• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.3. Analisis Model Ketenagakerjaan

Hasil analisis dari model ekonometrika yang terbentuk dirangkum pada Tabel 5.8 (hasil analisis model ekonometrika selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 2). Hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai p-values untuk koefisien regresi variabel pengeluaran pemerintah dan investasi swasta signifikan pada tingkat taraf nyata konvensional (5%). Sementara itu variabel tingkat pendidikan signifikan pada taraf nyata 10%. Selain itu, model ini mampu menjelaskan keragaman L dengan cukup baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,7426.

Pengeluaran pemerintah secara total terbukti signifikan untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Dari hasil analisis regresi data panel pada model terlihat bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar satu juta perkapita akan mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,71% di daerah yang bersangkutan, dengan asumsi ceteris paribus.

Secara teori, semakin besar anggaran, pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastrukur. Hal ini akan mendorong bergairahnya investasi sehingga perekonomian di daerah tersebut menjadi semakin maju. Dampak dari hal ini adalah semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian. Selain itu pengeluaran pemerintah yang dimanfaatkan untuk mengerjakan proyek-proyek yang bersifat padat karya dapat secara langsung meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja sehingga akan mengurangi pengangguran.

Dalam The General Theory, Keynes menyatakan bahwa pendapatan total perekonomian, dalam jangka pendek, salah satunya adalah disebabkan oleh rencana/keinginan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. Semakin banyak pemerintah dalam membelanjakan pendapatannya, semakin banyak

barang dan jasa yang bisa dijual pelaku ekonomi. Semakin banyak pelaku ekonomi menjual, semakin banyak output yang akan mereka produksi dan semakin banyak pekerja yang akan dikaryakan sehingga pengangguran akan dapat ditekan.

Dalam konsep multiplied effect yang merupakan implikasi dari perpotongan Keynesian dinyatakan bahwa efek pengganda belanja pemerintah lebih besar dari 1. Artinya bahwa kenaikan belanja pemerintah yang direncanakan mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat penting didalam perekonomian untuk peningkatan output yang pada akhirnya akan semakin banyak menyerap tenaga kerja.

Variabel modal swasta (investasi sektor swasta) juga berpengaruh signifikan menurunkan tingkat pengangguran. Investasi swasta yang digunakan untuk membuka usaha di Indonesia akan membutuhkan tenagakerja sehingga akan membuka lapangan kerja. Semakin banyak investasi (fisik) diasumsikan akan semakin banyak atau semakin besar kapasitas produksi yang tercipta. Untuk memastikan agar produksi bisa berjalan dibutuhkan operator (tenagakerja). Hal ini menyebabkan tingkat penyerapan tenagakerja semakin tinggi sehingga tingkat pengangguran akan menurun.

Tabel 5.8 Hasil pendugaan parameter model terhadap tingkat pengangguran terbuka

Dependent Variable: TPT

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4,235071 0,774199 5,470259 0,0000 TOTKLUAR -1,706489 0,804214 -2,121935 0,0346 K -0,819379 0,367148 -2,231742 0,0263 UPAH 0,297859 0,464344 0,641461 0,5217 PENDIDIKAN 0,082740 0,045302 1,826438 0,0687 D1 3,013260 0,299700 10,05424 0,0000 R-squared 0,742604 Adjusted R-squared 0,720026 F-statistic 32,88978 Prob(F-statistic) 0,000000

Dalam penelitian ini, terlihat variabel Upah berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berarti bahwa kenaikan upah akan menyebabkan peningkatan pengangguran terbuka. Namun variabel upah dalam penelitian ini tidak signifikan.

