• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia

4. GAMBARAN UMUM

4.1. Sejarah Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia

Permasalahan otonomi sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, pola pendelegasian wewenang atau otonomi telah dipraktekkan. Pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, dalam sejarahnya diwarnai oleh sistem sentralisasi. Hal ini pada dasarnya merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1800-an. Meskipun pada tahun 1903 Pemerintah Belanda mengeluarkan UU Desentralisasi Untuk Hindia Timur, yang ditandai dengan pemilihan umum pertama di tanah Jawa, namun pada pelaksanaannya tetap mengedepankan konsep dekonsentrasi, dimana kekuasaan pemerintah pusat masih dominan. Dari sisi keuangan, UU ini pada dasarnya mempunyai tujuan untuk mengurangi beban pembiayaan pada tingkat pemerintahan kolonial dengan mengalihkannya kepada pemerintahan daerah, namun demikian kewenangan pengelolaan masih di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda.

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia (1945 – 1959), situasi di Indonesia masih sangat kental dengan warna transisi paska kemerdekaan, yaitu perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan perjuangan politik untuk mempersatukan wilayah Indonesia. Pada masa ini telah dikeluarkan Undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah yang sifatnya desentralistis (UU 22/1948 dan UU 1/1957), bahkan pada era inilah mulai diperkenalkan istilah otonomi yang seluas-luasnya. Namun demikian, pelaksanaan otonomi tidak berhasil dilaksanakan dengan baik karena berbagai faktor, antara lain, ketidakstabilan pemerintah, kurangnya sumber daya manusia yang mendukung, dan terutama karena pemerintah pusat tidak mempunyai dana yang cukup untuk mendukung pelaksanaan otonomi.

Pada tahun 1959, setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep demokrasi terpimpin. Sejak saat ini, konsep desentralisasi telah berbalik arah menjadi sentralistis. Pelaksanaan pemerintahan di daerah lebih banyak menggunakan

pendekatan dekonsentrasi, dimana Kepala daerah merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Garis komando yang tegas dan sentralistis dalam pelaksanaan pemerintahan ini kemudian dituangkan dalam UU No 18/1965.

Dari sisi keuangan, pada masa 1945 – 1965 pelaksanaan desentralisasi keuangan cukup tertinggal dibandingkan dengan administrasi pemerintahannya. Undang-undang yang mengatur mengenai desentralisasi keuangan baru keluar pada tahun 1956, yaitu melalui UU No 32/1956. Dengan UU ini, pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan melalui penyerahan sumber pendapatan negara kepada daerah, pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak negara kepada daerah, dan pemberian subsidi kepada Daerah. Dalam kenyataannya, konsep UU 32/1956 ternyata sangat sulit untuk diimplementasikan sampai dengan dicabutnya UU tersebut pada tahun 1999 (berlakunya UU 25 Tahun 1999).

Pada awal pemerintahan orde baru (1968), sebenarnya telah terdapat komitmen yang kuat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk melaksanakan konsep otonomi yang seluas-luasnya. Namun demikian, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilu 1971 menetapkan konsep otonomi yang berbeda, yaitu “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Atas dasar ketetapan MPR inilah, pemerintah mengeluarkan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini diatur bahwa pemerintahan daerah dibagi ke dalam 2 (dua) tingkatan, yaitu Provinsi (Tingkat I), dan Kabupaten/Kota (Tingkat II), dengan fokus otonomi pada Daerah Tingkat II. Argumentasi yang mendasari fokus otonomi pada daerah tingkat II adalah karena terdapat kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi, mengingat Provinsi (Daerah Tingkat I) mempunyai kekuatan politis dan finansial yang cukup kuat untuk melakukan pemisahan diri. Namun demikian, otonomi di Daerah tingkat II ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena tidak ada peraturan pelaksanaannya, hingga dikeluarkannya PP 45/1992 mengenai implementasi otonomi daerah pada Daerah tingkat II (18 tahun setelah keluarnya UU). Implementasi otonomi daerah pada era ini banyak mengalami kegagalan karena kurangnya komitmen dari elit politik untuk melaksanakan otonomi itu sendiri. Dalam kenyataannya konsep

