanya saja ilmu­ilmu sekuler tersebut telah menjauhkan umat dari Tuhannya.

Dari Tnansdisipliner Ke Wahdatul Ulum

Integrasi adalah solusi terbaik untuk mengatasi problem akut keilmuan Islam selama ini. Kendatipun seluruh UIN sepakat dengan integrasi dan tidak islamisasi atau saintisasi Islam istilah yang dipakai Ari Anshori, namun dalam pengem­

bangannya sedikit­banyaknya ada perbedaan­perbedaan yang juga menurut penulis, meminjam bahasa hokum berbeda pada furu’ atau berbeda pada aksentuasi. Sebut saja misalnya, UIN Sunan Kalijaga menggunakan istilah Integrasi­Interkoneksi, UIN Sumatera Utara Integrasi­Transdisipliner, UIN Mataram Internalisasi­Integrasi­Interkoneksi dan lain­lain. Perbedaan juga terlihat pada simbolisasi integrasi itu sendiri. Ada yang menggunakan jaring laba­laba, ada pohon ilmu, ada roda, ada twin tower, ada rumah peradaban dan lain­lain.

Sampai batas­batas tertentu, upaya masing­masing UIN untuk memformulasikan konsep­konsep integrasinya patut diacungi jempol. Kreatifitas yang patut dihargai dan satu bentuk ijtihad yang cukup keras. Agaknya yang diperlukan ke depan upaya untuk mengkonkritisasi desain keilmuan agar menjadi aplikatif dan implementatif. Agaknya masalah dari integrasi itu adalah pada persoalan implementasi. Tidak kalah pentingnya, UIN tersebut juga harus mampu membuktikan pasca INtegrasi kontribusi pendidikan Islam harus lebih terlihat baik pada pengembangan ilmu pengetahuan ataupun pada kemampuan UIN memberi respon terhadap isu­isu yang berkembang di masyarakat. Dengan konsep integrasi kita harus dapat membuktikan bahwa konsep integrasi itu terasa ampuh untuk mengatasi ragam masalah yang timbul di masyarakat.

Tanpa menapikan apa yang telah dilakukan UIN­UIN di atas dengan segala kreatifitasnya masing­masing, sebenarnya bagi penulis, konsep integrasi ilmu ini harus seragam atau sama. Tidak terlalu penting apakah konsep tersebut dilahirkan kementerian Agama ataupun kumpulan para ahli atau pakar.

Yang penting konsep itu harus mewujud. Paling tidak konsep

dasar pengembangan keilmuan. Bahwa ada perkembangan di belakangan atau penyempurnaan, hal itu menjadi sah dan keharusan bagi ilmu. Watak ilmu itu harus berkembang. Jika dia membatu maka ilmu itu sebenarnya sudah mati.

Bab Ketujuh

DARI INTEGRASI –TRANDISIPLINER KE WAHDATUL ULUM

A. Pendahuluan

Di dalam Peraturan Presiden RI No 131 Tahun 2014, jelas dinyatakan bahwa salah satu pertimbangan alih status IAIN menjadi UIN adalah dalam kerangka integrasi ilmu. Ini menegaskan bahwa perubahan IAIN menjadi UIN bukanlah sebatas perubahan nama atau bentuk saja. Didalamnya ada visi besar yang ingin diwujudkan. Mengembalikan kejayaan peradaban Islam lewat pendidikan yang holistik. Bukankah peradaban Islam dalam sejarahnya selalu saja ditandai dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan tekhnologi bahkan juga seni.

Pendidikan holistik itulah sesungguhnya yang menjadi syarat bagi bangkitnya sebuah peradaban bangsa.

Persoalannya selanjutnya adalah bagaimana IAIN.Suma­

tera Utara yang telah bertransformasi menjadi UIN meru mus­

kan desain keilmuannya. Bagaimana UIN Sumatera Utara ini memaknai integrasi. Sampai saat ini konsep integrasi di UIN Sumut terus mengalami pergeseran dan perubahan. Bahkan lebih dari itu dapat dikatakan bahwa integrasinya terus mengalami penyempurnaan konsep desain keilmuan itu sendiri.

Sebagaimana gagasan atau teori yang lain, semuanya harus melalui uji publik akademik. Oleh karena itu tidak ada alas an untuk tidak terus memperbincangkannya dan mengkritisinya.

Sebuah buku yang ditulis oleh Dosen UIN Walisongo Mahfud Junaedi dan MIrza Mahbub Wijaya menarik perhatian penulis. Buku yang diberi pengantar sang Rektor, Prof. Dr. Imam Taufiq, M. Ag itu membuat anak judul yang mengusik nalar penulis. Judul besarnya adalah, Pengembangan Paradigma Keilmuan: Perspektif Epsitemologi Islam. Di cover bagian bawah tertulis kalimat, Dari Perenialisme Hingga Islamisasi Integrasi­Interkoneksi dan Unity of Sciences. Pencantuman anak judul itu mengindikasikan respons terhadap dikotomi keilmuan secara spesifik ataupun respon terhadap problematika keilmuan dunia Islam dan Pendidikan Tinggi Islam Indonesia sebenarnya sangat beragam sekali. Tentu saja respon­respon itu dibenarkan sepanjang dilakukan dengan penuh tanggungjawab ilmiah. Makna lainnya adalah, Buku ini justru mengkritik konsep Perenialisme, Islamisasi bahkan juga integrasi­inter­

koneksi yang bisa jadi ditemukan ada problem tersendiri.

Jawaban terhadap itu semua adalah “unity of Sciences” seperti yang dikembangkan di beberapa UIN termasuk UIN Semarang dan UIN Sumatera Utara.

Oleh karena itulah, desain keilmuan di UIN Sumatera Utara sebenarnya sangat dinamis. Sejak IAIN SU bertransformasi menjadi UINSU, gagasan­gagasan integrasi ilmu telah dila­

kukan. Bagian ini akan membahasnya agar kita memiliki pers­

Dari Tnansdisipliner Ke Wahdatul Ulum

pektif yang utuh dari sisi sejarah tentang integrasi­transdisipliner dan paradigma wahdatul ulum yang akan dikembangkan.