Upah dipengaruhi oleh struktur biaya, yaitu proporsi biaya untuk pekerja (labour cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Bila proporsi biaya pekerja dengan total biaya relatif lebih kecil, maka kenaikan upah tidak akan terlalu mempengaruhi biaya, maka pengusaha akan meningkatkan upah, begitu pula sebaliknya. Sehingga upah berdampak pada permintaan tenaga kerja. Peningkatan upah menyebabkan peningkatan biaya produksi, sehingga pengusaha akan mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja agar total cost –nya tetap. Dalam jangka pendek peningkatan upah ini akan menurunkan permintaan akan tenaga kerja dan sekaligus meningkatkan jumlah pengangguran

Tujuan dari semua perusahaan adalah memaksimisasi laba. Perusahaan akan mengganti input lain yang relatif lebih mahal dengan input yang relatif lebih murah. Apabila upah tenagakerja meningkat maka perusahaan akan berusaha mengganti dengan input lain yang lebih murah agar keuntungan yang diperoleh maksimal, hal ini disebut dengan efek substitusi. Selain itu peningkatan upah akan meningkatkan biaya marjinal perusahaan, yang memungkinkannya untuk mengurangi output sehingga perusahaan akan mengurangi penggunaan seluruh input termasuk tenaga kerja. Hal ini merupakan efek output.

Hal ini juga dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva permintaan tenaga kerja dimana slope-nya miring ke kanan bawah (Gambar 5.4). Misalnya keseimbangan semula berada pada titik A dimana pasar yang terjadi adalah penggunaan tenagakerja (L1) dan upah riil (W/P1). Apabila terjadi kenaikan upah minimum ke W/P2 maka perusahaan/pasar akan meresponnya dengan mengurangi penggunaan tenaga kerja menjadi L2 karena perusahaan akan mensubstitusi dengan modal (dan input lainnya) untuk mempertahankan keuntungannya.

Upah Riil W/P Tenaga Kerja, L W/P2 W/P1 L2 L1 L = Ld (W/P) B A

Gambar 5.4 Kurva permintaan tenaga kerja Sumber: Mankiw, 2007

Terdapat beberapa bukti empiris bahwa perubahan upah (contohnya dengan undang-undang upah minimum) mempunyai efek yang serius dalam meningkatkan pengangguran remaja (mengurangi jumlah orang yang bekerja). Kaum remaja adalah partisipan dipasar tenaga kerja yang paling mungkin terpengaruh oleh undang-undang upah minimum, karena keterampilan mereka biasanya berada pada spektrum yang paling rendah. Sebuah studi penting pada tahun 1970-an menemukan bahwa setiap 1% kenaikan upah minimum akan menyebabkan pengurangan 0,3% pangsa pasar kaum remaja dari total tenaga kerja (Mankiw, 2007). -100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Nominal Riil

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 5.5 Rata-rata tingkat upah minimum regional (UMR) di Indonesia tahun 1993-2008

Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa variabel upah ini tidak signifikan mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Hal ini dapat dimengerti bahwa walaupun secara nominal tingkat upah menunjukkan perkembangan yang cukup tinggi, namun jika dihitung secara riil ternyata tidak terjadi kenaikan yang signifikan (Gambar 5.5). Inilah salah satu faktor yang menyebabkan tingkat upah tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengangguran terbuka yang terjadi di Indonesia.

Tabel 5.9 Penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Indonesia (Ribuan)

Sektor 1994 2002 2007 Pertanian 36.512,10 40.633,70 41.206,5 45,6 44,3 41,2 Pertambangan 725,5 631,8 994,6 0,9 0,7 1,0 Industri 10.588,80 12.110,00 12.368,7 13,2 13,2 12,4

Listrik gas dan air 182,1 178,3 174,9

0,2 0,2 0,2 Konstruksi 3.541,60 4.273,90 5.252,6 4,4 4,7 5,3 Perdagangan 13.724,00 17.795,00 20.554,7 17,1 19,4 20,6 Transportasi 3.355,60 4.672,60 5.958,8 4,2 5,1 6,0 Keuangan 623,4 991,7 1.399,5 0,8 1,1 1,4. Jasa kemasyarakatan 10.658,00 10.360,20 12.020,0 13,3 11,30 12,0 Lainnya 131,1 - 0,2 . JUMLAH 80.042,20 91.647,20 99.930,2 100 100 100 Sumber: Sakernas BPS