desentralisasi yang seharusnya diimplementasikan justru berubah menjadi konsep dekonsentrasi yang kental dengan nuansa sentralisasi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru (1968-1998) tidak pernah dikeluarkan UU baru yang mengatur HKPD, sehingga peraturan yang berlaku tetap UU No 32/1956. Namun demikian, UU 32/1956 ini juga tidak pernah diimplementasikan pada masa pemerintahan orde baru sehingga pengaturan keuangan daerah pada masa ini sebenarnya tidak pernah mempunyai landasan hukum yang kuat. Sejak tahun 1965, pola pembagian pajak negara kepada daerah digantikan dengan suatu pola kebijakan yang memberikan subsidi kepada daerah yang didasarkan kepada perhitungan besarnya jumlah pengeluaran untuk gaji pegawai daerah otonom atau yang selanjutnya disebut sebagai Subsidi Daerah Otonom, sedangkan untuk bantuan keuangan yang sifatnya untuk pembangunan dikeluarkan Inpres. Pada dasarnya hampir semua transfer ke daerah pada masa Orde Baru bersifat earmark/khusus sehingga tidak ada keleluasaan bagi daerah untuk mengelola keuangan daerahnya.

Diawali dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, maka tuntutan demokrasi dan pemberdayaan daerah menjadi sangat kuat, utamanya dari daerah-daerah yang merasa memiliki kekayaan sumber daya alam seperti Riau, Aceh, Kalimantan Timur, dan Papua. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Presiden Habibie (1999) dikeluarkan 2 (dua) undang-undang yang mengatur mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan kedua UU ini terdapat 4 (empat) hal yang berubah cukup fundamental, yaitu: 1) konsep desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan konsep dekonsentrasi, 2) pertanggungjawaban lebih bersifat horizontal daripada vertikal, 3) pengaturan yang lebih jelas mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah, dan 4) kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh kepada daerah. Dengan didasarkan kepada kedua UU tersebut, dimulailah pelaksanaan desentralisasi secara nyata di Indonesia, yang dimulai pada Januari 2001.

Dalam UU No. 22/1999 secara garis besar diatur penyerahan kewenangan dari Pusat ke Daerah sehingga kewenangan Daerah menjadi sangat besar. Sebagai

konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan ini maka kantor pemerintah pusat yang ada di daerah (Kanwil dan Kandep) sebagian besar diserahkan kepada daerah, termasuk pegawai dan asetnya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa hal yang belum cukup jelas dalam penyerahan kewenangan ini, terutama mengenai sistem penyerahan kewenangan kepada Kabupaten/Kota yang bersifat residual (berdasarkan PP No. 25/2001). Dengan sistem residual ini, maka yang diatur dalam peraturan perundangan hanyalah kewenangan Pusat dan Provinsi, sedangkan kewenangan Kabupaten/Kota adalah semua kewenangan yang belum diatur dalam peraturan perundangan.

Di sisi lain, UU No. 25/1999 mengatur penyerahan sumber keuangan kepada daerah, terutama melalui mekanisme transfer yang cukup besar kepada daerah yang juga dibarengi dengan keleluasaan pengelolaannya. UU ini lebih menitikberatkan pada pola perimbangan yang berdasarkan pembagian kekayaan sumber daya alam dan masih sangat sedikit yang berbasis pada perpajakan. Sementara itu, kewenangan daerah dalam memungut pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi telah diatur dengan UU tersendiri yaitu UU No. 34/2000 yang merupakan revisi dari UU No. 18/1997.

