• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. GAMBARAN UMUM

4.3. Tinjauan Perekonomian Indonesia

Setelah pulih dari pergolakan negara pasca kemerdekaan pada paruh pertama tahun 1960-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai melaju cepat pada tahun 1968. Pada kurun waktu 1968-1982 tercatat rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 7,65% per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada kurun waktu tersebut ternyata belum sepenuhnya membuat kokoh stabilitas perekonomian nasional. Terjadinya external shock berupa penurunan harga minyak dunia pada dekade 1980-an menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kala itu masih ditopang oleh ekspor migas turun menjadi sekitar 4,5% per tahun. Namun, pada akhir dekade 1980-an, Indonesia sudah bisa bangkit kembali dari keterpurukan dan mencapai pertumbuhan sekitar 6,7% per tahun, kondisi ini hampir sama dengan masa kejayaan minyak bumi. Perekonomian Indonesia baru bisa pulih dari dampak negatif minyak bumi mulai penghujung dekade 1980-an dan mencatat pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun selama kurun waktu 1989-1993. Selanjutnya pada periode 1994-1996 tercatat rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat lagi menjadi 7,9% per tahun.

Pada medio 1997 pondasi perekonomian Indonesia yang sudah terbangun sekian lama mengalami guncangan hebat, krisis ekonomi yang di awali krisis moneter telah meluluh lantakkan perekonomian Indonesia. Dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengalami kontraksi dan melonjak turun hingga mencapai angka 4,7% pada tahun 1997, kemudian merosot tajam menjadi sekitar minus 13,2% pada tahun 1998 (Gambar 4.1). Krisis ini juga berimbas pada indikator makro lainnya seperti inflasi yang melonjak hingga mencapai angka 78%.

Tingginya angka inflasi ini menyebabkan tingkat harga terutama harga barang kebutuhan pokok melonjak drastis. Situasi ini semakin memperparah kemiskinan yang pada masa sebelum krisis belum teratasi secara berarti. Sementara itu, tingkat pengangguran juga meningkat signifikan akibat semakin minimnya lapangan pekerjaan dan PHK massal beberapa perusahaan dan industri yang berhenti beroperasi karena tingginya biaya produksi akibat depresiasi rupiah. Kurs rupiah yang awalnya berkisar Rp. 2.500 per 1 US$, menurun drastis dan pada puncaknya mencapai Rp. 17.000 per 1 US$. Guncangan ini juga membuat dunia perbankan roboh dan membengkaknya hutang luar negeri. Keadaan perekonomian yang nyaris lumpuh inilah yang mewarnai perjalanan berat di tahun-tahun selanjutnya.

Kondisi perekonomian seperti diatas dialami hampir di semua wilayah di Indonesia. Wilayah yang cukup stabil adalah daerah-daerah di Pulau Sulawesi. Goncangan krisis pada tahun 1997 tidak sampai menyebabkan wilayah ini mengalami pertumbuhan yang negatif walaupun juga terjadi perlambatan pertumbuhan(Gambar 4.1). Pertumbuhan Ekonomi -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

SUMATERA JAWA KALIMANTAN SULAWESI LAINNYA INDONESIA

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 4.1 Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan regional

Secara perlahan, Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan walaupun masih menyisakan permasalahan mendasar akibat stagnasi ekonomi di masa

krisis. Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali ke tingkat pertumbuhan positif sebesar 0,79% dan terus meningkat lagi pada tahuntahun selanjutnya. Pada periode 1999-2003 rata-rata pertumbuhan ekonomi tercatat sekitar 3,7%. Selanjutnya pada periode 2004-2006 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 5,4%. Namun secara umum, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia dan beberapa indikator makro penting lainnya seperti inflasi dan nilai tukar rupiah belum kembali seperti masa sebelum krisis

Setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa, Indonesia telah mengalami dua kali guncangan krisis, pertama yaitu krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi pada tahun 1998, dan kedua adalah imbas dari krisis finansial diAmerika Serikat dan menjadi krisis keuangan global tahun 2008. ada perbedaan dampak dari kedua krisis ini terhadap kinerja perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan efek dari krisis ekonomi yang terjadi di Asia. Tiga hal yang menyebabkan krisis di Indonesia ketika itu adalah pondasi ekonomi (fundamental economy), kepanikan pasar (market panic), dan kerentanan ekonomi domestik (vulnerabilities). Ketiga faktor tersebut mampu menghantam Indonesia sampai pada titik nadir hingga bahkan mendorong terjadinya perubahan kepemimpinan nasional.