Ket: tercetak miring adalah dalam persentase

Variabel pendidikan yang diwakili oleh rasio penduduk yang menyelesaikan pendidikan SMA keatas menunjukkan pengaruh yang positif terhadap tingkat pengangguran terbuka di wilayah Indonesia. Temuan ini cukup mengejutkan karena hal ini menandakan bahwa tingkat pendidikan justru

membuat tingkat pengangguran terbuka semakin meningkat. Hal ini disebabkan karakteristik orang-orang yang berpendidikan tinggi adalah berkeinginan untuk mendapatkan pekerjaan formal disektor modern dengan upah yang tinggi (Todaro dan Smith, 2006). Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih-milih pekerjaan yang akan mereka lakukan. Mereka beranggapan bahwa dengan pendidikan tinggi maka hanya pekerjaan formal disektor modern yang akan mereka lakukan. Disisi lain lapangan pekerjaan disektor formal (seperti industri dan jasa) tidak lebih besar dibanding dengan lapangan kerja disektor informal (misalnya pertanian dan perdagangan) (Tabel 5.9).

Pada saat yang bersamaan orang-orang yang lebih kaya justru terus meningkatkan pendidikannya ke tingkat yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebuah penelitian di India, Pakistan dan Bangladesh menemukan bahwa sistem pendidikan tinggi dinegara-negara tersebut justru berfungsi sebagai suatu ”tempat penampungan terakhir” (absorber of last resort) bagi kaum intelektual yang jumlahnya sangat besar (Blaug et al, 1967 dalam Todaro dan Smith, 2006). Studi lain di Bangladesh juga memperlihatkan bahwa tingkat pengangguran dikalangan tamatan pendidikan tinggi (universitas) mencapai 47% (Islam, 1980).

Todaro dan Smith (2006) juga mengemukakan bahwa banyak orang yang cenderung menolak apa yang mereka anggap sebagai penurunan persyaratan atas pekerjaan mereka. Banyak pencari kerja dengan pendidikan tinggi yang harapannya masih jauh melambung tinggi dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dipasar tenagakerja. Mereka akan memilih untuk tetap tidak bekerja selama beberapa waktu daripada menerima pekerjaan yang menurut mereka kurang sesuai baginya, apalagi jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Seiring dengan beberapa waktu lamanya menganggur dan seiring dengan itu harapan-harapan merekapun terus melemah, maka pada akhirnya orang-orang yang berpendidikan tinggi tersebut terpaksa menerima jenis-jenis pekerjaan atau profesi yang sebenarnya hanya memerlukan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Jadi sebagai akibat dari dampak friksional ini dan keterlambatan penyesuaian (lags) disisi penawaran tenagakerja maka pengangguran akan tetap saja ada bagi semua orang termasuk bagi yang berpendidikan tinggi.

Hasil analisis regresi yang diperoleh sejauh ini mengindikasikan bahwa pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan tingkat pengangguran terbuka di wilayah Indonesia. Setelah desentralisasi diberlakukan, tingkat pengangguran terbuka bertambah 3,01% dibanding sebelum desentralisasi. (Lihat juga Tabel 4.8).

Semakin besarnya dana yang ditransfer ke daerah dan terjadinya peningkatan PAD yang disebabkan karena desentralisasi fiskal sebenarnya cukup mampu menggerakkan perekonomian sehingga tercipta lapangan kerja baru. Namun tingkat lapangan kerja yang tercipta selama ini masih belum sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja yang tercipta sehingga masih terjadi pengangguran. Studi terakhir yang dilakukan oleh LPEM menunjukkan makin kuat bukti yang menggambarkan iklim bisnis yang makin buruk setelah desentralisasi dilakukan. Kesimpulan ini didukung pula oleh survei iklim investasi yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan responden terhadap praktek korupsi dan pemungutan liar serta tambahan pungutan dan peraturan daerah yang telah merugikan iklim investasi lokal1.