Salah satu kendala dalam pelaksanaan desentralisasi pada saat ini adalah tidak adanya ukuran secara kuantitatif untuk mengukur besaran beban kewenangan yang diserahkan (berdasarkan UU No. 22/1999) dengan besaran finansial yang ditransfer dan atau diserahkan kepada daerah (berdasarkan UU No. 25/1999). Hal inilah yang menimbulkan ketidakpuasan daerah karena daerah merasa dana yang diperoleh tidak cukup untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Di samping itu, terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan desentralisasi karena kurangnya kejelasan dan ketegasan pengaturannya dalam UU, seperti pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pelaksanaan pinjaman daerah dari luar negeri, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.

Selain permasalahan tersebut di atas, secara politis pelaksanaan otonomi daerah pada saat ini mengalami ujian berat dengan adanya tuntutan merdeka dari 2 (dua) daerah, yaitu Aceh dan Papua. Pada dasarnya permasalahan yang timbul di Aceh dan Papua merupakan akumulasi permasalahan dari kurun waktu yang cukup lama. Masyarakat di kedua daerah tersebut merasa diperlakukan kurang

adil dan banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai respon atas permasalahan ini dan juga untuk mempertahankan integritas NKRI, Pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU yang mengatur otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Dengan kedua UU yang mengatur otonomi khusus ini (UU No. 18/2001 mengenai Otonomi Khusus di Aceh dan UU No. 21/ 2001 mengenai Otonomi Khusus di Papua), maka kepada kedua Daerah tersebut diberikan beberapa kewenangan khusus dan sumber pendanaan yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya dari dana perimbangan yang telah diatur dalam UU No. 25/1999).

Selama 4 (empat) tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal yang didasarkan atas UU Nomor 25 Tahun 1999, dirasa masih mengandung beberapa kelemahan, sehingga perlu dilakukan revitalisasi kebijakan desentralisasi fiskal. Revitalisasi kebijakan desentralisasi fiskal tersebut tercermin dari disahkannya UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1999. Meskipun demikian, pemberlakuan UU Nomor 33 Tahun 2004 dimaksud, secara efektif, baru dimulai pada tahun 2006, sehingga dampaknya belum begitu terasa di tahun 2004 dan 2005.

Pada UU No. 33 Tahun 2004 terdapat beberapa pokok perubahan dalam pengelolaan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yaitu:

• penegasan prinsip-prinsip dara perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah sesuai asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan

• Penambahan jenis dana bagi hasil dari sektor pertambangan panas bumi, pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21

• Pengelompokan dana reboisasi, yang semula termasuk dalam komponen DAK menjadi DBH

• Penyempurnaan prinsip pengalokasian DAU

• Penyempurnaan prinsip pengalokasian DAK

• Penambahan pengaturan hibah dan dana darurat

• Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme pinjaman daerah, termasuk obligasi daerah

• Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

• Penegasan pengaturan sistem informasi keuangan daerah (SIKD)

• Penegasan sanksi dalam rangka penerapan prinsip transparansi akuntabilitas dan responsibilitas

Pengalokasian DAU ke daerah dilakukan dengan formula yang didasarkan pada dasar perhitungan DAU. Secara historis sejak tahun 2001-2005, formula DAU terbagi menjadi komponen utama yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi Alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antar daerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

Pada UU No 33 tahun 2004 untuk DAU yang semula ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri netto berubah menjadi 26%. Selain itu dihilangkannya lumpsum dan mekanisme hold harmless pada tahun 2008. Hal ini berimplikasi bahwa daerah dimungkinkan menerima alokasi DAU tahun 2008 lebih rendah atau tidak mendapatkan DAU sama sekali. Kemudian pada DAK, dana reboisasi yang tadinya termasuk dalam DAK, dipindahkan kedalam kategori bagi hasil. Dan untuk dana bagi hasil terdapat tambahan pada DBHSDA yaitu bagi hasil dari penerimaan pajak penghasilan (PPh). Terdapat perubahan komposisi persentase dana perimbangan pada dana bagi hasil PBB, minyak bumi dan gas alam dan terdapat satu sumber dana bagi hasil SDA yang baru yaitu dari pertambangan panas bumi. Pada bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas alam masing-masing terdapat selisih 0,5% yang digunakan untuk menambah anggaran pendidikan dengan rincian 0,1% untuk propinsi yang bersangkutan, 0,2% untuk kabupaten/kota penghasil dan 0,2% dibagikan pada kabupaten/kota lainnya dalam satu propinsi. (Selengkapnya lihat Tabel 4.1).