Dimasa pemulihan, pemerintah mengupayakan empat langkah kebijakan, yaitu: pemulihan permintaan swasta, pemulihan kepercayaan publik, pembenahan sistem perbankan yang efisien dan resolusi pada hutang korporat. Hasilnya adalah hingga tahun 2008, telah banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintah diera reformasi. Berbagai macam perbaikan disemua sektor dilakukan, beragam capaian dan kemajuan dalam perekonomian diraih. Situasi tersebut antara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jalur diatas 6%, diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita, sumber pertumbuhan makin bertumpu pada sumber dalam negeri, resiko ekonomi makro makin menurun dan perbankan yang jauh lebih sehat. Dengan modal itu, keterpurukan ekonomi tidak sampai terjadi lagi ketika tahun 2008 indonesia juga terkena imbas krisis keuangan global.

Laju pertumbuhan perekonomian Indonesia yang digambarkan oleh Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000 selama lima tahun terakhir (periode 2004-2008) selalu mengalami pertumbuhan positif. Pada tahun

2008, rangkaian peristiwa krusial di dalam dan luar negeri telah mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian Indonesia banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, diantaranya harga minyak dunia yang terus naik dan beberapa kali menciptakan rekor baru pada bulan April dan Mei 2008, sehingga pemerintah terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak pada Mei 2008 dengan kenaikan rata-rata sebesar 28,7%. Disamping itu dampak krisis keuangan global juga mulai dirasakan imbasnya di Indonesia pada triwulan IV tahun 2008. Meskipun demikian perekonomian Indonesia mampu tumbuh sebesar 6,06%, sedikit lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 6,28%. Perlambatan ini terutama disebabkan oleh melambatnya laju pada triwulan IV tahun 2008 seiring dengan perlambatan ekonomi dunia sebagai dampak krisis global.

4.3.1 Tinjauan Perekonomian Regional/Wilayah.

Pada tahun 2008 kinerja perekonomian di sebagian besar provinsi yang digambarkan dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 mengalami sedikit perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2007 (Lampiran 8). Perlambatan pertumbuhan terjadi di sebagian besar provinsi-provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional seperti provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Bahkan terdapat dua provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif yaitu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Perlambatan perekonomian yang terjadi di sebagian besar provinsi menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara nasional ikut melambat.

Pada tahun 2008, variasi pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia melebar, yaitu dari kisaran -2,50% sampai dengan 7,96% pada tahun 2007 menjadi kisaran -8,32% sampai dengan 8,64% pada tahun 2008. Melebarnya kisaran pertumbuhan ekonomi daerah terutama disebabkan oleh variasi kepekaan dan antisipasi daerah dalam menghadapi dampak krisis keuangan global yang juga bervariasi. Beberapa daerah mampu menghadapi dampak krisis keuangan global sehingga meskipun dampak krisis sudah mulai dirasakan pada akhir tahun 2008, tetapi masih ada beberapa daerah yang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Provinsi yang mampu tumbuh cukup tinggi antara lain

provinsi-provinsi di Sulawesi yang mampu tumbuh diatas 7% dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebesar 8,64%.