Secara umum, untuk negara se-plural Indonesia, desentralisasi menjadi sangat relevan dan penting. Tersebar di lebih 13.000 pulau sepanjang lebih dari

5.000 kilometer, Indonesia dengan 210 juta penduduk terbagi ke dalam 20 kelompok budaya dengan 300 bahas etnik yang berbeda-beda.

Tabel 4.1 Distibusi Dana Perimbangan di Indonesia

UU No. 25 Th 1999

dan PP No. 104 Th 2000 UU No 33 Th 2004

Bagian (%) Bagian (%)

No Jenis Penerimaan

Pusat Prov KabKota Pusat Prov KabKota

1 Dana Bagi Hasil

PBB 9,00 16,20 64,80 10,00 16,20 64,80

BPHTB 20,00 16,00 64,00 20,00 16,00 64,00

Kehutanan 20,00 16,00 64,00 20,00 16,00 64,00

a. IHPH 20,00 16,00 64,00 20,00 16,00 64,00

b. Provisi Sumber Daya Hutan

Pertambangan Umum 20,00 16,00 64,00 20,00 16,00 64,00 c. Iuran Tetap 20,00 16,00 64,00 20,00 16,00 64,00 d. Royalti Perikanan 20,00 - 80,00 20,00 - 80,00 Minyak Bumi*) 85,00 3,00 12,00 84,50 3,00 12,00 Gas Alam**) 70,00 6,00 24,00 69,50 6,00 24,00

Pertambangan Panas Bumi 20,00 16,00 64,00

2 DAU - 10,00 90,00 - 10,00 90,00

3 DAK 60,00 - 40,00 60,00 - 40,00

Ket: *) dan **) kecuali bagi Provinsi NAD dan Papua

Terlepas dari luas wilayah dan keanekaragamannya, Indonesia adalah salah satu negara paling sentralistik di dunia selama masa orde Baru. Pada tahun 1999 pendapatan yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat mencapai 94% dari pendapatan pemerintah secara keseluruhan dan sekitar 60% pengeluaran pemerintah lokal dibiayai oleh transfer dari pusat.

Implementasi pelaksanaan otonomi telah mengubah Indonesia secara radikal menjadi salah satu negara paling terdesentralisasi di dunia. Desentralisasi yang dilakukan bahkan lebih kompleks daripada desentralisasi yang dilakukan di negara lain misalnya China dengan melepaskan kewenangan keuangan dan politik kepada Daerah dimana Pusat hanya berwenang mengurusi 5(lima) kewenangan yang terdiri dari kewenangan di bidang keuangan, peradilan, agama, pertahanan dan keamanan dan politik luar negeri. Dalam Wibisono (2003) disebutkan bahwa proporsi pengeluaran regional terhadap pengeluaran pusat naik dari 17% menjadi 30%. Di tahun 2002 angka ini semakin meningkat hingga mencapai 40,13%.

Lebih dari 2 juta pegawai negeri sipil (PNS) atau sekitar 2/3 dari pegawai pemerintah pusat ditransfer ke Daerah. Kini dari 3,9 juta PNS sekitar 2,8 juta berstatus pegawai daerah. Selain itu 239 kantor provinsi, 3.933 kantor kabupaten/kota, serta 16.000 fasilitas pelayanan milik Pemerintah Pusat telah diserahkan ke Daerah.