Tabel 4.5 Rata-rata pertumbuhan Ekonomi Sebelum dan pada Saat Desentralisasi berbagai wilayah di Indonesia

Rata-rata Pertumbuhan PROVINSI

Umum desentralisasi Sblm desentralisasi Di era

NAD 3,72 3,54 3,87 SUMUT 5,13 4,56 5,62 SUMBAR 4,78 4,01 5,46 RIAU 7,42 7,02 7,78 JAMBI 5,08 3,71 6,28 SUMSEL 5,53 5,07 5,93 BENGKULU 4,40 3,37 5,29 LAMPUNG 4,60 4,10 5,04 SUMATERA 5,47 4,84 6,01 DKI JAKARTA 4,27 2,66 5,69 JABAR 3,58 1,53 5,37 JATENG 3,86 2,86 4,72 DI YOGYAKARTA 3,82 3,01 4,53 JATIM 4,28 3,18 5,23 JAWA 3,97 2,45 5,29 KALBAR 4,85 5,18 4,56 KALTENG 4,89 4,38 5,33 KALSEL 5,11 5,04 5,17 KALTIM 7,15 6,14 8,04 KALIMANTAN 5,87 5,41 6,28 SULUT 5,32 5,64 5,04 SULTENG 7,19 7,79 6,67 SULSEL 6,04 6,26 5,85 SULTRA 5,61 3,87 7,12 SULAWESI 5,97 6,02 5,93 BALI 4,44 4,15 4,69 NTB 6,10 8,38 4,10 NTT 4,91 5,07 4,77 MALUKU 0,29 (4,14) 4,17 PAPUA 6,21 10,59 2,37 LAINNYA 4,50 5,57 3,57 INDONESIA 4,69 3,19 5,99 Sumber: BPS - diolah

Dilihat dari sisi penggunaan, pengaruh krisis keuangan global yang mulai dirasakan dampaknya sejak triwulan IV tahun 2008 telah mengakibatkan kinerja ekspor beberapa provinsi melambat terutama pada akhir tahun laporan. Provinsi-provinsi yang mengandalkan ekspor sebagai sumber perekonomiannya terkena dampakyang cukup sigifikan akibat krisis keuangan global. Kinerja ekspor

provinsi-provinsi di pulau Jawa pada tahun 2008 tumbuh sebesar 7,23% atau lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar 12,87%.

Sementara kinerja beberapa sektor mengalami penurunan selama tahun 2008 dibandingkan dengan tahun sebelumnya terutama sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Di sektor industri, beberapa industri telah menurunkan permintaan eksternal terutama pada akhir tahun laporan. Lain halnya di sektor pertanian, sebagian besar provinsi masih dapat tumbuh lebih balk seiring dengan membaiknya produksi tanaman bahan makanan, seperti produktivitas padi dimana sebagian besar provinsi di Indonesia yaitu sebanyak 26 provinsi mengalami peningkatan produktivitas. Demikian juga dengan komoditas jagung dimana sebanyak 28 provinsi mengalami peningkatan produktivitas. Hal ini menyebabkan kinerja sektor pertanian di sebagian provinsi mengalami peningkatan.

4.3.2 PDRB Per Kapita

Selama ini, indikator yang paling umum untuk pendekatan ukuran kemakmuran adalah PDB per kapita. Namun pada kenyatannya PDB per kapita menjadi potret yang tidak komplit untuk menggambarkan kemakmuran karena sangat dipengaruhi oleh transaksi pasar, PDB per kapita akan lebih baik bila digunakan untuk menggambarkan ukuran produktivitas. Angka ini memberikan gambaran seberapa besar sumbangan tiap orang (per kapita) terhadap pembentukan PDB Indonesia. Besaran PDB per kapita diukur melalui PDB atas dasar harga berlaku dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun. Sedangkan secara riil, peningkatannya diukur melalui pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan 2000.

Berdasar data dari BPS, seiring dengan penciptaan nilai tambah dan peningkatan jumlah penduduk, nilai PDB per kapita Indonesia turut mengalami pertumbuhan positif. Pada tahun 2004 tercatat PDB per kapita sebesar Rp. 10.610 ribu, pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp. 12.675,5 ribu. Angka tersebut kemudian meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai Rp. 21.678,5 ribu pada tahun 2008. Pertumbuhan PDB per kapita riil (atas dasar harga konstan 2000) dalam lima tahun terakhir berkisar antara tiga hingga empat persen. Pada

tahun 2008 PDB per kapita riil tumbuh sebesar 4,47% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan tahun sebelumnya yang mencapai 4,91%.